Kompati_lke

  • Uploaded by: Husni
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kompati_lke as PDF for free.

More details

  • Words: 33,669
  • Pages: 80
Kompatiologi logika komunikasi empati

Penulis: Vincent Liong & Cornelia Istiani

Blog: http://kompatiologi-vincentliong.blogspot.com Maillist: http://groups.yahoo.com/group/komunikasi_empati Subscribe Free Newsletter: http://groups.yahoo.com/group/kompatiologi Contact Person Kompatiologi: * Vincent Liong 021-5482193,5348567/46(Home) 021-70006775(CDMA Flexi) 02198806892(CDMA Esia) 08881333410(CDMA Fren) * Juswan Setyawan 08159162193(Hp) * Cornelia Istiani 021-68358037(CDMA Flexi) 081585228174(Hp) * Ondo Untung 021-92217939(CDMA Esia) * Andy Ferdiansyah 021-94293810(CDMA Esia) * Arioputro Nugroho Hp: 08161312939 & 08176770201 * Anton Widjojo 08164827424(Hp)

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

DAFTAR ISI Kata Pengantar (ditulis oleh: Vincent Liong) Rahasia Cara Membaca Buku Ini 6 Pendahuluan (ditulis oleh: Anton Widjodjo)

4

7

Bagian Pertama KOMPATIOLOGI ditulis oleh: Vincent Liong / Liong Vincent Christian I. Sejarah Kompatiologi 10 Mengapa Kompatiologi Bisa Lahir ? 10 Tentang Manusia menurut Vincent Liong 11 Kehilangan Kebebasan Setelah Menjadi Indigo 15 Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata II. Penyelesaian Masalah 19 Anjing yang berIman 19 Antitesis dari Budaya Judgement dan Punishment

17

20

III. Tentang Kompatiologi 25 Apa sich Kompatiologi itu? 25 Asal-Muasal Nama Kompatiologi 26 Kompatiologi ilmu Mengalami bukan Pemikiran dan Pengkonsepan 28 Posisi Kompatiologi dalam ranah Sumberdaya Manusia 30 Evolusi dari Manusia Purba, Manusia Moderen sampai Kompatiologi 32 IV. Metode Penelitian 35 Kronologis Proses Penelitian dalam Kompatiologi Kompatiologi dan Grounded Theory 36 Dilema: Pragmatis VS Teoritis 38

35

V. ’Dekon’–Kompatiologi (Dekonstruksi) 40 Pengalaman Sebagai Pendekon-Kompatiologi... 40 Dekonstruksi ala Kompatiologi dengan menggunakan Minuman Botol VI. Setelah Dekon-Kompatiologi

43

47

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 2 / dari 2 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Keberhasilan Dekon-Kompatiologi 48 Kegagalan Dekon-Kompatiologi 49

Bagian Kedua PENDIDIKAN ALA KOMPATIOLOGI ditulis oleh: Cornelia Istiani I. Pendahuluan

53

II. Metode Kompati dalam Pendidikan III. Tujuan Pendidikan

57

60

IV. Perkembangan Masa Hidup Manusia V. Penutup

63

67

Daftar Pustaka

69

LAMPIRAN Kuesioner Kompatiologi ver21102007 Biodata Penulis

72

77

Info 'Pendekon' (Pengajar) Kompatiologi Komentar Singkat Pembaca

78

80

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 3 / dari 3 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Kata Pengantar Ditulis oleh: Vincent Liong / Liong Vincent Christian (pendiri kompatiologi) Buku ini “Kompatiologi : logika komunikasi empati” ditulis sebagai perkenalan tentang apa inti dari kompatiologi. Buku ini ditulis dengan gaya yang teknis dan minimalis untuk memberikan inti dari kompatiologi yang sering disalahartikan karena sifat yang khas dari kompatiologi itu sendiri. Bicara kompatiologi tidak lepas dari produk dasarnya yaitu ‘dekon-kompatiologi’ (ritual minum teh). Secara kasat mata dekon-kompatiologi tidak lebih dari permainan campur-mencampur minuman yang tampak sederhana dan sepele. Meski tampak demikian, tidak semua orang mampu memilih dan menyusun botol minuman secara tepat, yang disesuaikan dengan latarbelakang peserta dekon-kompatiologi untuk menghasilkan efek pasca-dekon seperti yang terjadi pasca-dekonkompatiologi. Meskipun dekon-kompatiologi keliahatan sepele, para ‘pengajar’ (pendekonkompatiologi) sendiri yang sudah ahli sekalipun tidak semua merasa mampu-benar menjadi pendekon-kompatiologi-independent, rata-rata para pengajar kompatiologi malah mengundurkan diri dari posisi sebagai pengajar kompatiologi setelah setahun mengikuti (sebagai murid dan guru) dekon-kompatiologi, karena lebih tertarik untuk fokus menerapkan kompatiologi di hidupnya sendiri untuk minat, tujuan dan kepentingan masadepannya sendiri. Padahal bayaran menjadi pendekon-kompatiologi itu tinggi dan Vincent Liong sampai hari ini tidak pernah menuntut bayaran royalty. Bilamana pada ilmu kebanyakan peningkatan/perkembangan ilmu seseorang itu dihasilkan dari pertambahan jumlah teori yang dikuasai, melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, dan lain sebagainya; Dalam kompatiologi ilmu yang tinggi itu tampak dari kebebasan seorang mantan pengguna kompatiologi secara lues memainkan ketidakpastian hidupnya sendiri, banyak yang mengundurkan diri dari pekerjaan dan memilih berwiraswasta, ada pula yang gemar berpetualang merantau ke negeri yang jauh, tentunya dengan tetap bertanggungjawab mencari nafkah untuk keluarganya yang boleh bertambah jangan sampai berkurang. Beberapa pendekon-kompatiologi yang telah mengundurkan diri dari kompatiologi, memilih untuk tidak terikat dengan kurikulum dekon-kompatiologi yang standar, malah suka kreatif membuat rumusan dekon-kompatiologi dengan media yang berbeda seperti permen misalnya, atau malah tidak menggunakan apa-apa sesuai tingkat kelihaiannya masing-masing. Prilaku ini membuat mereka sering dianggap sebagai orang sakti di lingkungan tempat tinggalnya, biasanya mereka yang semacam ini sudah tidak menyebut-nyebut kompatiologi samasekali, meskipun tetap berhubungan dengan Vincent Liong dan pengajar kompatiologi yang lain sebagai saudara yang tidak sedarah. Perbedaan paling utama antara kompatiologi dan ilmu-ilmu lain yang ada adalah pada point ‘free choice’. Pada kebanyakan ilmu, yang dimaksud sebagai ilmunya adalah pendapat dari sang filsufnya yang bersifat tunggal, yang kemudian bisa diadopsi oleh pengikut atau orang-orang yang ingin menggunakannya. Seorang pengikut tidak akan menjadi seorang filsuf setingkat panutannya; seperti sedikit jumlah seniman menghasilkan sebuah karya seni, yang kemudian ditiru oleh banyak pengerajin seni yang mampu membuat banyak karya seni, mereka tetap bukan seniman yang tunggal. Dalam kompatiologi yang dianggap sebagai ilmunya adalah sebuah metode minum teh yang dibuat melalui proses penelitian berbentuk eksperimen oleh Vincent Liong. Ketika orang-orang menggunakan metode minum teh (dekon-kompatiologi) tersebut, maka orang-orang tersebut biasanya akan memiliki suatu sistem pengukuran yang independent dalam diri sendiri dengan kepentingan dan minat ala diri sendiri, sehingga mereka tidak mengikuti pendapat sang filsuf yang tunggal seperti pada ilmu kebanyakan. Kebanyakan mereka yang mendalami dekon-kompatiologi menjadi seperti filsuf untuk dirinya sendiri, dengan sudut-pandang, pendapat dan tujuan ala diri

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 4 / dari 4 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

sendiri, yang tentu saja berbeda dengan Vincent Liong pembuat metode dekon-kompatiologi. Mereka juga tidak akan tertarik untuk bertanya atau mengikuti pendapat Vincent Liong karena sudah independent, memiliki free choice untuk membangun dirinya sendiri dengan versi sendiri dengan resiko-resiko yang disadari oleh diri sendiri. Vincent Liong pernah mencoba untuk membiarkan para pengguna kompatiologi menulis bukunya masing-masing, yang terjadi adalah; mereka tidak menulis mengenai ilmu kompatiologi, yang terjadi adalah mereka menulis filosofi hidup mereka masing-masing yang tumbuh secara mandiri dari diri mereka, setelah mengikuti dekon kompatiologi, yang jelas berbeda total antara satu dengan yang lain. Yang muncul pada akhirnya adalah; Kompatiologinya bapak Juswan Setyawan, Kompatiologinya Cornelia Istiani, Kompatiologinya Bimo Wikantiyoso, Kompatiologinya Andy Ferdiansyah, dan lain sebagainya ; bahkan Vincent Liong pun sebagai pembuat kompatiologi memiliki versi pendapat tentang kompatiologi versi Vincent Liong sendiri yang diusahakan agar tidak ditulis dalam buku ini. Masing-masing e-book mengenai kompatiologi ditulis dengan sangat privat dan mendalam, bahkan sampai berratus-ratus halaman. Jadi setelah kemunculan berbagai e-book mengenai kompatiologi yang ditulis secara mandiri dengan niat dan tujuan sendiri-sendiri, tatabahasa, definisi, dan lain sebagainya yang serba sendirisendiri; masyarakat non pengguna kompatiologi malahan bertambah bingung tentang apa itu sebenarnya kompatiologi. Kalau dibilang kompatiologi itu ada dan berbentuk, lalu mengapa sudutpandangnya begitu banyak, kok tidak ada sudutpandang yang tunggal?! Kalau dibilang kompatiologi itu tidak ada nilainya, maka mengapa banyak orang yang rela menulis teorinya sendiri-sendiri dengan minat, gaya-bahasa dan tujuannya sendiri dan semua bicara tentang pengalaman dan pemikiran setelah mengikuti dekon-kompatiologi, tanpa ada yang menyuruh atau membayar?! Diterbitkan sukur, tidak diterbitkanpun tidak mengapa… (note: pembaca disarankan membaca buku ini sebelum membaca berbagai e-book karya para mantan pengguna kompatiologi agar tidak menjadi bingung) Banyak konflik, polemik hingga terror yang timbul pasca lahirnya kompatiologi, yang disebabkan oleh banyaknya versi e-book dan penjelasan tentang kompatiologi yang tampak seperti; “sekumpulan filsuf dengan filsafat ala masing-masing, yang berbeda-beda dan saling berdiskusi satu sama lain dengan gaya-gaya masing-masing di ruang diskusi yang namanya kompatiologi.” Vincent Liong yang sebenarnya hanya memfasilitasi alat berupa metode dekon-kompatiologi yang mengakibatkan mereka memiliki free choice-nya masing-masing untuk menjadi dirinya sendiri, tentunya tidak mampu bertanggungjawab atas pendapat, sudutpandang dan karya pemikiran dari berbagai macam orang pengguna kompatiologi, hanya masing-masing filsuf tersebut yang mampu konsisten, mengerti, memahami dan bertanggungjawab terhadap pendapatnya sendiri. Mereka ratarata menjadi orang yang amat konsisten terhadap gaya dan warna diri mereka sendiri. Jadi dalam menulis buku mengenai kompatiologi bagi Vincent Liong sendiri amat sangat susah. Pertama-tama Vincent Liong harus membuang segala asumsi versi Vincent Liong dan hanya menulis kesimpulan yang diperoleh melalui kegiatan eksperimen laboratorium. Dalam buku ini, Vincent sudah berusaha keras menyaring agar asumsi-asumsi Vincent Liong tidak ditulis di buku ini, sebagai manusia tentu masih ada hal-hal ala Vincent Liong yang tidak sengaja masuk terbawa ke dalam buku ini. Yang ditulis di buku ini hanya hal-hal teknis yang berlaku umum terhadap para peserta dekon-kompatiologi saja yang didapatkan Vincent Liong melalui pengamatan terhadap halhal yang terjadi pada mantan peserta dekon-kompatiologi pasca dekon-kompatiologi. Maka dari itu buku ini ditulis secara minimalis seperti manual guide sebuah mesin saja. Hal-hal yang ditulis di buku ini adalah hasil proses perjalanan penelitian kompatiologi yang melalui tahap-tahap sbb: (lihat: ‘Kronologis Proses Penelitian dalam Kompatiologi’) * Melakukan eksperimen untuk mencari pola kerja (Januari 2005 – Juli 2006) Dipimpin oleh Vincent Liong dibantu oleh beberapa sukarelawan. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 5 / dari 5 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

* Mengkorelasikan dengan ilmu yang sudah ada (Juli 2006 – Desember 2007) Dilakukan oleh para pengguna kompatiologi yang memiliki sudutpandang, minat dan tujuannya masing-masing. Vincent Liong tidak berkomentar, hanya mengamati saja. * Membuat penjelasan yang tunggal yang merangkum semuanya (Januari 2008 – sekarang) Penulisan buku “Kompatiologi : logika komunikasi empati” oleh Vincent Liong Selamat menonton apa itu inti dari kompatiologi. Kompatiologi-nya sendiri bisa anda alami bila anda mengikuti ritual minum teh dekon-kompatiologi. Lalu seperti para mantan peserta dekonkompatiologi yang lain, anda akan membicara sesuai filosofi ala diri anda masing-masing yang terkait dengan diri anda sendiri yang belum tentu berkaitan dengan apa itu inti dari dekonkompatiologi. Lalu, bilamana mendapat kesempatan untuk mengalami sebagai filsuf yang tunggal, seperti apa filosofi ala anda?! Jakarta, Selasa, 11 Maret 2008 Penulis,

Liong Vincent Christian / Vincent Liong

Rahasia Cara Membaca Buku Ini Untuk membaca buku ini pertama-tama perlu niat yang kuat, niat saja tidak cukup. Bilamana orang tsb sudah memiliki praduga, prasangka, pola pikir, teori tertentu sebelum membaca buku ini; maka tidak akan memperoleh pengertian apapun dengan membaca buku ini, atau terjadi kebingungan karena semua yang terjadi setelah membaca buku ini di luar apa yang telah ia ketahui sepanjang hidupnya. Perlu semacam kepasrahan di dalam membaca buku ini. Buku ini akan lebih mudah dibaca oleh mereka yang memiliki sedikit pengetahuan dan sedikit prasangka terhadap kehidupan. Jika orang yang sudah memiliki praduga, prasangka, pola pikir, teori tertentu rela mengambil sikap pasrah dalam membaca buku ini; maka akan menghasilkan sesuatu yang lebih. “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga.” (Matius 5:3)

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 6 / dari 6 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Pendahuluan Ditulis oleh: Anton Widjojo (Pengamat Budaya) Ketika budaya sampai pada diri kita, kita tidak pernah memikirkan asalnya dan juga tidak menyadari bahwa budaya sudah terbelenggu di balik terali besi. Sampai pada suatu saat Vincent Liong secara tidak sengaja menemukan bahwa budaya sudah menjadikan manusia merana karena dengan berbudaya berarti manusia ikut terbelenggu di balik terali besi. Dengan susah payah Vincent Liong mempertahankan hak asasiya sebagai manusia untuk tidak dilabelkan Indigo secara sembarangan oleh masyarakat. Hilang sudah kebebasannya. Bayangkan hanya dengan sebuah "kata" Indigo ternyata tidak hanya merampas kebebasannya tetapi juga sikap tidak bersahabat, vonis pengucilan, penekanan mental dan teror. Terlihat disini "kata" yang adalah bagian dari budaya itu menjadi mengerikan, sehingga Ide yang murni tidaklah mungkin muncul karena "kata", dari "kata" hanya dapat melihat fenomena, sehingga data mentah hanya dapat ditemukan jika tidak memakai "kata". Sebuah dawai telah memiliki nada, jika dia tidak dipetik bukan berarti dia tak bernada, hanya kita tak dapat mendengar nadanya. Nada yang terdengar adalah hasil dari petikan, dan mempunyai kemungkinan tak ada batasnya. Menarik jika diperhatikan lebih lanjut penemuan Vincent Liong tentang tehnik zat cair yang masuk ke dalam tubuh kita, dalam hal ini dengan cara diminum dengan aturan dan cara Vincent Liong ternyata dapat mempunyai relasi terhadap hal hal yang tidak pernah terpikir, akan membawa efek memunculkan data mentah pada tiap individu, yang sebenarnya sudah ada, tetapi tenggelam, menuju ke permukaan. Sehingga setiap individu menjadi suatu individu "baru" yang memiliki kemampuan lebih dari sebelumnya. Kemampuan manusia yang sudah lama terkubur karena tidak pernah diperhatikan dan sudah terdesak oleh kemajuan jaman, menjadi tersadari atau lebih tepatnya menjadi bagian penting dalam manusia membuat pertimbangan untuk mengambil keputusan. Tidaklah berarti dia menjadi manusia super, tetapi suatu pribadi yang lebih utuh. Yang sebelumnya dia mengira apa yang menjadi pilihan dalam hidupnya sudah benar dan mungkin juga sudah tidak ada pilihan lain, ternyata menjadi melihat ada pilihan pilihan baru yang yang dihasilkan dari dasyatnya kehendak bebas (free will) dan jika dia memilih tanpa pertimbangan yang matang akan membuat kehendak bebas yang tadinya bernilai positif berubah menjadi kutukan. Perlahan tapi pasti dari efeknya akan membuat dia menjadi mahir dalam bidang strategi, kewaspadaan dan kesadaran diri meningkat, sehingga tidak ada lagi tindakan konyol yang akan dilakukannya, seandainya ada orang yang melihat dia konyol sebenarnya tindakan yang tampaknya konyol itu dilakukan dengan sadar dan sudah menjadi pilihannya dan rencananya. Strategi dan kesadaran diri adalah sebagian hal yang membedakan manusia dari binatang. Kekuatan badan dan akal saja tidak akan membawa manusia menjadi unggul dan menjadi penguasa bumi. Manusia purba tidak mungkin berkembang menjadi manusia masa kini jika tidak memiliki kedua unsur tersebut. Di dalam perkembangannya ada masanya manusia lebih mengunggulkan kekuatan badan, kekuatan kelompok, dan pada masa kini manusia lebih mengunggulkan kekuatan akal. Akal yang diharapkan akan menghasilkan hal yang lebih baik dan bermoral, ternyata malah

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 7 / dari 7 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

menghasilkan kekacauan dan kesengsaraan bagi manusia dan hanya menghasilkan keuntungan bagi kelompok atau dirinya dan tidak pernah mempertimbangkan kerugian dipihak lain. Sedangkan strategi bertujuan meminimalkan kerugian dari semua pihak. Semenjak manusia sadar bahwa dia memiliki kesadaran diri, dan kesadaran diri adalah sesuatu yang pasti, maka manusia menganggap semua ilmu pengetahuan harus dibangun atas dasar kepastian. Sehingga semua pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan dan ketidak pastian tidak dapat dipandang sebagai ilmu. Tetapi jangan lupa kesadaran diri dan pengalaman tidaklah ada hubungannya. Pengalaman akan menghasilkan pemahaman yang berbeda bagi tiap individu. Jadi pengetahuan yang didapat dari pengalaman tidak dapat dengan begitu saja dikatakan benar atau salah dengan memakai metode kepastian. Kini tiba pada pengertian baru, bahwa pengalaman tidak dapat menjadi tolok ukur, tetapi menghasilkan jangkauan variasi yang berskala. Ini sebenarnya sudah kita ketahui sejak dulu, tetapi tidak pernah kita sadari, seperti waktu, tidak kita sadari adalah suatu dimensi sampai Einstein mengenalkan pada kita bahwa waktu adalah dimensi. Setelah kita menyadari waktu adalah dimensi, banyak pengetahuan yang dahulu terasa benar, akhirnya kebenarannya hanya di dalam lingkup dan kondisi yang sangat sempit dan tertentu. Anda mempunyai kesadaran akan adanya pilihan. Pilihan ada ditangan anda. Tetap tinggal di kepastian, atau berani mengalami realita baru dalam hidup anda. Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2008

Anton Widjojo (Pengamat Budaya)

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 8 / dari 8 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Bagian Pertama

KOMPATIOLOGI ditulis oleh: Vincent Liong / Liong Vincent Christian (Founder of Kompatiologi)

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 9 / dari 9 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

I. Sejarah Kompatiologi Mengapa Kompatiologi Bisa Lahir ? Sejarah munculnya kompatiologi adalah perjalanan yang tidak disengaja dari seorang Vincent Liong, menghadapi konsekwensi baik dan buruk dari budaya berpikir, berteori, pengkonsepan, berasumsi, justifikasi dan punishment (hukuman). Ranah yang saat ini dipelajari dan diteliti oleh Vincent Liong dan peneliti kompatiologi lainnya adalah ranah yang masih jarang peminatnya; karena tanpa terjebak untuk berhadapan langsung dengan konsekwensi baik dan buruk dari budaya berpikir, berteori, pengkonsepan, berasumsi, justifikasi dan punishment (hukuman) hinggga melampaui klimaksnya, maka Vincent Liong tidak pernah menemukan bahwa di balik budaya tersebut ada ranah keilmuan yang samasekali belum terjamah; yaitu budaya untuk mengukur data mentah yang bisa saja dijustifikasi, dikonsepkan, dipikirkan, diteorikan, bisa juga tidak. Peneliti dengan budaya berpikir, berteori, pengkonsepan, berasumsi, dan lain sebagainya juga tidak pernah ada yang mendapat ide untuk secara serius masuk ke ranah baru ini karena bahan/data jadi (teori, konsep, asumsi, dan lain sebagainya) tidak bisa diproses mundur menjadi data mentah. Tidak mungkin seorang yang berbudaya ingin mencari kebenaran yang meyakini konsep, asumsi, dan judgement akan berinisiatif memundurkan proses kepada data mentah yang bisa saja dikonsepkan, diasumsikan dan dijustifikasi atau bisa juga tidak diapa-apakan. Penelitian terhadap budaya untuk mengukur data mentah ini dilakukan Vincent Liong sebagai usaha untuk melindungi diri sendiri yang terlanjur terjebak sebagai object justifikasi yang berkonsekwensi mendapat punishment (hukuman) karena dilabel Indigo. Vincent Liong sendiri mampu melakukan penelitian ke budaya data mentah ini karena Vincent Liong tidak suka membaca sehingga pikirannya tidak rumit karena tidak banyak keyakinan akan konsep, teori, asumsi dan judgement yang memper-rumit pikirannya. Umumnya gambaran sebuah penelitian yang diawali dengan berasumsi, lalu dilanjutkan dengan eksperimen untuk membuktikan apakah asumsi itu benar atau salah. Berbeda dengan penelitian untuk menemukan metode yang berkaitan dengan proses ‘data mentah’ (sebelum judgement) yang mau tidak mau harus meninggalkan cara ini; Penelitian diawali dengan diri yang diusahakan murni tanpa asumsi, tanpa baca buku, tanpa baca teori. Eksperimen dilakukan untuk mencari apa yang bisa diperkirakan pola kerjanya, lalu diuji secara empiris sampai dimana bisa diulangi, sampai dimana tingkat konsistensi sebuah pola kerja teknis mekanistiknya tidak diragukan lagi, maka saat itulah ditemukannya sebuah ilmu. Penciptaan bukanlah sebuah kegiatan mencontek, mengumpulkan informasi, melainkan harus murni membuat dari nol. Setelah suatu pola kerja telah ditemukan, selanjutnya ada tahap penelitian untuk mencari cara yang tepat untuk menjelaskan, menyajikannya kepada masyarakat umum ; hanya setelah sampai pada tahap inilah kegiatan membaca, membandingkan dengan teori yang telah ada boleh dilakukan karena sudah tidak lagi mengganggu kemurnian sebuah penelitian. Hanya ada sedikit seniman, tetapi ada banyak pengerajin yang bisa menghasilkan karya seni. Ini alasannya mengapa penelitian kompatiologi dari sejak awal hingga jadi metode dekonkompatiologi-nya samasekali tidak mengharuskan keberadaan sponsor dan lembaga resmi yang menunjang penelitian; semua biaya penelitian dibayar dari uang jajan Vincent Liong sendiri. Sukarelawan kelinci percobaannya direkrut dari penggemar tulisan Vincent Liong dengan pola hubungan kepercayaan antar teman. Penelitiannya menggunakan metode empiris-pragmatis, eksperimental, bukan teoritis yang membutuhkan perbandingan sejarah teori, karena memang tidak ada bukunya, karena ranah kelimuan jenis ini hampir belum pernah ada yang meneliti. Sampai hari ini kompatiologi tidak mengikat komitment dengan lembaga apapun, semua biaya penelitian Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 10 / dari 10 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

ditanggung masing-masing peneliti, bahkan ketika kami mendapat sponsor yang mau membelikan buku apapun yang ingin kami beli sebesar US$ 100-300 per bulan, sponsor itu jarang sekali kami gunakan, karena Vincent Liong suka membeli buku untuk dikoleksi tetapi tidak suka membaca. Tanpa kebetulan-kebetulan berurutan di atas maka anda tidak akan menemukan kompatiologi yang ada saat ini ...

Tentang Manusia menurut Vincent Liong Sebelum kita membahas sejarah penemuan kompatiologi, akan lebih jelas bilamana kita membaca dulu pemahaman Vincent Liong tentang manusia menurut versinya yang tampak jelas di tulisan “Tentang Manusia dalam Bumi Manusia”, selesai ditulis pada tanggal 2 Oktober 2003. Tulisan ini dibuat sebelum Vincent Liong mendapat label indigo pada tanggal 27 Juni 2004. Tulisan ini awalnya ditulis untuk diikutsertakan pada Lomba Analisa Karya Sastra Tingkat SMU Pekan Bahasa , 28 Oktober 2003 di Sekolah Pelita Harapan. Vincent Liong mewakili The Gandhi Memorial International School, Ancol – Jakarta tempat ia bersekolah, saat itu Vincent Liong duduk di ‘kelas 11’ (setingkat kelas 2 SMU). Tulisan ini memenangkan juara pertama dalam lomba tersebut dan sempat dibukukan di buku;”Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra” halaman 1-10, diterbitkan oleh penerbit Malka (Kerjasama Pramoedya Institute & Penerbit Malka), Cetakan I, Juni 2004. Dengan membaca tulisan ini diharapkan pembaca akan memahami bagaimana pemikiran Vincent Liong yang awalnya hanyalah sekedar konsep, dapat berkembang hingga bisa menjadi konsumsi massal, tidak hanya untuk dibaca melainkan untuk dialami oleh masing-masing penggunanya di pengalaman-pengalaman pribadi dengan kondisi, sudutpandang dan kepentingannya masing, dalam bentuk produk metode dekon-kompatiologi.

Tentang Manusia dalam Bumi Manusia*

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”(2002:135)

Pengantar Studi mengenai manusia telah menjadi studi yang tidak ada habisnya. Ia terus menjadi topik yang menarik di muka bumi. Sepanjang segala abad, manusia diajak untuk bertanya mengenai siapakah dirinya. Filsafatlah yang sering menjadi jembatan atas pertanyaan itu. Namun hal ini pun tidak pernah memuaskan. Antara aliran satu dengan yang lain seringkali tidak pernah melengkapi, bahkan punya kecenderungan untuk saling mereduksi. Manusia menurut Nietszche tidaklah sama dengan manusia menurut Sartre atau Foucault, sebagai contoh. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak pernah dapat dipahami. Salah satu medium yang dapat memberikan alternatif untuk memahami manusia adalah karya sastra. Mengapa karya sastra? Secara de facto, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang bersifat historis. Ia berbicara tentang manusia dan waktu. Tentu saja, perihal waktu demikian mengacu pada masa lalu. Masa lalu yang bagaimana? Apa hubungan antara masa lalu dengan kehidupan manusia sekarang? Apakah karya sastra mampu memberikan perspektif yang lebih jelas tentang gerak manusia dan waktu?

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 11 / dari 11 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan kecil ini, saya menyajikan beberapa panorama yang berhubungan dengan eksistensi manusia melalui Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

1. Minke: Figur Si Manusia Bumi Cerita si manusia bumi diawali dengan perkenalannya kepada kita para pembaca dengan, ”Orang memanggil aku: Minke!”(2002:1). Kata Minke(dibaca Mingke) merupakan plesetan dari kata monkey yang berarti monyet. Di awal cerita ini, tokoh Minke telah dipersamakan dengan arti monyet, dan ia menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Minke sebagai seorang berdarah jawa, berkulit cokelat yang bersekolah di sekolah dengan guru dan murid yang berkulit putih. Bahkan, untuk menatap wajah seorang bule Jawa pun ia belum berani. Menggunakan atau belajar ilmu dan tehknologi barat pun ia merasakannya sebagai sebuah kelainan, menyalahi wujud sebagai orang Jawa. Hingga pada suatu saat ia pun berinisiatif mencatatnya sebagai hal-hal baru yang menarik hati. Begitulah, berpikir seperti monyet yang menonton manusia. Ironis dan sangat menyakitkan memang. Dari sini, tampak ketidakpuasan dan keputusasaan yang telah ditanamkan penjajah pada pri-Bumi di Bumi nya sendiri, Bumi Manusia. Pemandangan di Bumi Manusia dalam kacamata Minke yang masih merasa monkey diawali dari berbagai peristiwa. Minke mulai membuka diri, untuk mulai berdamai dengan lingkungan yang baru mulai ia tonton. Karena ini Bumi Manusia, tentu saja pemandangan itu terdiri dari struktur manusia, baik komunitas maupun individu. Dalam proses membuat kesimpulan mengenai sebuah manusia, Minke sebagai seorang manusia memiliki kesempatan untuk menyimpulkannya melalui beberapa tahap. Tahap Pertama, saya sebut sebagai konsep Sinecdoce totem pro parte, Sinecdoce pars pro toto.(Sebagian melambangkan keseluruhan, keseluruhan melambangkan sebagian) yang saya lihat ada di diri seorang Minke di bagian awal cerita. Tahap ini sangat penting dalam memandang bagaimana Minke mengenal identitasnya. Sama seperti manusia pada umumnya, tahap ini dilalui Minke ketika pertama kali ia berada di lingkungan sekolah yang mayoritas, atau bahkan keseluruhan dari populasi adalah kelompok yang sama yaitu bangsa Eropa, sedangkan ia sendiri adalah seorang Jawa, ia sendiri dan kesepian. Sehingga jika terjadi suatu konflik kecil saja, seorang Minke sebagai seorang individu akan menyamaratakan semuanya dalam persepsinya bahwa semuanya adalah sama. Trauma kesendirian ini akan melekat terus selama ia merasa sendirian. Ketika trauma kesendirian itu telah melekat dalam diri Minke, event apapun yang memungkinkan terjadinya keadaan kesendirian itu akan dianggapnya sebagai suatu hal yang akan menindasnya. Seperti kalimat yang ada di pikiran Minke, ketika pertama kali mengunjungi rumah tuan Mallema,” Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat menunggu meledaknya pengusiran.”(2002: 15). Bukan hanya sampai di situ. Ketika Minke pertama kali bertemu dengan Annelies, anak Herman Mallema. Saat itu Minke masih belum berani menatap wajah Annelies hanya karena Annelies yang berkulit putih, halus dan berwajah Eropa. Yang ada di kepalanya hanya, ”Tidakkah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga dan pribumi pula?”(2002:14). Dalam kepalanya Minke sudah menyamaratakan bahwa semua orang Eropa akan merendahkannya. Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa sebagai seorang individu, ia belum menyadari Bumi Manusia sebagai kumpulan yang terdiri dari individu-individu yang memiliki perbedaan satu sama lain. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 12 / dari 12 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Tahap Kedua lebih mengacu pada proses pencarian jati diri Minke sebagai seorang pribadi. Ini yang paling seru! Sebagian besar halaman dari buku ini mengangkat proses pencarian jati diri Minke, bukan kesimpulan, bukan pula ending dari perjalanan itu. Disadari atau tidak, dalam tahap ini seorang Minke mengalami bagaimana ia mudah menjadi kagum pada satu hal baru. Setelah itu, kekaguman itu dapat pindah ke hal lain. Ia selalu berpikir untuk mencoba-coba untuk mengenal dunia yang ia hadapi dan sekaligus mencari identitas sebenarnya. Di dalam proses ini beruntunglah Minke karena memiliki orang-orang yang mendukungnya, membuatnya memiliki konsep yang benar untuk dapat berhasil, sehingga ia tidak mudah pasang dan surut terlalu ekstrim pada konsep yang ia buat sendiri. Semua mengarah pada peningkatan kemampuannya untuk menghargai orang berdasarkan individu itu sendiri. Meskipun demikian, di buku ini belum diceritakan hingga tuntas akhir dari perjalanan mencari jati diri yang dilakukan Minke.

