Kologi Putri Bawel Gatau Diri.pdf

  • Uploaded by: Lucky Kharisma Putra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kologi Putri Bawel Gatau Diri.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 14,086
  • Pages: 88
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan : “Pengenalan Karakteristik dan Penanganan Hewan Coba”

1.2. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui Farmakologi dan toksikologi yang membahas tentang pokok-pokok prinsip dasar kerja obat, farmakodinamik, farmakokinetik, Dalam percobaan ini kita terlebih dahulu mengetahui dan mengenal hewan yang akan dijadikan sebagai bahan percobaan seperti halnya pada percobaan yang di lakukan sebelumnya pada materi Anatomi fisiologi. Hewan coba adalah hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan laboratorium tersebut di gunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan sederhana ke ukuran yang besar dan lebih komplek digunakan untuk keperluan penelitian ini, seperti mencit, tikus, dan kelinci. Pada percobaan ini kita menggunakan hewan coba yaitu mencit, yaitu dengan melakukan perlakuan pada mencit seperti cara memegang, memberi sediaan, dan cara menimbang.

1.3. Tujuan Eksperimen Untuk mengetahui cara penanganan dari masing-masing hewan coba, yaitu mencit (Mus musculus), tikus (Rattus novergicus), dan kelinci (Oryctolaguscuniculus).

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori Percobaan pada praktikum ini dilakukan terhadap hewan hidup. Oleh karena itu hewan coba harus dilakukan dengan bijaksana. Perlakuan yang tidak wajar terhadap hewan coba dapat menimbulkan hasil pengamatan yang menyimpang sehingan tujuan pengamatan tidak tercapai. Beberpa hewan yang dapat diguanakan untuk mengamati efek farmakologi obat diantanya adalah mencit, tikus marmut dan kelinci. Hewan coba tersebut mempunyai kerakteristik yang berbeda-beda, untuk menangani hewan coba dengan baik dan benar perlu dipahami kerakteristik masing-masing hewan coba. Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat karena kerakteristik lingkungan fisiologis, anatomi dan biokiwiawi yang berbeda pada daerah kontak mulai obat dan tubuh. 1. Karakteristik mencit Mencit (Mus Rousculus) adalah hewan yang mudah ditangani bersifat penakut. Fotophobia, cenderung berkumpul sesamanya. Lebih aktif dimalam hari daripada siang hari. Suhu tubuh normal 37,4ºC dan laju repirasi normal 163 kali permenit. 2. Karakteristik tikus Tikus (rathus Navegicuss) tidaj begitu bersifat fotofobik dengan mencit dan cenderung untuk berkumpul sesamanya. Sangat kurang hewan yang cerdas, mudah ditangani dan relatif resisten terhadap infeksi. Suhu tubuh normal 37,5-38,0ºC dan laju repirasi normal 210 keli permenit.

2

3. Karakteristik utama kelinci Kelinci (Cunicolus Forma Demostica) jarang bersuara suhu rectal kelinci sehat 38,5-40ºC pada umumnya 39,5 ºC. Suhu rektal berubah apabila hewan tersebut tereksitasi laju respirasi kelinci dewasa normal 38-65 kali permenit. Pada umumnya 50 kali permenit. Dan pada kelinci bayi biasanya 100 kali permenit.

3

BAB III METODELOGI PENELITIAN

3.1. Alat 1. Alat suntik 1 ml 2. Jarum sutik no.27 ¾ inch 3. Jarum oral 4. Kandang restriksi 5. Mouth block (penahan rahang) 6. Kapas alcohol

3.2. Prosedur Kerja 1. Mencit Cara memperlakukan mencit : a. Mencit diangkat dengan memegangnya pada ujung ekornya menggunakan tangan (3-4 cm dari ujung), letakkan pada suatu tempat yang permukaannya tidak licin, misalnya kaca dan ram kawat, sehingga ketika dibiarkan mencit dapat menjangkau mencengkram kawat dengan kaki depannya b. Jika diletakkan pada tempat yang rata seperti meja, sebisa mungkin jangan menarik ekor mencit dengan paksa dan terlalu kuat, ikuti gerakan mencit dan tarik ketika tahanan mencit tidak terlalu kuat c. Untuk memegang mencit, telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuknya sedangkan tangan kanan masi memegang ekornya, setelah itu tubuh mencit dapat diangkat dan dibalikkan sehingga permukaan perut menghadap ke praktikan. d. Untuk memudahkan pemberian obat, ekor mencit yang dipegang oleh tangan kanan dipindahkan dan dijepitkan diantara jari manis dan jari kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat dipegang. Pemberian obat kini dapat dimulai.

