Konsekuensi Rendahnya Budaya Baca di Kalangan Guru Karya Tulisnya belum Bermutu Oleh arixs Rabu, 26-December-2007, 08:57:42 BUDAYA membaca di kalangan guru dinilai kurang. Padahal, membaca menjadi salah satu syarat penting dalam mengasah keterampilan menulis. Hal ini, menurut praktisi pendidikan IGK Tribana, berakibat karya tulis kebanyakan guru di Bali belum dapat dinilai bermutu. Keterampilan menulis belum memenuhi standar mutu yang baik. Tingkat membaca guru yang kurang juga dapat dilihat dari hasil karya mereka belum mampu menghasilkan tulisan yang baik. Padahal lanjut salah satu peraih Widya Pataka 2007 ini menulis adalah salah satu syarat untuk kenaikan pangkat maupun sertifikasi. ”Tak hanya saat sertifikasi mulai digalakkan pemerintah, sebelumnya guru sudah dituntut untuk menulis baik itu menulis karya ilmiah, buku pelajaran, makalah atau menerjemahkan buku. Tapi baru sekarang guru merasa jengah untuk belajar menulis,” tambahnya. Budaya membaca menurut Tribana belum melekat dalam diri sebagian besar guru. Padahal dengan membaca wawasan mereka untuk menuangkan pikiran dalam tulisan lebih terbuka lebar. Guru Bahasa Indonesia SMAN 6 yang masih aktif menulis di beberapa media massa ini menjelaskan salah satu hambatan adalah guru enggan menyisih sebagian gajinya untuk keperluan membeli buku. ”Jika tak ditanamkan dalam dirinya budaya membaca, bagimana siswa bisa mencontoh,” lanjut Tribana. Keterampilan menulis yang masih kurang dikalangan guru menurut Tri sebenarnya bisa diasah dengan berbagai pelatihan-pelatihan menulis. Tapi ia menyayangkan, pelatihan-pelatihan yang sering di gelar pemerintah atau swasta memang ramai peserta tetapi penindaklanjut masih sangat minim. ”Saya pernah menatar keterampilan menulis 100 guru. Hasilnya, setelah pelatihan usai hanya 10 guru yang masih aktif belajar menulis,” ujarnya. Bahkan, tambahnya, media massa juga memberi kesempatan bagi masyarakat termasuk guru untuk mengirimkan artikelnya agar dimuat di media massa. ”Namun tak semua guru mau melakukannya,” ujar Tri. Program sertifikasi dianggap bernilai positif untuk merangsang minat guru belajar menulis. Bahkan lewat sertifikasi banyak guru berbondong-bondong ikut berbagai kegiatan seminar dan pelatihan pendidikan. ”Persyaratan sertifikasi memang baik guna mendorong guru untuk lebih terampil menulis. Tetapi saya kurang jelas dengan sistem ini, karena sampai saat ini kami belum tahu klasifikasi pemanggilan,” tambah penulis buku ’Desas-desus Seks dalam Pendidikan’ ini. Keterampilan guru dalam menulis juga dinilai kurang oleh guru Bahasa Indonesia SMAN 2 Kuta I Nyoman Tingkat. Peraih penghargaan Widya Pataka 2007 oleh Badan Perpustakaan Daerah Bali ini mengungkapkan keterampilan menulis perlu dilatih dengan penuh kesabaran dan perjuangan yang keras. ”Banyak guru yang patah semangat saat artikel yang mereka kirimkan ke media massa tak dimuat. Padahal pemuatan itu perlu proses dan waktu,” tambah Tingkat.
Menurutnya banyak guru yang beralasan tak bisa menulis karena keterbatasan waktu. Padahal waktu luang guru di luar jam wajib mengajar masih banyak yang bisa dimanfaatkan untuk menulis. ”Kesadaran dan kemauan guru untuk meningkatkan keterampilan menulis belum tertanam,” ujarnya. Budaya mengajar dengan sistem menghafal bisa menjadi salah satu faktor rendahnya keterampilan guru menulis. ”Seharusnya dalam pengajaran, guru lebih meningkatkan aktivitas menulis misalnya siswa dituntut meringkas apa yang telah dijelaskan dan membuat berbagai karya ilmiah,” sarannya. —lik Menulis Saat Waktu Luang KETERAMPILAN tulis-menulis di kalangan guru yang dianggap masih rendah membuat mereka mulai giat meningkatkan diri baik dengan cara ikut berbagai seminar pendidikan hingga pelatihan. Hal itu dilakukan juga sebagai persiapan menghadapi uji sertifikasi guru yang menjadi program pemerintah. Geliat guru baru tampak sesaat setelah program sertifikasi ini digalakkan. Berbagai alasan pun terlontar dari beberapa orang guru yang merasa memiiki kemampuan menulis masih kurang. bahkan salah satunya karena aktivitas yang padat menjalani profesi sebagai guru dan Ibu rumah tangga membuat mereka tak memiliki kesempatan menulis. Nyoman Sikarini, guru SMAN 5 Denpasar ini juga mengungkapkan hal yang sama. Ia mengaku pernah beberapa kali menulis tulisan esai, bahkan pernah membawanya hingga ke tingkat nasional. Itu pun ia lakukan saat ia cuti melahirkan anak keduanya sehingga ada waktu luang untuk menulis. ”Saya pernah menulis beberapa karya ilmiah tapi sejak menjadi wali kelas III yang selalu penuh dengan kesibukan pemantapan, aktivitas menulis tak lagi saya lakukan,” akunya. Kini saat mulai ada program sertifikasi yang mewajibkan guru mampu menghasilkan karya tulis, Sikarini mulai kembali bangkit menulis. ”Kini saya tengah menyiapkan tulisan Penelitian Tindakan Kelas (PTK),” tambahnya. Bahkan wanita yang pernah aktif menjadi pembina jurnalistik di SMAN 5 Denpasar ini pernah mengirimkan beberapa artikel di surat kabar. ”Tapi hingga kini tulisan itu tak di muat. Hal itu membuat saya malas mengirim lagi,” akunya. Hal serupa dilontarkan Sri Armini, yang juga guru SMAN 5 Denpasar. Sri mengaku lembaga pendidikan baik swasta atau pemerintah sering mengadakan seminar dan pelatihan tentang menulis namun ia mengalami kendala kesibukan mengajar siswa-siswinya. ”Kepadatan kurikulum membuat saya tak punya waktu luang untuk belajar menulis,” tambahnya. —lik