2. Bumi Manusia: Sebuah Narasi Pribadi Kolektif Perasaan merasa dibutuhkan tampaknya menjadi manipulasi manusia pada umumnya. Minke secara khusus pun perlu untuk merasa dibutuhkan agar ia dapat menjalankan kehidupannya dengan optimis. Sebut saja Annelies berperan sebagai seorang kekasih yang amat membutuhkannya, yang akan sakit jika tidak bersamanya, yang bersedia mendengarkan dongengnya atau mungkin hanya sekedar berpura-pura mendengar untuk membuatnya senang. Peran Nyai Ontosoroh sebagai mama angkat yang melebihi peran ibunya sendiri. Juffrouw Magda Peters yang suka memberikan pujian akan tulisannya, satu-satunya teman yang tidak menjauhinya ketika ia dijauhi. Jean Marais mantan serdadu yang cacat dan kini tekun melukis bersama puterinya May, yang mengharapkan kunjungannya untuk bertamu ke rumah mereka. Pengalaman orang lain yang diadopsi menjadi pengalaman sendiri sehingga membangun konsep yang benar mengenai manusia dan manusia lain. Yang ia dapat dari Annelies saat mempekenalkannya akan hubungan manusia dan binatang peliharaan, seperti kuda misalnya. Annelies sempat mengatakan, ”Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekalipun dia hanya seekor kuda.”(2002: 32). Sketsa karya Jean Marais yang melukiskan seorang serdadu kompeni sedang menginjakan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada korbannya. Hendak membunuh dan hendak dibunuh.(bdk.2002: 53) Konsep berpikir Maiko seorang pelacur Jepang masa itu untuk mengumpulkan uang di negeri orang dan akan pulang untuk menikahi kekasihnya Nakatani.(bdk. 2002:188). Yang tidak kalah penting cerita Nyai Ontosoroh mengenai bagaimana Herman Mallema dengan sabar mengubah Nyai Ontosoroh hingga menjadi Nyai yang berpendidikan tanpa melalui bangku sekolah. Pengalamannya bersama the others membuat Minke menyadari bahwa problem setiap manusia itu sama. Ia tidak lagi menjadi orang Jawa yang gumunan atas teknologi Eropa. Di Bumi Manusia, juga ada Annelies yang bercita-cita menjadi bangsa ibunya, kaum bumiputera. Robert Mallema yang ingin menjadi bangsa Eropa murni, bukan Indo. Maurits Mallema yang dendam pada keluarga ibu tirinya, karena merasa ditelantarkan ayahnya. Iri pada keluarga bumiputera yang dipandangnya rendah.(bdk. 2002: 373, 384). Semua itu membuat cara berpikir Minke menjadi matang untuk ukuran jaman itu. Apa yang dipaparkan ini adalah bentuk yang saya sebut sebagai Narasi Pribadi Kolektif. Narasi ini menjadi bentuk pengalaman pribadi yang dipergunakan sebagai pertemuan dari pengalaman bersama. Dengan begitu, pengalaman-pengalaman itu membuat orang semakin kuat tanpa harus melalui semua pengalaman itu dalam hidupnya sendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Minke tidak perlu mengalami semua peristiwa yang dialami orang-orang di luar dirinya. Melalui pertemuan-pertemuannya dengan beberapa tokoh yang singgah dalam hidupnya, ia justru diisi sehingga eksistensinya semakin berisi. Bahkan hal ini pun tidak terjadi secara sepihak saja. Kita tahu bahwa Annelies pun misalnya, memiliki harapan akan masa depan melalui pertemuannya

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 13 / dari 13 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

dengan Minke. Kedua-duanya saling mengisi dan menjadi sebuah narasi yang tidak dapat terbelah begitu saja.

3. Refleksi Bumi Manusia dan Pertanyaan tentang Manusia Kepada saya, Bumi Manusia berbicara tentang sebuah ajakan untuk menjadi Minke. Bagaimanakah dalam dunia Minke kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di Bumi Manusia yang sesungguhnya. Hal demikian dapat dipahami karena bagaimanapun juga karya sastra yang bersifat fiktif selalu menjadi nyata ketika proses kehidupan mulai direnungkan. Tentu saja dalam hal ini akan berbeda cara mengapresiasikannya antara pribadi satu dengan yang lain. Pertanyaan terbesar dari sang Bumi Manusia yang dapat saya tangkap adalah, “Bagaimanakah hubungan antara Manusia dan Manusia lain yang sama-sama anak Bumi ketika salah satu dari mereka harus disudutkan oleh batas-batas yang seringkali tidak dapat ditoleransi oleh kemanusiaan itu sendiri?” Bukankah, telah disabdakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin menjadi baik dan semakin baik?. Apabila dalam perannya seseorang merasa bersalah, ia benar-benar berniat kembali melakukan hal baik, diberi kesempatan, dan belum tentu ia menjadi baik. Namun, bila seseorang berpikir bahwa dirinya mempunyai konsep sendiri untuk menjadi baik, beri ia kesempatan. Yang ada hanya kemungkinan keberhasilan yang lebih. Tetapi tidak ada yang tahu apakah ia akan berhasil. Setelah mendapatkan konsep yang benar, hal berikutnya yang dibutuhkan manusia adalah faktor lingkungan. Setiap manusia hanya berharap lingkungannya bersedia menerima perubahannya secara perlahan. Tidak ada manusia yang sengaja menyembunyikan perbuatannya. Seperti saat kita malu, tidak ingin orang lain tahu masalah keluarga kita. Setiap manusia hanya melindungi dirinya sendiri dengan tidak mengatakannya kepada orang lain. Pertanyaan bagi kita? ”Apakah kita akan mentoleransi batas-batas kebenaran yang dimiliki orang lain?” Sebuah arti yang sama dengan berpikir positif bahwa dalam diri orang lain juga ada kemungkinan bahwa ia akan mentoleransi batas-batas kebenaran kita. Mungkinkah di Bumi Manusia saat ini,”Masa depan alternatiflah yang telah menjadi sejarah sebenarnya.” Apakah masa depan merupakan sebuah jalan cerita yang dimana selalu terdapat jalan cerita alternatif, yang sebenarnya adalah sejarah yang sesungguhnya? Apakah sejarah sesungguhnya yang lebih baik, impian akan baik yang kita buang sendiri? Ketika kita memperkirakan sebuah penilaian mengenai benar atau salah, bukankah yang diuji sebenarnya adalah bagimana cara pandang kita terhadap batas-batas kebenaran orang lain. Pertanyaan yang terus timbul,”Mungkin saja dalam tindakan yang dilakukan orang lain tersebut, batas-batas kita akan dilecehkan, dilanggar.” Pertanyaan ini menghantui kita dan menghasilkan jawaban,"Pasti" di dalam kepala kita. Ketika mencapai posisi demikian, lupalah kita bahwa komposisi pikiran di Bumi Manusia itu sama, di dalam diri orang yang kita anggap sebagai musuh kita, orang tersebut pun akan berpikir,"Apakah dia akan menghargai batas-batas yang saya anut, atau ia akan melanggar, menghancurkannya." Minke sendiri pun mencoba untuk memahami dan mentoleransi batas-batas di luar dirinya. Dengan cara seperti itu ia menjadi tidak eksklusif. Ia membuka dirinya pada dunia. Ini juga berarti bahwa ia mau menerima segala konsekuensi atas eksistensi dirinya dan menghargai eksistensi yang lain. Memang, ada istilah,”Menyerang adalah pertahanan terbaik” ini memang berlaku di semua mahkluk di Bumi Manusia, tetapi bukankah kitalah sebenarnya yang melanggar batas-batas orang lain, kitalah yang menjadi penjahat yang melakukan kejahatan di diri orang lain. Sekarang, bagaimanakah jika kita mencoba berpikir sebagai pihak yang melakukan kejahatan? Dalam proses melakukan sesuatu selalu proses yang sama yang berawal dari konflik di dalam diri si manusia, lahirnya niat, lalu perencanaan (baik jangka panjang maupun jangka pendek), lalu ada moment sebelum melakukan hal yang dapat dianggap kejahatan tersebut, sampai akhirnya event dimana kejahatan tersebut terjadi. Bukankah dalam setiap bagian proses mulai dari konflik di dalam dirinya sendiri, niat, perencanaan, hingga moment sebelum terjadi, manusia selalu memiliki pilihan untuk memilih? Kembali ke saat kita mengkhayalkan sebuah kemungkinan yang dapat saja merugikan kita di masa mendatang. Kita melakukan sebuah tindakan pencegahan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa kejahatan itu terjadi karena kejahatan baru yang sebenarnya kita lakukan untuk melindungi Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 14 / dari 14 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

diri kita. Dimana tanpa adanya tindakan pencegahan yang kita lakukan, kejahatan yang merugikan kita sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa tahu masa depan yang sebenarnya adalah apa yang kita impikan saat ini. Masa depan yang menjadi tempat bagi manusia untuk tidak sulit berbuat baik. Mari bertoleransi, sebagai Sang Manusia di Bumi Manusia. Tak peduli, baik menang atau kalah dalam sejarah yang memiliki daya menggilas, melindas. Paling tidak kita telah mampu bertahan untuk tetap menolak pada penggusuran batas-batas yang kita anut. Bukankah kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan untuk mengalahkan kekalahan kita sendiri? Rendah hati, mengatasi ketakutan, ketidakpuasan, kesombongan untuk tidak menang seperti Minke yang merasa dirinya bukan monyet.. Selamat menjadi Minke.

Jakarta, 2 Oktober 2003 Vincent C. Liong

Kehilangan Kebebasan Setelah Menjadi Indigo Sejarah Kompatiologi diawali dari pelabelan indigo terhadap Vincent Liong pada bulan Juni 2004 yang mengakhiri kebebasan Vincent Liong sebagai manusia biasa yang saat itu seorang penulis, yang menulis catatan hariannya secara rutin di maillist dan dibaca oleh para pembaca tetapnya. Sebelum menjadi indigo Vincent Liong samasekali tidak pernah berurusan dengan dunia psikologi, metafisika dan spiritual. Apapun yang Vincent Liong tulis diterima oleh pembacanya sebagai karya sastra biasa untuk dicerna dengan kacamata masing-masing pembaca bukan suatu data pribadi yang bisa dicerna untuk judgement psikologis dan punishment sebagai bentuk penyembuhan dengan alasan-alasan yang dianggap legal ala psikologi. Awalnya Vincent Liong menerima kondisi di cap Indigo dengan euforia pada keadaan barunya, hingga membuka praktik sebagai ahli kundalini sampai akhir tahun 2004. Pada akhir tahun 2004 Vincent Liong mulai sadar, bahwa kehidupan semacam ini bukanlah yang diinginkannya. Di kehidupan yang baru ini ’menjadi anak indigo’ Vincent Liong dikultuskan dengan dianggap sebagai anak indigo, orang sakti, utusan Tuhan, penyelamat, dan lain sebagainya yang dianggap dan diperlakukan berbeda dari orang kebanyakan; di sisi lain judgement-judgement psikologi yang sifatnya suka memvonis orang lain sakit jiwa, dan memberikan hukuman entah dengan pengkucilan, penekanan mental, hinggga berbagai teror terhadap anggota keluarga dan temanteman Vincent Liong. Yang paling parahnya setelah lahirnya kompatiologi tahun Agustus 2005 s/d Desember 2007 dengan bahasa halusnya sebagai terapi agar sembuh. Bila Vincent Liong diam saja maka sejarah Vincent Liong sebelum diberi label indigo lenyap begitu saja digantikan sejarah Vincent Liong versi para ahli psikologi, metafisika dan spiritual yang tidak pernah mengenal pribadi Vincent Liong, yang memiliki kepentingan akan berkembangnya fenomena yang menghebohkan; issue anak indigo. Bila Vincent Liong membela diri dengan berusaha melawan pelabelan tersebut maka data-data sifat anak indigo yang dipropagandakan oleh para ahli tersebut bisa menjadi alasan bahwa Vincent Liong benar-benar indigo. Misalnya kalau Vincent Liong berusaha memperbaiki issue yang ada tentang kehidupan sehari-harinya, maka para ahli indigo akan mengatakan kalau Vincent Liong sebagai anak indigo memang agresif, tidak mau diatur, dan lain sebagainya sehingga membenarkan keberlanjutan kegiatan pelabelan tersebut. Jadi diam salah, melawan juga salah; Vincent Liong yang tadinya tidak tahu mengenai dunia psikologi, metafisika dan spiritual menjadi terjebak oleh label-label didalamnya.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 15 / dari 15 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Mulai awal tahun 2005 setelah berhenti mengajar kundalini, Vincent Liong akhirnya mulai mencari bagaimana cara untuk mendapatkan kembali dirinya yang bebas dari legalisasi pelabelan sebagai anak indigo, dengan konsekwensi judgement dan hukuman-hukuman yang dilegalkan ala psikologi akibat menjadi anak indigo. Pencaharian ini dimulai awal tahun 2005 dan berakhir sekitar pertengahan tahun 2006. Selama pencarian cara tersebut Vincent Liong menemukan bahwa masalah ini tidak hanya ditemui seorang Vincent Liong dalam menghadapi fenomena anak indigo yang ditempelkan kepada dirinya, banyak orang dalam kasus berbeda menemui masalah serupa; hubungan yang terputus antara konsep dengan kenyataan yang dialami di kehidupan kita seharihari. Kita hidup pada jaman dimana jenis logika yang sedang mode adalah jenis logika yang bersifat objektif; memandang, menilai, mengkonsepkan suatu hal dari luar arena sehingga sulit bersentuhan dengan hal itu sendiri secara langsung di dalam arena. Menonton ilmu dengan membaca, mendengar ceramah, menghafalkannya dan lulus ujian teori tidak membuat seseorang mampu mempraktikkan ilmu itu sendiri tetapi dapat secara legal dianggap ahli. Menonton indigo, menonton spiritual & hal keagamaan, menonton konsep-konsep pengembangan diri, bisa membuat orang tampaknya lulus dalam hal-hal tersebut, tetapi secara praktikal di kehidupan sehari-hari hal itu tidak membantu pencapaian apa yang dituju. Mengerti, paham konsepnya bukan berarti mampu dan telah menjalani. Karena persamaan kebutuhan dalam pencarian jalan keluar ini, maka banyak bermunculan orangorang yang bersedia menjadi sukarelawan yang berusaha membantu dengan caranya masingmasing tanpa mendapat imbalan uang, malah justru mengeluarkan biaya sendiri untuk penelitian dan rela berkorban dengan ikut mengalami tekanan teror-teror yang terjadi bersama dengan Vincent Liong dalam pencarian kompatiologi. Penelitian dalam kompatiologi adalah budaya pencarian yang dilakukan tanpa pamrih, bukankah sebuah tugas yang dilakukan demi mendapat ijasah, mendapat gelar dan ketenaran, bukan meneliti kalau dibayar saja. Pencarian Vincent Liong dari mulai di cap sebagai anak indigo dengan konsekwensi menghadapi akibat-akibatnya karena menjadi sang terhukum adalah kontemplasi tentang budaya ‘judgement’ (pelabelan). Dalam perjalanan tersebut ada saatnya dimana kontemplasi itu sudah melampaui ranah budaya judgement itu sendiri hingga sampai pada ranah data mentah yang sudah terlupakan oleh manusia kebanyakan, sehingga sangat jarang sekali ilmu dan penelitinya. Walaupun demikian, bila Vincent Liong diberi pilihan untuk mengulanginya lagi atau tidak, mungkin saya akan memilih tidak, sayangnya saat itu Vincent Liong tidak diberi kesempatan untuk memilih. Semoga saja Vincent Liong yang lain (anak yang dicap indigo, autis, ADHD, dan lain sebagainya yang lain) bisa memilih di masa yang akan datang. Untuk itu perjuangan melawan budaya judgement dengan vonis dan konsekwensi hukuman pengkucilan dan penindasan di ruang publik ala psikologi tetap perlu dilakukan, bukan untuk membasmi melainkan untuk terus mengingatkan. Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. (2 Korintus 12:7-10)

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 16 / dari 16 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata Ketika saya mulai di cap sebagai anak indigo, maka hilanglah semua cerita masa lalu saya di luar definisi arti kata anak indigo tersebut. Jadi indigo enaknya jadi tenar, tidak enaknya cerita tentang saya digantikan oleh teori anak indigo, yang ditulis oleh orang yang kenal saya saja tidak. Jadi ada sekelompok orang yang tahu Vincent Liong yang bersifat indigo saja, dan sekelompok orang lain yang hanya tahu bahwa Vincent Liong adalah orang biasa dan mentertawakan cerita anak indigo tersebut. Kalau saya bilang bahwa anda itu baik, maka saya harus menghapus cerita masa lalu anda yang jahat. Kalau saya bilang bahwa anda itu jahat, maka saya harus menghapus cerita masa lalu anda yang baik. Tentunya saya tidak bisa bilang bahwa anda itu baik dan jahat dalam satu kalimat, atau anda 51% baik dan 49% jahat juga sulit mengatakannya. Kalau saya bilang bahwa anda itu baik lalu di kalimat berikutnya saya bilang bahwa anda jahat, maka saya orang yang plin-plan dan tidak bisa dipegang kata-katanya. Saya juga tidak bisa bilang bahwa anda orang yang rendah hati tetapi tinggi hati. Apapun yang disampaikan dengan kata-kata, mau tidak mau harus memilih informasi mana yang didukung dianggap benar-benar ada, dan informasi mana yang dianggap tidak ada meskipun kita tahu bahwa pada kenyataannya itu juga ada. Ketika saya bilang bahwa anda jahat maka saya sebenarnya sadar benar dan tahu benar bahwa anda juga punya sisi baik, tetapi saya tetap akan mengatakan anda jahat atau anda baik, tidak keduanya. Jadi bagaimana saya bisa tetap menjadi Vincent Liong yang indigo sehingga tetap bisa mendapat manfaatnya menjadi tenar, ajaib, dan lain sebagainya, sekaligus tetap menjadi Vincent Liong yang orang biasa sehingga tidak kehilangan kehidupan sehari-hari saya. Saya akhirnya menemukan jawabannya pada segelas minuman. Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Seorang Vincent Liong juga tetap Vincent Liong yang sama, meskipun sebagian orang menganggap Vincent Liong indigo dan sebagian lagi menganggap Vincent Liong orang biasa. Vincent Liong sebagai manusia seutuhnya seperti halnya segelas minuman tersebut sebelum dibicarakan dengan versi penilaian yang berbeda-beda adalah sebuah data mentah, ketika dibicarakan (judgement) maka jadilah satu pendapat dengan yang lain saling bertentangan. Maka dari itu orang yang mampu memahami keseluruhan informasi dari suatu masalah secara data mentah biasanya lebih memilih diam samasekali daripada berpendapat, berkata-kata itu sulit. Jadi adakah suatu metode, ilmu, atau apapun bentuknya yang bisa membuat Vincent Liong dan segelas minuman tersebut sebelum dibicarakan? Yang ada di ranah data mentah, bukan pendapat kata-kata... Inilah yang dikerjakan dalam penelitian kompatiologi, hal yang dijual dalam produk dekon-kompatiologi yang menggunakan minuman yang diminum, bukan teori yang dikatakan sebagai produk utamanya. Melihat peta masalah secara menyeluruh di luar benar-salah yang bersifat sepihak dan subjektif dengan melihat berbagai kemungkinan yang ada, tetap tidak bisa meninggalkan kenyataan bahwa saat kita menentukan sebuah keputusan dan bertindak, kita tidak bisa lepas dari menentukan benar salah yang sepihak yang kita pilih sesuai dengan subjectivitas diri kita. Sebab kita memiliki sebuah peran spesifik di dalam arena, bukan sekedar pengamat yang tidak perlu mengambil keputusan. Lalu guna dari melihat masalah secara keseluruhan adalah; agar kita bisa jeli dan tidak mudah terprofokasi oleh sudut-pandang dan keberpihakan pihak lain, yang seolah-olah kita rasakan sebagai pendapat diri kita sendiri. Dalam perenungan, pencernaan permasalahan di dalam tiap manusia bisa ada dua kemungkinan; permasalahan tersebut masih merupakan data mentah yang benar-salahnya masih bersifat relatif,

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 17 / dari 17 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

atau permasalahan tersebut sudah berbentuk judgement benar atau salah yang pasti, sehingga proses pengambilan keputusan yang memberikan kesempatan si manusia untuk memilih sebenarnya sudah tidak ada. Manusia, bahkan hewan sekalipun (seperti anjing saya Blacky) secara alamiahnya masih memiliki kesempatan untuk memilih, menentukan keputusannya, menentukan benar salahnya secara subjektif, dari perenungan dan pencernaan data mentah yang benar-salahnya masih bersifat relatif. Sistem pendidikan yang ilmunya pun sudah berbentuk judgement, tidak memberikan kesempatan memilih alamiah yang adalah hak setiap manusia dan hewan. Sehingga derajat kemanusiaan seorang manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir, merenungkan dan mencerna permasalahannya secara subjektif, direndahkan lebih rendah dari binatang. Manusia itu tidak lebih dari sekedar robot, yang hanya mampu melakukan copy & paste, menyalurkan dan menjalankan data yang diinputkan saja tanpa punya hak untuk berperan aktif sebagai pengambil keputusan menentukan benar-salahnya sendiri. Demokrasi yang sesungguhnya bagi manusia dan hewan menurut saya, adalah hak untuk berpikir, merenungkan dan mencerna permasalahannya sendiri, secara mandiri memproses data mulai dari data mentah hingga menjadi judgement subjektif dengan benar-salah versi masing-masing.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 18 / dari 18 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

II. Penyelesaian Masalah Jadi bagaimana mencari cara keluar dari pelabelan indigo dan sekaligus menemukan cara menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan budaya logika objektif yang tidak dilengkapi dengan budaya subjektif membuat orang terpisah dengan realita kehidupannya masing-masing? Untuk menggambarkannya dengan lebih sederhana saya coba bercerita tentang anjing kesayangan saya Blacky yang sejak kecil tidur sekamar dengan saya.

Anjing yang ber-Iman Di rumahku, aku memelihara tiga ekor anjing. Yang tidur sekamar denganku namanya Blacky seekor anjing tekel jantan berwarna hitam. Yang dua ekor lagi aku belum memberi nama mereka yang seekor mini pincer jantan yang seekor lagi tekel betina, keduanya berwarna coklat. Blacky aku beli di Mega Mall Pluit sekitar awal tahun 2000, dia lahiran akhir tahun 1999, jadi saat ini (tahun 2007) blacky sudah berumur tujuh tahun. Sedangkan yang due akor lagi kubeli satu tahun kemudian jadi selisih umurnya kira-kira satu tahun. Sejak kubeli Blacky kuperlakukan seperti manusia, kuberi dia lemari kayu untuk bersembunyi tidur siang, dan kursi malas kulit sapi asli untuk tidur malam di kamarku. Selain makan makanan dogfood, Blacky juga selalu kuberikan sebagian dari apapun yang aku makan. Awalnya aku pikir Blacky bisa bersahabat dengan dua anjing baru yang saya beli untuk menemani Blacky agar tidak sendirian. Tetapi rupanya Blacky tidak terima kalau rumahnya didatangi dua anjing baru tersebut, sehingga dua ekor anjing itu lebih banyak saya kurung di kandang. Blacky terlanjur menganggap dirinya memang layak diperlakukan sebagai manusia dan dua anjing baru itu hanyalah anjing. Pada awal tahun 2007 Blacky sempat menderita sakit prostat disusul kelumpuhan separuh badan mulai dari belakang kaki depan hingga ekor; jadi hanya kaki depan dan kepala blacky yang masih tidak lumpuh. Kontrol diri Blacky terhadap penis dan duburnya untuk mengatur buang air kecil dan besar juga tidak terkontrol lagi. Ketika dibawa ke dokter, dokter bilang bahwa penyakit ini tidak bisa diobati sehingga harus disuntik mati, saya selalu menolak. Alasannya, setelah diteliti lagi rupanya penyakit prostat yang diderita Blacky diakibatkan kebiasaan menahan kencing kalau tidur di kamarku. Kalau pintu ditutup ia hanya diam menahan kencing semalaman bila ingin kencing agar tidak merepotkan orang-orang serumah. Bahkan setelah lumpuh kalau dia ingin buang air kecil atau besar Blacky selalu berusaha menyeret badannya ke halaman kerikil hingga tubuh bagian bawahnya luka-luka; usaha itupun usaha yang percuma karena ketika ia berpikir ingin buang air besar kelumpuhan sepatuh badannya membuat dia tidak tahu bahwa saat ia berpikir ‘ingin’ saja, sebenarnya ia sudah buang air saat itu juga. Jadi di lantai rumah tampak alur jejak kencing danh tahi Blacky dalam usahanya untuk menjadi anjing yang baik yang buang air pada tempatnya. Jadi tiap hari ayah dan pembantu saya menceboki Blakcy setiap habis buang air. Blacky untuk sementara dikandangi dulu agar tidak merepotkan orang serumah yang harus mengepel bilamana ia buang air. Jadi sakit blacky diakibatkan oleh keIman-an blacky untuk tetap berusaha benar dengan buang air pada tempat yang benar, baik di saat badan sehat maupun setelah badan lumpuh akibat ‘iman’ itu sendiri (akibat terbiasa menahan keinginan buang air ketika terkunci di dalam kamar).

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 19 / dari 19 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Dalam diri mamalia jenis apapun selalu ada kegiatan mengukur ‘data mentah’ (instingtif) yang diperoleh dari alat pengindraan itu sifatnya seperti alat ukur subjektif yang terdiri dari penggaris ukur mulai dari minimum, skala-skala hingga maksimum. Misalnya bicara tentang panas-dingin, terang-gelap, keras-lemah dan tinggi-rendah suara, manis-asam-asin-pahit, berbagai macam bau, suka-tidak suka, dan lain sebagainya ; semuanya bersifat kira-kira kurang atau lebih dengan toleransi ketidaktepatan tertentu. Pengalaman bertemu dengan perasaan tuannya yang sedang marah atau kesal kalau Blacky buang air sembarangan membuat Blacky memiliki memori tidak menyenangkan bila buang air sembarangan sehingga membentuk ‘judgement’ (konsep / intuisi) bahwa buang air sebarangan itu salah. Konsep ‘iman’ seekor Blacky untuk tidak buang air sembarangan adalah ranah konseptualnya, judgement terhadap data mentah yang bisa diistilahkan dengan intuisi; dengan ranah instingtif yang berisi data mentah yang bisa dijudgement dan bisa juga tidak. Ranah Konseptual dengan Judgementnya memiliki konsekwensi terhadap pelanggaran atau ketaatan pada judgement. Pada suatu hari yang saya melepaskan (dua ekor anjing selain Blacky) tersebut untuk bermain di halaman, Blacky yang melihat tersebut bersikat tidak bersahabat kepada saya. Blacky tidak mau saya elus-elus, kalau saya sentuh sengaja batuk, sok tidak mau dekat, ketika saya tidur Blacky mendekatkan kepalanya, melihat ke arah saya dengan wajah yang bertanya sambil memaksakan sesuatu. Bicara tentang kebenaran yang paling penting adalah kebenaran yang paling mendasar (absolut), hal ini tidak selalu bisa dipahami dengan kebenaran logika. Tanpa perlu diajarkan tiap makhluk hidup belajar kebenaran-kebenaran mendasar melalui pengalaman indrawinya sejak keluar dari kandungan ibunya, berhadapkan pada permasalahan-permasalahan yang membuat dirinya mau berkompromi menimbang-nimbang pilihan paket konsekwensi yang ada. Seperti ketika melakukan kesalahan (misalnya buang air sembarangan), maka seekor Blacky merasa tidak enak. Blacky bisa memutuskan memilih perasaan yang enak karena pernah mengalami variasi range pengalaman dari paling enak sampai paling tidak enak. Sedangkan logika selalu bicara tentang kesepakatan sekelompok individu dengan hukuman bila melanggarnya tanpa kompromi antara diri sendiri dengan diri sendiri.

Judul tulisan ini ‘Anjing yang berIman’ dicetuskan pertama kali oleh Parakitri T. Simbolon yang kemarin siang makan bersama saya di resto Taichan Pondok Indah Mall 2. Saat ini Blacky sudah sembuh total setelah mendapat perawatan akupuntur dan masih tidur sekamar dengan saya. Mungkin karena saya sering melakukan observasi terhadap anjing saya Blacky, maka banyak oknum psikologi yang mengesahkan bahwa saya (Vincent Liong) harus diperlakukan sebagai anjing, dan tidak pantas diperlakukan sebagai manusia. Jujur saja saya banyak sekali belajar dari prilaku seorang Blacky (eh salah... seekor blacky).

Antitesis dari Budaya Judgement dan Punishment Dari pengamatan Vincent Liong terhadap hal-hal di sekitarnya (termasuk juga anjingnya yang berIman) dan merenungkan apa yang terjadi selama proses labelisasi terhadap dirinya. Dalam kondisi terputusnya hubungan antara kegiatan pengkonsepan dan kenyataan yang dialami, ada beberapa point yang harus diperhatikan dalam mencari penyelesaian dibalik permasalahan ini. Misalnya tentang;

1* Budaya baca, ceramah dan menghafal. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 20 / dari 20 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Ketika kita membaca, mendengar ceramah, menghafal, dan lain sebagainya maka kita cenderung menjadi pentonton. Penonton itu punya kecenderungan menonton secara pasif apa yang terjadi dalam arena, bisa membicarakan kejadian yang ditonton, berkomentar memberi penilaian. Tetapi karena tidak di dalam arena maka tidak mendapat kesempatan untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam arena. Mengalami berbeda dengan menonton, kalau anda mengalami sesuatu maka anda tidak mendapat ceritanya dari orang lain. Pengalaman itu cuma perubahan-perubahan pada apa yang kita rasakan yang ‘bisa naik atau turun’ (binair) pada masing-masing alat indera kita seiring dengan perjalanan waktu. Antara ekstrim maksimum dan minimum ada ruang abu-abu yang berisi banyak skala-skala yang tidak terhingga banyaknya. Dalam menghadapi hal di luar diri kita, kita harus memilih satu diantara dua hal ini; Kalau kita sudah mendengarkan cerita, teori, dan lain sebagainya tentang sesuatu maka walaupun kita berhadapan langsung dengan sesuatu itu, kita tidak bisa lagi mengalaminya secara apa adanya. Sebab cerita, teori, dan lain sebagainya telah mengisi pikiran kita sehingga kita memiliki asumsi atas sesuatu yang kita alami tersebut. Apa yang kita anggap sebagai pengalaman kita hanyalah sugesti diri kita sendiri atas asumsi, yang sudah kita terima sebelumnya yang mengalahkan sensasi yang sebenarnya. Kalau kita mengalami sesuatu terlebih dahulu, maka ketika berhadapan dengan cerita, teori, dan lain sebagainya tentang sesuatu itu, maka pemahaman kita akan menjadi amat sangat sederhana dibanding cerita, teori, dan lain sebagainya yang dibaca, diceramahkan dan dihafalkan sehingga kita menjadi malas bercerita dan berteori. Data mentah seperti misalnya pengalaman indrawi yang apa adanya bisa diproses menjadi konsep, teori, asumsi, dan lain sebagainya ;tetapi bisa juga tidak. Data matang (konsep, teori, asumsi, dan lain sebagainya) tidak bisa diproses kembali menjadi data mentah. Binair adalah bilangan berbasis dua yaitu; nol dan satu. Ide binair berasal dari alat mekanik yang memiliki yang memiliki fungsi menghubungkan arus listrik (satu) atau memutuskan arus listrik (nol). Dalam penggunaannya bilangan berbasis dua dapat berkembang ke kelompok empat, delapan, enam belas, tiga puluh dua, enam puluh empat, seratus dua puluh delapan, dua ratus lima puluh enam, lima ratus dua belas, dan lain sebagainya. Semakin besar pengelompokannya maka resolusinya semakin tinggi dan toleransi kesalahan semakin kecil. Seperti pada alat musik yang menggunkan bilangan yang disepakati berbasis tujuh yaitu; do, re, mi, fa, sol, la, si. Maka ada toleransi ketidaktepatan antara nada yang satu ke nada berikutnya. Ketika manusia bersuara, atau alat musik gesek seperti biola bersuara; maka tidak terjadi toleransi ketidaktepatan antara nada yang satu ke nada berikutnya, juga tidak ada ketepatan bahwa nada do misalnya, akan selalu tepat do seperti pada alat musik piano. Dalam setiap alat pemerosesan informasi misalnya komputer dan manusia; hal-hal yang ada di dalam pemerosesan informasi tersebut bisa bersifat data mentah yang ‘bisa naik atau turun’ (binair) atau data matang. Tetapi ketika data pada komputer dimasukkan melalui input device seperti misalnya keyboard, atau dikeluarkan melalui output device seperti misalnya layar monitor maka data tersebut mau-tidak-mau bersifat data matang. Ketika data dalam manusia berproses dalam diri si manusia sendiri maka bisa bersifat data mentah maupun data matang. Tetapi ketika si manusia berbicara, bertindak, menetukan keputusan, dan lain sebagainya di dunia nyata, maka data tersebut mau-tidak-mau bersifat data matang. Hal-hal yang berada di luar diri komputer dan manusia mau tidak mau bersifat data matang bukan data mentah, karena dalam berkomunikasi dibutuhkan kesepakatan dan kesepahaman bahasa antara satu dengan yang lain. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 21 / dari 21 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

2* Menggunakan kata-kata Alat penyampaian yang paling banyak digunakan adalah kata-kata. Untuk menjelaskan sesuatu dengan konsep, teori, dan lain sebagainya kata-kata memang alat yang paling mudah. Yang menjadi masalah kata-kata itu memiliki ruang pemaknaan yang terbatas. Bilamana kata-kata memiliki ruang pemaknaan nol dimensi, maka ada garis yang memiliki ruang pemaknaan satu dimensi (titik minimum sampai titik maksimum), gambar yang memiliki ruang pemaknaan dua dimensi (panjang dan lebar), bangunan ruang tiga dimensi yang memiliki ruang pemaknaan tiga dimensi (panjang, lebar dan tinggi), juga hal-hal yang ruang pemaknaannya memiliki dimensi yang lebih besar dari tiga dimensi (lebih kompleks) seperti misalnya rasa dan perasaan. Semakin luas dimensi pemaknaannya, maka semakin dalam (subjektif) kita mengalami sesuatu, semakin sempit dimensi pemaknaannya maka semakin terkonsep, terkotak-kotakkan (objektif) sesuatu yang kita amati. Seorang yang mengamati sesuatu dari luar bisa banyak bercerita tentang sesuatu dengan kata-kata, tetapi tetap saja tidak mengalaminya. Seseorang yang mengalami sesuatu, akan sulit menceritakan sesuatu tersebut dengan kata-kata tetapi paham benar tentang sesuatu dan mampu melakukannya.