4

Cara pemberian obat pada mencit : Cara Pemberian

Keterangan

Oral

Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral ditempelkan pada langit-langit mulut atau mencit, kemudian perlahan-lahan dimasukkan sampai keesofagus dan cairan obat dimasukkan.

Subkutan

Kulit didaerah tengkuk diangkat dan kebagian bawah kulit dimasukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1ml dan jarum ukuran 26/0,4mm. Selain itu juga bisa didaerah belakang tikus.

Intravena

Mencit dimasukkan kedalam kandang inttriksi mencit, dengan ekornya menjulur keluar. Ekornya dicelupkan kedalam air hangat (28-30˚C) selama beberapa menit, agar pembuluh darah ekor mengalami dilatasi, sehingga memudahkan pemberian obat kedalam pembuluh vena.

Intramuskular

Obat disuntik pada paha posterior dengan jarum suntik no.24.

Intraperitonial

Pada sat penyuntikan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 100 dari abdomen pada daerah yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jaruk suntik tidak mengenai kandung kemih.

Cara mengorbankan mencit : Hewan dikorbankan bila terjadi rasa sakit yang hebat/lama akibat suatu eksperimen. Hewan dikorbankan dengan cara eutanasia (kematian tanpa rasa sakit), terdapat beberapa cara mengorbankan hewan, yaitu : a. Cara terbaik dengan menggukana CO₂ dalam wadah khusus b. Penyuntikkan pentobarbital natrium 3x dosis normal (135-180mg/kbBB) c. Dengan cara fisik dapat dilakukan dislokasi leher

5

Cara ini paling cepat dilaksanakan, mudah dan paling berperikemanusiaan. Hewan dipegang pada ekornya kemudian ditempatkan pada permukaan yang bisa dijangkaunya, sehingga mencit akan meregangkan badan. Pada tengkuknya kemudian ditempatkan suatu penahan, misalnya sebatang besi sukuran pensil yang dipegang dengan satu tangan. Tangan lainnya keudian menarik ekornya dengan keras, sehingga lehernya akan terdislokasi dan mencit akan terbunuh 2. Tikus Cara memperlakukan tikus : Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya harus diperhatikan bahwa sebaiknya bagian ekor yang dipegang adalah bagian pangkal ekor. Tikus dapat diangkat dengan memegang perutnya atau dengan cara diangkat dari kandangnya dengan memegang tubuhnya atau ekornya dari belakang, kemudian diletakkan diatas permukaan kasar. Tikus dipegang dengan tangan kiri dengan cara menjepit leher pada bagian tengkuk dengan jari tengah dan telunjuk, dan ibu jari diselipkan kedepan untuk menjepit kaki kanan depan tikus, sedangkan jari manis dan kelingking menjepit kaki kiri depan tikus, tangan kanan tetap memegang ekor tikus untuk melakukan pemberian obat secara IP/IM, tikus dipegang pada bagian belakang badannya. Hal ini hendaklah dilakukan dengan mulus tanpa ragu-ragu. Tikus tidak mengelak apabila dipegang dari atas, tetapi bila dipojokkan kesudut, ia akan menjadi panik dan menggigit. Cara pemberian obat pada tikus : Pemberian obat secara oral, subkutan, intravena, intramuskular, maupun intraperitonial dapat diberikan dengan cara yang sama seperti pada mencit. Penyuntikan juga dapat dilakukan dibawah kulit abdomen seperti pada tengkuk. Cara mengorbankan tikus : a. Cara kimia dapat dilakukan dengan gas CO₂, eter dan pentobarbotal dengan dosis yang sesuai. b. Cara fisik dapat dilakukan sebagai berikut : tikus diatas sehelai kain, kemudian badan tikus termasuk kedua kaki depannya dibungkus. Tikus dibunuh dengan cara berikut : - Belakang telinganya dipukul dengan tongkat. - Peganglah tikus dengan perutnya menghadap keatas, kemudin pukullah bagian belakang kepala permukaan meja/logam, dengan sangat keras.

6

3. Kelinci Cara memperlakukan kelinci : Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap karena cenderung untuk berontak. Menangkan/memperlakukan kelinci jangan dengan mengangkat pada telinga karena dapat mengganggu pembuluh darah dan syaraf. Kulit pada leher kelinci dipegang dengan tangan kiri dan bagian belakangnya diangkat dengan tangan kanan, lalu badannya didekapkan kedekat tubuh. Cara pemberian obat pada kelinci : Cara pemberian

Keterangan

Oral

Pada umumnya pemberian obat dengan cara ini dihindari, tetapi bila digunakan juga maka digunakan alat penahan rahang (mouth block) berupa pipa kayu/plastik yang berlubang, panjang 12cm, diameter 3cm dan diameter lubang 7cm. Mouth block diletakkan diantara gigi depan dengan cara menahan rahang dengan ibu jari dan telunjuk. Masukkan kateter melalui lubang pada mouth block sekitar 20-25cm. Untuk memeriksa apakah kateter benar masuk kedalam esofagus bukan ketrakea, celupkan ujung luar kateter masuk ketrakea.