3* Budaya Objektif Berbagai dimensi ruang pemaknaan yang ada misalnya kata-kata, angka, gambar, hingga bagunan tiga dimensi memberikan informasi yang sifatnya objektif. Bila kita menonton sebuah film, ceramah dengan kata-kata, dan lain sebagainya kita dibiasakan untuk menonton dengan sudah dihadirkan pemain utama, good cop, bad cop, dan lain sebagainya hingga tokoh-tokoh figuran yang paling tidak penting, dengan pola hirarki dari yang paling penting hingga yang paling tidak penting dengan sangat jelas. Begitu juga dengan gambar dan bangunan tiga dimensi menyuguhkan informasi bagi kita dari yang paling jelas terlihat hingga yang paling tidak terlihat. Untuk bisa mendapat kebebasan memilih object utama secara bebas, terhadap object utama lain yang juga bisa dipilih dengan bebas, maka data harus ditampilkan dengan format data mentah. Yang bisa dibandingkan posisi subject data yang satu terhadap subject data yang lain, tidak selalu harus memiliki titik nol yang bersifat ‘universal’ (berlaku umum). Ini yang sering Vincent Liong istilahkan dengan pengukuran subjektif. Dalam kerangka logika matematikanya; Budaya objektif cenderung melihat suatu hal dari luar hal tersebut, sehingga matematikanya bersifat bilangan bulat karena bila melihat dari luar maka yang tampak adalah jumlah benda tersebut mulai dari 0, 1, 2, dst tidak ada batasnya. Operasi matematikanya misalnya; penambahan, pengurangan, yang berkembang menjadi perkalian dan pembagian yang dapat berkembang lagi menjadi pangkat dan akar. Budaya subjektif cenderung melihat suatu hal dari dalam dirinya, karena terbatas dalam satu individu diri sendiri maka matematikanya bersifat bilangan persentase yaitu 0% sampai 100%, atau minimum nol dan maksimum satu. Operasi matematikanya tidak dapat berkembang seperti ‘budaya objektif’ (dengan penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, akar dan pangkat), melainkan jumlah dimensi pararelnya yang bisa bertambah, misalnya; satu dimensi (X), dua dimensi (X&Y), tiga dimensi (X,Y,Z), dst tidak ada batasnya.

4* Tidak adanya ‘Kalibrasi’ (penyesuaian individual)

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 22 / dari 22 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Menyamaratakan posisi sudutpandang masing-masing manusia dengan mengabaikan posisi subject data/manusia satu dengan yang lain adalah cara paling mudah untuk menjadi pengajar karena bisa dibuat materi pengajaran yang amat sangat standar dengan kesimpulan dan alasan-alasan yang standar sehingga sulit sekali untuk dikritisi. Permasalahannnya, manusia sebagai makhluk yang subjektif dan individual dalam kenyataannya memiliki posisisi subjectivitas/individualitasnya masing-masing satu terhadap yang lain.

5* Derajat guru dan murid Salah satu hal yang membuat adanya jarak antara mengerti dan mengalami adalah karena ada jarak hirarki yang jelas antara guru dan murid. Yang satu mengkondisikan diri aktif sebagai subject pelaku, dan yang satu lagi harus mengkondisikan diri pasif sebagai object penderita. Seorang pemain utama dan seorang pemain figuran. Kondisi mengalami di dunia nyata hanya bisa terjadi bilamana keduabelah pihak dapat memiliki pilihan untuk berinisiatif menjadi; aktif sebagai subject pelaku, maupun pasif sebagai object penderita.

6* Sistem pendidikan No Noise Ketika kita masuk ke dalam ruang kelas sejak TK hingga di bangku kuliah, juga pada programprogram pengembangan diri entah berbau psikologi, metafisika atau spiritual kita masuk pada suatu ruang yang dikondisikan ‘no noise’ (tanpa gangguan). Kalau seseorang mau belajar maka membutuhkan tempat yang sepi, kalau perlu di kondisi sendirian di dalam kamar. Kalau di ruang kelas pun harus ada satu guru/orang saja yang berbicara, sisanya mendengarkan. Kalau lebih dari satu orang yang berbicara dalam waktu yang sama maka dianggap mengganggu proses belajar. Timbul kecenderungan untuk satu pendapat, bilamana ada pendapat yang berbeda maka dianggap gangguan yang harus dibasmi. Kalau proses pembelajaran dilakukan di ruang full of noise (kondisi dimana gangguan alami tidak dihilangkan) seperti pada dekon-kompatiologi, maka banyak factor yang hilang pada kondisi pembelajaran no noise dapat muncul di sini. Kondisi alamiah itu selalu tidak pernah ideal, selalu ada paket baik-sekaligus-buruk pada pilihan satu dengan yang lain, segalanya serba abu-abu. Bilamana ekstrim baik atau buruk hanyalah dua titik ekstrim, ruang abu-abu ini begitu luas dengan banyak kemungkinan yang ada di posisi-posisi, skala-skala di dalamnya. Kenyataan itu bukan baik atau buruk melainkan keluasan kemungkinan di ruang abu-abu. Sejarah ditentukan oleh siapa yang ada di dalam arena.

7* Terpelajar dan Belum Terpelajar Orang yang terpelajar itu menyimpan segala ilmu, konsep, teori, pendapat, judgement dengan sudut pandang tertentu atas hal-hal di sekitarnya di dalam pikirannya sehingga dirinya dapat merasa terpelajar. Seperti gelas yang diisi dengan segala macam cairan sehingga cepat menjadi penuh. Permasalahannya, semakin banyak terisi maka semakin penuh, setiap gelas memiliki batas maksimum isinya, semakin mendekati penuh maka semakin rumit dan kompleks kerja pikirannya. Kompatiologi mencoba mencari jalan keluar dengan membuat yang terpelajar menjadi belum terpelajar. Bagaimana caranya? Orang tepelajar menyimpan di ingatannya berbagai macam ‘data matang’ (judgement, teori, ilmu, pendapat, dan lain sebagainya) sehingga lama-lama menjadi jago berkonsep, tetapi sulit mengimplementasikannya karena terlalu rumit karena terlampau banyak pertimbangan sehinggga bimbang dan pada akhirnya hanya bisa bicara saja tidak melakukan apaapa. Pengguna Kompatiologi tidak menyimpan konsep, pemikiran apa-apa di dalam pikirannya,

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 23 / dari 23 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

yang disimpan hanya ingatan-ingatan pengalaman ‘data mentah’ (panas-dingin, senang-sedih, percaya-tidak percaya, nyaman-tidak nyaman, tenang-gelisah, dan lain sebagainya) yang dapat digunakan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Ketika dibutuhkan maka memori data-data mentah itu bisa menghasilkan konsep, cara yang praktis, dan lain sebagainya untuk penyelesaian masalah saat itu juga, setelah tidak diperlukan lagi maka konsep tersebut tidak perlu membebani pikiran lagi.

"It is not the critic who counts: not the man who points out how the strong man stumbles or where the doer of deeds could have done better. The credit belongs to the man who is actually in the arena, whose face is marred by dust and sweat and blood, who strives valiantly, who errs and comes up short again and again, because there is no effort without error or shortcoming, but who knows the great enthusiasms, the great devotions, who spends himself for a worthy cause; who, at the best, knows, in the end, the triumph of high achievement, and who, at the worst, if he fails, at least he fails while daring greatly, so that his place shall never be with those cold and timid souls who knew neither victory nor defeat." (Theodore Roosevelt "Citizenship in a Republic" Pidato di Sorbonne, Paris, 23 April 1910 dalam tema the "man in the arena" atau "not the critic")

Apa yang dialami di dalam arena tetap tidak mampu diwakilkan di ruang kelas atau di pikiran satu orang manusia yang individual dan terfokus di satu kemungkinan posisi sudutpandang saja. Permasalahan-permasalahan di atas adalah point-point yang berusaha saya jawab dalam kontemplasi saya hingga akhirnya saya menemukan yang saat ini saya namakan kompatiologi, dengan metode dekon-kompatiologi-nya.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 24 / dari 24 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

III. Tentang Kompatiologi Bicara tentang ilmu kita biasa menemukan penjelasan dan kesimpulan akhir yang tertulis di berbagai buku atau dipresentasikan melalui pengajaran dengan metode percaya, yakin dan hafalkan. Paradigma ilmu itu sendiri, terutama ilmu ilmiah tidak lepas dari dilema antara kepercayaan (idealisme untuk terus mencari), keyakinan (believe system / kebenaran yang dipertahankan dan dikejar / intuisi) dan skeptisisme (pengukuran subjektif maupun objektif) yang silih-berganti. Tidak ada ilmu ilmiah yang bisa tumbuh hanya dengan kepercayaan dan keyakinan saja tanpa skeptisisme, sebab tanpa skeptisisme ilmu hanyalah sebuah ‘keyakinan’ (tanpa perlu pembuktian); agama yang diwariskan turun temurun tanpa pengujian ulang sepanjang keberadaan sebuah ilmu. Bila ini terjadi maka ilmu yang ada hanyalah ilmiah semu yang berisi urutan kegiatan; sebagai murid, kelulusan dan lalu menjadi pengajar tanpa perlu pengujian di luar dunia akademis (ruang penelitian yang dibuat, dikondisikan dan diteliti oleh pendukung materi teori keilmian), bukan pasar pengguna / masyarakat awam yang tidak ideal. Sebaliknya, tidak ada ilmu ilmiah yang bisa tumbuh hanya dengan skeptisisme saja. Tanpa kepercayaan, setidaknya keterbukaan untuk mengujicoba, atau membuka kemungkinan pada hal baru di luar materi teori keyakinan ilmiah ;yang mungkin saja di masa yang akan datang akan menjadi kebenaran ilmiah. Bila hal ini terjadi, maka ilmu yang ada hanyalah ilmiah semu. Sebab alasan ilmu ilmiah dibuat, sekedar untuk mempertahankan konstruksi kekuasaan (menara gading) diri sendiri dan kelompok dengan menggunakan materi teori atas apa yang telah dianggap kebenaran ilmiah. Kompatiologi sebagai ilmu di luar lembaga pendidikan resmi (menara gading) sempat menghadapi masalah-masalah semacam ini yang lahir dari para ilmuan semu bergelar dan berijasah mulai dari S1, S2, S3, dan lain sebagainya yang dengan segala cara melegalkan teror pribadi tidak terkecuali rencana pembunuhan kepada para praktisi kompatiologi dan keluarganya, selama setengah tahun terakhir mulai 20 Mei 2007 sampai awal Desember 2007 (+/- setengah tahun) demi menutup ‘kemungkinan lain’ di luar menara gading yang telah dibangun secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun.

Apa sich Kompatiologi itu? Bicara tentang ilmu apapun maka selalu ada dua point yang perlu disimak; Keyakinan (believe sistem) dan Pengukuran (subjektif maupun objektif). Keyakinan seperti materi teori yang selalu melampirkan kesimpulan akhir entah itu di ilmupengetahuan ilmiah, metafisika, agama dan spiritual. Pengukuran seperti; * Pengukuran objektif yang menghasilkan kesimpulan akhir seperti yang kita pelajari di pelajaran matematika yang lalu diterapkan di berbagai ilmu ilmiah. Proses pencarian kebenarannya (berfilsafatnya) menggunakan kegiatan Tanya-jawab. * Pengukuran subjektif yang menghasilkan data saat ini (yang terus berubah seiring berjalannya waktu) seperti alat ukur mekanis yang memiliki; ‘sampler’ (alat pengambilan sample data) berupa gradasi, kadar (0 – 100%) yang memiliki range dari minimum, berbagai skala, sampai maksimum. Dengan konteks (translater) yaitu nama masing-masing kegiatan pengukuran seperti misalnya di mobil ada; speedometer, pengukur putaran mesin, pengukur panas mesin, pengukur tekanan oli mesin, pengukur isi tangki bahan bakar, dan lain sebagainya yang semuanya sama-sama meteran

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 25 / dari 25 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

dari minimum, berbagai skala, sampai maksimum. Proses pencarian kebenarannya (berfilsafatnya) dengan cara mempetakan posisi titik koordinat dalam hubungan antara satu hal dengan yang lain. Kompatiologi melalui ritual dekon-kompatiologi adalah kegiatan menginstalasi mekanisme pengukuran subjektif pada manusia, sehingga manusia tersebut mampu memiliki kemampuan pengukuran subjektif; seperti berbagai alat ukur mekanis yang memiliki sampler berupa alat ukur biologis (minimum, skala-skala, maksimum) dengan nama masing-masing kegiatan pengukuran yang bersifat asosiatif sehingga ada hubungan dua arah antara pemrosesan informasi instingtif (pengukuran indrawi) dan intuitif (perjalanan mengejar kebenaran yang dianut). Pada manusia yang menggunakan kompatiologi hubungan dua arah antara proses instingtif dan intuitif menyebabkan timbulnya adaptasi antara kedua fungsi ini sehingga bisa saling menyesuaikan satu sama lain seiring perjalanan waktu dengan keadaan yang terus berubah-ubah; Seperti ketika mengendarai mobil, antara informasi yang diterima melalui alat ukur mekanis dan pilihan bebas manusianya untuk bertindak saling mempengaruhi. Setiap hewan (termasuk manusia) memiliki mekanisme pengukuran materi-materi di sekitar tempat hidupnya yang mempengaruhi kehidupannya. Informasi itu dipetakan polanya sehingga menghasilkan suatu konsep pencapaian tujuan / kebenaran yang dianut si hewan itu sendiri. Kemudian hewan itu mengejar kebenaran sesuai konsep yang ia petakan sendiri. Pada akhirnya ilmu itu tidak ada, yang ada hanyalah titik koordinat pemposisian diri dari suatu kegiatan yang memiliki pola yang khas.

Asal-Muasal Nama Kompatiologi Logika Komunikasi Empati Awalnya saya dituntut menentukan nama yang tepat bagi hal yang saya teliti karena kami dituntut untuk mengejar deadline. Saat itu kami diberi kesempatan untuk memberikan presentasi soal hal ini ke sejumlah dosen di fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Bila mempresentasikan suatu hal maka setidaknya harus ada namanya. Pada akhirnya ditentukan namanya kompatiologi (komunikasi + empati + o + logi); karena ada hubungan antara satu subjek dengan subjek yang lain, ada kemampuan membaca/mengempatikan penggaris data (range and scale), dan ada jenis logika yang khas yang berbeda dengan logika yang umum. Definisi Komunikasi berarti hubungan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Definisi Empati berarti memahami perasaan / kondisi pihak lain, tanpa terbawa untuk mengikuti kepentingan pihak lain dan konsekwensi mengabaikan kepentingan diri sendiri. Contoh empati: Ketika hujan saya memperlambat kecepatan mobil yang saya kendarai agar tidak ada pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang terkena cipratan air dan lumpur yang mengenang di permukaan jalan. Definisi Simpati adalah terbawa untuk berpihak ke kondisi yang dialami pihak lain. Contoh simpati: Saya memberi sedekah kepada pengemis itu karena kasihan pada penderitaan yang ia alami. Definisi Komunikasi Empati berarti hubungan antara satu pihak dengan pihak lain, dimana pihakpihak yang berkomunikasi mampu memahami perasaan / kondisi pihak lain tanpa terbawa untuk mengikuti kepentingan pihak lain dan mengabaikan kepentingan diri sendiri.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 26 / dari 26 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Dalam penerapannya Komunikasi Empati sering diselewengkan dengan disamakan dengan Komunikasi Simpati olah pihak yang bersifat normatif. Pemaknaan Komunikasi Simpati sendiri berarti hubungan antara satu pihak dengan pihak lain, dimana pihak-pihak yang berkomunikasi mampu memahami perasaan / kondisi pihak lain dan terbawa untuk berpihak ke kondisi tersebut. Jadi penyelewengan makna Komunikasi Empati menjadi Simpati memiliki resiko individu tersebut lupa, bahwa dalam berkomunikasi pihak-pihak yang terlibat memiliki kepentingan dan sudut pandang masing-masing yang individual, yang bilamana salah satu pihak berpihak ke kepentingan pihak lain, maka beresiko kehilangan penguasaan terhadap kepentingan diri sendiri atau malah dimanfaatkan secara tidak mutualistis.

Kompatiologi Kompatiologi adalah ilmu yang sifatnya memberi kemampuan pengukuran pada individu, bahwa dalam bidang apapun, suatu pemrosesan informasi selalu terdiri dari dua kegiatan; penyerapan / abstraksi data dan penerjemahan data ke dalam bahasa-bahasa dengan range & scale yang lebih spesifik pada masing-masing individu. Ketika data di tahap kegiatan abstraksi, maka data disimpan dalam bentuk sampling sebagai suatu pemposisan diri tertentu terhadap skala dan range yang mencakupinya. Suatu data yang sifatnya abstrak bisa ditranslate menjadi range bahasa yang satu dan bisa juga ke range bahasa yang lain sesuai dengan konteks yang dihadapi. Misalnya; * Karakteristik rasa makanan memiliki range yang memiliki titik referensi manis, asin, asam, pahit dan pedas. Setiap sample data tentang satu jenis karakteristik makanan disimpan sebagai satu pemposisian diri terhadap titik referensi manis, asin, asam, pahit dan pedas ;dan menjadi bagian dari range rasa makanan. * Intensitas cahaya memiliki range dari skala interval sample intensitas yang paling terang ke paling gelap. Tiap sample intensitas memiliki posisi diri terhadap range dan skala intensitas cahaya. * Range tubuh fisik manusia terdiri dari skala berupa anggota-anggota tubuh dari kaki sampai kepala. Setiap satu anggota tubuh dari yang besar sampai yang kecil memiliki pemposisian diri yang spesifik dalam range tubuh fisik manusia. Misalnya kalau kita bicara tentang hidung maka bila kita bahas dalam range dan skala: range tubuh fisik manusia -> Kepala -> kepala bagian depan / muka -> hidung. * Range perasaan binatang terdiri dari titik referensi: approve >< defense dan send >< recieve. Setiap sample projeksi perasaan binatang memiliki pemposisian diri yang spesifik terhadap range perasaan binatang tersebut. * Range komunitas keluarga terdiri dari skala ayah, ibu, anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan lain sebagainya. Tiap anggota keluarga memiliki pemposisian diri yang spesifik terhadap skalaskala / tiap anggota keluarga. Tanpa perlu belajar teori secara khusus definisi, bahasa, norma, dan lain sebagainya ;tiap manusia dan binatang mampu secara alamiah membedakan posisi sample data, skala, titik referensi ;sebagai bagian dari range dengan bahasa spesifik. Suatu pemposisian diri sampla data terhadap range bisa ditranslate ke dalam bahasa yang berbeda-beda misalnya: Sample dengan pemposisian diri rasa X pada range rasa makanan, memiliki pemposisian diri warna X pada range intensitas cahaya, memiliki pemposisian diri bagian tubuh X pada range tubuh fisik, dan memiliki pemposisian diri perasaan X pada range perasaan.

Contoh kasus: * Menginstalasi kemampuan seperti Anak Indigo pada orang dewasa normal. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 27 / dari 27 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Peta logika sistem mekanis pemetaan data yang digunakan, sbb: 1. Bisa Mentranslate Language (Range, Skala, dan lain sebagainya) yang satu ke language yang lain. 1.1. Mampu Mengobati (Mampu mentranslate range makro satu badan dari kepala sampai kaki dengan penggaris skala tujuh cakra atau lima organ penting simbolisasi logika lima elemen, ke range mikro pergelangan tangan atau sebagian dari seluruh anggota tubuh yang lain.) 1.2. Mampu melihat Roh (Mampu mentranslate bahasa range dan skala dari kondisi fisik (lembab, panas, gerah, dan lain sebagainya) ke bahasa range dan skala kondisi metafisika (setan, jin, roh, dan lain sebagainya.) 2. Mampu beradaptasi dengan bijak, mencari celah diantara norma yang berlaku. (mampu melakukan analisa, untuk kemudian datanya digunakan membuat untuk norma at the present time yang sifatnya flexible untuk mampu terus beradaptasi). 2.1. Mampu memetakan pemposisian tiap individu termasuk diri sendiri dalam struktur sosial. (Pola hubungan antar individu struktur sosial berdasarkan kemiripan karakteristik (jarak skala) : kelompok dominant (mayoritas) dan kelompok subdominant (minoritas), sehubungan darah tetapi tidak memiliki sudutpandang pemikiran yang sama, memiliki kecocokan sudutpandang tetapi tidak memiliki hubungan darah yang dekat, dan lain sebagainya ;lalu ditranslate ke bahasa range tertentu sesuai kepentingannya.)

Oleh karena itu Kompatiologi mau tidak mau akan selalu berbenturan dengan ilmu-ilmu berbasis penormaan, pelabelan, believe sistem, keyakinan akan cara yang dianggap paling benar. Ini ditujukan untuk mengingatkan para pengguna ilmu tersebut; bahwa sebuah norma yang menasehati orang untuk mengambil satu pilihan tindakan yang linier baik benarnya (dianggap satu-satunya yang benar), hanyalah satu pilihan sempit diantara banyak variasi pilihan yang bisa diambil oleh manusia yang sifatnya relatif. Mengikuti norma mentah-mentah tanpa kebebasan membuat keputusan , membuat manusia tidak menghargai kemampuan dirinya untuk melakukan pemetaan atas keadaan, dan melakukan analisa sendiri yang bebas dalam mengambil keputusan. Dengan sertamerta mengambil keputusan mengikuti norma semata, maka kita kehilangan kemampuan kita untuk memetakan keadaan secara subjektif, dan mengambil pilihan berbasis analisa sendiri yang membuka peluang-peluang yang lebih luas daripada pilihan yang disediakan bila sekedar berpikir linier.

Kompatiologi ilmu Mengalami bukan Pemikiran dan Pengkonsepan Kemarin teman saya bercerita bahwa konon sebelum Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram menjadi seorang pemimpin, dirinya hanyalah seorang yang dianggap nakal, bahkan gila. Bisa berhari-hari dia berendam di air panas lalu beberapa hari berendam di air dingin. Pernah sampai empat puluh hari, lalu kemudian dia keluar meninggalkan prilaku anehnya begitu saja dan tiba-tiba menjadi seorang pemimpin yang disegani masyarakat. Kegiatan berendam itu menghasilkan suatu ketrangka teknis dalam diri si Panembahan Senopati bahwa antara panas sekali dan dingin sekali terdapat begitu banyak skala yang dialami. Dari situ muncul pemahaman tentang range & scale, pengaris ukur dengan maksimum dan minimum yang diantara kedua ujungnya terdapat skala-skala.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 28 / dari 28 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Bicara tentang konsep pemikiran dan mengalami; Jika kita berpikir yang muncul adalah konsep dengan gambaran, imajinasi utuh. Jika dialami yang muncul adalah posisi pada skala-skala indrawi kurang atau lebih, kira-kira. Dalam hal skala ukur indrawi ada bermacam-macam misalnya; pengelihatan, pendengaran, sentuhan, pengecapan, dan lain sebagainya. Pengelihatan, pendengaran, sentuhan adalah input dari luar ; rasa/pengecapan adalah input yang terjadi di dalam diri, itu mengapa pengecapan yang paling penting sehingga dekon-kompatiologi memilih menggunakan pengecapan. Permainan dekonstruksi yang sifatnya indrawi (beda dengan dekonstruksi yang bermain di pemikiran dan kata-kata seperti Derrida) adalah suatu simulasi yang lebih sederhana dibanding kehidupan itu sendiri yang lebih kompleks. Maka dari itu biasanya seseorang yang ikut dekonstruksi misalnya dekon-kompatiologi; setelah bisa membaca skala-skala antara minimum dan maksimum, maka ada jangka waktu tertentu hingga dekonstruksi dan rekonstruksi yang sesungguhnya muncul di kehidupan sehari-hari yang real. Jadi fungsi dekonstruksi yang di ranah indrawi adalah; untuk mensimulasikan seluruh jenis pengalaman dalam hidup yang amat bervariasi, untuk dialami dalam waktu yang sangat singkat, sehingga ini bisa menjadi percepatan dalam proses learning yang dialami si manusia, selanjutnya sehingga proses pendewasaan, pematangan dan kemampuan adaptasi menjadi jauh lebih cepat dari sebelumnya. Plus point dekon-kompatiologi dari jenis dekonstruksi indrawi lain yang sudah ada adalah: * Di jaman moderen ini kita bisa menemui berbagai macam jenis minuman di supermarket terdekat sehingga tidak hanya sekedar dekonstruksi yang bersifat standar untuk semua orang misalnya sekedar merasakan manis, asin, asam dan pahit; bisa dibuat rumus susunan botol minuman tertentu untuk orang tertentu sesuai dengan memori latarbelakang orang tersebut. Kalibrasi (alat penyesuaian) ini membuat dekon kompatiologi tidak hanya sampai menguasai penggaris ukur, skala-skala yang ada; lebih jauh lagi memahami memori latarbelakang diri sendiri yang membuat pengertian tidak hanya terhadap di luar diri dan kondisi dalam diri yang dikondisikan, juga pada sejarah pengalaman diri yang membentuk diri kita sampai sekarang. * Jaman yang moderen juga memungkinkan orang dari latarbelakang apapun pergi secara bebas ke tokobuku. Variasi buku membantu pendekon-kompatiologi (pengajar) dalam mengamati pola pemerosesan data semacam apa yang terjadi dalam diri si terdekon (murid). * Banyaknya mall yang memiliki foodcourt memberikan kondisi tempat yang heterogen, banyak macam orang dengan kondisi berbeda-beda ada di sana, banyak macam resto yang menjual makanan berbeda memberikan kesannya masing-masing. Ini membuat dekon-kompatiologi tidak sekedar membaca data di dalam diri dari pengalaman mencicipi minuman, lebih jauh lagi pada kemampuan merasakan skala-skala di dalam diri dan di luar diri secara bersamaan; seperti kondisi kehidupan sehari-hari yang bebas dari pengkondisian. Maka dari itu dekon di ruang yang no-noise sangat beda hasilnya dengan di ruang yang full-of-noise. Dekon-kompatiologi membuka ranah penelitian sistem pendidikan alternatif yang bisa menggabungkan berbagai kemampuan dasar yang sifatnya indrawi sekaligus. Ranah dekon indrawi terutama yang berkaitan dengan pencicipan ini amat luas sehingga masih bisa dikembangkan ke banyak hal berbeda. Bilamana ranah ilmu pemikiran dan konseptual sudah begitu sesak variasinya karena terlalu banyak ahli dan pelakunya; ranah mengalami(eksperiencial) ini masih sedikit ahlinya, karena ahli penelitian jenis ini harus bebas, tidak boleh terpengaruh banyak teori. Dalam cara penelitiannya ranah mengalami(eksperiencial) memiliki prasyarat aturan penelitian yang cenderung mirip dengan ilmu teknis seperti elektro, tekhnik mesin, kimia, biologi, dan lain sebagainya (pragmatis). Pengalaman itu sifatnya posisi pada skala-skala indrawi; kurang atau lebih, kira-kira ; bukan konsep pemikiran yang fleksible karena bisa disugestikan dan diimajinasikan. Dalam menjelaskan secara tertulis dan menceritakan kepada non-user mau-tidak-mau pemikiran dan konsep digunakan, tetapi dalam pelaksanaan dekon-kompatiologinya konsep dan pemikiran Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 29 / dari 29 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

sebisa mungkin dihindari atau dibuat sangat amat teknis bahasanya, sehingga pembaca/pendengarnya tidak terbawa untuk berimajinasi / mensugesti diri sehingga kehilangan kegiatan mengalami karena berpikir dan berkonsep. Seperti ketika si Thomas Alfa Edison menemukan lampu pijar. Dari hasil fakta bahwa hubungan antara dua kutub arus listrik menghasilkan panas, maka bilamana ditemukan bahan yang bisa membara, tetapi tidak hancur karena meleleh ;maka akan menghasilkan cahaya yang terang. Thomas Alfa Edison mencoba satu demi satu bahan hingga ditemukan bahan yang cocok. Nah, penelitian semacam ini tidak memungkinkan model penelitian ilmiah ala ilmupengetahuan sosial yang ada perbandingan teori antar buku, kalau tidak ada runtutannya maka salah, tidak ilmiah. Dalam penelitian teknis pragmatis asalkan bermanfaat maka ilmiah, manfaat tidak diukur dari teoriteori tetapi dari fakta, misalnya; Apakah lampu pijar yang ditemukan Edison bisa menyala untuk waktu yang lama sehingga cukup efisien untuk digunakan. Latarbelakang teori dalam penelitian teknis pragmatis bisa diteliti belakangan bahkan tidak wajib, bisa menyusul setelah fakta kebergunaannya membuat suatu temuan menjadi ilmiah. Dalam kompatiologi diusahakan agar pendekon-kompatiologi (pengajar) tidak menanamkan konsep pemikiran tertentu kepada terdekon-kompatiologi (murid) selain rumus teknisnya saja. Setelah dekon dilakukan, maka bisa diamati dari hasil pascadekon pada tiap user apakah dekonkompatiologi bermanfaat secara empiris (bisa diulangi ke banyak orang). Kalau pihak-pihak berlatarbelakang ilmiah ala ilmu sosial ingin menanamkan asumsi bahwa hal tersebut tidak ilmiah, sangat amat mungkin karena penelitian kompatiologi menggunakan metode penelitian teknisempiris-pragmatis, bukan teoritis dengan perbandingan antar teori. Dalam kompatiologi seperti membahas lampunya Edison yang harus standar adalah rumus dasarnya yang teknis, penjelasan teorinya bisa dibuat belakangan versi penggunanya sendirisendiri.

Posisi Kompatiologi dalam ranah Sumberdaya Manusia Berbicara tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sumberdaya manusia ada dua sudut-pandang yang bertolak-belakang tentang cara belajar seorang manusia; * Kelompok pertama (sudutpandang pengukuran objektif) beranggapan bahwa manusia harus meningkatkan kualitas dirinya dengan belajar hal-hal dari luar dirinya, termasuk dari manusia lain. Untuk menjadi manusia yang sempurna seorang manusia harus meningkatkan kualitas dirinya. Sudutpandang ini banyak dianut oleh ilmu-ilmu sumberdaya manusia di pendidikan berbudaya barat (moderen). * Kelompok kedua (sudutpandang pengukuran subjektif) beranggapan bahwa manusia harus belajar ke dalam dirinya sendiri (bukan orang lain), karena setiap manusia sudah memiliki segala kemampuan dalam dirinya sendiri, pendalaman terhadap diri sendiri bisa membantu manusia itu untuk mempelajari dirinya sendiri dan lingkungan di luar dirinya. Sudutpandang ini misalnya seperti ilmu kompatiologi yang menggunakan mekanisme teknis; bukan ceramah, seminar & pembelajaran di ruang kelas.

Dalam praktiknya dua sudutpandang ini mengambil titik start dan finish yang berbeda meskipun pada akhirnya keseluruhan pengalaman yang diperoleh bisa saja sama. Menjadi baik atau buruk hasilnya kembali lagi pada pilihan bebas manusianya masing-masing;

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 30 / dari 30 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

* Manusia kelompok pertama (sudutpandang pengukuran objektif) akan mulai dengan mempelajari sebanyak mungkin ilmu dan kemampuan, agar pada tiap ilmu dan kemampuan yang dipelajari bisa dicapai kualitas titik maksimum. Misalnya dengan sekolah, mengikuti trainning dan seminar untuk meningkatkan Motivasi, Emotional Intelligence, Spiritual Intelligence, Positive Thinking, ilmu intuisi, spiritual, dan lain sebagainya. Pada akhirnya meskipun begitu banyak ilmu bisa diikuti pelajarannya (kelas, ceramah, seminar, training, workshop, dan lain sebagainya) tantangannya adalah, apakah si manusia tersebut setelah mengikuti kelas pada berbagai ilmu tersebut benar-benar berusaha menerapkan konsep yang dipelajari setelah keluar dari ruang kelas di dunia nyata, atau sekedar semangat dan komitment omong-kosong selama di ruang kelas saja. 1+?=2 [keadaan awal + tindakan yang bisa dilakukan atau tidak = hasil yang diharapkan] * Manusia kelompok kedua (sudutpandang pengukuran subjektif) akan memulai dengan mempelajari penggunaan praktis dari mekanisme otomatis pengukuran subjektif itu sendiri. Setelah digunakan maka dalam kehidupan sehari-hari si individu akan sadar bahwa tiap pilihan yang dipilih adalah paket untung-rugi (membeli & membayar) dengan konsekwensinya masing-masing. Tidak ada pilihan yang baik atau buruk. Pelajaran moralnya adalah; kita berusaha baik karena mengetahui konsekuensi tidak baik dari memilih bertindak tidak baik. 1+1=? [keadaan awal + pilihan tindakan yang sudah diperkirakan untung-ruginya = hasil sesuai untungrugi yang dipilih.]

Manusia kelompok kedua (sudutpandang pengukuran subjektif) yang menerapkan pengukuran dengan data mentah (data yang belum diberi judgement/dogma), setelah membuat sudutpandangnya sendiri bisa saja menceritakan judgementnya ke orang lain sama seperti yang dilakukan manusia kelompok pertama (sudutpandang pengukuran objektif); sharing pengalaman atau bersifat mengajar dogma kepada yang dianggap kurang menguasai suatu hal. Manusia kelompok kedua bisa juga memilih untuk tidak menceritakan judgementnya kepada orang lain, hanya penggunaan praktis dari mekanisme otomatis pengukuran subjektif itu saja yang diajarkan ;misalnya melalui dekon-kompatiologi kepada orang lain yang bersifat teknis bukan menggunakan ceramah, seminar, dan lain sebagainya. Manusia kelompok pertama (sudutpandang pengukuran objektif) yang berpikir dengan data matang (judgement/dogma) tidak bisa memproses data matang tersebut kembali menjadi data mentah; yang bisa dilakukan adalah meyakini sesuatu dan tidak meyakini yang lain.

Bila mau dicari benar salahnya dengan diskusi antar dua sudutpandang ini seperti membicarakan ‘lebih dulu ada telur atau ayam’ tentunya kedua pihak yang berdiskusi akan bertengkar tanpa ada habisnya. * Manusia kelompok pertama (pengukuran objektif) akan mengatakan bahwa pilihan yang diambil manusia kelompok kedua salah, karena manusia itu tidak memiliki kemampuan untuk memilih pilihan yang benar (cenderung liar seperti binatang/ instingtif & naluriah) bilamana dibiarkan bebas dari dogma, ajaran Tuhan, ajaran norma, etika, dan lain sebagainya. * Manusia kelompok kedua (pengukuran subjektif) akan mengatakan bahwa pilihan yang diambil manusia kelompok pertama untuk mengikat diri pada dogma salah karena; membuat manusia itu tidak mampu kontrol diri misalnya dalam hal bermoral bilamana suatu saat di kondisi tidak terikat pada dogma. Manusia jenis ini dianggap bisa bicara yang baik-baik, tetapi belum tentu mampu melakukan di kehidupan sehari-hari di luar dogma, karena tidak mengerti benar dogma warisan pihak lain yang bukan hasil pertimbangan pengukurannya sendiri. Bilamana mendapat pengajar Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 31 / dari 31 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

dogma yang tidak berniat baik, maka manusia kelompok pertama akan mudah dibelokkan ke halhal yang tidak baik. Manusia kelompok pertama juga akan tidak bebas bergaul karena berusaha membenarkan dogmanya sendiri dan menyalahkan dogma orang lain. “Kemudian disuruh beberapa orang Farisi dan Herodian kepada Yesus untuk menjerat Dia dengan suatu pertanyaan. Orang-orang itu datang dan berkata kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur, dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah dengan segala kejujuran. Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak? Haruskah kami bayar atau tidak?" Tetapi Yesus mengetahui kemunafikan mereka, lalu berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mencobai Aku? Bawalah ke mari suatu dinar supaya Kulihat!" Lalu mereka bawa. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" Mereka sangat heran mendengar Dia.“ (Markus 12:13-17, lihat juga di Matius 22:15-22, Lukas 20:20-26)

Pada awalnya saya sempat berpikir bahwa dekon-kompatiologi dapat mengakibatkan orang kehilangan agama, keyakinan, kepercayaan dan segala label-labelnya. Saya sempat kahwatir tentang masalah-masalah yang bisa saja timbul bila terjadi demikian. Ketika saya masuk ke pengamatan terhadap kondisi terdekon pasca dekon-kompatiologi, rupanya yang terjadi berbeda dengan yang saya perkirakan. Pasca dekon-kompatiologi, para terdekon justru berusaha mendalami agama, keyakinan & kepercayaan-nya sendiri-sendiri dengan lebih mendalam; tidak bisa dipengaruhi dan juga tidak ingin mempengaruhi orang lain dalam hal agama, keyakinan & kepercayaan tersebut; Sebab mereka menganggap agama, keyakinan & kepercayaan sebagai proses pendalaman identitas diri sendiri, seperti orang membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dan membutuhkan budaya untuk memiliki identitas dalam bermasyarakat.

Evolusi dari Manusia Purba, Manusia Moderen sampai Kompatiologi Meski teknologi terus berkembang, manusia dan permasalahannya pada dasarnya tidak berubah yaitu perjuangan untuk bertahan hidup (kemampuan survive), dan hubungan antara satu manusia dengan manusia lain. Yang berubah adalah asesoris, pernak-pernik yang ada di sekitar kehidupan manusia, entah itu yang berwujud fisik seperti teknologi yang semakin canggih atau yang berwujud non fisik seperti misalnya paradigma kita entah itu yang sifatnya ilmu-pengetahuan yang dianggap science atau yang dianggap non-science. Zaman dengan segala asesorisnya adalah siklus berputar-putar yang tidak pernah selesai, terus saja berulang. Bila waktu kita runtut dari jaman manusia purba yang dekat sifatnya dengan binatang hingga manusia saat ini, maka telah terjadi perubahan mode tentang cara manusia itu menilai dirinya entah itu dalam hal ilmu bumi (ilmupengetahuan alam), ilmu manusia (ilmupengetahuan sosial) dan ilmu langit (ilmu ketuhanan), entah yang dianggap science atau dianggap metafisika. Menurut versi pemikiran kompatiologi, pada awalnya manusia tidak berbeda jauh dengan binatang. Mungkin orang menyebut zaman tersebut sebagai zaman sebelum zaman animisme. Orang zaman sekarang mengatakan bahwa orang di zaman animisme menyembah pohon, menyembah laut, gunung, menyembah sungai, menyembah batu, dan lain sebagainya. Anggapan ini muncul karena manusia di zaman itu memandang segala benda hidup atau mati di sekitarnya dengan memberikan perhatian yang egaliter (sederajat / senilai) dengan menyamakannya sebagai data. Data tentang manusia diperlakukan sama dengan data tentang benda hidup dan benda mati yang lain dalam hal pemposisian dirinya terhadap penggaris ukur internal (range dan skala), yang membedakan adalah konteks dan bahasa yang terikat dengan data tersebut. Maka dari itu anjing dan binatang lainnya

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 32 / dari 32 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

tidak perlu sekolah sudah mengerti bagaimana cara menjaga dirinya. Bisa tanpa perlu diajari karena kemampuan membaca pemposisian diri tiap data berbeda terhadap range dan skala yang ada dalam konteks dan bahasa tertentu. Zaman animisme mengakibatkan persaingan ala hukum hutan rimba yang dimana dalam kegiatan menganalisa dan menentukan strategi yang sifatnya untuk survive saat ini saja, setiap individu berusaha memperluas range cakupan kekuasaannya; seperti binatang berusaha menentukan ruangruang kekuasaannya di hutan yang tidak dibatasi tembok-tembok. Maka klimaks dari jaman animisme adalah chaos seperti diceritakan di kitab-kitab Hindu dimana antar manusia saling bertarung untuk berkuasa. Situasi chaos ala hukum hutan rimba itu berakhir dengan datangnya jaman Hindu dimana mulai dibuat tembok-tembok pemisah yang mengatur, mulai dari sistem keyakinan dengan dewa-dewa yang punya range kekuasaan sendiri-sendiri dengan urusan tanggungjawab wilayah kontekstual sendiri-sendiri sampai aturan kasta yang membagi masyakarat dalam ruang-ruang range hak dan kewajiban yang tidak 100% adil tetapi dapat menyelesaikan situasi chaos yang diakibatkan oleh pemahaman egaliter ala animisme. Zaman hindu pun memiliki titik klimaks soal pengelompokkan yang semakin tidak adil hingga akhirnya muncul pemahaman budhisme untuk menyeimbangkannya, dengan menekankan proses hidup dari lahir sampai mati lahir kembali. Budhisme berhasil menyeimbangkan antara sisi hindu yang menekankan pada kedewaan dan budhisme yang menekankan pada ketiadaan dan ada akhir dari reinkarnasi untuk menuju suatu kondisi nirwana. Lalu dari akar yang lain muncullah monotheisme. Hindu-Budha dan monotheisme bertemu di abad saat ini. Saat ini system pendidikan yang berasal dari dunia barat sangat terpengaruh oleh monotheisme. Dalam monotheisme digunakan labeling untuk pengelompokkan ruang seperti di zaman hindu yang telah saya jelaskan di atas, sekaligus sistem sebab akibat sehingga dibutuhkan beberapa peran yang berlawanan yang saling mengkambinghitamkan. Untuk mengadaptasi keduanya menjadi satu, maka pemposisian antara manusia dengan penciptanya dibuat berjarak secara objektif dimana manusia mampu menyentuh hal-hal fisik dan hal ketuhanan dikategorikan metafisika yang tidak logis yang tidak tersentuh secara langsung oleh manusia. Di zaman monotheisme ada labeling yang dianggap bersifat science dan ada yang dianggap metafisika, dua-duanya sama-sama bersifat labeling dan sama-sama saling mengkambinghitamkan. Dalam masing-masing peran baik peran science atau peran metafisika memiliki sistem hirarki sendiri-sendiri yang tidak egaliter. Dalam peran yang dianggap science membuat tingkatan gelar yang dilabelkan telah secara sah memiliki pengetahuan sampai tingkat tertentu dengan adanya ijasah D3, S1, S2, S3, dan lain sebagainya. Dalam peran science juga mengelompokkan diri dalam kelompok kecil-kecil dengan konteks sendiri-sendiri yang saling tidak bersentuhan seperti ada ilmupengetahuan alam dan ilmupengetahuan sosial, lalu misalnya lmupengetahuan sosial memiliki bagian lagi seperti komunikasi, sosiologi, antropologi, psikologi, politik, hukum, dan lain sebagainya dengan bagian lagi yang lebih kecil, ;ini juga terjadi di ilmupengetahuan alam. Dalam peran metafisika juga membuat aliran-aliran kesektean entah berlabel agama, spiritual, ilmu tertentu, dan lain sebagainya dengan aturan tingkat hirarki sesepuh, guru & murid versi sendirisendiri. Nah, di mana peran kompatiologi? Kompatiologi adalah penggalian kembali system survival skill alami manusia purba, sebelum zaman animisme yang telah terkubur sangat dalam di dalam diri kita masing-masing. Pada dasarnya manusia membutuhkan semua bagian dari dirinya, tidak bisa dipilih-pilih mana yang diistimewakan dan mana yang diabaikan. Di jaman moderen ini ada manusia yang berfokus pada survival skill dengan memperkuat tubuh fisik agar sehat, kuat dan mampu bersaing secara fisik Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 33 / dari 33 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

(berkelahi) dengan manusia lain. Ada pula yang mementingkan survival skill otak untuk mampu lebih pandai dalam bersaing dengan manusia lain. Ada pula yang mementingkan spiritual sebagai alat survival skill untuk mendapatkan banyak pendukung sekeyakinan, menggunakan kekuatan kelompok, dan perasaan aman karena banyak teman. Pemfokusan secara sepihak pada kekuatan fisik saja, otak saja dan spiritual saja tidak mampu menggantikan survival skill alami yang sangat mendasar yang telah hilang seiring dengan perkembangan manusia; survival skill yang pada jaman manusia primitif telah berhasil membuat spesies manusia tetap survive hingga akhirnya menjadi penguasa dunia diantara makhluk-makhluk hidup yang ada di dunia ini. Manusia yang berkulit tipis, hampir tidak memiliki alat bantu pertahanan hidup apapun tetapi mampu memenangkan pertarungan untuk tetap survive dan menguasai dunia. Kompatiologi bukan salahsatu bagian dari ilmupengetahuan alam, ilmupengetahuan sosial, ilmu metafisika, ilmu agama, dan lain sebagainya. Kompatiologi adalah klimaks dari ketidakpuasan manusia terhadap sistem yang digunakan saat ini, dimana bangunan hirarki dan pengelompokkan tidak lagi mampu mewakili bidangnya masing-masing dengan baik. Apakah dengan pengelompokan ilmu dapat menjawab permasalahan di dalam masyarakat? Dalam kompatiologi semua pribadi termasuk saya Vincent Liong pendirinya hanyalah data, maka dari itu tidak ada pematenan. Yang telah menguasai kompatiologi bisa saja berjualan ilmu kompatiologi dengan tarif yang ditentukan sendiri, semua murid termasuk murid saya sendiri bisa saja menyaingi gurunya. Semua pengguna kompatiologi bisa mengembangkan ke bidang sendiri dengan kepentingan sendiri-sendiri. Manusia yang telah terjangkit kompatiologi secara mental tidak tergantung pada keberadaan pendidikan formal, atau mendapat pelajaran moral dari penuntun spiritualnya. Dia tahu bagaimana caranya agar hari ini dia masih bertahan hidup, mendapat makan & tempat tinggal, mendapat kasih sayang & perhatian dari keluarga, teman atau rekan kerjanya. Yang penting tahu pemposisian diri dalam peta keadaan sekitar saat ini dan bagaimana bisa hidup dengan kualitas hidup yang sama atau lebih dari yang sudah ada saat ini, hingga akhirnya dia mati juga. Tentunya kompatiologi pun akan punah seiring dengan berjalannya waktu ketika ilmu kompatiologi tidak lagi menjawab konteks permasalahan yang ada di “saat ini“ versi sekian waktu yang akan datang; seperti zaman manusia purba, zaman animisme, jaman hindu-budha, jaman monotheisme, dan lain sebagainya yang terus bersiklus sepanjang sejarah kehidupan manusia dengan nama yang berubah-ubah untuk menjaga keseimbangan alam.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 34 / dari 34 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

IV. Metode Penelitian Kronologis Proses Penelitian dalam Kompatiologi Seperti sudah diceritakan di bab-bab sebelumnya, penelitian kompatiologi (sebelum pencetusan nama kompatiologi itu sendiri) didasari oleh sifat defensif Vincent Liong untuk menghadapi judgement-judgement teori psikologi yang membuat cerita yang berbeda dengan sejarah hidupnya sebelum di-cap anak Indigo. Masalahnya, tidak ada satupun buku yang bisa memberikan jawaban tentang ranah kegiatan sebelum judgement dan punishment. Ada buku yang menanyakan hal tersebut tetapi tidak mampu memberikan penyelesaian masalahnya. Hal ini membuat satu-satunya pilihan untuk menemukan penyelesaian masalah adalah dengan penelitian dari nol, tidak ada buku yang bisa dijadikan sumber bahan, tidak ada ahli yang bisa dijadikan narasumber dan bersedia diajak diskusi. Sebab, orang yang sudah terpancing oleh budaya judgement tidak akan berjalan mundur mencari ada apa sebelum judgement, secara tampak luarnya judgement lebih menarik daripada yang sebelum judgement. Dalam judgement ada keyakinan, idealisme, perasaan bangga merasa menguasai atau mengerti judgement tersebut. Ada tiga tahap penelitian kompatiologi; * Melakukan Eksperimen untuk mencari Pola kerja (Januari 2005 – Juli 2006) Seperti yang dilakukan oleh para ahli kimia di laboratorium dalam mencari rumusan reaksi kimia yang baru, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di ranah sebelum judgement dan punishment maka Vincent Liong harus mencari pola kerja, pola sebab akibat yang berlaku hukumnya di ranah tersebut. Vincent Liong sendiri harus mengosongkan diri, menghindari membaca buku dan hal-hal lainnya yang dapat memberikan input luar kepada dirinya, jadi dikondisikan agar input hasil eksperimen saja yang mempengaruhi pikirannya. Awalnya Vincent Liong merekrut para penggemar tulisannya untuk menjadi sukarelawan percobaan dan mereka yang memiliki kepercayaan terhadap Vincent Liong. Berbagai kegiatan eksperimen mulai dari mengamati reaksi orang tersebut dalam melakukan pengamatan terhadap rumah, toko, makanan, barang-barang, suara, hingga campuran minuman. Selama tahap ini yang berjalan mulai awal tahun 2005 – pertengahan tahun 2006 Vincent Liong memilih bahan-bahan yang dianggapnya paling tepat yaitu minuman dalam botol kemasan. Jenisjenis minuman bisa dicari yang resikonya paling kecil seperti teh, minuman buah-buahan, harus menghindari minuman beralkohol dan bersoda, mengurangi kopi dan susu. Vincent Liong juga menyelidiki rumusan apa yang paling efisien dan tepat sasaran untuk menghasilkan kemampuan yang diharapkan pada pesertanya. * Mengkorelasikan dengan ilmu yang sudah ada (Juli 2006 – Desember 2007) Pada tahap kedua penelitian ini setelah metode dekon-kompatiologi selesai dibuat, Vincent Liong merekrut peneliti-peneliti dengan keahlian yang berbeda dengan dirinya. Pada tahap ini peneliti yang direkrut adalah para ahli teori di bidangnya masing-masing yang mengikuti dekonkompatiologi lalu kemudian menulis buku-bukunya versi masing-masing mengenai apa yang dialami di pengalamannya masing-masing pasca dekon-kompatiologi, dan teori-teori tentang dekon-kompatiologi itu sendiri. Setelah tulisan-tulisan tersebut selesai dibuat, para pengguna yang membuat penelitian teori tersebut menjelaskannya kepada Vincent Liong, yang sebelumnya telah membatasi diri untuk sesedikit mungkin membaca buku. * Membuat penjelasan yang tunggal yang merangkum semuanya (Januari 2008 – sekarang) Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 35 / dari 35 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Dari berbagai sudutpandang tentang dekon-kompatiologi dan pola umum yang tampak secara empiris terjadi pasca dekon-kompatiologi pada para peserta dekon, Vincent Liong menulis penjelasan yang lebih singkat dan sistematis tentang dekon-kompatiologi.

Kompatiologi dan Grounded Theory Sekitar setengah tahun yang lalu Cornelia Istiani penanggungjawab penelitian kompatiologi yang berbackground Matematika dan Psikometri sempat mau meneliti kompatiologi dengan pendekatan penelitian kuantitatif, lalu tiba-tiba berubah arah ingin menelitinya dengan metode yang mirip dengan Grounded Theory. Mengapa kompatiologi tidak bisa diteliti dengan metode ilmiah yang umum seperti misalnya kuantitatif dan kuantitatif yang umum, lalu harus mirip dengan Grounded Theory yang bersifat agak kualitatif, yang masih menjadi persengketaan apakah ini pendekatan penelitian kualitatif atau model baru… Kita perlu membahas dulu apa perbedaan antara kuantitatif dan kualitatif, baru memudian kita membahas Grounded Theory.

METODE PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF Kalau kita membahas metode penelitian ilmiah dengan metode KUANTITATIF maka ada urutan tahapan penelitian sbb: 1*Memformulasikan permasalahan yang akan diteliti. 2* Membuat konsep disain penelitian. 3*Membuat instrumen untuk mengumpulkan data. 4*Memilih / menentukan sample. 5*Menulis proposal penelitian. 6*Mengumpulkan data. 7*Memproses data. 8*Menulis laporan penelitian. Proses ini memiliki informasi yang pasti; mulai dari memformulasikan permasalahan sampai menulis laporan penelitian dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk setiap tahapan penelitian ; semua sudah bisa dikonsepkan sejak awal sebelum penelitian dimulai. Seorang peneliti kwantitative bisa membuat banyak sekali penelitian dalam seumur hidupnya, penelitian ini membutuhkan peneliti yang benar-benar mengerti aturan birokrasi tentang metodologi semacam apa yang berlaku dan hasil apa yang diharapkan. Jadi kerja peneliti sama seperti kerja tukang atau robot yang sekedar mengikuti prosedur yang berlaku sesuai aturan yang sudah dibakukan. Lain lagi pada penelitian ilmiah dengan metode KUALITATIF yang umum. Pada metode kualitatif yang umum, yang dipastikan sejak awal sebelum penelitian hanya tahapan penelitian: 1*Memformulasikan permasalahan yang akan diteliti. dan 8*Menulis laporan penelitian. Tahap lainnya (tahap 2-7) bisa disesuaikan sendiri oleh penelitinya, tergantung pada subject atau object yang diamati. Sama seperti metode kuantitatif, penelitian kualitatif yang umum juga berpedoman pada teori yang sudah ada di buku literature, hanya prosedural dalam melaksanakannya-nya lebih bebas daripada penelitian kuantitatif. Penelitian baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif memiliki tujuannya masing-masing: Kuantitatif bertujuan untuk membuat kesimpulan yang berlaku umum. Kualitatif secara umum bertujuan untuk membuat kesimpulan yang berlaku spesifik. Keduanya memiliki persamaan yaitu bertujuan mengakhiri penelitian dengan kesimpulan.

KOMPATIOLOGI DAN GROUNDED THEORY

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 36 / dari 36 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Bagaimana dengan Kompatiologi yang menurut Cornelia Istiani lebih mirip dengan Grounded Theory? Pada Grounded Theory masalah, teori dan eksperimen diformulasikan secara berkala, tergantung pada jumlah data yang terkumpul. Penelitian dengan metode Grounded Theory tidak memiliki kepastian tentang jumlah waktu yang dibutuhkan, arah perkembangan teori di masa yang akan datang, bahkan tujuan akhir dari penelitian itu sendiri tidak diketahui. Seperti metode penelitian Grounded Theory, yang ada pada seorang peneliti dengan kompatiologi hanyalah semangat, konsistensi yang tinggi, tidak perlu orang pintar. Peneliti tidak mengharapkan penelitiannya berakhir dengan kesimpulan yang dibakukan. Penelitian dijalankan seumur hidup si peneliti, kalau belum selesai maka dilanjutkan oleh penerus yang biasanya murid pewaris si peneliti, inipun bisa berlangsung sekian turunan. Penelitian kompatiologi yang mirip dengan metode Grounded Theory itu seperti seorang nabi dengan kitab sucinya. Anda tidak akan memahami ilmu hanya dengan membaca salahsatu tulisan atau karya warisan si peneliti, atau membaca definisi seperti yang dilakukan ilmu kualitatif dan kuantitatife yang begitu terobsesi untuk mengakhiri penelitian dan memberi kesimpulan atau definisi akhir yang berlaku mutlak pada penelitiannya. Kalau anda mau memahami ilmu yang dibuat dengan penelitian dengan metode Grounded Theory maka anda harus mengikuti perkembangan penelitian si peneliti seumur hidup atau membaca riwayat karya si peneliti mulai dari awal perjalanan kariernya hingga update terakhir, atau minimal membaca riwayatnya dua sampai tiga tahun terakhir. Grounded Theory lebih mirip dengan pencarian jatidiri bagi tiap penelitinya sendiri. Dalam Grounded Theory karena bersifat seperti pencarian jatidiri, maka tidak ada jarak antara peneliti dan yang diteliti. Bahkan pihak yang diteliti turut menjadi peneliti. Jadi peran pemimpin penelitian hanyalah sebagai pengumpul data dari masing-masing pengguna yang menjalankan budaya pencarian seperti mencari jati diri, yang berlangsung seumur hidup yang dilaporkan kembali ke pemimpin penelitian atau dibicarakan antar pengguna untuk dimanfaatkan data perkembangan terbarunya bersama dengan pengguna yang lain. Dalam kompatiologi penelitian tidak dimulai dengan mencari jawaban akan apa yang sekarang disebut sebagai kompatiologi. Awalnya Vincent Liong hanya menuliskan hasratnya untuk mencari diri sendiri dalam buku “Berlindung di Bawah Payung” (Grasindo:2001) yang bersifat pengamatan objektif terhadap apa yang ada di luar diri Vincent, lalu berlanjut ke buku Menjadi Diri Sendiri (Sydney 2002) yang bersifat pengalaman diri sendiri yang dibahas secara subjektif, ketika sekolah setingkat SMU di Sydney Australia. Lalu menulis kumpulan tulisan yang diberi judul “Saat Kiamat dalam ruang Individu” (Jakarta, 2003) yang lebih mencari pengertian-pengertian ke dalam diri sendiri. Sempat tidak naik kelas lalu pindah profesi sebagai pengajar ilmu kundalini sekaligus anak Indigo di ranah metafisika (Jakarta, Juni 2004). Lalu berbalik lagi, berhenti mengajar kundalini menjadi anti metafisika dan sok ilmiah dengan memulai eksperimen dengan manusia, untuk mencari pola-pola yang saat ini disebut kompatiologi (mulai Januari 2005). Itu berjalan selama 1 ½ tahun hingga pertengahan tahun 2006 ketika mulai mempersiapkan penulis-penulis kitab kompatiologi yang suka membahas bentuk eksternal, prilaku pasca-dekon dari pengguna kompatiologi, yang berambisi menjadikan kompatiologi seperti ilmu sekolahan. Hingga akhirnya melihat bahwa jalan untuk kompatiologi tidak cocok melalui jalan pendidikan resmi, maka pindah haluan ke kalangan pelaku usaha (praktisi non sekolahan) pada awal tahun 2007. Lalu kembali ke pembahasan “survival for the fittest” yang sangat dipengaruhi oleh emosi Vincent Liong ketika meninggalkan sekolah dan harus belajar untuk survive sendiri di bulan April 2007. Sempat membahas hal teknis-mekanistik dari kompatiologi, lalu semakin agak metafisika dan spiritual lagi dengan terbawa membahas intuisi dan insting sekitar Juni 2007, lalu lari lagi ke pembahasan feeling secara umum (bukan insting atau intuisi secara terpisah) di bulan Agustus 2007, hingga ke pencerahan matematika yang mulai kemarin saya bahas (September 2007).

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 37 / dari 37 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Sebenarnya ilmunya itu-itu saja, tetapi pencarian teorinya terus bergerak tergantung data yang tersedia dan sudutpandang yang sedang diminati oleh Vincent Liong dan pengguna merangkap peneliti yang lain. Penelitian dengan metode Grounded Theory lebih mirip pada pengumpulan puzzle-puzzle diri sendiri untuk melengkapinya hingga menjadi gambaran diri yang lebih utuh.

KESIMPULAN ATAU EFEKTIFITAS & EFISIENSI Pada kompatiologi pengumpulan data berupa pengalaman-pengalaman dari ‘pengguna’ (yang merangkap peneliti) dan kepala penelitiannya berkembang dengan tujuan akhir yang berbeda dari tujuan penelitian metode penelitian ilmiah yang umum baik kuantitatif dan kualitatif. Kalau kuantitatif dan kualitatif tujuan akhirnya adalah menemukan kesimpulan, maka kompatiologi tujuannya adalah menemukan system yang lebih efektif dan efisien dalam melakukan transfer pengalaman. Seperti perkembangan teknologi komputer dimulai dari komputer yang lambat dengan ukuran sebesar sebuah kamar tidur, hingga laptop kecil yang ringan dan praktis untuk dibawa ke mananapun kita pergi, yang berkali-kali lipat lebih cepat dibanding komputer yang sebesar kamar tersebut; Kompatiologi tahap akhir hanya membutuhkan kegiatan sampling pencicipan minuman untuk transfer pengalaman dengan berbagai variasi rumus yang diteliti selama sekian tahun mengerjakan penelitian kompatiologi. Rumus sirkuit kompatiologinya sendiri awalnya suka berubah-ubah media dengan sirkuit yang agak terlalu tetap karena ada patokan dua dimensi asin-manis (sumbu X) dan pahit-asam (sumbu Y). Lalu setelah ditemukan media yang paling efisien, maka yang agak berkembang menjadi fleksibel adalah variasi rumus penyusunan samplingnya, yang kemudian bisa dikembangkan menjadi rumusrumus dalam penerapan lain oleh masing-masing penggunanya. Pada akhirnya menjalani hidup itu sendiri bagi setiap orang adalah perjalanan pencarian yang tidak berujung. Tidak ada kata lulus untuk belajar dari pengalaman...