Subkutan

Pemberian obat secara subkutan dilakukan pada sisi sebelah pinggang atau tengkuk dengan cara kulit diangkat dan jarum (25-26g) ditusukkan dengan arah arterior. Dengan volume pemberian maksimal 1%BB.

Intravena

Penyuntikkan divena merginalis dan dilakukan pada daerah dekat ujung telinga. Sebelumnya telinga dibasahi dahulu dengan air hangat selama beberapa menit. Penggunaan alkohol/bahan antiseptik lain justru menyebabkan vasokonstriksi sehingga akan mempersulit masuknya jarum.

Intramuscular

Peyuntikan dilakukan pada otot kaki belakang. Hindari otot posterior femur karena resiko kerusakan syaraf siatik. Gunakan jarum ukuran 25g dan volu.me pemberian tidak lebih sari 0,5-1,0ml/tempat penyuntikkan

7

Intraperitonial

Posisi kelinci diatur sedemikian sehingga letak kepala lebih rendah daripada perut. Penyuntikkan dilakukan pada garis tengah dimuka kandung kencing.

Cara mengorbankan kelinci : a. Dengan menggunakan CO₂ b. Dengan injeksi pentobarbital natrium 350mg secara intravena c. Dengan cara dislokasi leher Perhitungan Dosis Obat pada Hewan Coba Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada suatu spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai apikasi dosis secara kuantitatif. Perhitungan konversi tersebut akan lebih diperlukan bila obat akan dipakai pada manusia dan pendekatan terbaik adalah dengan menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh. Beberapa spesies hewan percobaan yang sering digunakan, dipolakan perbandingan luas permukaan tubuhnya sebagai tambahan ditentukan pola perbandingan terhadap luas permukaan tubuh manusia konversi dosis berdasarkan pebandingan luas permukaan tubuh hewan coba.

8

Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera

Anjing Manusia

Hewan 20g

200g

400g

1,5kg

2,0kg

4,0kg 12,0kg 70kg

1,0

7,0

12,25

27,8

29,7

64,1

124,2

387,9

0,14

1,0

1,74

3,9

4,2

9,2

17,8

56,0

0,08

0,57

1,0

2,25

2,4

5,2

10,2

31.5

0,04

0,25

0,44

1,0

1,08

2,4

4,5

14,2

0,03

0,23

0,41

0,92

1,0

2,2

4,1

13,0

0,016

0,11

0,19

0,42

0,45

1,0

1.9

6,1

0,008

0,06

0,10

0,22

0,24

0,52

1,0

3,1

0,0026

0,018 0,031

0,07

0,076

0,16

0,32

1,0

Mencit 20g Tikus 200g Marmut 400g Kelinci 1,5kg Kucing 2,0kg Kera 4,0kg Anjing 12,0kg Manusia 70kg

9

Contoh soal 1 Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Ditanya

: Dosis fenobarbital pada anjing 12 kg?

Jawab

: Faktor konversi manusia 70 kg -> anjing 12 kg = 0,32 (lihat table) maka dosis fenobarbital pada anjing 12 kg = 0,32 x 100 mg = 32 mg

*hal ini menunjukkan bahwa dapat diramalkan efek farmakologi fenobarbital dengan dosis 100 mg pada manusia 70 kg memiliki efek yang sama dengan efek farmakologi fenobarbital dengan dosis 32 mg pada anjing 12 kg

Contoh soal 2 Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Ditanya

: Dosis fenobarbital pada tikus 250 g?

Jawab

: Faktor konversi manusia 70 kg -> tikus 200 g = 0,018 maka dosisnya = 0,018 x 100 mg = 1,8 mg Dosis fenobarbital pada mencit 250 g =

250 g 200 g

x 1,8 mg = 2,25 mg

Volume pemberian pada mencit 250 g = 2,25 mg

10

Contoh soal 3 Diketahui : Dosis fenobarbital pada tikus 200 g = 2 mg Ditanya

: Dosis fenobarbital pada mencit 25 g?

Jawab

: Faktor konversi tikus 200 g -> marmut 20 g = 0,14 maka dosisnya = 0,14 x 2 mg = 0,28 mg Dosis fenobarbital pada mencit 25 g =

25g 20g

x 0,28 mg = 0,35 mg

Volume pemberian pada mencit 25 g = 0,35mg

Perhitungan Volume Obat Pada Hewan Coba Volume cairan yang diberikan pada hewan percobaan harus diperhatikan tidak melebihi jumlah tertentu. Senyawa yang tidak larut dibuat dalam bentuk suspensi dalam gom dan diberikan dalam rute peroral. Untuk menghitung volume obat pada hewan coba, harus diketahui : 1. Perhitungan dosis obat yang akan diberikan 2. Jenis sediaan obat yang tersedia dilaboratorium 3. Ukuran jarum suntik yang tersedia dilaboratorium Batas maksimal volume untuk tiap rute pemberian pada hewan coba Batas Maksimal (ml) untuk tiap rute pemberian Hewan Percobaan IV

IM

IP

SK

PO

Mencit (20-30g)

0,5

0,05

1,0

0,5-1,0

1,0

Tikus (200g)

1,0

0,1

2-5,0

2,0-5,0

5,0

Hamster (50g)

-

0,1

1-2,0

2,5

2,5

Marmut (250g)

-

0,25

2,5-0

5,0

10,0

Merpati (300g)

2,0

0,5

2,0

2,0

10,0

Kelinci (1,5kg)

5-10,0

0,5

10-20,0

5,10,0

20,0

11

Kucing (3kg)

5-10,0

1,0

10-20,0

5-10,0

50,0

Anjing (5kg)

10-20,0

5,0

20-50,0

10,0

100,0

12

Contoh soal 1 Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium (sibital®) = 200mg/2ml Ditanya

: Volume pemberian sibital® pada anjing 12 kg?

Jawab

: Faktor konversi manusia 70 kg -> anjing 12 kg (lihat tabel) = 0,32 maka dosis fenobarbital pda anjing 12 kg = 0,32 x 100 mg = 32 mg Volume pemberian sibital® pada anjing 12 kg =

32 mg 200 mg

x 2 ml = 0,32 ml

*menggunakan jarum suntik ukuran 1 ml

Contol soal 2 Diketahui : Dosis fenobarbital pada 70 kg manusia = 100 mg Sediaan fenobarbital yang tersedia di lab (sibital) = 200mg/2ml Ditanya

: Volume pemberian sibital pada ikus 250 g?

Jawab

: Faktor konversi manusia 70 kg -> tikus 200 g = 0,018 maka dosis fenobarbital pada tikus 200 g = 0,018 x 100 mg = 1,8 mg Dosis fenobarbital pada tikus 250 g =

250 g 200 g

x 1,8 mg = 2,25 mg

Volume pemberian pada tikus 250 g =

2,25 mg 200 mg

x 2 ml = 0,02 ml

13

Contoh soal 3 Diketahui : Dosis fenobarbital pada tikus 200 g = 2 mg Sediaan fenobarbital yang tersedia di lab (sibital) = 200mg/2ml Ditanya

: Volume pemberian fenobarbital pada mencit 25 g?

Jawab

: Faktor konversi tikus 200 g -> mencit 20 g = 0,14 = 2 mg x 0,14 = 0,28 mg Dosis fenobarbital mencit 25 g =

25 g 20 g

x 0,28 mg = 0,35 mg

Volume pemberian pada mencit 25 g =

0,35 mg 200 mg

x 2 ml = 0,003 ml

14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Pembahasan Pada praktikum kali ini, mempraktikan cara-cara penanganan hewan percobaan dengan benar. Hewan percobaan untuk P raktikum Farmakologi ini ada berbagai jenis diantaranya kelinci, mencit, dan tikus. Namun karena hewan yang paling banyak digunakan dalam percobaan di laboratorium adalah mencit dan tikus putih. Cara penanganan hewan-hewan percobaan ini berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing pada hewan. Pada saat praktikum kita tidak boleh membuat mencit depresi atau sres, karena akan agresif bila merasa terganggu dan bila mereka merasa stress, maka hewan tersebut akan memberontak atau dapat menggigit tangan kita hingga terluka. Kita harus membuat mereka nyaman sehingga mudah untuk melakukan pengamatan. Cara memegang mencit yang baik adalah letakkan mencit di permukaan yang kasar, tujuannya agar mencit bisa mencengkram bagian yang kasar. Kemudian menjinakkannya dengan cara mengelus-elus bagian tekuk mencit menggunakan jari telunjuk. Kemudian setelah mencit tenang kita menarik kulit pada bagian tengkuk mencit dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri. Kemudian pegang ekornya menggunakan tangan kiri, kemudian Tarik sebagian kulit punggung dari mencit lalu balikkan badannya sehingga wajahnya menghadap ke kita. Pemberian obat secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum berujung tumpul (sonde oral), dengan memasukkan cairan obat (aquadest) sebanyak 1 ml. Kita menarik kulit pada bagian tengkuk mencit dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri, dan tangan kanan memegang ekornya lalu membalikkan tubuh mencit sehingga menghadap ke kita dan menjepit ekor dengan kelingking dan jari manis tangan kiri. Dimana posisi kepala mencit menengadah dan mulutnya sedikit terbuka kemudian sonde oral (jarum tumpul) dimasukkan sehingga menempel pada langit-langit mulut atas mencit kemudian memasukkan perlahan sampai ke esophagus dan cairan obat dimasukkan. Perhitungan dosis dan volume obat pada hewan coba dilakukan untuk dapat menentukan berapa dosis dan volume obat yang tepat yang akan