Dilema: Pragmatis VS Teoritis Ilmu yang saya kembangkan (kompatiologi) sifatnya pragmatis, praktis, bukan teoritis. Ciri khas ilmu prakmatis adalah segala sesuatu diukur berdasarkan kebergunaannya di dunia nyata / fisikal. Contoh ilmu pragmatis: ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu elektro, ilmu tekhnik, dan lain sebagainya. Dalam ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu elektro, ilmu tekhnik, dan lain sebagainya tidak ada istilahnya konseling, ceramah, pengajaran dogma, dan lain sebagainya yang dianggap ilmiah, sebab object berupa mesin tersebut tidak bisa diajak berpikir dan berfilsafat. Sesuatu bisa dikatakan ilmiah dan empiris ala pragmatis bilamana memiliki kerangka kerja teknis mekanistik yang pasti / cukup konsisten sebab-akibatnya. Tidak pernah bisa dan tidak etis seseorang memaksa seorang ahli ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu elektro, ilmu tekhnik, dan lain sebagainya untuk menguji suatu rumus, asumsi, dan lain sebagainya yang ilmiah empiris ala pragmatis dengan cara membandingkan dengan teori-teori para filsuf ala ilmu filsafat, lalu bila tidak sesuai maka dikatakan tidak ilmiah. Sebaliknya seorang pragmatis tidak akan bisa dan tidak etis pula memaksa seorang teoritisi untuk membuktikan kebenaran ilmiahnya dengan kerangka pembuktian ala orang pragmatis yang harus melalui eksperimen fisikal / di dunia nyata. Kalau ilmu teoritis pemikiran adalah ilmunya, dalam ilmu prakmatis samasekali harus mengabaikan suatu asumsi yang sifatnya pemikiran, suatu pemikiran akan terbukti ilmiah dan empiris ala pragmatis setelah melalui eksperimen laboratorium yang sifatnya fisikal bukan melalui permainan logika dan perbandingan teori ala teoritisi. Seperti pada kompatiologi melalui kerangka prosedur

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 38 / dari 38 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

eksperimen dekon-kompatiologi bisa ditemukan apakah mekanisme tersebut berguna, bila berguna maka ilmiah dan empiris ala pragmatis. Salah satu point yang paling penting dari ilmiah dan empiris ala pragmatis yang membedakannya dengan ala teoritisi adalah; bahwa seseorang yang tidak perlu pintar di pemikirannya harus mampu membuktikan kebenaran produk ilmiah empiris ala pragmatis tersebut. Misalnya: Seorang yang cukup mengerti membaca dan menulis harus bisa menggunakan kalkulator untuk menghitung, tanpa perlu mempelajari pemikiran dan teori-teori berkaitan dengan konstruksi teknis kalkulator tersebut. Dalam ’dekon’-kompatiologi (dekonstruksi) seseorang yang pernah mengikuti dekonkompatiologi 1-2x saja tanpa perlu membaca buku-buku berkaitan dengan kompatiologi, standarnya sudah bisa merancang rumus minuman dekon-kompatiologi tanpa bimbingan pengajar (pendekon independent), meskipun tetap di bawah pengawasan pendekon independent agar tidak terjadi salah prosedur. Semoga sebagai peneliti di ranah yang berbeda (pragmatis VS teoritis) kita tidak saling melanggar batas masing-masing di kemudian hari.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 39 / dari 39 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

V. ’Dekon’–Kompatiologi (Dekonstruksi) Mungkin akan lebih mudah mendapat gambaran mengenai proses acara dekon-kompatiologi bilamana saya mencoba menceritakan contoh real sebuah sesi dekon-kompatiologi dari kacamata orang yang turut terlibat dalam acara dekon-kompatiologi di hari tersebut daripada ditulis dengan bahasa yang lebih formal.

Pengalaman Sebagai Pendekon-Kompatiologi... PENDAHULUAN Pendekon (Pen-Dekonstruksi) adalah sebutan bagi pengajar ilmu Kompatiologi. Ada dua macam tipe pendekon kompatiologi: * Pendekon-Tandem yang sekedar sebagai asisten membantu pendekon independent dalam melakukan tugasnya menjual jasa dekon-kompatiologi kepada ’terdekon’ (murid atau peserta dekon-kompatiologi) tanpa mendapatkan imbalan dan penggantian biaya akomodasi (transport dan uang makan). * Pendekon-Independent yang menjual jasa dekon-kompatiologi dan bertanggungjawab pada program tersebut. Fenomena yang menarik pada akhir-akhir ini adalah pertambahan jumlah pendekon-tandem yang amat pesat, dengan jumlah pendekon independent yang hampir tidak berubah dalam beberapa bulan terakhir, dan jumlah terdekon yang menurun karena adanya banyak gangguan; dari konflik dan konspirasi untuk menggulingkan kompatiologi. Kadang-kadang untuk mendekon seorang terdekon saja bisa datang antara lima sampai sepuluh sukarelawan pendekon-tandem yang bekerja tanpa mendapat upah atau penggantian biaya akomodasi, malah ada yang secara khusus menelepon pendekon independentnya untuk bertanya;“Kapan ada dekon lagi? Sudah rindu jadi pendekontandem.“ Bayangkanlah... Seorang pendekon tandem rela naik taxi dari rumahnya ke mall tempat dilakukan dekon-kompatiologi, rela membayar biaya makannya sendiri dalam tiap acara dekon tersebut, tidak kenal pula siapa terdekon yang datang pada hari tersebut; ini semua dilakukan dengan inisiatif sendiri tanpa meminta uang pengganti pengeluaran-pengeluaran tersebut, beberapa yang bekerja sebagai karyawan mengambil cuti atau men-cancel segala kegiatannya hanya untuk datang ke acara dekon. Mulai dari yang tinggal di Jakarta, sampai yang tinggal dan bekerja di Bandung ;secara rutin pergi-pulang ke Jakarta sekedar untuk menjadi pendekon-tandem dengan biaya sendiri. Malah ada yang cukup ekstrim sampai secara rutin setiap minggu (selama beberapa minggu berturut-turut) menginap tiga hari di rumah Vincent Liong untuk menjadi pendekon dan menemani Vincent Liong jalan-jalan. Tidak sedikit yang kalau ditanya, telah menjadi pendekon tandem sebanyak sepuluh sampai duapuluh kali dan tidak memulai menjadi pendekon independent yang dapat mencari nafkah dari kegiatan dekon kompatiologi yang biasanya dihargai antara Rp.300.000,- sampai Rp.500.000,- per peserta tanpa harus menyetor uang franchise ke pendiri kompatiologi Vincent Liong. Meski Vincent Liong menawarkan secara gratis solusi yang lebih murah bahkan bisa menghasilkan nafkah tambahan dengan menjadi pendekon, kok malah ngotot mau jadi pendekon-tandem saja.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 40 / dari 40 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Apa sich yang terjadi dengan mereka sehingga mereka tergila-gila untuk menjadi pendekon-tandem (asisten dari pendekon independent yang tidak mendapatkan gaji yang biaya pengganti akomodasi) ?

PERJALANAN KERJA PENDEKON TANDEM Pendekon-Tandem memulai perjalanannya dengan datang tepat waktu di foodcourt di sebuah mall, dimana pendekon-independent dan kliennya telah menunggu. Baik pendekon independent dan pendekon tandem diwajibkan untuk datang tepat waktu. Setelah semua ‘peserta’ telah datang (terdekon, pendekon-independent dan pendekon-tandem), biasanya pendekon-independent dan pendekon-tandem pergi ke supermarket untuk berbelanja minuman yang dibutuhkan untuk acara dekon hari tersebut, termasuk membeli gelas kosong plastik untuk satu kali pakai dan sedotan. Sesampainya di lorong bagian minuman di supermarket terdekat, pendekon-ndependent selaku penanggungjawab memberikan instruksi singkat sbb: “Pilih minuman yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik individu terdekon. Hindari minuman yang: bersoda, beralkohol, berkafein tinggi (kecuali kopi) dan susu. Cara memilihnya, lihat minuman yang ada di rak minuman, pilih dan ambil yang menurut feeling anda diperlukan, jangan dilogikalan atau diteorikan. Pilih sejumlah yang menurut feeling anda mencukupi untuk digunakan sebagai sirkuit untuk mendekon si terdekon, biasanya antara 10 sampai 20 macam minuman. Saat memilih bila menurut anda kurang lengkap jumlah karakteristik miniman (jenis minuman) maka anda bisa tambah, tetapi bila cukup maka jangan ditambah lagi. Selamat memilih bahan minuman untuk membuat sirkuit yang digunakan dalam dekon.“

Biasanya pendekon-independent lalu meninggalkan para pendekon-tandem tersebut dengan berjalan ke rak lain di supermarket tersebut, agar secara leluasa bisa memilih bahan-bahan yang dibutuhkan tanpa perasaan minder terhadap pendekon-independent. Setelah selesai maka pendekonindependent melihat minuman-minuman yang dipilih dan meminta pendekon-tandem mengganti dengan minuman yang lain bila dianggap beresiko terhadap kesehatan tubuh fisik peserta dekon. Pendekon-independent juga menentukan berapa jumlah botol minuman untuk setiap jenis minuman yang dipilih berdasarkan perkiraan berapa jumlah ’peserta’ (terdekon, pendekon-independent dan pendekon-tandem) yang ikut di hari tersebut. Yang menarik dalam tahap ini adalah ada suatu hukum keseimbangan (yin-yang) yang cukup bersifat pasti yang berlaku dalam hukum keseimbangan pada pemilihan dan penyusunan sirkuit berbagai jenis minuman dalam sebuah acara dekon-kompatiologi. Contoh: Ketika ’tadi siang’ (Selasa, 11 September 2007) saya memimpin sebuah acara dekon, saya sempat menegur Mr.R salahsatu pendekon-tandem yang terlibat memilih jenis minuman yang akan digunakan dengan mengatakan;“Mengapa jenis minuman X yang digunakan adalah yang rasa orange, bukanlah lebih tepat menggunakan yang rasa lemon“ Dalam dekon memang tidak ada ilmu pasti yang menjelaskan jenis minuman apa yang harus dipilih sebab tiap manusia mempunyai ilmu yang lebih canggih dan tepat yaitu felling yang ada hukum keseimbangannya yang bersifat pasti. Lalu Mr.R menjawab; “Awalnya saya memilih yang berwarna kuning (lemon) tetapi karena sudah banyak botol yang berwarna kuning jadi logika saya akhirnya memilih yang orange.“ Lalu saya menjawab;“Saya tidak mengatakan bahwa semua rasa harus lengkap; pilih yang perlu saja, kadang-kadang tidak selalu lengkap dan seimbang jumlah minuman yang dominant manis, asam, asin dan pahit. Ini tergantung karakteristik terdekon hari ini yang anda baca dengan feeling anda.“ Lalu Mr.R kembali mengganti botol minuman X yang rasa orange ke yang rasa lemon yang adalah sesuai feeling-nya. Hal ini bukan terbaca karena saya sakti. Kegiatan berlanjut ke proses penyusunan sirkuit botol ketika sekembalinya ke meja makan di foodcourt, saat dimulainya dekon-kompatiologi dengan minuman botol; saya menyuruh para Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 41 / dari 41 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

pendekon-tandem untuk bekerjasama menyusun sirkuit posisi botol di atas sebuah baki berbentuk persegi panjang. Yang menarik adalah selalu ada kesepakatan diam-diam yang abstrak, sulit dijelaskan; bila salahsatu pendekon-tandem menyusun sirkuit tidak sesuai dengan pola terdekon yang terbaca oleh feelingnya, maka pendekon-tandem yang lain akan merasa ada yang salah dan berkomentar, lalu membuat suatu koreksi sambil didiskusikan alasannya dengan pendekon-tandem dengan tercampuraduk antara logika formal dan felling tersebut. Kesepakatan diam-diam itu bersifat absolut seperti kalau ada sekumpulan orang meminum segelas kopi dari gelas yang sama, pada kenyataannya rasa kopi yang dialami oleh tiap orang adalah sama tetapi cara menceritakan rasa tersebut selalu bersifat individual. Maka dari itu permasalahan dari proses penulisan teori (pencatatan atas pengalaman) adalah: Pembaca tidak mampu mengalami rasa yang sama dengan pengalaman tersebut; Karena yang bisa ditulis adalah sudutpandang akan rasa yang bersifat individual, yang ketika dibaca ulang akan menghasilkan perkiraan akan rasa yang hasilnya berbeda dari rasa yang dialami si pelaku.

Dekon-kompatiologi dengan menggunakan minuman botol, lalu berjalan seperti prosedur biasa dengan urutan: 1* Memetakan (Pengelompokan/klasifikasi jenis dan rasa minuman / menyusun sirkuit di atas baki dengan memposisikan botol-botol dalam barisan dua dimensi (panjang dan lebar), dilakukan oleh Pendekon- tandem atau independent.) 2* Mengenal (diikuti oleh pendekon maupun terdekon) 2.1* Merasakan masing-masing minuman dengan urutan tertentu. 2.2* Mendeskripsikan karakterisitk data (rasa pada sample pertama sampai ketiga dan mendeskripsikan efek ke tubuh setelah sample ketiga) yang timbul setelah minum, setiap selesai meminum sample masing-masing minuman. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan. > Ini dilakukan satu putaran saja. Pada tahap ini, umum terjadi perasaan pusing dan agak mabuk pada perserta dekon-kompatiologi terutama pada terdekon. Pusing tersebut hampir sama dengan kondisi ketika seseorang sedang mabuk minuman beralkohol, perbedaannya; Kalau seseorang meminum minuman alkohol maka perasaan pusing dan mabuk terjadi akibat penurunan kemampuan otak untuk memproses data yang jumlah data-nya sama seperti pada kondisi normal. Kalau di dekon-kompatiologi perasaan pusing dan mabuk terjadi akibat pertambahan jumlah data yang diterima dalam waktu yang sama (jumlah data tidak seperti kondisi normal) sedangkan kemampuan otak untuk memproses data pada kondisi normal. Jadi kemiripan perasaan pusing dan agak mabuk seperti yang terjadi pada saat seseorang sedang mabuk minuman beralkohol terjadi karena kemampuan otak untuk memproses data tidak sebanding dengan jumlah data yang diterima. 3* Menerima (diikuti oleh pendekon maupun terdekon) 3.1* Melakukan kombinasi beberapa minuman dengan komposisi bebas. 3.2* Memprediksi karakterstik (efek ke tubuh dan efek ke perasaan yang dapat timbul setelah campuran tersebut di minum), prediksi dilakukan sebelum merasakan minuman hasil campuran tersebut. 3.3* Setelah minum hasil campuran dan merasakannya maka mendeskripsikan efek ke tubuh dan efek ke perasaan yang timbul. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan. 3.4* Membandingkan hasil prediksi sebelum dengan fakta sesudah minum. > Ini dilakukan dua putaran.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 42 / dari 42 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Pada pertengahan tahap ini, mayoritas peserta (terdekon dan pendekon) biasanya masuk pada kondisi agak fokus. Manusia, minuman, juga benda mati di sekitarnya terasa seperti individuinvidiu yang memberikan informasinya masing-masing secara agak fokus. Efek lain yang biasa terjadi pada tahap ini adalah hilangnya superego pada para peserta dekon-kompatiologi sehingga pembicaraan dan tingkah-laku yang muncul sangat jelas menunjukkan sifat asli masing-masing individu tanpa ditutup-tutupi, tidak dibuat-buat, tidak munafik, tidak gengsi dan jaga image; berprilaku apa adanya dan bersedia berkomunikasi satu sama lain tanpa ada jarak. 4* Menciptakan (diikuti oleh pendekon maupun terdekon) 4.1* Membuat perencanaan efek ke tubuh atau efek ke perasaan apa yang diharapkan muncul tanpa diketahui oleh peserta lain, ditulis di handphone masing-masing. 4.2* Membuat campuran minuman dengan bebas disesuaikan dengan harapan tersebut tanpa melihat ingredients masing-masing minuman. 4.3* Campuran minuman dibagikan dan di minum oleh masing-masing peserta. 4.4* Membuat deskripsi efek ke tubuh atau efek ke perasaan yang dirasakan. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan. 4.5* Membuat perbandingan antara harapan dan fakta. 4.6* Membuat kesimpulan. > Ini dilakukan satu putaran saja.

Hukum keseimbangan (yin-yang) yang cukup bersifat pasti ini tidak hanya sampai pada tahap pemilihan jenis minuman dan penyusunan sirkuit minuman tersebut. Biasanya sejak awal dekonkompatiologi pendekon-tandem sudah mulai bisa mendiskusikan perkiraan grafik pola pergerakan mental terdekon selama proses dekon-kompatiologi tersebut secara cukup tepat. Sebagai ilmu yang teknis-mekanistik dan bukan sekedar mengkultuskan atau manut pada guru yang ditinggikan; proses kompatiologi memungkinkan terjadinya pergerakan grafik perubahan kondisi mental terdekon dan pendekon selama acara dekon-kompatiologi yang tidak dibatasi oleh rasa takut terhadap kekuasaan guru.

PENUTUP Oleh karena itu dekon-kompatiologi yang selama ini dibahas oleh berbagai penulis kitab kompatiologi hanyalah setengah bagian dari ilmu kompatiologi. Pengalaman sebagai terdekon di acara dekon-kompatiologi membuat orang mampu membaca dan memetakan data. Lebih jauh lagi, pengalaman sebagai pendekon-tandem maupun pendekon-independent membuat orang mampu menguasai secara sadar dan cukup pasti hukum keseimbangan (yin-yang) yang secara alamiah sudah ada di setiap makhluk hidup sehingga secara teknis-mekanistik mampu menyetir dan memanipulasi (bukan dengan menanamkan sugesti) hubungan sebab-akibat yang ada di alam sekitarnya sebagai hukum yang alamiah karena mengalami pola hukum sebab akibatnya.

Mainan ini mainan yang tidak berkesudahan, seorang pendekon menghadapi terdekon seperti seorang penggemar permainan logika matematika (bukan matematika yang hanya mengerjakan soal berhitung ala pertukangan saja yang bisa digantikan oleh kalkulator) yang tidak ada habisnya mengubah hukum sebab-akibat alamiah yang bersifat pasti, dalam sebuah rumus yang satu yang bisa bertransformasi menjadi rumus yang lain. Memang seorang pendekon berlatih pada susunan jenis minuman dan para individu terdekon; lebih jauh lagi permainan logika matematika sesungguhnya adalah asosiasi lain dari permainan rumus minuman dan eksperimen terhadap terdekon, yang menciptakan rumus-rumus bentuk lain, sesuai kebutuhan pada sutuasi dan kondisi yang costumize, sesuai kebutuhan sehari-hari (lingkungan kerja, pergaulan dan keluarga) masing-masing individu pendekon sendiri. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 43 / dari 43 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Kapan saja, dimana saja, apa saja bentuknya ; data dalam konteks yang satu bisa diasosiasikan ke konteks yang lain. Tidak ada ilmu yang bisa dipatentkan, hanya bentuk rumus yang satu yang bisa bertransformasi ke bentuk rumus yang lain. Sebab ilmu apapun hanyalah sebuah posisi yang satu terhadap posisi yang lain.

Dekonstruksi ala Kompatiologi dengan menggunakan Minuman Botol ‘Standar Operation Prosedure’(SOP) Dekonstruksi ala Kompatiologi jenis ‘non verbal : non verbal’(N:N). No. 1.

Keterangan Kegiatan / Gambar Pengelompokan/klasifikasi jenis dan rasa minuman. Jenis minuman di bawah ini contoh saja, bisa berubah tergantung kalibrasi.

* Minuman Teh Hijau 1

2

Pahit 2.

Minuman Isotonik

Minuman Teh Hitam 3

4

5

6

7

8

Manis

2.1. Merasakan masing-masing minuman dengan urutan tertentu (secara urutberdasarkan susunan botol yang disusun oleh pendekon). 2.2. Mendeskripsikan karakterisitk data (efek ke tubuh dan perasaan) yang timbul setelah minum.

** 1

2

3

4

5

6

7

8

‘?’ Karakteristik Data (efek & perasaan) 3.

3.1. Melakukan kombinasi beberapa minuman dengan komposisi bebas. 3.2. Memprediksi karakterstik (efek & perasaan yang mungkin timbul setelah campuran tersebut di minum), prediksi dilakukan sebelum merasakan minuman hasil campuran tersebut. 3.3. Setelah minum hasil campuran dan merasakannya maka mendeskripsikan efek dan Kompatiologi

logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 44 / dari 44 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

perasaan yang timbul. 3.4. Membandingkan hasil prediksi sebelum dengan fakta sesudah minum. 3.5. Dekonstruksi mulai berjalan.

*** Praktikum 3a 1

2

5

8

‘?’ Karakteristik Data (efek & rasa) 4.

Praktikum 3b

Praktikum 3c 2

6

8

5

3

4

‘?’ Karakteristik Data (efek & rasa)

8 7

‘?’ Karakteristik Data (efek & rasa)

4.1. Membuat perencanaan efek dan perasaan apa yang diharapkan muncul dengan tanpa diketahui oleh peserta lain. 4.2. Membuat campuran minuman dengan bebas disesuaikan dengan harapan tersebut tanpa melihat ingredients masing-masing minuman. 4.3. Campuran minuman dibagikan dan di minum oleh masing-masing peserta. 4.4. Membuat deskripsi efek dan rasa yang dirasakan. 4.5. Membuat perbandingan antara harapan dan fakta. 4.6. Membuat kesimpulan.

**** Praktikum 4a

Praktikum 4b

Praktikum 4c

Input Kesimpulan Karakteristik Data (efek & rasa) yang diharapkan muncul

Input Kesimpulan Karakteristik Data (efek & rasa) yang diharapkan muncul

Input Kesimpulan Karakteristik Data (efek & rasa) yang diharapkan muncul

? ? ?

?

?

?

?

?

?

?

? ?

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh ter-dekon dan pen-dekon (dekonstruksi ala kompatiologi):

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 45 / dari 45 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

1. Pendekon harus telah menjalani dekonstruksi ala Kompatiologi terhadap dirinya sendiri yang dibimbing oleh orang yang menguasai Kompatiologi dan kemudian telah lolos test uji sebagai pendekon independent. 2. Banyak pihak yang mengaku-aku menguasai Kompatiologi tetapi samasekali tidak tahu-menau soal Kompatiologi. Bisa saja meniru SOP tersebut di atas berdasarkan urutan kerjanya, tetapi tanpa kemampuan pemetaan standar ala Kompatiologi maka akan menghadapi masalah ketika menghadapi ter-dekon yang didekonstruksi. Vincent Liong tidak bertanggung jawab atas penyalahgunaan Kompatiologi oleh para tukang jiplak ini dan efek samping apapun yang timbul. 3. Buat para pen-dekon disarankan memberi tahu sebelumnya resiko-resiko & akibat-akibat yang dihadapi kondisi mental ter-dekon (saat dilakukan dekonstruksi dan pasca dekonstruksi). Wajib meminta persetujuan ter-dekon prihal kegiatan dekonstruksi yang akan diikutinya. 4. Buat para pen-dekon wajib mentanyakan kepada para peserta dekon-kompatiologi sebelum acara prihal penyakit yang diderita yang bisa saja berbahaya bila mengikuti dekon kompatiologi. Pilihlah minuman yang tidak terlalu ber-resiko seperti misalnya berbagai minuman, teh, jus buah, dan beberapa minuman isotonik yang tidak terlalu keras; hindari minuman beralkohol, minuman bersoda dan minuman isotonik yang agak keras, boleh sedikit kopi dan susu kalau bisa jangan terlalu banyak. 5 Buat para pendekon, jangan meremehkan proses / kegiatan No 1 dan 2 tersebut di atas yang kelihatannya paling sepele. Bilamana pengurutan karakteristik data tidak diperhatian maka ada resiko dekonstruksinya tidak rapi, dapat mempengaruhi mental subject / ter-dekon sehingga tidak terkontrol dalam ber-relasi dengan lingkungan sekitarnya. Perhatikan juga range jenis minuman yang digunakan yang berpengaruh pada kekuatan efek dekonstruksi yang perlu disesuaikan secara costumize per kasus dekonsktruksi. 6. Biasanya setelah proses / kegiatan No 3 terhadap ter-dekon sudah mulai tampak reaksi-reaksi fisik (misal: sakit kepala, demam, muka memerah, dan lain sebagainya) dan emosional (misal: terlalu spontat sehingga kurang kontrol diri). Dalam dekonstruksi kompatiologi hal ini normal terjadi akibat perubahan sistem pengambilan keputusan di otak manusia; yang tunggal (linier saja) menjadi bioptional (fuzzy dan linier). 7. Kemampuan yang diperoleh akibat proses dekonstruksi hanya bertahan untuk waktu yang lama bilamana mengunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara praktis dan costumize. Bila hanya dipandang hanya sebagai wacana yang perlu diketahui secara objektif saja, maka kehidupan dalam lingkungan yang menggunakan logika formal / linear akan membawa diri pengguna untuk hanya menggunakan logika linier saja seperti sebelum di-dekonstruksi. 8. Jangan mencampur aduk SOP / prosedur kompatiologi dengan prosedur kegiatan lain yang sejenis agar tidak terjadi hal-hal resiko yang tidak terduga. Pengawasan & pelayanan pascadekonstruksi hanya diberikan oleh pen-dekon yang mendekonstruksi ter-dekon, tidak oleh pihak lain atau pen-dekon lain. Bilamana ini terjadi maka pen-dekon berhak untuk tidak memberikan bantuan / pertolongan kepada ter-dekon. 9. Minuman merupakan salah satu contoh dan sangat mungkin untuk diganti atau ditambahi dengan sesuatu yang lain misalnya buku, musik, dan lain sebagainya, tentunya ada penyesuaian tertentu tergantung kreatifitas pendekon.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 46 / dari 46 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

VI. Setelah Dekon-Kompatiologi Pengukuran persentase tingkat keberhasilan terhadap suatu program yang diberlakukan terhadap manusia yang keberhasilannya berkaitan dengan free choice manusia itu sendiri, tidak dapat diukur dengan mudah pada saat program selesai dijalankan. Mau tidak mau penilaian akan suatu tingkat keberhasilan harus dikaitkan dengan jangka waktu tertentu setelah selesai mengikuti program. Dalam terapi rehabilitasi ketergantungan narkoba misalnya; biasanya diawali dengan program rehabilitasi secara intensif selama setengah tahun yang kemudian tingkat ‘keberhasilannya’ (istilah umumnya ‘pulih’) diukur setelah sebulan, tiga bulan, enam bulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun setelah keluar dari sebuah program terapi intensif. Bisa saja seorang pasien kembali menggunakan narkoba hanya sehari setelah pulang ke rumah, atau bisa juga lima atau enam tahun setelah keluar dari program terapi intensif tsb, hal ini sangat berkaitan dengan free choice dan kondisi dari si pasien sendiri. Tentunya pengukuran persentase tingkat keberhasilan akan menurun seiring dengan semakin lama jarak antara waktu pengukuran dengan waktu si pasien keluar dari program terapi. Persentase tingkat keberhasilan terapi, misalkan; sebulan: 90%, tiga bulan: 80%, enam bulan: 75%, setahun: 60%, lima tahun: 50%, sepuluh tahun: 30%. Jadi dalam contoh ini tingkat keberhasilan suatu lembaga rehabilitasi ketergantungan narkoba adalah 30% dalam jangka waktu sepuluh tahun pasca terapi. Dalam konteks pengukuran persentase keberhasilan pasca dekon-kompatiologi, terdapat kesamaan masalah dengan pengukuran persentase tingkat keberhasilan di rehabilitasi ketergantungan narkoba. Meskipun kompatiologi bukan terapi penyembuhan, tetapi adalah free choice dari pengguna kompatiologi sendiri untuk menggunakan sistem yang diperoleh dari kegiatan dekon-kompatiologi atau kembali ke sistem sebelum mengikuti kompatiologi. Ada pengguna kompatiologi yang samasekali tidak merasa nyaman menggunakan sistem kompatiologi sehingga setelah dekonkompatiologi selesai dilakukan tidak memberikan hasil apa-apa. Ada pula yang setelah menggunakan sistem kompatiologi selama setahun memutuskan kembali menggunakan sistem sebelum mengikuti dekon-kompatiologi. Dalam sistem pendidikan berbasis ceramah yang cenderung mengajarkan budaya berpikir objektif dan generalisasi; sebagian besar pengguna akan menerima dan sebagian kecil tidak menerima karena merasa tidak cocok dengan diri mereka, sehingga akhirnya akan menjadi pemberontak yang tidak mau mengikuti sistem. Kelompok pengguna yang tidak mau menerima sistem tidak diperhitungkan sebagai kegagalan, sebab sistem yang disampaikan sudah dianggap sebagai kebenaran yang harus ditaati tanpa ada kesempatan untuk memilih; menerima atau tidak menerima sistem tersebut. Dalam sistem pendidikan berbasis pengukuran yang dialami oleh diri sendiri (subjektif) seperti kompatiologi; sebagian besar pengguna akan merasa tidak cocok karena sebagian besar masyarakat lebih suka berada di perasaan aman dan terjamin yang disajikan dalam doktrin-doktrin sistem pendidikan berbasis ceramah. Kemampuan untuk mengukur data di dalam dan di luar diri membuat pengguna kompatiologi mau tidak mau harus menyadari konsekwensi kebaikan dan keburukan dari setiap pilihan yang ada di kehidupannya yang menimbulkan sejenis perasaan galau dan resah yang perlu disikapi dengan kepasrahan dalam menjalani kehidupan. Kesadaran adalah anugerah yang harus dibayar dengan konsekwensi tanggungjawab yang mahal. Kesadaran itu tidak terbatas untuk orang tertentu saja, tetapi tidak untuk semua orang.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 47 / dari 47 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Keberhasilan Dekon-Kompatiologi Bicara tentang dekon-kompatiologi, orang suka bertanya apa yang biasa terjadi setelah seseorang mengalami dekon-kompatiologi. Karena dekon-kompatiologi bukanlah suatu paham, keyakinan dengan konsep yang standar; maka tingkat keberhasilan dekon-kompatiologi tidak bisa dengan mudah diperbandingkan dengan konsep yang standar. Beberapa diantara pengguna kompatiologi menulis buku mengenai kompatiologi dengan versi pengalamannya masing-masing, sehingga makin membuat bingung pembaca non-user tentang apa sebenarnya kompatiologi tersebut. Secara umum ada beberapa point yang bisa dijadikan patokan sebagai keberhasilan suatu dekonkompatiologi. * Tepat sasaran dan efisiensi waktu penyelesaian masalah. Dekon-kompatiologi memberikan kemampuan pengukuran bagi penggunanya untuk mengukur pemposisian dirinya sendiri terhadap hal-hal di luar dirinya demi mencapai tujuan versi dirinya sendiri. Biasanya orang menerima suatu teori atau konsep yang dijadikan tujuan hidup mentahmentah dari orang lain, sehingga orang tersebut ketika akan mempraktekkannya tidak kenal benar dengan konsep yang mau diikutinya. Dalam dekon kompatiologi orang bisa dengan cepat melakukan hal-hal yang menurut pengukurannya sendiri harus dilakukan tanpa mengulur-ulur waktu, karena dirinya sendiri yang mengetahui dari diri sendiri tentang peta sebab-akibat permasalahan yang dialaminya. Pada bangun tidur hari pertama setelah pertama kali ikut ritual minum teh dekon-kompatiologi, dalam beberapa kasus terdekon mengalami semacam shock akibat banyak data yang diterima secara bersamaan yang jauh melebihi kondisi normal, biasanya kondisi kembali normal setelah diri si terdekon terbiasa dengan kondisi tersebut antara sehari hingga seminggu. Dekonstruksi dalam skala kecil terjadi ketika pertama kali terdekon ikut dekonkompatiologi, rekonstruksi terjadi dalam kehidupan sehari-hari pasca dekon-kompatiologi, memori (ingatan) si terdekon seperti diputar ulang untuk dikaji ulang satu demi satu secara sadar atau tidak sadar. Dekonstruksi dan rekonstruksi dalam skala besar terjadi secara bersamaan ketika proses peninjauan ulang ini selesai, biasanya beberapa bulan sampai satu tahun kemudian. Si terdekon sudah mampu melihat gambaran utuh dari dirinya dan posisi dirinya terhadap lingkungan tempat ia hidup, maka ia sudah mampu menentukan pilihan-pilihan hidupnya versi diri sendiri. Hidup kita ini dibatasi oleh umur yang terbatas, kemampuan untuk mengenal benar masalah-masalah yang kita hadapi bukan dari nasehat, teori, pendapat pihak lain yang tidak terlibat langsung sebagai pelaku dalam masalah membuat proses kehidupan lebih cepat, ‘tepat sasaran’ (masalah diselesaikan sesuai keinginan diri sendiri bukan keinginan pihak lain yang dipaksakan menjadi keinginan diri sendiri) dan efisien. * Memahami masalah dengan lebih sederhana. Dekon-kompatiologi mengajak orang untuk mengukur masalah secara subjektif bukan objektif. Pengukuran objektif seperti menonton sebuah film, ceramah dengan kata-kata, dan lain sebagainya kita dibiasakan untuk menonton dengan sudah dihadirkan pemain utama, good cop, bad cop, dan lain sebagainya hingga tokoh-tokoh figuran yang paling tidak penting dengan pola hirarki dari yang paling penting hingga yang paling tidak penting dengan sangat jelas. Begitu juga dengan gambar dan bangunan tiga dimensi menyuguhkan informasi bagi kita dari yang paling terlihat hingga yang paling tidak terlihat. Pada pengukuran subjektif pelaku bisa mendapat kebebasan memilih subject utama secara bebas terhadap subject utama lain yang juga bisa dipilih dengan bebas. Data ditampilkan dengan format data mentah yang bisa dibandingkan posisi subject data yang satu terhadap subject data yang lain tidak selalu harus memiliki titik nol yang bersifat mutlak. Akibatnya tidak banyak teori yang rumit dan sulit dimengerti yang tidak berhubungan dengan masalah yang sedang terjadi yang mempersulit penyelesaian masalah. Hanya hal yang berkaitan saja, yang bisa secara langsung diperbandingkan antara satu subject permasalahan dengan subject yang lain.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 48 / dari 48 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

* Tampak Alami, apa adanya, tidak dibuat-buat. Dekon-Kompatiologi membuat relasi yang berhubungan antara kegiatan mengalami yang subjektif dengan teori-teori kebenaran bikinan diri sendiri yang adalah hasil dari kontemplasi pengalaman mengalami hidup sendiri, tanpa intervensi dari pendapat, nasehat pihak lain yang tidak memiliki relasi langsung dengan diri si pelaku. Hal ini membuat pelaku mengenal benar setiap tindakannya, cenderung tampak otomatis dan ‘tidak dibuat-buat’ (agar sesuai dengan teori yang bukan buatan diri sendiri sehingga kurang dikenal dengan baik oleh diri sendiri).