15

diberikan pada hewan coba. Perhitungan dosis dilakukan dengan menggunakan table konversi berdasarkan luas permukaan tubuh hewan coba dengan factor konversi berat manusia. Untuk menghitung volume obat harus diketahui terlebuh dahulu dosis yang akan diberikan, jenis sediaan yang tersedia, dan ukuran jarum suntik yang berbeda.

16

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan Penanganan hewan coba terhadap mencit harus dilakukan dengan baik dan benar agar dapat mempermudah percobaan dan pemberian obat saat praktikum. Perhitungan dosis dan volume obat terhadap hewan coba harus benar agar dapat memberikan efek terhadap hewan coba. 5.2. Saran ❖ Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki. ❖ Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara intraperitoneal agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiawati, A dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. 2. Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta : FK-UI 3. Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 42-43

18

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Judul percobaan : Eksperimen Dasar (Pengaruh Rute Pemberian Terhadap Obat Sedatif Hipnotik)

1.2

Latar Belakang Obat di definisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangkaselama pembedahan (Ganiswara et. al. 2007). Sedatif-Hipnotik adalah gologan obat depresi SSP. Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan ( menenangkan, menyebabkan kantuk, menidurkan ) hingga yang berat ( menghilangkan kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati ). Sedatif adalah zat-zat yang dalam dosis terapi yang rendah dapat menekan aktifitas mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga meenangkankan. Hipnotik adalah zat-zat dalam dosis terapi diperuntukkan meingkatkan keinginan untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotik dibagi menjadi beberapa golongan, menjadi golongan barbiturat, golongan benzodiazepin, golongan lain.

1.3

Tujuan Praktikum 1. Melakukan cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada mencit 2. Mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul 3. Mengetahui respon sedasi pada mencit 4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi

19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Dasar Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh. Karakteristik ini berbeda karena jumlah suply darah yang berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda tergantung dari rute pemberian obat. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenagkan, maka dinamakan sedative (Tjay. 2002.) Hipnotik sedative merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hinoptik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjino, Santoso dan Hadi R.D., 1995). Hipnotika dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu benzodiazepine, contohnya:

flurozepam, lorazepam,

temazepam,

triazolam;

barbiturate,

contohnya: fenobarbital, thiopental, butobarbital; hipotik sedative lain, contoh: klorahidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, meprobamat, dan alcohol (Ganiswarno dkk, 1995). Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil-barbiturat merupakan senyawa organic pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi

20

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupkan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relative rendah. Efek sedasi, dalam hal ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian srimulan sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya. Absorbsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskuler yang lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorbsi. Faktor – faktor seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan penggosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorbsi, semuanya mempengaruhi laju adan jumlah absorbsi obat. Untuk mencapai efek farmakologi sesuai yang diinginkan, obat diberikan dengan berbagai macam cara. Cara pemberian obat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bentuk sediaan. Bentuk sediaan ini disebut sebagai salah satu faktor karena dengan bnetuk sediaan obat tersebut akan menentukan bagaimana cara pemberian obat apakah melalui oral, intravena, intramuscular, naupun intraperitonial Selain topikal, untuk memberikan efek lokal pada kulit atau membran mukosa, penggunaan suatu obat hamper selalu melibatkan transfer obat kedalam cairan darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorbsi ke dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorbsi ke dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh pemberian Dibawah ini adalah bentuk-bentuk cara absorbsi obat melalui saluran cerna: a. Peroral Sebagian besar diberikan melalui mulut dan ditelan/ beberapa obat misalnya alkohol dan aspirin dapat diserap dengan cepat dari lambung, teapi sebagian besar obat diabsorbsi melalui usus halus. Absorbsi obat di usus halus pengukurannya dilakukan terhadap absorbsi baik secara in-vitro maupun invivo, dimana menunjukkan mekanisme dasar absorbsi obat melalui usus halus ini secara transfer pasif. Dimana kecepatan obat ditentukan oleh derajat ionisasi obat dan lipid solubilitas dari molekul obat tersebut.