Kegagalan Dekon-Kompatiologi Perbedaan utama antara kompatiologi dengan cerita-cerita kebanyakan adalah; Bahwa dalam cerita kebanyakan Morpheus-lah yang memilih ‘Neo’ (masyarakatlah yang memilih sang tokoh utama suatu mitos), sedangkan dalam dekon-kompatiologi individu-individu siapa saja orangnya bisa memutuskan sendiri untuk mendatangi ‘Morpheus’ (diambil dari nama dewa tidur dan mimpi Yunani) untuk minta difasilitasi agar mendapat kesempatan mengalami menjadi Neo. Lalu masingmasing Neo bisa menjalani ceritanya masing-masing sesuai keinginan diri sendiri yang disadari tiap konsekwensinya oleh diri sendiri, tanpa minta dinasehati dan tidak biasa dinasehati oleh orang lain, juga tidak ingin menasehati orang lain.

Tiap masing-masing Neo juga mendapat kesempatan untuk memilih meminum pil merah untuk mengetahui apa itu Matrix (yang berakibat membawa si individu keluar dari matrix) atau pil biru untuk menjalankan hidup seperti sebelumnya, yang ditawarkan oleh Morpheus. Morpheus opens a container which holds two pills : a blue one, and a red one. He puts one in each hand, and holds them out to Neo. Morpheus : This is your _last chance_. After this, there is no turning back.....You take the blue pill, the story ends. You wake up and believe...whatever you want to believe. You take the red pill.....you stay in wonderland...and I show you just how deep the rabbit hole goes. Neo pauses for an instant, then reaches for the red pill. He swallows it down with a glass of water, and looks at Morpheus. Morpheus : Remember...all I'm offering you is the truth : nothing more. (Dikutip dari dialog film The Matrix)

Bila pil merah diminum maka dia akan terbawa keluar dari realita yang umum berlaku di masyarakat, masuk ke realita diri sendiri (subjektif) dan mampu mengukur pemposisian dirinya di tengah masyarakat dengan pencapaian-pencapaian versi dirinya sendiri. Penilaian diri sendiri yang dibuat oleh masyarakat tidak begitu berpengaruh terhadap penilaian diri sendiri terhadap diri sendiri. Bila pil biru yang satu diminum, maka yang akan terjadi adalah orang tersebut akan melupakan dan mengabaikan pengalaman ketika mengikuti ritual dekon-kompatiologi, kembali ke masyarakat menjalankan rutinitasnya sehari-hari di masyarakat dengan meyakini realita yang umum berlaku di masyarakat sebagai bagian dari masyarakat (objektif), penilaian tentang diri yang dibuat oleh masyarakat sangat berpengaruh terhadap penilaian diri sendiri terhadap diri sendiri.

Bila seseorang memilih hanya salahsatu diantara pilihan pil merah dan pil biru maka dirinya akan menganggap aneh dan dianggap aneh orang-orang yang memilih pilihan realita yang lain, dirinya juga akan mendapat kesulitan ketika berusaha menggunakan hal-hal yang bersumber dari realita yang lain, misalnya;

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 49 / dari 49 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Penilaian orang asia kebanyakan terhadap dirinya sendiri sangat dipengaruhi oleh penilaian keluarga, komunitas, dan lain sebagainya terhadap dirinya. Penilaian orang barat kebanyakan terhadap dirinya sendiri terpisah atau tidak begitu dipengaruhi oleh penilaian masyarakat terhadap dirinya sendiri. Ketika ilmu, teori, pendapat ala orang barat berusaha diadopsi oleh orang asia, maka ada perbedaan cara pandang ala orang barat dan orang asia terhadap ilmu, teori, pendapat buatan orang barat tersebut. Orang barat dalam mempelajari ilmu, teori, pendapat, dan lain sebagainya tetap memisahkan ruang pribadinya dengan ilmu, teori, pendapat, dan lain sebagainya tersebut, proses pembelajaran bersifat objektif dan diri sendiri yang terpisah dengan teori adalah sisi subjektifnya. Orang asia yang penilaian terhadap dirinya sendiri sangat dipengaruhi oleh penilaian keluarga, komunitas, dan lain sebagainya terhadap dirinya; akan memposisikan ilmu, teori, pendapat, dan lain sebagainya yang diadopsi dari luar dirinya sebagai penilaian ala dirinya sendiri. Ini menyebabkan kemungkinan orang asia untuk menjadi fanatik terhadap suatu ilmu, teori, pendapat, dan lain sebagainya lebih tinggi dari orang barat. Bilamana seorang asia mendapatkan nilai akademis yang rendah, maka hal itu akan mempengaruhi anggapan tentang dirinya sendiri yang juga merasa rendah, hal ini berbeda dengan orang barat yang tidak semerta-merta menghubungkan konsep pencapaian nilai akademis dengan penilaian terhadap diri sendiri. Masih ada pilihan ketiga dengan mengalami dua realita tersebut (pil merah dan pil biru) secara bersamaan tetapi terpisah ruangnya satu sama lain sehingga tidak saling mereduksi, pada dasarnya secara alamiah masing-masing neo memiliki kemampuan hidup di dua realita berbeda tersebut secara bersamaan. Dekon-kompatiologi adalah suatu ritual sederhana yang difasilitasi oleh para pendekonkompatiologi seperti morpheus memberikan pengalaman-pengalaman kepada neo (terdekonkompatiologi) untuk memahami adanya dua realita tersebut (subjektif & objektif / pil merah & pil biru). Dari tahap awal hingga tahap akhir ritual dekon-kompatiologi, setiap terdekon (peserta dekon-kompatiologi yang masih pertama kali ikut) mendapatkan pengalaman lengkap dari dua realita tersebut, sehingga setelah selesai bisa menentukan apakah mau memilih menelan pil merah, pil biru atau keduanya bila mampu.

Kegiatan dekon-kompatiologi adalah ritual yang susah-susah-gampang bagi tiap pengajarnya. Seperti pembahasan Plato tentang mitos gua, ada kemungkinan seorang manusia akan marah atau bahkan bisa sampai membunuh orang lain yang berusaha memperkenalkan realita lain yang tidak sama dengan realita yang dianggapnya sebagai satu-satunya yang paling benar. “…Manusia dapat dibandingkan - demikian katanya – dengan orang-orang tahanan yang sejak lahirnya terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah pada dinding gua. Di belakang mereka ada api bernyala. Beberapa orang budak belian mondar mandir di depan api itu, sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan rupa-rupa bayangan dipantulkan pada dinding gua. Karenanya orang-orang tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas yang sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Namun, sesudah beberapa waktu seorang tahanan dilepaskan. Ia melihat sebelah belakang gua dan api yang ada di situ. Ia sudah mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang tidak merupakan realitas yang sebenarnya. Lalu ia dihantar keluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Mula-mula ia berpikir ia sudah meninggalkan realitas. Tetapi berangsur-angsur ia menginssafi bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya, ia kembali ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukanlah realitas sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. Namun mereka tidak mempercayai orang itu dan seandainya mereka tidak terbelenggu, maka mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua…” (Dikutip dari buku ‘Sejarah Filsafat Yunani’ karya Prof.Dr. Kees Bertens, diterbitkan oleh Penerbit Kanisius tahun 1999, halaman 135, pembahasan mengenai mitos tentang gua, dialog Politeia karya Plato)

Keberhasilan atau kegagalan dekon-kompatiologi sangat ditentukan oleh pilihan bebas terdekon itu sendiri. Bilamana ia memilih pil biru, pilihan untuk melupakan pengalaman individual-nya bermain Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 50 / dari 50 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

dekon-kompatiologi, kembali ke masyarakat menjalankan rutinitasnya sehari-hari di masyarakat dengan meyakini realita yang umum berlaku di masyarakat sebagai bagian dari masyarakat tentu. Tentunya ia akan menganggap ritual dekon-kompatiologi yang dialaminya gagal. Pada akhirnya kebebasan setiap manusia untuk memilih realita yang berlaku pada dirinya sendiri. Peran Pendekon (pengajar kompatiologi) seperti halnya peran Morpheus hanyalah fasilitator belaka, terdekon (pengguna kompatiologi) seperti Neo sendirilah yang bisa menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 51 / dari 51 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Bagian Kedua

PENDIDIKAN ALA KOMPATIOLOGI ditulis oleh: Cornelia Istiani

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 52 / dari 52 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

I. PENDAHULUAN “Di Negara kita pendidikan masih menjadi beban berat dan bahkan menjadi sebuah kegelisahan sepanjang zaman”--Sindhunata1-Kalimat Sindhunata diatas seolah mewakili kondisi pendidikan bangsa ini. Pendidikan yang seharusnya menjadi solusi bagi banyak hal dalam kehidupan telah menjadi bagian dari masalah kehidupan itu sendiri. Begitu banyak keluhan seputar pendidikan di negara ini yang menarik banyak orang untuk memperbincangkannya. Dari kalangan masyarakat awam, praktisi pendidikan, dan oleh para pembuat kebijakan itu sendiri. Sudah begitu banyak pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Rendahnya kualitas SDM ini dihubungkan dengan kualitas hasil pendidikan oleh sistem pendidikan nasional (Kompas, 9 Oktober 2004). Kualitas SDM Indonesia masih rendah dan belum mempunyai daya saing sehingga tidak mampu tampil bersaing di pentas global. Menurut hasil survei PERC, keunggulan dan daya saing pendidikan dikaitkan dengan produktifitas tenaga kerja lulusan pendidikan-Indonesia menempati posisi 12 dari 12 negara Asia sebagai peserta2. Begitu pula hasil dari survei PISA 2003 memperlihatkan hasil yang rendah, yaitu dari 41 negara peserta Indonesia berada pada posisi 38 untuk bidang IPA, dan posisi 39 untuk bidang matematika dan kemampuan membaca3. Hasil survei internasional tahun 2003 tersebut memperlihatkan rendahnya kualitas dan kemampuan siswa Indonesia di antara negara-negara peserta. Salah satu karakteristik dari survei tersebut adalah yang di ukur tidak saja kemampuan siswa yang mengacu pada kurikulum tapi juga kaitannya dengan dunia nyata sehari-hari. Aspek lain yang menjadi pertimbangan adalah informasi tentang latar belakang siswa, kondisi kemampuan guru, kepala sekolah, dan kondisi sekolah itu sendiri. Pendidikan menyumbang cukup signifikan terhadap peningkatan jumlah pengangguran karena tidak terpenuhinya kualifikasi yang diharapkan oleh dunia industri. Permasalahan ini di tegaskan lagi dalam ulasan tajuk rencana Kompas, 16 Februari 2008, tentang “mismacth” dunia Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Permasalahan dunia pendidikan tidak hanya masalah prestasi siswa pada bidang studi tersebut di atas, tapi juga menyentuh pada aspek karakter dan budi pekerti, dan masalah yang berkaitan dengan esensi dari pendidikan itu sendiri dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan. Ketika 1

Sindhunata…Judul dan tahun?? Hasil survei internasional PERC, 2001 ini disampaikan pada seminar sehari Hasil Studi Internasional; Prestasi Siswa Indonesia dalam bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Pada Kamis, 7 September 2006 di Depdiknas. Isu PERC adalah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, karena kualitas pendidikan dan kualitas tenaga kerja sebagai salah satu factor ekonomi berkorelasi. Pemeringkatan ini menilai sistem pendidikan Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan pembangunan. 3 Hasil studi PISA dan TIMSS ini disampaikan pada seminar sehari Hasil Studi Internasional; Prestasi Siswa Indonesia dalam bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Pada Kamis, 7 September 2006 di Depdiknas. PISA merupakan Programme for International Student Assessment yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mempunyai tujuan meneliti kemampuan siswa usia 15 tahun dalam hal membaca, matematika dan Sains secara berkala. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang berkesinambungan tentang prestasi belajar siswa pendidikan dasar Indonesia di lingkup Internasional. PISA mengukur kemampuan siswa untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan masyarakat-pengetahuan dewasa ini. Penilaian PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan siswa untuk menggunakan ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur yang tercantum dalam kurikulum sekolah. Studi lain yang sama pentingnya adalah Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang dilakukan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA). TIMSS ini merupakan survey berskala international yang diikuti oleh kurang lebih 50 negara, pada survey tahun 2003 pesertanya sebanyak 46 negara. Tujuan penelitian ini adalah mengukur pengetahuan dan kemampuan matematika dan sains siswa berusia 13 tahun serta informasi lainnya tentang siswa, guru, dan kepala sekolah. 2

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 53 / dari 53 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

terjadi tawuran pelajar yang disertai dengan kekerasan, penyalahgunaan narkoba, geng motor yang ekstrim dan mengarah pada tindak kriminal, kenakalan remaja yang juga mengarah pada tindakan kriminal, demonstrasi dengan kekerasan yang terjadi di pendidikan tinggi, mahalnya biaya pendidikan, dst maka pendidikan yang akan menjadi sasaran limpahan tuntutan terhadap fungsi dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Sudah sewajarnya masyarakat mulai mempertanyakan sistem pendidikan nasional secara khusus dan merasa tidak puas. Banyak pendapat dan penilaian dari masyarakat, dan para ahli terhadap kondisi ini. Sebagian menilai bahwa rendahnya kualitas pendidikan di negara ini karena kurikulum. Sebagian mengatakan bahwa kurikulumnya terlalu sempit, ramping, atau ringan, tapi sebagian yang lain mengatakan terlalu luas, gemuk, atau berat. Setiap ada masalah yang timbul, pasti dikatakan karena belum masuk dalam kurikulum, atau karena waktu yang dialokasikan masih kurang banyak. Tidak adanya koordinasi antar bidang yang seharusnya terkait dalam penyusunan kurikulum juga menyebabkan kurikulum Indonesia berubah tanpa arah dan fokus yang jelas. Suatu sistem pendidikan yang berorientasi pada kurikulum biasanya memang tidak pernah memuaskan masyarakat, karena itu hal yang paling mudah adalah menjadikan kurikulum sebagai “kambing hitam” penyebab terjadinya kegagalan dalam pendidikan formal. Pendapat lain lebih mengarah pada rendahnya kualitas pendidik dan proses pembelajaran. Pernyataan di dukung oleh penelitian terbaru tentang efektifitas sekolah dan efek guru terhadap siswa4. Hal ini di dukung fakta bahwa sekolah merupakan tempat pendidik menjadi harapan satu satunya buat siswa untuk belajar. Pendidik menjadi ujung tombak dalam sistem pendidikan dan keseluruhan proses belajar mengajar. Jika harapan tersebut dipenuhi maka akan meningkatkan kepuasan siswa yang akhirnya meningkat pula kualitasnya, jika tidak terpenuhi maka kekecewaan yang dirasakan oleh siswa, yang sangat mungkin berujung pada melemahnya kualitas hasil pendidikan. Dan sedikit yang mempermasalahkan esensi dan philosophy pendidikan. Berbagai usaha secara teoritis dan praktis telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum. Sudah banyak masukan kritis yang dimaksudkan untuk membenahi sistem pendidikan formal mulai dari masalah administrasi, dana pendidikan, peningkatan kualitas guru, pembentukan dewan sekolah, bahkan sampai ke philosophy pendidikan itu sendiri, tapi sementara ini-sampai hari ini masih terlalu sedikit perubahan yang berarti. Usaha terbaru pemerintah saat ini adalah memacu para penyelenggara dan satuan pendidikan untuk meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Pemerintah telah menetapkan standar nasional pendidikan yang memuat kriteria minimal dari delapan komponen pendidikan. Dengan menggunakan standar nasional pendidikan sebagai acuan setiap satuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pendidikannya secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Untuk itu, Pemerintah membentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)5 yang bertanggung jawab

4

5

John Macbeath dan Peter Mortimore (2001). Improving school effectiveness. Diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto. Grasindo( 2005). Perbandingan antara dua orang atau lebih guru, selama satu periode panjang akan menawarkan satu ukuran dari dua faktor kunci dalam penelitian efektivitas—konsistensi dan stabilitas. Pada titik tertentu, prestasi berbeda antara murid guru A dan guru murid guru B, akan mengukur konsistensi, sementara derajat varians atas waktu akan memberi satu satu ukuran stabilitas. Dalam praktik, ukuran konsistensi sekaligus ukuran stabilitas diperlukan jika mau memahami kekuatan efektifitas seorang guru. Hal 16. BSNP ini merupakan lembaga mandiri, profesional, dan independen yang mengemban misi untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi pelaksanaan standar nasional pendidikan. BSNP bertugas membantu Menteri Pendidikan Nasional dan memiliki kewenangan untuk mengembangkan Standar Nasional Pendidikan; menyelenggarakan ujian nasional; memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan; merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah; Menilai kelayakan isi,

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 54 / dari 54 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

kepada Menteri Pendidikan Nasional. Usaha pemerintah bersama BSNP ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas sekolah dalam kontribusinya dalam mewujudkan tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Dalam perspektif penelitian efektifitas sekolah, dan mengacu pada penelitian Gillbon dan Gipps (1998), yang memberikan sebuah gambaran komprehensif tentang interaksi antara pengalaman individu dan kehidupan sekolah; hasil penelitian Judith Harris (1998)-mendukung pendapat ini dengan melakukan penelitian dan menghasilkan kesimpulan (hal 21. Macbeath. J dan Mortimore, P, 2001)6 sebagai berikut: “identitas seorang anak sebagai seorang pribadi, kapasistasnya sebagai seorang yang belajar, dan motivasinya sebagai seorang siswa muncul dari cara dimana ia menegaskan dirinya sendiri, di dalam kelompok teman sebaya yang paling dekat. Jender, ras, kemampuan, kelas, akademik atau nonakademik, antisekolah atau prosekolah, mungkin merupakan satu karakteristik penting dari identitas seseorang, tetapi hanya ketika struktur sekolah dan sifat campuran sosial sekolah mendorong karakteristik itu ke dalam arti penting sekolah.” Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan rendahnya kualitas pendidikan tidak hanya berkaitan dengan masalah kurikulum, kualitas guru-tapi dengan perspektif sekolah sebagai komunitas sosial, dimana siswa mengalami sebagian kehidupannya di sekolah. Lingkungan ini menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan dirinya termasuk pengaruhnya terhadap pembentukan konsep diri anak-baik konsep diri akademis maupun nonakademis. Hasil penelitian Marsh dan Yeung (1998) memperlihatkan bahwa antara konsep diri umum dengan pencapaian akademis tidak menunjukkan adanya hubungan. Hal ini mungkin saja terjadi karena konsep diri umum tidak mencakup tentang perbedaan sekolah dan kurikulum yang digunakan, sementara itu pencapaian akademis tidak hanya berdasarkan konsep diri sajaada pengaruh faktor lain di luar konsep diri. Sedangkan antara konsep diri akademis dengan pencapaian akademis memperlihatkan adanya hubungan tapi kurang kuat. Hal ini terjadi karena pengukuran akademis yang tidak spesifik. Misalnya untuk kemampuan matematika, berkaitan dengan kemampuan lain, misalnya konsep diri kemampuan verbal, kestabilan emosi, kemampuan literacy, dan konsep diri lainnya. Sedangkan dari hasil analisis butir alat ukur self description questionaire (SDQ) yang dikembangkan oleh Marsh dalam penelitian Amaryllia (2004)7 memperlihatkan respon yang diperoleh lebih rendah dari respon sampel referensi. Tapi

6

7

bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran. Standar yang dikembangkan oleh BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional. John Macbeath dan Peter Mortimore (2001). Improving school effectiveness. Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Grasindo(2005). Amarrylia Puspasari (2004). Analisis Model Konsep Pelajar Sekolah Menengah Pertama Jakarta Selatan dan Bogor. Fakultas Psikologi UI-Program Pasca Sarjana, Program Magister Psikologi Terapan Psikometri. Salah satu penyebab rendahnya respon sample terhadap pengukuran konsep diri adalah ikatan keluarga. Combs, Richards, dan Richards (1976) dalam penelitian sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa keluarga memberikan pengalaman pertama terhadap pengalaman yang muncul pada individu dengan (1) perasaan kesesuaian dan ketidaksesuaian (2) perasaan untuk diterima atau ditolak (3) peluang untuk identifikasi dan (4) harapan terhadap pencapaian, nilai maupun perilaku. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zakrajsek (1966), mengungkapkan bahwa penelitian yang dilakukan pada kelas 7 dan kelas 8, menunjukkan bahwa sampel yang telah terlepas dari pengaruh inferioritas keluarganya mengalami tingkat aktualisasi dirinya dan mengalami peningkatan konsep diri. Hal ini yang membedakan antara sampel penelitian dan sampel referensi. Dimana pada sampel penelitian, pengaruh keluarga begitu kuat dalam penentuan dan pengembangan dirinya, namun di lain pihak sesuai dengan perkembangannya, tuntutan dari kelompok individu sendiri juga semakin besar. Akibat yang muncul adalah semakin banyaknya peran yang harus dimiliki oleh seorang siswa. Sehingga akan menyulitkan perkembangan individu dan menyebabkan konsep diri menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan sampel referensi.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 55 / dari 55 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

untuk skala konsep diri matematika, terlihat bahwa respon dari sampel penelitian ini memberikan respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan respon sampel referensi secara ratarata. Kondisi ini disebabkan oleh jawaban responden sebagian besar pada pilihan netral atau moderat dibandingkan dengan responden dari sampel referensi yang memilih untuk memberikan respon sesuai dengan kondisi konsep diri terhadap matematika yang rendah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena perbedaan kontekstual kedua negara. Indonesia, seperti negara Asia lainnya memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat dan mempengaruhi perkembangan individu. Dimana keluarga dan masyarakat merupakan sentral dari kehidupan dan perkembangan kepribadian seseorang. Misalnya jika si anak memperoleh prestasi rendah maka hal ini akan mempengaruhi si anak dalam memandang dirinya sendiri juga rendah. Hal ini dapat terlihat pada bagaimana perilaku para orang tua ketika mendapatkan prestasi anaknya rendah dengan serta merta perilaku membandingkan akan muncul. Perbandingan dengan teman sebaya yang mempunyai prestasi tinggi disertai dengan penekanan pada rasa malu karena prestasi rendah. Dalam analisis butir pernyataan, ada satu hal yang menarik pada salah satu dimensi yang mengukur Emotional stability, yaitu pernyataan yang bersifat asumtif menghasilkan korelasi rendah. Hal ini mengindikasikan rasa rendah diri siswa. Misalnya untuk butir penyataan “Jika saya belajar dengan tekun, maka saya dapat menjadi salah satu anak terpandai di angkatan saya”. Dan butir pernyataan “Saya tidak pernah berminat untuk mengambil les tambahan matematika” mempunyai korelasi rendah disebabkan pada kelompok dengan konsep diri matematika yang tinggi masih merasa membutuhkan les tambahan untuk bidang matematika. Hasil studi Akubuiro & Joshua (dalam RR. Herliani8), memperlihatkan bahwa self-concept dan sikap mempunyai pengaruh pada prestasi belajar akademik dalam Sains di Sekolah Menengah Pertama di Nigeria. Mereka menggunakan 530 sampel siswa untuk di tes dengan tes objektif 40 butir soal dalam Fisika dan kimia serta 60 butir soal kuesioner mengukur sikap dan selfconcept. Hasil yang didapat adalah bahwa prestasi belajar akademik siswa dalam Sains secara signifikan dapat diramalkan dari sikap mereka, self-concept academic dan science self concept. Sedangkan hasil penelitian RR. Herliani (2005) sendiri memperlihatkan hal lain yaitu mengenai sikap terhadap mata pelajaran tertentu dan memperlihatkan hubungan positif untuk sains dalam kaitannya dengan prestasi belajarnya. Dalam perspektif psikologi perkembangan, konsep diri, harga diri, identitas, dan sikap saling berkaitan. Konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk melalui pengalaman penting dari lingkungan atau orang lain dan mengacu pada evaluasi bidang spesifik dari diri sendiri. Atau pandangan anak terhadap diri sendiri berkaitan dengan harapan, angan-angan, perasaan, pemikiran, dan usaha. Anak-anak dapat melakukan sendiri evaluasi tersebut dalam banyak bidang kehidupan, diantaranya adalah akademis. Misalnya dalam hal kemampuan akademis, anak mempunyai kemampuan menilai diri nya sendiri secara spesifik tentang kemampuan akademis itu dikaitkan dengan nilai diri sendiri. Apakah si anak merasa “in” dengan bidang akademis tertentu atau tidak. Sama sekali tidak berkaitan dengan prestasi rendah atau tinggi, yang ada adalah bagaimana si anak mempersepsikan dirinya sendiri dalam hal kemampuan akademis. 8

RR. Herliani (2005). Hubungan Antara Sikap Terhadap Sains Dan Prestasi Belajar Sains Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Di Indonesia Berdasarkan Data TIMSS 2003. Hasil analisis dengan metode LISREL pada measurement model menunjukkan hasil yang tidak fit antara model dengan data pada variabel laten Sikap Terhadap Biologi, Ilmu Bumi dan Fisika, namun pada Sikap Terhadap Sekolah model fit dengan data. Hasil analisis structural model melalui 7 model konseptual , didapatkan 4 model fit dengan data sedangkan tiga lainnya tidak fit. Model yang fit adalah model dengan variabel Sikap berupa jumlah skor, sedangkan variabel Prestasi Belajar Sains berupa gabungan materi Sains maupun pembagian 3 materi Sains. Pengujian model struktural antar gender menunjukkan adanya pengaruh gender pada Sikap Terhadap Sains dan kaitannya dengan Prestasi Belajar Sains.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 56 / dari 56 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana membenahi pendidikan itu sendiri agar dapat berperan meningkatkan kualitas manusia Indonesia di tengah era teknologi informasi saat ini. Dari pembahasan hasil penelitian diatas maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa usaha dengan kesadaran nyata yang dilakukan orang-orang di sekitar si anak dapat membangun selfimage anak terhadap segala aspek kehidupan tidak saja terhadap aspek konsep diri akademis tapi juga setiap aspek dalam kehidupan dan dalam rangka menjadi manusia itu sendiri (being human). Hal ini memperlihatkan perlunya perubahan pola pikir politis menajdi pola pikir strategis. Mereka yang berpikir politis adalah tipe orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dalam sistem pendidikan saat ini yang penting adalah nilai akademis, berbagai hal yang lain tidaklah penting. Berpikir politis non strategi membuat orang sangat disipilin pada etika yang tampak kasat mata seperti sopan-santun, tutur kata yang baik, ramah, dan lain sebagainya demi mendapatkan tujuan yang ingin dicapai; tetapi belum tentu mentaati aturan moral yang mendasar seperti tidak berbohong, tidak mencelakakan orang lain, tidak obral janji, dan lain sebagainya. Orang yang berpikir politik non strategis adalah orangorang yang mencari jalan pintas. Mereka yang berpikir strategis adalah tipe orang yang harus bertanggungjawab pada tiap pilihan yang dipilihnya dengan menerima hal-hal baik dan menanggung semua resiko dari pilihannya. Tipe orang strategis selalu berpikir untuk meminimalisir kerugian, karena ia sadar bahwa dalam pilihan apapun juga tetap ada sisi kerugian yang harus dibayar demi mendapatkan sisi keuntungannya. Berpikir strategis mewajibkan seseorang untuk berdisiplin pada aturan perannya sendiri yang dibuat dan dilaksanakan secara konsisten oleh diri sendiri. Oleh karena itu orang yang berpikir strategis cenderung tampak keras kepala, unik, eksentrik, belum tentu memiliki sopan-santun, tutur kata yang baik, ramah, dan lain sebagainya, tetapi tidak mudah untuk melanggar aturan moral yang mendasar seperti tidak berbohong, tidak mencelakakan orang lain, tidak obral janji, dan lain sebagainya. Dengan kata lain orang berpikir politik strategis adalah orang-orang dengan perencanaan dan perhitungan jangka panjang. Perubahan dilakukan dari orang-orang disekitar si anak terutama dalam sistem pendidikan yang di ikuti anak. Sehingga dengan begitu “petualangan” anak terhadap lingkungannya dan dirinya akan membukakan wawasan dan membantu mereka menciptakan esensinya sendiri dalam proses menentukan diri sendiri. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana sistem pendidikan mampu mengakomodasi hal tersebut sehingga keluaran dari sistem pendidikan bukan hanya manusia pandai dalam hal akademis tapi juga manusia yang mampu mandiri yaitu mempunyai kebebasan, bertanggungjawab terhadap kebebasan tersebut dan tujuan hidupnya.

II. METODE KOMPATI DALAM PENDIDIKAN “Mens sana in corpore sano” “Didalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat”

Sering terdengar nasehat “makan dan istirahatlah yang cukup sebagai persiapan untuk tes keesokan harinya”. Makan dan istirahat, kedua kata ini ditujukan pada badan, yaitu badan sebagai tempat dalam melaksanakan pengalaman fisikal dan pengaruhnya pada kegiatan tes. Jika badan cukup makan dan istirahat maka si individu tersebut akan mampu berkonsentrasi dan berpikir. Sehingga ada perkataan “wah! Tes ini menguras energi dan melelahkan”. Lelah menunjuk pada kondisi badan yang staminanya menurun, sehingga akan mempengaruhi kondisi jiwa (yang diwakili oleh semangat) yang terlihat menurun juga dari gerak langkah, tatapan

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 57 / dari 57 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

mata, interaksi dengan orang lain, dan sebagainya. Melalui badanlah manusia mempunyai pengalaman fisikal yang mempengaruhi jiwa (aspek perasaan dan pikiran). Badan dan jiwa, dua hal yang akrab dalam kehidupan manusia, merupakan aspek jasmani dan rohani manusia. Badan merupakan hal paling mudah diterima dan dimengerti oleh manusia itu sendiri, karena badan bisa disentuh, jika dicubit akan terasa sakit jika tidak dirawat maka akan keliatan “jelek”, dan sebagainya. Badan mempunyai peran penting dalam kehidupan dan keberadaan manusia, melalui badan manusia dapat melakukan segala macam kegiatan, termasuk kegiatan rohaniberdoa. Seluruh bagian badan ikut bergerak dalam kegiatan tersebut, tidak saja tangan dan sikap badan, tapi mata dan bibir pun ikut bergerak dalam irama tertentu. Begitu pentingnya badan bagi manusia dalam menjalankan dirinya sendiri dan dalam keberadaannya, cukup mudah dipahami bahwa jika badan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka seluruh kegiatan manusia juga akan terganggu, meski ada kasus-kasus tertentu. Itulah pentingnya badan yang sehat, dalam yang sehat manusia mampu menyelenggarakan hidupnya. Maka semboyan tersebut mempunyai makna yang dalam, bahwa badan mempunyai peran yang cukup bermakna dan tak terpisahkan terhadap keberadaan (aku) manusia. Bagaimana badan berfungsi dalam manusia dan membantu manusia mengerti akan diri sendiri dan menjalankan dirinya sendiri9. Pendek kata badan menjadi orientasi manusia dalam bentuk fisiknya dan menjadi penuh dalam kerohaniannya. Sehingga kesehatanpun (biasanya menunjuk pada badan) menjadi penting, pengalaman fisikal melalui badanlah maka manusia pun menjelmakan pengalaman perasaan dan pikiran. Masih dalam stamina dan semangat, dalam iklan penambah tenaga tersebut disebutkan bahwa dengan menambah stamina badan maka akan menumbuhkan semangat yang luar biasa. Hal ini menunjukan bahwa pengalaman fisikal mempengaruhi pengalaman perasaan dan pikiran, badan yang sehat menjadi stimulasi bagi meningkatnya kondisi jiwa. Pengalaman fisikal inilah yang seringkali terlupakan dalam keseharian entah karena kesibukan atau karena sudah biasa dan rutin maka dianggap jadi kebiasaan, sehingga manusia tidak memiliki sensitifitas lagi dalam pengalaman fisikal tersebut. Perbincangan atau pembahasan sehari-hari melalui berbagai media, termasuk ceramah dalam seminar dan training, adalah bagaimana mencapai ketenangan jiwa dengan hidup seimbang. Dan bagaimana pemposisian diri antara pembincara dan peserta akan terlihat bahwa pengalaman perasaan dan pikiran lah yang menjadi fokus utama. Misalnya seorang motivator, dia berfungsi langsung pada pengalaman perasaan dan pikiran. Kemudian muncul istilah “kipas dan kompor” itulah fungsi motivator, kapan “kipas” digunakan dan kapan “kompor” digunakan tergantung pada kondisi jiwa seseorang. Pembahasan sejenis motivator ini sudah banyak dan populer di masyarakat, berbeda dengan pembahasan tentang pengalaman fisikal yang masih sangat jarang. Pengalaman fisikal yang dimaksud adalah suatu pengalaman tentang keadaan fisikal yang nyata dan dirasakan jelas keberadaannya, misalnya rasa sakit atau sehat, rasa suka atau tidak suka, rasa sedih atau senang, dan sebagainya. Suatu pengalaman badan, pengalaman fisik yang mempunyai kemampuan membawa manusia pada kesadarannya sebagai manusia dengan segala perasaan dan pikirannya. Pengalaman fisikal ini menjadi intermedium dalam realisasinya bagi pengalaman perasaan dan pikiran, serta menjadi bentuk komunikasi dalam rangka hidup bersama dirinya, yang akhirnya hidup bersama manusia/pribadi lain.