21

b. Intravena Pemberian obat secara intravena adalah cara yang paling tepat dan paling pasti. Suatu suntikan tunggal intravena akan memberikan kadar obat yang sangat tinggi yang pertama-tama akan mencapai paru-paru dan kemudian ke sirkulasi sistemik. Kadar puncak yang mencapai jaringan tergantung pada kecepatan suntikan yang harus diberikan secara perlahanlahan sekali. Obat yang berupa larutan dalam minyak dapat menggumpalkan darah atau dapat menyebabkan hemolisa darah, karena itu tidak boleh diberikan secara intravena. c. Subkutan Suntikan subkutan hanya dilakukan untuk obat-obat yang tidak menimbulkan iritasi terhadap jaringan, karena akan menimbulkan rasa sakit yang hebat, bnekrosis, dan pengelupasan kulit. Absorbsi terhadap suntikan ini dapat pula bervariasi sesuai dengan yang diinginkan. d. Intramuscular Obat-obat yang larut dalam air akan diabsorbsi secara cepat setelah penyuntikan intramuscular. Umumnya kecepatan absorbsi setelah penyuntikan pada muskulus deloid atau vaskus lateralis adalah lebih cepat dari pada disuntikkan pada gluteus maximus. e. Intraperitonial Rongga peritoneum memiliki permukaan absorbsi yang sangat luas, sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak digunakan di laboratorium, tetapi jarang digunakan di klinik, karena adanya bahaya infeksi dan perlekatan peritoneal.

22

Masing-masing cara pemberian ini mempunyai keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa obat mungkin efektif bila diberikan dengan cara lain. Perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan absorbsi dari berbagai cara pemberian, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek dan aktivitas farmakologinya. Waktu yang diperlukan suatu obat mulai dari diberikan sampai menimbulkan efek meliputi: a. Onset Adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat diberikan sampai dengan obat menimbulkan efek. b. Durasi Adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat menimbulkan efek sampai dengan obat tersebut tidak berefek lagi.

23

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan Hewan coba : Mencit putih jantan (jumlah 5 ekor), bobot tubuh 20-30kg Obat

: Fenobarbital 100mg/70kgBB manusia

Alat

: ➢ ➢ ➢ ➢ ➢ ➢

Spuit injeksi 1ml Jarum sonde oral Bejana untuk pengamatan Timbangan hewan Stopwatch Kandang retriksi

Bahan yang digunakan : ➢ Mencit putih 5 ekor ➢ Fenobarbital ➢ Alcohol swab 3.2. Perhitungan Dosis a. Perhitungan Dosis Fenobarbital Berat masing-masing mencit : 1. Mencit I (PO)

: 37 g

4. Mencit IV (IP)

: 34 g

2. Mencit II (SC)

: 32 g

5. Mencit V(IM)

:32 g

3. 3. Mencit III (IV) : 37 g

24

1. Mencit I Rute Peroral (37 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Ditanya Jawab

Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 2 00mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 37 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 37 g =

37 g 20 g

x 0,26 mg = 0,481 mg

Volume fenobarbital pada mencit 37 g =

0,481 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00481 ml x 10 = 0,0481 ml ~ 0,05 ml

2. Mencit II Rute Subkutan (32 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml Ditanya : Volume pemberian pada mencit 32 g? Jawab : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 32 g =

32 g 20 g

x 0,26 mg = 0,416 mg

Volume fenobarbital pada mencit 32 g =

0,416 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00416 ml x 10 = 0,0416 ml ~ 0,04 ml

3. Mencit III Rute Intravena (37 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml Ditanya : Volume pemberian pada mencit 37 g? Jawab : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 37 g

25

=

37 g 20 g

x 0,26 mg = 0,481 mg

Volume fenobarbital pada mencit 37 g =

0,481 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00481 ml x 10 = 0,0481 ml ~ 0,05 ml

4. Mencit IV Intraperitoneal (34 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml Ditanya : Volume pemberian pada mencit 34 g? Jawab : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 34 g =

34 g 20 g

x 0,26 mg = 0,442 mg

Volume fenobarbital pada mencit 34 g =

0,442 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00442 ml x 10 = 0,0442 ml ~ 0,04 ml