9

A.Sudiarja, SJ; G. Budi Subanar, SJ; St. Sunardi; T. Sarkim (2006). Karya lengkap Driyarkara. Yang jelas semua orang ialah bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbadan. Lihat saja bagaimana manusia itu menjadi sadar. Karena badannya. Badannya bersatu dengan realitas sekitarnya; dan dengan demikian, manusia bangkit, berada dalam suatu “cahaya”, dia “melihat” dirinya dan barang-barang, dia menempatkan diri, mengerti sini dan sana (semua ini terhadap badan), dia bisa berjalan, bertindak, dan lain sebagianya. Lihatlah, cacat dalam badan juga mengurangi kesadarannya. Jika cacat itu merusak seluruh keindraan, manusia juga tidak bisa mengerti dunia. Jadi berkat badannyalah dia bisa menjalankan dirinya. Hal 181.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 58 / dari 58 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Kompatiologi melalui “mabuk teh” telah memberikan pengalaman fisikal tersebut. Hasilnya memperlihatkan adanya perubahan dalam diri seseorang yang mengikutinya. Perubahan awal yang biasa terjadi adalah euforia dengan perasaan-perasaan yang selama ini ada, baik yang sudah lama terpendam ataupun yang sedang dialami. Pada awal perubahan ini banyak menimbulkan sensasi yang bisa saja tidak biasanya dari perilaku sehari-hari meski masih dalam koridor masing-masing. Setelah masa tersebut yang terjadi adalah kesadaran akan perasaan diri sendiri di pengalaman sehari-hari, yang akhirnya mempengaruhi pola berpikir. Semua ini dalam rangka menjadi diri sendiri dan berpartisipasi aktif dalam penciptaan diri sendiri. Hasil dari ‘dekon’ kompatiologi diantaranya adalah pemposisian diri sendiri terhadap kondisi lingkungan sekitar dengan membaca data apa adanya. Data ini menjadi sumber informasi dalam mebuat keputusan dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif pilihan dan risikonya dalam membuat keputusan. Intinya adalah kebebasan dalam menentukan pilihan-pilihan dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Hal ini senada dengan esensi dari eksistensialisme seperti dalam kutipan berikut: “...........individu memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidupnya melalui pilihan-pilihan yang saling berganti dan berkesinambungan, namun kebebasan tersebut juga memberikan tanggung jawab kepada individu atas hasil-hasil keputusan pribadinya sehingga kebebasan merupakan sumber penderitaan dan kecemasan”10. Kebebasan menjadi sumber penderitaan dan kecemasan yang dimaksud adalah setelah tahu semua pilihan dan efek-efek yang akan ditimbulkan oleh pilihan tersebut, maka kesadaran orang tersebut akan konsekuensi baik dan buruk yang ada di setiap pilihannya menimbulkan suatu kegalauan, penderitaan, kecemasan karena tidak ada pilihan yang seratus persen baik tanpa sisi kerugian yang harus ‘dibayar’. Hal ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan dalam tingkat tertentu bahwa setiap tindakan yang dipilih selalu ada sisi baik dan buruk yang harus ‘dibayar’, hal ini mengakibatkan orang tersebut menjadi disiplin terhadap aturan moral dasar. Dalam perkembangannnya setiap orang akan mengalami yang namanya belajar, ketika masih berada pada tahap awal perkembangan sangat tergantung pada orang-orang terdekatnya dan mempengaruhinya bagaimana harus menjalani kehidupannya dan belajar dari mereka dan lingkungan sekitarnya. Pada awal perkembangan ini selalu diarahkan dari luar karena dianggap belum mampu membuat keputusan sendiri dan bertanggungjawab. Sebenarnya masa anak-anak pada tahap awal adalah masa dimana jika diberikan stimulus dengan tepat untuk merangsang berkembangnya daya imajinasi maka akan berkembanglah si anak dengan kemampuan dalam kekhasannya. Misalnya dengan memperlakukan anak sesuai dengan kondisi anak tersebut, bukan sebaliknya yaitu sesuai dengan keinginan orang tua atau lingkungan sekitarnya, ketika si anak mendapatkan nilai jelek pada matapelajaran matematika, maka dengan serta merta orang tua akan kecewa dan memaksa anak untuk belajar tambahan di tempat les belajar matematika tanpa mau meneliti dulu apa masalahanya. Pada dasarnya anak-anak mempunyai kemampuan natural yang luar biasa. Mereka mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi di luar dirinya sendiri yang hebat, mereka mempunyai cukup toleransi terhadap orang lain, dan mampu belajar banyak hal dengan serius. Kemampuan kognitif, sosial-emosional, dan psikomotorik berkembang dengan sendirinya secara natural hanya perlu stimulus yang tepat untuk berkembang optimal bukan celaan ketika mengalami ‘jatuh’, tapi pengertian dalam kasih sayang. Atau ketika jatuh tersandung batu ketika berjalan dan menangis maka orang yang menjaganya akan mengatakan bahwa batunya yang salah, dsb. Dalam kenyataannya dalam setiap kehidupan anak tergantung pada harapan orang tua dan masyarakat sekitarnya. Anakanak menjalani kehidupannya dalam harapan sosial masyarakat yang sering kali bertolak belakang dengan harapan dan kenyataan si anak sendiri. Karena itu banyak permasalahan yang muncul dalam perkembangannya dalam bentuk kenakalan remaja, pelanggaran aturan moral dasar, kekerasan terhadap orang lain, tawuran antar pelajar, mahasiswa, bahkan perang antar 10

James F. Brennan (2006). Sejarah dan sistem psikologi. Ed 6. Rajawali Pers. Jakarta

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 59 / dari 59 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

suku. Mereka tumbuh dengan kondisi yang dipaksakan atau dibiarkan liar tak terurus, yang akhirnya tumbuh menjadi manusia tanpa tanggungjawab dan serba menuntut, selalu menyalahkan orang lain jika terjadi sesuatu atas dirinya sendiri atau dengan kata lain setiap tugas perkembangan di setiap tahapan perkembangan belum seruluhnya diselesaikan dengan tuntas. Pada tahap awal perkembangan anak-anak mempunyai kemampuan objektif dan subjektif sekaligus. Ketika sudah berada pada tahap perkembangan dimana tanggungjawab adalah milik sendiri sepenuhnya dan ketidakmampuan dalam menentukan pilihan, maka permasalahan mulai bermunculan. Sementara kemampuan natural yang semestinya dimiliki dari masa awal perkembangan sudah menurun drastis nyaris hilang, dan kemungkinan besar hanya kemampuan objektif saja yang masih bertahan dan berkembang. Hasil dari penelitian terhadap orang-orang yang sudah menggunakan metode ‘mabuk teh’ dekon kompatiologi memberi gambaran bahwa kemampuan subjektif melalui pengalaman fisikal akan muncul kembali dengan kecepatan sesuai dengan harapan dan niat masing-masing orang. Kemampuan subjektif akan mulai muncul dengan mempelajari penggunaan praktis dari mekanisme otomatis pengukuran subjectif itu sendiri. Setelah digunakan maka kesadaran akan pilihan-pilihan dalam kehidupan seharihari disertai dengan konsekuensi dari setiap pilihan baik yang menguntungkan maupun kerugiannya (sisi plus dan minusnya dari setiap pilihan) dalam menentukan tindakan. Tidak ada pilihan yang baik atau buruk. Misalnya usaha perilaku tidak mencuri karena mengetahui konsekuensi dari tindakan merugikan orang lain atau mengambil hak orang lain adalah bisa saja kalau ketahuan masuk penjara. Hasil lanjutan dari metode Kompatiologi adalah membuat perubahan pada pola berpikir menjadi lebih strategis. Kemampuan ini yang diperlukan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya dan menjadi filsuf bagi dirinya sendiri yang sangat mungkin satu sama lain tidak saling berhubungan dalam tema maupun kepentingan, karena setiap orang mempunyai kesadaran pada posisi masing-masing. Strategi di sini dalam rangka menjadi manusia dan sebagai cara mewujudkan diri menjadi manusia atau dengan kata lain dalam pandangan kaum eksistensialisme adalah bagaimana cara menjadi manusia, bagaimana manusia berada. Dalam istilah Driyarkara adalah menjadi manusia autentik11.

III.

TUJUAN PENDIDIKAN “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” P.A.T.(2002:135)

Semakin disadari bahwa manusia lebih dari sekedar sumberdaya, kemampuan perusahaan untuk beradaptasi terhadap kecepatan perubahan dan dinamika kondisi diluar perusahaan sangat tergantung pada karyawannya yang notabene adalah manusia. Yang mampu menjadi pesaing kecanggihan teknologi informasi adalah manusia. Perubahan pola pikir dalam hal tanggungjawab sosial perusahaan dari charity based (istilah dalam community development selama ini) menuju ke participatory management systems (paradigma dalam Corporate Social Responsibilty) yaitu suatu usaha perusahaan sebagai tanggungjawab sosial dengan programprogram intervensi sosial yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat 11

A.Sudiarja, SJ; G. Budi Subanar, SJ; St. Sunardi; T. Sarkim (2006). Karya lengkap Driyarkara. Menurut Heidegger, pada umumnya Das Sein, manusia itu sudah menjadi vervallen dan menjadi Das Man. Artinya menyeleweng karena diliputi, dijajah, ditentukan sama sekali oleh “kata orang”, “pendapat orang”, “caracara yang lazim”, dan lain sebagainya. Manusia seakan-akan sudah tumpul atau mabuk karena kemauannya itu. Ia tidak menghayati realitas yang sebenarnya, ia selalu ada dalam impian atau khayalan. Hal 282.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 60 / dari 60 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

masyarakat. Posisi sentral dari manusia ini makin disadari keberadaannya, dan perubahan pola pikir dunia usaha tercermin dalam pembahasan mengenai pentingnya posisi manusia dalam kemajuan suatu dunia usaha dan industri. Bahwa manusia tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai sumberdaya sama seperti sumberdaya lainnya misalnya aset yang bergerak maupun tidak bergerak. Manusia sudah mulai ditempatkan sebagai central dalam rencana perkembangan dan kemajuan perusahaan, dengan memperhatikan kualitas hidup karyawan sebagai manusia, yaitu keseimbangan kerja dengan kehidupan pribadi. Dalam seleksi karyawan juga mulai terjadi pergeseran dalam kriteria penerimaannya, yaitu masuknya unsur kesesuaian value organisasi dengan karakteristik manusia sebagai individu, dalam promosi jabatan tertentu salah satu value adalah integritas menjadi pertimbangan. Dalam seleksi karyawan sudah tidak mencukupi lagi hanya mempertimbangkan kesesuaian dengan jabatan tertentu. Hal ini berarti bahwa ada semacam tuntutan bahwa untuk bekerjapun manusia tidak cukup hanya mempunyai kecerdasan dan kemampuan tapi tidak kalah pentingnya adalah karakter pribadi. Terhadap masyarakat sekitar perusahaan, manusia sudah mulai ditempatkan dalam posisinya sebagai manusia sehingga program-program CSR pun diarahkan pada peningkatan kualitas hidup manusianya tidak lagi sekedar artifisial sekedar membantu hanya sebagai syarat kebaikan hati perusahaan. Sehingga pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan merupakan suatu usaha terarah antar pribadi dalam rangka membantu manusia menuju otentisitasnya secara menyeluruh. Otentisitas manusia ini berkaitan dengan identity, yaitu suatu kesadaran akan diri sendiri dengan segala kelebihan dan kelemahan yang melekat apa adanya. Inilah manusia yang hidup dalam bumi manusia dengan segala persoalannya. Memperlakukan manusia hanya sekedar sebagai sumberdaya merupakan suatu reduksi terhadap eksistensia manusia, terhadap seluruh potensi manusia itu sendiri. Pendidikan dalam pengertian luas merupakan usaha yang terencana dan terarah dalam rangka membantu manusia mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya dan menjadi manusia sepenuhnya (human being) dalam arti terbentuknya “aku” yang menjadi “trade mark” bagi dirinya. Dalam hal ini aktifitas yang mendidik mengarahkan manusia untuk menyadari ke-subjek-an dirinya sendiri. Menjadi subjek berarti bahwa manusia mempunyai kemandirian dalam menentukan arah hidupnya dengan menyadari semua alternatif pilihan yang ada, saling berganti, dan berkesinambungan, tetapi kemandirian yang disertai dengan tanggungjawab atas hasil-hasil keputusan pribadinya tersebut. Menjadi subjek dalam arti baik menjadi leader ataupun follower, keduanya sama pentingnya. Sebagian besar hal-hal yang muncul dari orang-orang yang mengalami dekon kompatiologi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan “aku”. Pengalaman masa lalu yang berkontribusi dalam pembentukan “aku” tersebut sangat bervariasi dan sebagian berasal dari sistem pendidikan formal. Pengalaman yang berkaitan dengan masalah pilihan dan mengambil keputusan dengan segala risikonya atas pilihan tersebut, serta kemampuan adaptasi yang lemah-yang mampu menimbulkan perasaan minder. Setelah masa dimana semua masalahmasalah yang selama ini ditahan dan coba ditekan karena alasan tertentu-biasanya alasan sosial masyarakat yang menjadi tekanan, akhirnya muncul dan “meledak” sampai titik klimaks tertentu. Permasalahan ini kalau ditelusur berakar pada pola pengalaman dalam pendidikan yang disengaja maupun tidak, dari lingkungan keluarga maupun dari lingkungan sosial sekitarnya, dengan kata lain adalah permasalahan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini terlihat dari hasil atau keluaran dari sistem pendidikan variasinya terlalu besar dalam hal kualitas dan kemampuan survive-nya (life skills) yang rendah. Dan makin memperkuat bahwa pendidikan dasar yang menjadi fondasi penting yang perlu medapatkan perhatian, di masa inilah dimulai pembentukan identitas dan konsep diri masing-masing anak. Sistem pendidikan belum menjawab akan pemenuhan kebutuhan mendasar manusia yaitu terbentuknya identitas diri pada anak didik. Identitas diri anak didik ini dapat dibentuk dengan pengkondidisian dalam belajar. Identitas ini juga akan terbentuk melalui interaksi dengan orang-orang disekitarnya. Identitas ini diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan akan Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 61 / dari 61 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

kemampuan untuk bertahan hidup (life skills), kemampuan untuk berhubungan dengan sesama dan sekitarnya, dan kebutuhan akan intimacy (keduanya masalah komunikasi). Manusia sejak lahir sudah memperlihatkan kemampuan survival dalam pergaulannya dengan sekitarnya, ketika lapar maka seorang bayi akan menangis minta makan, mencoba berkomunikasi dengan orang di sekitarnya, dan kebutuhan akan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Kebutuhan-kebutuhan ini akan berlangsung terus sampai manusia itu sampai pada tahap kematian. Dalam perkembangannya si manusia kecil ini akan tumbuh dan berkembang bersama dengan lingkungan sekitarnya dan orang-orang disekitarnya. Sebagian akan memberikan pengalaman pada si manuia kecil bagaimana kehidupan di luar keluarganya, misalnya pengalaman tentang bagaimana berhubungan dengan orang lain, belajar kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Secara alami ia membutuhkan bantuan dari orang dewasa disekitarnya untuk mencapai kemampuan tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya untuk hidup. Bantuan ini bisa berasal dari keluarga dan orang lain. Bantuan dari orang dewasa tersebut tidak saja ketrampilan-ketrampilan fisik tertentu tapi juga bagaimana cara hidup sehingga si manusia kecil makin hari makin memperlihatkan kemanusiaannya. Misalnya untuk mampu membaca, menulis, sopan santun, sampai bagaimana cara mendapatkan uang untuk keperluan hidup. Pengalaman dari kegiatan ini sebagian disebut sebagai pengalaman yang mendidik, yaitu suatu kegiatan bersama yang disengaja, direncanakan, dan mempunyai tujuan tertentu. Pengalaman yang mendidik mempunyai ciri khusus yaitu berlangsung dalam kurun waktu tertentu secara terus menerus seperti sang ibu mengajari bicara pertama kali. Setiap kali ada kesempatan bersama bayi maka si ibu secara otomatis akan mengajari anaknya untuk bicara dengan cara mengajak si bayi bicara setiap ada kesempatan. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, si manusia kecil ini makin besar kebutuhannya dan keluarga sebagian kurang mampu lagi memberikan pengalaman sesuai dengan kebutuhan si manusia kecil tersebut, karena pertumbuhan dan perkembangan tidak saja menyangkut fisik saja tapi inteletualitas dan moral. Maka kegiatan yang mendidik tersebut akan dibantu dan diteruskan oleh orang lain dan lingkungan sekitarnya untuk menjadi pelengkap. Menyadari kebutuhankebutuhan tersebut maka dibentuklah suatu komunitas khusus untuk mendidik si manusia kecil tersebut dalam sistem tertentu, yaitu sistem pendidikan formal. Jika dikembalikan pada tujuan pendidikan sesuai Undang Undang No. 20 Bab I pasal 1 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara12, maka dalam pelaksanaanya ada sesuatu yang kurang efektif. Dan tujuan pendidikan dasar di Indonesia adalah membekali murid dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan diri mereka sendiri sebagai seorang individu, anggota masyarakat, warga negara dan anggota dari umat manusia, dan juga mempersiapkan mereka untuk mengarahkan pendidikan ke jenjang sekolah lanjutan. Melihat tujuan yang tertera di UU SPN menimbulkan pertanyaan, di mana bagian aman ada yang kurang tepat sehingga hasil dari sistem pendidikan memperlihatkan rendahnya kualitas dan menghasilkan anak-anak yang kurang percaya diri karena bimbangnya akan konsep diri. Contoh menarik adalah dari Taman Siswa yang diprakarsai oleh KI Hajar Dewantara, yaitu pendidikan dipandang sebagai suatu tindakan strategis dan politis sekaligus. Belajar dari pemikiran Ki Hajar Dewantara pada jaman penjajahan waktu itu, pendidikan merupakan suatu gerakan politis dan strategis sekaligus dalam menghadapi kolonialisme pada jaman itu, yaitu dengan pendidikan menjadi sarana untuk menciptakan manusia mandiri yang mempunyai kemampuan menghadapi kolonialisme secara politis, dan sebagai strategi jangka panjang adalah mendidik manusia dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa. 12

http://www.depdiknas.go.id

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 62 / dari 62 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah pengakuan terhadap hak si anak atas kemerdekaannya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya, lebih terkenal dengan kalimat,”Tut wuri handayani” yang berarti adalah mengikuti si anak dari belakang sambil membimbingnya. Si anak aktif dan pendidik berfungsi sebagai fasilitator13. Prinsipnya adalah Tricon, yaitu concentris, continue, dan convergent. Prinsip ini berlaku untuk seluruh budaya yang ada di Indonesia. Penekanan prinsip ini adalah pada interaksi si anak dengan lingkungan setempat yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada juli 1922, beliau mendirikan sekolah taman kanak-kanak yang diberi nama Taman Indrya-menjadi cikal bakal Taman Siswa. Salah satu ciri dari lulusan sekolah yang di dirikan oleh Ki Hajar Dewantara adalah adanya jiwa bebas dan kemampuan berdiri diatas kaki sendiri. Pancadarma Tamansiswa14 dalam H.A.R Tilaar (2005) adalah asas kebangsaan, kebudayaan, kemerdekaan, kemanusiaan, dan kodrat alam. Taman Indrya ini menghasilkan lulusan yang berkualitas karena sejalan dengan prinsip perkembangan masa hidup manusia, yaitu pembentukan konsep diri pada masa anak-anak paling krusial. Jika pada masa ini terlewatkan maka lewat juga meski bukan berarti tidak bisa tapi sudah kurang efektif lagi dan akan menimbulkan permasalahan pada diri anak didik sampai dewasa.

Jalur pendidikan yang biasa ditempuh bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pendidikan formal. Karena pendidikan di Sekolah Dasar merupakan tahap pertama untuk melangkah ke jenjang pendidikan selanjutnya, maka pendidikan dasar banyak mendapat perhatian. Menurut YB. Mangunwijaya SJ pendidikan dasar merupakan variabel penting yang mesti dipersiapkan mana kala berbicara tentang masa depan. SD adalah fondasi sistem pendidikan yang sering dilupakan orang (Kompas, 28 Juni 2003). Pengalaman dengan dekon kompatiologi ini makin menyadarkan akan pentingnya pendidikan dasar ini dan bagaimana pendidikan itu dilaksanankan baik sebagai strategi dan politik sekaligus. Salah satu lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa yang membawahi bidang pendidikan, kebudayaan, dan masalah-masalah sosial yaitu UNESCO (United Nation of Education, Social, and Cultural Organization) mengemukakan pendidikan sebagai penanaman kecakapan hidup (life skills) yang meliputi kecakapan untuk berpikir atau mengetahui (learning how to think), kecakapan untuk bertindak (learning how to do), kecakapan individual untuk hidup (learning how to be), kecakapan untuk belajar (learning how to learn), dan kecakapan untuk hidup bersama (learning how to live together). Pendek kata adalah manusia yang mempunyai kesadaran bahwa hidupnya adalah di bumi manusia dengan segala persoalannya dan mampu mengatasi hal tersebut dengan pola pikir strategis, meminimalisasi kerugian di banyak hal. Dan pendidikan menjadi salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas hidup masyarakat. Semakin jelas bahwa kenapa pendidikan dasar penting hal ini akan makin terlihat dalam proses perkembangan manusia.

IV.

PERKEMBANGAN MASA HIDUP MANUSIA

Sejarah kehidupan manusia menurut sejumlah ahli yang mempunyai pendapat bahwa kehidupan manusia di mulai sejak terbentuknya sel tunggal kemudian menjadi individu yang sempurna di dalam rahim seorang manusia dewasa. Selanjutnya akan terjadi perkembangan yang pesat disertai pertumbuhannya. Dalam pandangan para ahli15 yang berorientasi pada 13

MIF Baihaqi (2007). Ensiklopedi tokoh pendidikan. Dari Abendanon hingga K.H. Imam Zarkasyi. H.A.R. Tilaar (2005). Manifesto pendidikan nasional. Tinjauan dari perspektif postmodernisme dan studi cultural. Penerbit buku kompas-Jakarta. 15 Santrock, john.W. (1995). Life-Span Development. E5. 14

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 63 / dari 63 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

pendekatan masa hidup dalam memahami perkembangan manusia menekankan bahwa perubahan perkembangan terjadi seumur hidup dan di setiap periode usia mental manusia. Dalam perspektif masa hidup mencakup tujuh unsur dasar, yaitu: 1. Perkembangan adalah seumur hidup Setiap masa perkembangan sama pentingnya dan unik bagi masing-masing individu, tidak ada periode usia mendominasi perkembangan. Bahkan setiap perkembangan merupakan kerugian dan keuntungan sekaligus, yang berinteraksi dalam cara yang dinamis sepanjang siklus kehidupan. Misalnya ketika seorang anak belajar berjalan dan sering terjatuh, maka anak dapat mendapatkan keuntungan dan kerugian sekaligus dalam masa perkembangannya ini. Anak belajar dari mengalami bahwa terjatuh pun ada keuntungan yang bisa diperoleh yaitu menjadi tahu bagaimana mengendalikan keseimbangan tubuh dalam bersepeda dengan kerugiannya bagian tubuh ada yang terasa sakit karena jatuh. Pada anak-anak pun sudah terdapat kesadaran akan faktor plus minus dari suatu kegiatan yang dilakukan dan ini akan mempunyai pengaruh pada sistem pengambilan keputusan yang dipelajarinya dari pengalaman. 2. Perkembangan adalah multidimensional Perkembangan meliputi dimensi biologis, kognitif, dan social. Dalam belajar naik sepeda tadi si anak mengembangkan seluruh fungsi-fungsi mental yang ada padanya. Dari dimensi biologis maka kekuatan fisik si anak terbentuk dan makin kuat, dari sisi kognitif maka si anak belajar bagaimana mengendalikan sepeda dan menjaga keseimbangan, dari sisi sosialjika si anak berhasil naik sepeda maka akan terbangun rasa percaya diri dalam interaksi dengan teman sebaya dan orang lain. 3. Perkembangan adalah multidireksional Unsur dari suatu dimensi dapat meningkat dalam pertumbuhan, sementara unsur lain menurun. Misalnya kemampuan naik sepeda pada anak-anak, maka dalam dimensi biologis akan terlihat bahwa unsur fisik dari kekuatan tangan dan kaki akan mengalami kenaikan, sedangkan unsur lain misal kecepatan berlari belum tentu berkembang, dan jika tinggi badan naik maka berat badan akan turun misalnya. 4. Perkembangan adalah lentur Perkembangan dapat mengambil banyak jalan,karena tergantung pada kondisi kehidupan individu sehingga setiap orang mempunyai pengalaman ayng berbeda-beda meski pada tahap perkembangan yang sama. Perkembangan tidak menuntut kondisi-kondisi tertentu tapi akan menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi yang ada pada masing-masing manusia. 5. Perkembangan adalah melekat secara kesejarahan Pengalaman masing-masing individu mempunyai pengaruh pada perkembangannya dan saling berbeda. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa pengalaman mempunyai peran penting dalam proses perkembangan sehingga bagaimana memanfaatkan pengalaman tersebut menjadi informasi yang bermakna bagi hasil dari perkembangan pada tahap tertentu. Pengalaman yang mendidik yang tentu saja diharapakan dan bisa dikondisikan. 6. Perkembangan dapat dipelajari oleh sejumlah disiplin ilmu Perkembangan hidup manusia dapat dipelajari oleh berbagai disiplin ilmu. Sudah pasti bahwa banyak cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia dan kehidupannya di bumi manusia ini. Hasil dari berbagai disiplin ilmu saling mnelengkapi seperti layaknya puzzle dalam membangun suatu konsep diri manusia itu sendiri. 7. Perkembangan adalah kontekstual Individu secara terus menerus merespon dan bertindak berdasarkan konteks, yang meliputi aspek biologis, lingkungan fisik, serta konteks sosial, kesejarahan, dan kebudayaan Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 64 / dari 64 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

seseorang. Individu sedang berubah di dalam dunia yang berubah pula, sehingga kemampuan adaptasi mutlak diperlukan.

Kontekstualisme Salah satu perspektif masa hidup adalah kontekstualisme, yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Dalam pandangan kontekstualisme, perkembangan dipahami sebagai hasil interaksi antara sistem tingkat usia normatif, tingkat sejarah normatif, dan peristiwa-peristiwa kehidupan non-normatif. Penjelasan singkatnya sebagai berikut: Pengaruh tingkat usia normatif adalah pengaruh biologis dan lingkungan yang sama bagi orang-orang dalam suatu kelompok usia tertentu. Pengaruh ini misalnya pubertas, menopause, dan dampaknya pada proses-proses sosiokultural, lingkungan, misalnya masuk sekolah pada usia 6 tahun, memilki SIM minimal usia 17 tahun, pensiun pada usia 50-an atau 60-an tahun. Pengaruh tingkat sejarah normatif adalah pengaruh biologis dan lingkungan yang diasosiasikan dengan sejarah. Pengaruh ini biasanya pada generasi tertentu. Misalnya pada tahun 98-an setelah lengsernya Soeharto, dan disebut sebagai masa reformasi. Tahun 40-an sebagai masa perang dunia II, dst... Pengaruh peristiwa-peristiwa kehidupan non-normatif adalah peristiwa tidak biasa, tetapi memilki pengaruh penting bagi kehidupan manusia. Peristiwa, pola, dan urutan peristiwa ini tidak berlaku bagi banyak individu. Misalnya ketika bencana alam terjadi mendadak, kecelakaaan, dst..Semua peristiwa ini mempunyai pengaruh pada individu yang mengalaminya. Peristiwa non-normatif juga mungkin saja bersifat positif, misalnya ketika menang lotere. Aspek penting dalam memahami peristiwa nonnormatif adalah bagaimana individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan peristiwa tersebut.

Memahami Perkembangan Perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan manusia. Pada umumnya perkembangan meliputi pertumbuhan, degenerasi / kemundurandan dan pembusukan (kematian misalnya). Pola gerakan yang kompleks dalam perkembangan dikarenakan merupakan produk dari proses biologis, kognitif, dan sosioemosional, yaitu: Proses biologis meliputi perubahan pada sifat fisik individu. Plasma membawa sifat keturunan yang diwarisi dari orangtua, perkembangan otak, pertambahan berat dan tinggi badan, perubahan pada ketrampilan motorik, dst.. Proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, inteligensi, dan bahasa individu. Proses ini dipengaruhi pada aspek aspek pengalaman yang memperkuat atau memperlemah. Proses sosioemosional meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan pada kepribadian.

Periode Perkembangan Klasifikasi periode perkembangan yang paling luas digunakan adalah: 1. Periode pra-kelahiran Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 65 / dari 65 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Periode dari pembuahan hingga kelahiran. Periode ini merupakan masa kritis dari pertumbuhan awal individu, dari satu sel tunggal menjadi individu sempurna dengan kemampuan otak dan perilaku. Masa ini berlangsung kurang lebih 9 bulan. Selama dalam perkembangan ini individu sangat tergantung pada kemampuan si calon Ibu-dimana dia berada. pengaruh sangat besar dari luar seperti makanan, perasaan sang Ibu, suara-suara terhadap perilaku dan karakter dasar si individu sebelum pengaruh lain masuk dalam kehidupan individu. 2. Masa Bayi Periode perkembangan yang di mulai dari kelahiran sampai 18 atau 24 bulan. Masa ini adalah suatu masa yang sangat tergantung pada orang dewasa.. Pada periode ini fungsifungsi sensorimotor mulai berkembang disertai dengan perkembangan sosial. Si anak sudah mulai mengenal orang-orang di sekitarnya, mengenal ibu, bapak, dan orang lain yang sering di lihatnya. Kemampuan motorik berkembang pesat, dari belajar memegang pensil sampai belajar naik sepeda. Belajar mengungkapkan keinginannya sampai belajar bicara dan bahasa. Pada masa ini si anak mengeksplorasi dunia di luar diri sendiri, maka segala hal akan dicoba dan di alami dengan segala hasil yang didapatkan, atau disebut sebagai masa eksperimen. Pengalaman di masa ini mempunyai dampak yang cukup besar buat perkembangan selanjutnya. Misalnya ketika pada eksperimen ini dan respon orang lain terhadap hal tersebut negatif, maka yang akan didapatkan adalah suatu kondisi yang bisa sangat mungkin menakutkan. Ketika memanjat dan di larang dengan alasan takut jatuh, maka si anak akan merasa takut beneran jika memanjat. Atau ketika bermain dan kotor, maka respon orang lain tidak mendukung dengan mengatakn bahwa tidak boleh karena kotor dan jorok, maka hal ini sangat mungkin bahwa si anak akan takut kotor, dan ketika hal ini tidak dipahami oleh orang di luar anak seperti pengasuhnya maka efek negatif yang akan di dapatkan oleh si anak. 3. Masa awal anak-anak Periode perkembangan ini dimulai dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Periode ini kadang-kadang disebut sebagai ”tahun-tahun prasekolah”. Anak-anak pada masa ini belajar semakin mandiri dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan ketrampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah, identifikasi huruf, dst), mulai mengenal teman lebih dekat, dan meluangkan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya. Kelas satu secara umum menandai berakhirnya masa awal anak-anak. 4. Masa Pertengahan dan akhir anak-anak Periode perkembangan yang terentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun, kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar; periode ini kadang disebut sebagai ‘tahun-tahun sekolah dasar’. Ketrampilan-ketrampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaannya. Prestasi menjadi tema yang lebih sentral dari dunia anak dan pengendalian diri mulai meningkat. 5. Masa Remaja Periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki kira-kira pada usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 atau 22 tahun. Masa remaja bermula dengan perubahan fisik yang sangat cepat-perubahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada masa ini pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol; pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis; dan semakin banyak waktu diluangkan di luar keluarga. 6. Masa awal dewasa

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 66 / dari 66 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Periode perkembangan yang bermuda pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan berakhir pada usia tigapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa memilih pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga dan mengasuh anak-anak. 7. Masa pertengahan dewasa Periode perkembangan yang bermuda pada usia Kira-kira 35 tahun hingga 45 tahun dan terentang hingga usia enampuluhan tahun. Ini merupakan masa untuk memperluas keterlibatan dan tanggungjawab pribadi dan sosial; membantu generasi berikutnya menjadi individu yang berkompeten, dewasa; dan mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam karir seseorang. 8. Masa akhir dewasa Periode perkembangan yang bermuda pada usia enampuluhan atau tujuhpuluhan dan berakhir pada kematian. Ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial baru.

V. PENUTUP These creatures require our absence to survive, not our help. And if we could only step aside and trust in nature, life will find a way16. John Hammond Pendidikan sudah terlanjur dipercaya menjadi salah satu langkah strategis dalam mengubah kehidupan manusia, dan pendidikan dasar menjadi awal yang menentukan langkah selanjutnya untuk menjadi siapa, apa, dan bagaimana kelak. Pendidikan formal telah menjadi tempat pengembanan pengalaman anak-anak, dalam arti pengalaman yang mendidik bagi anak-anak didik. Memcermati hasil studi internasional dan reaksi-reaksi dari permasalahan yang muncul pada orang-orang yang mengalami dekon kompatiologi, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah berkaitan dengan konsep diri pada anak-anak, tidak saja konsep diri akademis tapi juga non akademis mesti berkembang paralel sehingga akan membentuk konsep diri secara umum dalam diri anak-anak, dan membentuk anak-anak mempunyai karakter kuat. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan, yang tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Pendidikan dasar 9 tahun merupakan salah satu gerakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menumbuhkan pandangan pada masyarakat bahwa pendidikan merupakan aspek yang penting dijalani oleh generasi muda untuk dapat memajukan bangsa. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 mengenai adanya Pendidikan Dasar, yaitu pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun, diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satuan pendidikan yang sederajat. 16

John Hammond dalam The Lost World: Jurassic Park (1997) “It is absolutely imperative that we work with the Costa Rican Department of Biological Preserves to establish a set of rules for the preservation and isolation of that island. These creatures require our absence to survive, not our help. And if we could only step aside and trust in nature, life will find a way”

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 67 / dari 67 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Bukan masalah penting dan tidak pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa, masyarakat sudah menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, bahwa dengan menjalani pendidikan formal maka anak-anak ini diharapkan kelak akan menjadi orang yang berguna dan mengalami peningkatan kualitas hidup-paling tidak secara ekonomi materi cukup. Masalah yang lebih penting adalah bagaimana anak-anak yang berada di pendidikan formal ini mampu menjadi manusia yang tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang tidak saja cerdas, pinter tapi juga berkarakter kuat dalam pribadi. Bagaimana pendidikan formal ini mampu memfasilitasi anak-anak dengan berbagai pengalaman yang mendidik dalam rangka pembentukan konsep dan identitas diri, sehingga akan menjadi anak-anak yang bahagia dalam hidupnya dan mampu beradaptasi dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Mencermati analisis terhadap item yang mengukur konsep diri umum dan konsep diri akademis, terlihat bahwa konsep diri anak-anak Indonesia masih sangat tergantung pada keluarga besar dan masyarakat sekitarnya, dalam hal ini adalah pendidikan formal. Dengan kata lain bahwa konsep diri ini sangat mungkin merupakan hasil sebuah konstruksi, misalnya bahwa nilai matapelajaran matematika menunjukkan tingkat kepandaian anak. Pandangan ini terbentuk dan mempengaruhi konsep diri akademis anak, sehingga mereka pun atas dukungan orangtua memerlukan les di lembaga bimbingan belajar demi nilai tinggi dan dianggap sebagai anak pandai. Dalam perspektif teori representasi sosial hal ini terjelaskan bagaimana konsep diri akademis ini terbentuk dalam diri anak-anak, karena sudah menjadi memori kolektif bahwa matematika mempunyai korelasi tinggi dengan kepandaian, dan semua orang tua dan masyarakat mengharapkan anak-anak menjadi pandai. Representasi sosial merupakan suatu teori yang merupakan konsep, penjelasan, dan pernyataan yang berasal dari kehidupan manusia sehari-hari mengenai lingkungannya-yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antar individu dalam kelompok, sehingga apa yang belum dikenali oleh individu lain akan dikenali, atau dengan kata lain adalah “menyamakan bahasa” dalam berkomunikasi, sehingga individu dalam kelompok tersebut mempunyai acuan dalam merepresentasikan objek yang dimaksud. Proses representasi sosial melalui yang namanya “menyambung” dengan memperjelas objek misalnya dengan memberi nama dan proses “fokus pada target” yaitu dari konsep yang abstrak menjadi lebih nyata-mudah dipahami secara kelompok. Misalnya dari satu kata matematika yang diasosiasikan dengan kepandaian, kemudian diperjelas dengan nilai tinggi di matapelajaran matematika merupakan anak yang pandai sehingga membutuhkan pelajaran tambahan di lembaga bimbingan belajar. Metode dekon kompati efektif digunakan pada orang dewasa, dan tidak bisa dilakukan pada anak-anak. Mungkin dengan perspektif teori representasi sosial masalah pembentukan identitas anak-anak dapat dilakukan tanpa paksaan dan ini memerlukan studi lebih mendalam, karena pada dasarnya anak-anak mempunyai dunia sendiri yang kadang-kadang intervensi dari orang dewasa malah merusaknya.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 68 / dari 68 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Daftar Pustaka Bagian Pertama KOMPATIOLOGI ditulis oleh: Vincent Liong / Liong Vincent Christian (Juni 2004) Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra , Bandung: Penerbit Malka. Tulisan: Tentang Manusia dalam Bumi manusia, halaman 1-10. Toer, Pramoedya Ananta (2002) Bumi Manusia , Jakarta: Hasta Mitra. halaman: 1, 14, 15, 32, 53, 135, 188, 373, 384. Bertens, Kees (1999) Sejarah Filsafat Yunani , Yogyakarta: Penerbit Kanisius. halaman 135 pembahasan mengenai mitos tentang gua, dialog politeia karya Plato.

Kutipan-kutipan: * Kutipan pidato Theodore Roosevelt dalam tema The "man in the arena" or "not the critic" http://www.theodoreroosevelt.org/life/Quotes.htm * Sumber ayat Alkitab: Matius 5:3, 2 Korintus 12:7-10, Markus 12:13-17, * Dialog film: The Matrix

Bagian Kedua PENDIDIKAN ALA KOMPATIOLOGI ditulis oleh: Cornelia Istiani Sindhunata…Judul dan tahun?? Survei internasional ‘Political and Economic Risk Consultancy’ (PERC), 2001. Seminar sehari hasil studi internasional; Prestasi Siswa Indonesia dalam bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Kamis, 7 September 2006. Depdiknas. Dokumen hasil studi PISA dan TIMSS. Seminar sehari hasil studi internasional; Prestasi Siswa Indonesia dalam bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Kamis, 7 September 2006. Depdiknas. John Macbeath dan Peter Mortimore (2001). Improving school effectiveness. Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Grasindo (2005). Amarrylia Puspasari (2004). Analisis Model Konsep Pelajar Sekolah Menengah Pertama Jakarta Selatan dan Bogor. Fakultas Psikologi UI-Program Pasca Sarjana, Program Magister Psikologi Terapan Psikometri. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 69 / dari 69 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

RR. Herliani (2005). Hubungan Antara Sikap Terhadap Sains Dan Prestasi Belajar Sains Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Di Indonesia Berdasarkan Data TIMSS 2003. Fakultas Psikologi UI-Program Pasca Sarjana, Program Magister Psikologi Terapan Psikometri. James F. Brennan (2006). Sejarah dan Sistem Psikologi. Ed 6. Rajawali Pers. Jakarta A.Sudiarja, SJ; G. Budi Subanar, SJ; St. Sunardi; T. Sarkim (2006). Karya lengkap Driyarkara. MIF Baihaqi (2007). Ensiklopedi tokoh pendidikan. Dari Abendanon hingga K.H. Imam Zarkasyi. H.A.R. Tilaar (2005). Manifesto pendidikan nasional. Tinjauan dari perspektif postmodernisme dan studi cultural. Penerbit buku kompas-Jakarta. Santrock, John.W. (1995). Life-Span Development. E5. (1997) The Lost World: Jurassic Park kutipan dialog John Hammond. http://www.depdiknas.go.id

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 70 / dari 70 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

LAMPIRAN

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 71 / dari 71 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Kuesioner Kompatiologi ver21102007 Penulis sekaligus Peneliti: Cornelia Istiani dan Vincent Liong. Tempat, Hari& Tanggal Penulisan: Jakarta, Minggu, 21 Oktober 2007.

0. CARA MENJAWAB KUESIONER 1. Pertanyaan yang harus dijawab; * Terdekon wajib menjawab pertanyaan untuk Terdekon. * Pendekon-Tandem (mantan terdekon) wajib menjawab pertanyaan untuk Terdekon dan pertanyaan untuk Pendekon-Tandem. * Pendekon-Independent (mantan terdekon dan mantan pendekon-tandem) wajib menjawab pertanyaan untuk Terdekon, Pendekon-Tandem dan Pendekon Independent. 2. Harap diceritakan secara terbuka pengalaman dan pendapat sendiri bukan sekedar menulis ulang teori yang diceritakan oleh pengajar sesuai pertanyaan. 3. Data pribadi harap diisi secara lengkap. Bilamana dibutuhkan peneliti kami akan menghubungi anda untuk wawancara. 4. Kalau anda bersedia meluangkan waktu, mohon ditulis karangan singkat mengenai pendapat anda pribadi tentang dekon-kompatiologi di luar pertanyaan yang tersedia dengan bahasa anda sendiri. 5. Pengiriman balasan email ini; Email jawaban ditulis di bawah tiap pertanyaan secara mendetail, berurutan, dan dikirim ke email: To: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] Subject: Kuesioner Kompatiologi ver21102007 [Nama Lengkap] contoh: “Subject: Kuesioner Kompatiologi ver21102007 Cornelia Istiani“

I. DATA PRIBADI PENJAWAB KUESIONER 01. Nama Lengkap : 02. Nama Panggilan: 03. Jenis Kelamin : (Male / Female) 04. Umur : ( ? tahun) 05. Kota tempat tinggal saat ini : 06. Jenis Pekerjaan saat ini : 07. Jabatan di Tempat Kerja : 08. Telp : 09. Hp & CDMA : 10. Pelatihan apa saja yang pernah anda ikuti di luar kompatiologi sebelum anda mengikuti dekon? 11. Status : (Terdekon / Pendekon-Tandem / Pendekon-Independent) 12. Didekon oleh : (Nama Pendekon-Independent / penanggungjawab) 13. Tanggal pertama kali di-Dekon : (bulan & tahun) Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 72 / dari 72 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

14. Apakah pernah menjadi Pendekon-Tandem? (ya / tidak) 15. Bila menjawab Ya; Pernah berapa kali menjadi Pendekon-Tandem? 16. Nama Pendekon-Independent yang pernah anda bantu? 17. Apakah pernah menjadi Pendekon-Independent? (ya / tidak) 18. Bila menjawab Ya; Berapa orang sampai hari ini pernah anda dekon di bawah tanggungjawab anda (pendekon-independent)? 19. Di kota atau daerah mana saja anda pernah melakukan dekon-kompatiologi? 20. Di kondisi situasi seperti apa anda pernah melakukan dekon-kompatiologi? Ceritakan.

I I. PERTANYAAN UNTUK TERDEKON – KOMPATIOLOGI

1.Sebelum di Dekon: a. Dari mana Anda tahu tentang Kompatiologi ini? b. Menurut Anda, apa itu kompatiologi? c. Apa motivasi diri anda hingga alhirnya Anda membuat janji dekon? d. Dalam waktu antara janji dan pelaksanaan dekon, apakah ada pengalaman khusus berkaitan dengan dekon tersebut? e. Apa yang Anda harapkan dari Kompatiologi ini? f. Persiapan apa saja yang Anda lakukan untuk melakukan dekon? g. Silakan ceritakan apa saja pengalaman Anda berkaitan dengan kondisi mental Anda sebelum dekon…

2. Pada awal Dekon: a. Ceritakan kesan Anda ketika pertama kali bertemu dengan pendekon? b. Apa yang Anda rasakan ketika ”ritual” dekon ini dimulai dengan makan bersama terlebih dahulu? c. Ketika memilih minuman, apakah Anda diajak serta dalam proses pemilihan minuman? d. Jika ya, bagaimana pendapat Anda tentang pemilihan minuman tersebut? e. Ketika penataan minuman, Apakah anda dijelaskan tentang penataan minuman tersebut? f. Jika ya, bagaimana pendapat Anda tentang penataan minuman tersebut? g. Tentang pengaturan posisi tempat, apakah Anda memahami posisi tempat duduk anda? (posisi antara pendekon, posisi antara sesama terdekon)

3. Pada saat Dekon: a. Langkah pertama: Pengelompokan/klasifikasi jenis dan rasa minuman. * Bagaimana pemahaman Anda tentang proses ini? b. Langkah kedua: 2.1. Merasakan masing-masing minuman dengan urutan tertentu sesuai sirkuit susunan botol yang dirancang oleh pendekon. 2.2. Mendeskripsikan karakterisitk data (rasa dan atau efek) yang timbul setelah minum. * Bagaimana pemahaman Anda tentang proses ini? Ceritakan. * Bagian tubuh mana yang terkena efek dan ketika minum jenis minuman yang mana? Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 73 / dari 73 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

c. Langkah ketiga: 3.1. Melakukan kombinasi beberapa minuman dengan komposisi bebas. 3.2. Menprediksi karakteristik (efek dan perasaan yang mungkin timbul setelah campuran tersebut di minum), prediksi dilakukan sebelum merasakan minuman hasil campuran tersebut. 3.3. Setelah minum hasil campuran dan merasakannya, maka mendeskripsikan efek dan perasaan yang timbul. 3.4. Membandingkan hasil prediksi sebelum minum (objektif), dengan fakta sesudah minum (subjektif). 3.5. Dekonstruksi mulai berjalan. * Bagaimana pemahaman Anda tentang proses ini? Ceritakan. d. Langkah ke empat: 4.1. Membuat perencanaan efek dan perasaan apa yang diharapkan muncul dengan tanpa diketahui oleh peserta lain. 4.2. Membuat campuran minuman dengan bebas disesuaikan dengan harapan tersebut tanpa melihat ingredients masing-masing minuman. 4.3. Campuran minuman dibagikan dan di minum oleh masing-masing peserta. 4.4. Masing-masing peserta menjelaskan deskripsi efek dan perasaan yang dirasakan. 4.5. Membuat perbandingan antara harapan dan fakta. 4.6. Membuat kesimpulan. * Bagaimana pemahaman Anda tentang proses ini? Ceritakan. e. Langkah ke lima: menebak buku di toko buku * Bagaimana pemahaman Anda tentang proses ini? Ceritakan.

4. Setelah Dekon: a. Bagaimana efek yang Anda rasakan dalam kehidupan sehari hari setelah mengikuti Dekon ini? (ceritakan dalam jangka waktu 1 hari, 14 hari dan 30 hari) b. Butuh waktu berapa lama setelah mengikuti acara dekon, anda merasakan sistem itu berjalan dalam diri anda? c. Perubahan apa saja yang Anda rasakan? (postif dan negatif harap diceritakan semua) d. Apakah dekon ini memenuhi harapan Anda sebelumnya? e. Reaksi apa saja yang terjadi setelah dekon? f. Bagaimana kesan Anda tentang Kompatiologi setelah mengikuti dekon?

I I. PERTANYAAN UNTUK PENDEKON – KOMPATIOLOGI

1. Sebelum dekon: a. Menurut Anda, apa itu kompatiologi? b. Bagaimana Anda menjelaskan Dekon ini pada calon terdekon? c. Mengapa Anda mau menjadi pendekon kompatiologi? d. Apa saja yang Anda tanyakan ke terdekon? (misalnya kondisi fisik kesehatan,..) e. Apa yang Anda harapkan setiap kali melakukan dekon Kompatiologi ini? f. Persiapan apa saja yang anda lakukan untuk melakukan dekon? g. Silakan ceritakan apa saja pengalaman Anda berkaitan dengan kondisi mental Anda sebelum dekon.

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 74 / dari 74 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

h. Jika kegiatan dekon ini dilakukan secara tandem, bagaimana pemposisian diri masing masing pendekon? Siapa yang memilih minuman, siapa yang menata minuman, siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dekon, dst...

2. Pada awal Dekon: a. Ceritakan kesan Anda ketika pertama kali bertemu dengan terdekon? b. Apa yang Anda rasakan ketika ”ritual” dekon ini dimulai dengan makan bersama terlebih dahulu? c. Bagaimana cara anda memilih minuman yang sesuai dengan terdekon? d. Ketika memilih minuman, apakah Anda mengajak terdekon dan menjelaskannya? e. Bagaimana cara anda menata posisi minuman dalam sirkuit susunan botol? f. Ketika penataan minuman, Apa dan bagaimana Anda menjelaskan kepada terdekon? g. Tentang pengaturan posisi tempat, bagaimana Anda melakukan hal tersebut dan apa alasannya? h. Bagaimana Anda menjelaskan tentang tempat pelaksanaan dekon di ‘tempat ramai’ (seperti: foodcourt, pasar, dan lain sebagainya) ini?

3. Pada saat Dekon: a. Langkah pertama: Pengelompokan/klasifikasi jenis dan rasa minuman. b. Langkah kedua: 2.1. Merasakan masing-masing minuman dengan urutan tertentu sesuai sirkuit susunan botol yang dirancang oleh pendekon. 2.2. Mendeskripsikan karakterisitk data (rasa dan atau efek) yang timbul setelah minum. c. Langkah ketiga: 3.1. Melakukan kombinasi beberapa minuman dengan komposisi bebas. 3.2. Menprediksi karakteristik (efek dan perasaan yang mungkin timbul setelah campuran tersebut di minum), prediksi dilakukan sebelum merasakan minuman hasil campuran tersebut. 3.3. Setelah minum hasil campuran dan merasakannya, maka mendeskripsikan efek dan perasaan yang timbul. 3.4. Membandingkan hasil prediksi sebelum minum (objektif), dengan fakta sesudah minum (subjektif). 3.5. Dekonstruksi mulai berjalan. d. Langkah ke empat: 4.1. Membuat perencanaan efek dan perasaan apa yang diharapkan muncul dengan tanpa diketahui oleh peserta lain. 4.2. Membuat campuran minuman dengan bebas disesuaikan dengan harapan tersebut tanpa melihat ingredients masing-masing minuman. 4.3. Campuran minuman dibagikan dan di minum oleh masing-masing peserta. 4.4. Masing-masing peserta menjelaskan deskripsi efek dan perasaan yang dirasakan. 4.5. Membuat perbandingan antara harapan dan fakta. 4.6. Membuat kesimpulan. * Bagaimana pemahaman Anda tentang semua proses ini? Ceritakan secara urut. * Bagaimana Anda menjelaskannya pada terdekon? e. Langkah ke lima: menebak buku di toko buku * Bagaimana pemahaman Anda tentang proses ini? Ceritakan. Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 75 / dari 75 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

* Bagaimana Anda menjelaskannya pada terdekon?

4. Setelah Dekon: a. Bagaimana kesan Anda pada dekon saat itu? b. Apakah Anda melakukan komunikasi secara kontinu dengan terdekon sesudah nya? c. Perubahan apa saja yang Anda rasakan dari terdekon? (postif dan negatif harap diceritakan semua) d. Apakah dekon saat ini memenuhi harapan Anda sebelumnya? e. Jelaskan bagaimana anda bisa menganggap bahwa instalasi kompatiologi sudah tertanam dengan baik pada diri terdekon? f. Berapa orang terdekon yang Anda mampu tangani dalam setiap kali dekon?

-----0o0-----

Terbuka kemungkinan untuk penelitian lain yang berkaitan dengan ranah kerja Kompatiologi. Contact Person Peneliti yang bisa dihubungi: * Cornelia Istiani email : CDMA flexi : 021-68358037 & Hp mentari : 081585228174 (note: per telepon saja, tidak melayani sms dan misscall.)

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 76 / dari 76 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Biodata Penulis ‘Vincent Liong’ (VL) / Liong Vincent Christian adalah penggagas dari metode dekon-kompatiologi. Lahir di Jakarta, Senin, 20 Mei 1985 dari pasangan orangtua Liong Jun Hok dan Inna Wongso. Buku / E-book yang pernah ditulis Vincent Liong: * Berlindung di Bawah Payung, Grasindo 2001. * Menjadi Diri Sendiri, ditulis tahun 2002 (belum diterbitkan). * Konsep Saat Kiamat dalam ruang Individu, ditulis tahun 2003 (belum diterbitkan). * Kompatiologi : logika komunikasi empati, ditulis tahun 2008. Riwayat pendidikan Vincent Liong: * TK Tirtha Martha, Pondok Indah, Jakarta Selatan. * SD dan SLTP Pangudi Luhur, Jakarta Selatan. * SMU St. Laurentia, Alam Sutera, Tangerang (hanya setengah tahun). * The Meridian International School, Sydney, AUS. * The Gandhi Memorial International School, Ancol, Jakarta Utara. * Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta (mengundurkan diri di semester ke-4). Contact Person: Telp: 021-5482193,5348567 , Fax: 021-5348546. CDMA: 021-70006775(Flexi) 021-98806892(Esia) 08881333410(Fren). Alamat: Jl. Ametis IV , blok.G , No.22 , Permata Hijau, Jakarta 12210 – INDONESIA. E-mail: [email protected], [email protected], [email protected] Bank Account: Bank Central Asia , KCP Permata Hijau A/N: Liong Vincent Christian , A/C: 178-117-9600

Cornelia Istiani lahir di Kediri, 28 Maret 1971. Riwayat pendidikan Cornelia Istiani: * SD St. Gabriel, Kediri. * SMP Katolik Putera, Kediri. * SMU Negeri 1, Kediri. * Universitas Sanata Darma, fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Pendidikan Matematika. * Magister Psikologi Terapan, kekhususan program Psikometri di fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pekerjaan: * Freelence Researcher. Contact Person: * Hp: 081585228174, CDMA flexi: 021-68358037 * email:

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 77 / dari 77 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Info 'Pendekon' (Pengajar) Kompatiologi Blog: http://kompatiologi-vincentliong.blogspot.com Maillist 1: http://groups.yahoo.com/group/komunikasi_empati Maillist 2: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong Maillist 3: http://groups.google.com/group/komunikasi_empati/about Subscribe Free Newsletter: http://groups.yahoo.com/group/kompatiologi YANG PERLU DIPERHATIKAN: * By appointment only. Tempat dan waktu sesuai perjanjian. Biaya dekon-kompatiologi per peserta ditentukan oleh masing-masing pendekon-independent-kompatiologi dan dapat berubah tanpapemberitahuan. * Wajib konformasi sehari sebelum hari appointment dan hari yang sama sebelum dekon. * Tidak melayani tanya-jawab via sms dan misscall. * Biasanya acara dekon berlangsung selama empat jam. Dilarang meninggalkan acara sebelum acara selesai. * Order proyek luar kota, seminar, wawancara pers, dan lain sebagainya hubungi & deal langsung dengan masing-masing praktisi. * Disarankan (tidak wajib) terdekon membawa teman yang tinggal satu area / lingkungan pergaulan dengannya agar memiliki teman sharing tentang penerapan kompatiologi pasca dekonkompatiologi, agar perkembangan pasca dekon lebih cepat dan terkontrol. * Tiap pendekon bekerja dan bertanggungjawab secara independent. Tanggungjawab kepada klien adalah pada masing-masing praktisi yang menjadi pendekon pilihan klien. * Praktisi kompatiologi tidak memberikan jaminan apapun terhadap klien. Segala resiko dari proses dekonstruksi ditanggung oleh klien sendiri. * Biasanya pendekon membawa pendekon dari cabang lain bilamana jumlah terdekon di luar kemampuan pendekon dengan tujuan untuk menjaga standar kualitas hasil dekon. * Kompatiologi juga membuka diri untuk donasi / sumbangan biaya penelitian yang sifatnya pribadi bukan ke kas kompatiologi dalam bentuk organisasi, karena dilakukan oleh masing-masing pendekon atas kemauan & usaha sendiri. Sumbangan berupa uang dapat ditransfer ke bank account atau secara tunai(cash). Bilamana suatu hari dibuat kas kompatiologi dalam bentuk organisasi maka akan ada pemberitahuan tertulis dari Vincent Liong. * Untuk informasi yang belum disebutkan di atas dapat menanyakan langsung kepada pendekon.

PENGAJAR KOMPATIOLOGI CABANG JAKARTA * VINCENT LIONG (Pendiri & Penemu ilmu Kompatiologi) Vincent adalah pendiri & penemu Kompatiologi, secara pribadi berminat pada masalah eksistensi & adaptasi diri terhadap lingkungan. Lokasi dekon: Plaza Senayan & Senayan City. Jadwal by appointment. CDMA: 021-70006775(Flexi) 021-98806892(Esia) 08881333410(Fren). Telp: 021-5482193, 5348567 Fax: 021-5348546 Bank Account: Bank BCA cabang Permata Hijau. A/c: 178-117-9600 A/n: Liong Vincent Christian. * ANDY FERDIANSYAH (penulis e-book Catatan Harian Seorang ‘Pendekon’ (Pengajar) Kompatiologi [email protected]) Andi memfokuskan diri pada karaktristik sensasi untuk pengekspresian diri. Lokasi dekon: Plaza Senayan. Jadwal by Appointment only. CDMA esia: 021-94293810 & email: [email protected]

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 78 / dari 78 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

* ONDO UNTUNG Ondo adalah pribadi yang lihai dalam menganalisa fenomena sosial-politik kontemporer. Jadwal by appointment. CDMA: 021-92217939 * DADE (M. PRABOWO) Dade adalah pribadi yang banyak mendalami aliran yang bersifat sufistik / tasawuf. Lokasi dekon: Mall Taman Anggrek, Plaza Semanggi & Mall Kelapa Gading. Jadwal by appointment. CDMA esia: 021-98805716 & Hp: 081808862171. * FARIS FREDY PUTRANTO Fredy adalah pribadi yang work hard & play hard. Mahasiswa fakultas Sistem Informasi universitas Bina Nusantara kampus Anggrek, Slipi, Jakarta Barat (Nim:1100040264 / angkatan 2007). Spesialisasi: ahli logika dan penerapan kompatiologi, sudah belajar sejak tahun 2006 awal. Lokasi dekon: Mall Taman Anggrek, Plaza Senayan, Senayan City & Plaza Semanggi. Jadwal by appointment. Hp: 085697868012. * ONNY LEWIS Onny adalah seorang yang mendalami penerapan kompatiologi dalam hubungan dengan alam sekitar seperti misalnya cuaca; arah angin, awan, tekanan udara, kelembaban udara, dan lain sebagainya. Lokasi dekon: (belum ditentukan) Hp: 081319780747 & 08158204530. * ARRY RAHMAN Arry adalah seorang yang tidak terlalu meributkan definisi, handal dalam instuisi yang bahkan bagi dirinya tidak terlalu peduli pada pendefinisian. Lokasi dekon: Plaza Senayan. Jadwal by Appointment. CDMA flexi: 021-68661220 PENGAJAR KOMPATIOLOGI CABANG BANDUNG Bimo Wikantiyoso ; Bimo sementara ini mengkhususkan diri untuk melayani mereka yang ingin menjadi adaptif dalam hal-hal spiritualitas dan pengendalian hal-hal keduniawian. Jadwal by appointment. CDMA fren: 08888405843 & Hp: 0816746770.

PENASEHAT KOMPATIOLOGI CABANG JAKARTA CORNELIA ISTIANI Istiani mengkhususkan diri pada bidang Psikometri dan Pendidikan dalam hubungannya dengan ilmu Kompatiologi. Hp: 081585228174, CDMA flexi: 021-68358037 email: ANTON WIDJOJO Hp: 08164827424, email: JUSWAN SETYAWAN Juswan adalah penulis & edukator piawai dalam bidang kedokteran populer. Hp: 08159162193 , email: <[email protected]> TONY SETIABUDHI Psikiater dan Lektor Kepala pada Fak. Kedokteran Universitas Trisakti. ARYOPUTRO NUGROHO, SH. Aryo mengkhususkan diri pada pembahasan social possisioning. Hp: 08161312939 & 08176770201

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 79 / dari 79 halaman

Original Final Version / Last Update: Senin, 7 April 2008 copyright@VincentLiong

Komentar Singkat Pembaca “Melalui Perjalanan Hidupnya; Vincent telah berhasil membuka CAKRAWALA BARU dalam Ranah Budaya Indonesia dalam mencari PENCERAHAN ULTIMA.” Tony Setiabudhi; Psikiater dan Lektor Kepala pada Fak. Kedokteran Universitas Trisakti "Penulis cukup tangguh dengan konsep pengembangan manusia-konstruktif nya. Cukup jujur dalam beberapa hal, tapi masih ada ketertutupan dalam beberapa hal lain mengenai konsep manusia sehingga mengurangi nilai konstruktif tsb. Ada pengalihan obyek analisa untuk menghindar dari obyek analisa yang lebih mendekati nilai kejujuran bagi pikir dan nurani". Sjamsuddin Odex “Perjalanan pemikiran dan pengalaman penulis buku ini adalah suatu refleksi keindahan dan keunikan alam semesta yang patut disyukuri, namun tetap untuk disadari sebagai bentuk amanah kebesaran Sang Pencipta sehingga membutuhkan tanggung jawab demi terjaganya keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan bersama.” “Yasmine Yessy Gusman, S.H., MBA.” (Ibu Rumah Tangga) “Maaf, jalan menuju khilafah sedang diperbaiki, sementara anda dialihkan kejalan pembelajaran, perjuangan dan pengorbanan. Hati-hatilah....” “Abu Ibrahim” (Hizbut Tahrir Sydney, AUS) --tidak ada kemulyaan tanpa Islam tidak ada Islam tanpa syariah tidak ada syariah tanpa khilafah

Kompatiologi logika komunikasi empati Penulis: Vincent Liong dan Cornelia Istiani

halaman 80 / dari 80 halaman

More Documents from "Husni"