5. Mencit V Intramuskular (32 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml Ditanya : Volume pemberian pada mencit 32 g? Jawab : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 32 g =

32 g 20 g

x 0,26 mg = 0,416 mg

Volume fenobarbital pada mencit 32 g =

0,416 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00416 ml x 10 = 0,0416 ml ~ 0,04 ml

26

b. Perhitungan Onset Kerja Obat (Waktu Hilang Righting Reflex – Waktu Pemberian Obat) 1. Rute Peroral : 15.30 – 14.48 = 42 menit 2. Rute Subkutan : 14.55 – 14.18 = 37 menit 3. Rute Intravena : 15.08 – 14.26 = 42 menit 4. Rute Intraperitoneal : 14.56 – 14.36 = 20 menit 5. Rute Intramuskular : 15.03 – 14.38 = 25 menit c. Perhitungan Durasi Kerja Obat (Waktu Kembali Righting Reflex – Waktu Hilang Righting Reflex) 1. Rute Peroral : 16.00 – 15.30 = 30 menit 2. Rute Subkutan : 15.18 – 14.55 = 23 menit 3. Rute Intravena : 15.30 – 15.08 = 22 menit 4. Rute Intraperitoneal : 15.56 – 14.56 = 60 menit 5. Rute Intramuskular : 15.42 – 15.03 = 39 menit

3.3

Prosedur 1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian oral, amati kelakuan normal masingmasing mencit selama 10 menit. 2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit. 3. Berikan larutan fenobarbital 100mg/70kgBB manusia secara PO,IV,IP,IM, dan SC. Catat waktu pemberiannya 4. Tempatkan mencit kedalam bejana untuk pengamatan. 5. Catat dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok, bandingkan hasilnya.

27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tabel Pengamatan Pengamatan

Hewan

Obat

Dosis

Rute

Waktu

Waktu

Waktu

Hilang

kembali

Onset

Durasi

Pemberian

Righting

Righting

kerja

kerja

Reflex

Reflex

obat

obat

(menit )

(menit )

(menit)

(menit)

(menit )

14.48

15.30

16.00

42

30

14.18

14.55

15.18

37

23

14.26

15.08

15.30

42

22

14.36

14.56

15.56

20

60

14.38

15.03

15.42

25

39

Obat

100mg/70 kgBB Mencit 1

Fenobarbital

manusia

PO

100mg/70 kgBB Mencit 2

Fenobarbital

manusia

SC

100mg/70 kgBB Mencit 3

Fenobarbital

manusia

IV

100mg/70 kgBB Mencit 4

Fenobarbital

manusia

IP

100mg/70 kgBB Mencit 5

Fenobarbital

manusia

IM

28

4.2

Pembahasan Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan saraf lainnya dalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. Percobaan kali ini untuk obat sedatative hipnotive dengan menggunakan fenobarbital, karena fenobarbital adalah obat tidur jangka panjang. Pada praktikum kali ini yang dilakukan tentang pengaruh rute pemberian terhadap obat sedative hipnotik yang bertujuan untuk melakukan cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada mencit, mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul, mengetahui efek sedasi pada mencit dan memahami awal kerja obat dan durasi efek sedasi. Perbedaan rute mempunyai peranan penting, karena menunjukkan jumlah obat yang masuk ke dalam sistemik. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat maupun menyebabkan kegagalan pada pengobatan tiap rute yang berbeda-beda kecepatannya. Pada praktikum kali ini dengan menggunakan 5 ekor mencit yang memiliki bobot sekitar 32-37 gram dengan cara rute pemberian obat yaitu secara Intravena, Peroral, Subkutan, Intraperitoneal, dan Intramuskular. Dari hasil pengamatan diperoleh Onset dan Durasi yang berbeda. Onset Kerja Obat merupakan mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat sampai hilangnya Righting Reflex hingga tidur), sedangkan Durasi Kerja Obat adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya Righting Reflex hingga tidur, sampai kembali efek tersebut). Berdasarkan teoritis Onset paling cepat yaitu : 1. Intravena

2. 3. 4. 5.

: Tidak mengalami tahap absorpsi, obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga kadar obat dalam darah diperoleh dengan cepat. Intraperitoneal : Karena banyak pembuluh darah sehingga langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Intramuskular : Lapisan lemak kecil Subkutan : Lemak yang cukup banyak sehingga obat terhalang oleh lemak sebelum terabsorpsi. Peroral : Rute Panjang untuk mencapai reseptor

Pada praktikum di dapatkan hasil Onset cepat yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.

Intraperitoneal Intramuskular Subkutan Intravena Peroral

29

Dari hasil pengamatan yang dilakukan kelompok kami, mencit pada praktikum yang dihasilkan Onset Kerja cepat tidak sesuai dengan teoritisnya. Hal ini dikarenakan perbedaan kondisi psikis dan patologis yang mungkin dialami oleh hewan uji. Dan pada penyuntikkan dosisnya kurang tepat dikarenakan pada saat disuntik ada cairan yang keluar dan tidak masuk ke dalam pembuluh darah secara sempurna. Berdasarkan teoritis Durasi Kerja Obat paling singkat : 6. Intravena

: Langsung bereaksi dengan reseptor dan lebih cepat diabsorpsi sehingga durasi obatnya cepat. 7. Peroral : Rutenya Panjang maka konsentrasi obat yang diabsorpsi semakin dikit dan efek semakin cepat. 8. Intraperitoneal : Langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek lebih cepat. 9. Intramuscular : Lapisan lemak cukup banyak sehingga obat akan tertahan lama 10. Subkutan : Lapisan lemak cukup banyak sehingga durasi lama. Pada praktikum didapatkan Durasi Kerja Obat paling singkat : 1. 2. 3. 4. 5.

Intravena Subkutan Peroral Intramuscular Intraperitoneal

30

BAB V PENUTUP

5.1

Kesimpulan Dari hasil praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa cara pemberian obat dapat mempengaruhi absorbs suatu obat. ➢ Onset paling cepat : a. Intraperitoneal b. Intramuscular c. Subkutan d. Intravena e. Peroral ➢ Durasi paling singkat : a. Intravena b. Subkutan c. Peroral d. Intramuscular e. Intraperitoneal

5.2

Saran Lebih berhati-hati dalam melakukan rute pemberian obat pada hewan coba. Supaya tidak melukai hewan tersebut. Dan dalam perhitungan dosis harus tepat untuk mencapai efek yang maksimal.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, Bertram G. 1989. Farmakologi Dasar & Klinik. Salemba Medika : Jakarta. 2. Syarif, Amir, dr SKM, spFK, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Gaya Baru 3. Shargel, Leon. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetik Terapan Edisi II. Surabaya : Airlangga Universitas Press

32

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Judul Praktikum : Eksperimen Dasar Faktor yang Mempengaruhi Efek Farmakologi (Variasi Biologi dan Variasi Kelamin)

1.2

Latar Belakang Banyak faktor yang dapat berpengaruh pada efek obat yang diberikan, dalam eksperimen rute pemberian obat, telah ditelah faktor ini pada efek obat. Dikatakan bahwa berbagi faktor mempengaruhi dosis obat, maka hal ini hendaknya dilihat dalam kaitan pengaruh faktor ini terhadap efek obat sehingga dengan demikian dosis obat perlu ddisesuaikan. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi efek obat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu : 1.) Faktor-faktor luar tubuh 2.) Faktor-faktor internal pada penerimaan obat

1.3. Tujuan Praktikum Mahasiswa dapat mengenal dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi obat serta mengajukan hal – hal yang melandasi pengaruh faktor – faktor tersebut secara teoritis dan praktis.

33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teori Umum Banyak faktor yang berpengaruh pada efek obat yang diberikan. Dalam eksperimen rute pemberian obat, telah ditelaah faktor ini pada efek obat. Kalau dikatakan bahwa berbagai faktor mempengaruhi dosis obat, maka hal ini hendaknya dilihat dalam kaitan pengaruh faktor ini terhadap efek obat, sehingga dengan demikian dosis obat perlu disesuaikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek obat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu : 1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri adalah umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik. 2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan,dan cara pemeliharaan. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu, cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan.

34

Faktor-faktor pada penerima obat yang dapat mempengaruhi efek obat antara lain adalah usia, status fungsional dan struktural ( kondisi patologis dari menerima obat yang dapat memodifikasi fungsi dan/atau struktur sel, jaringan organ maupun sistem tubuhnya dan faktor genetiknya ) jenis kelamin, bobot tubuh dan luas permukaan, suasana kejiwaan penerima obat dan kondisi mikroflora saluran pencernaan. Pada umumnya faktor-faktor yang sama antara penerima obat (misalnya usia, Jenis kelamin , Bobot tubuh, Luas permukaan tubuh dan ras). Pada pemberian obat yang sama, dengan dosis sama dan rute pemberian sama masih dapat diamati efek Farmakologi secara kuantitatif itu diambil kesimpulan bahwa yang menyebabkan perbedaan ini adalah variasi biologik antara penerima obat. Sebagai mahkluk hidup yang dinamis, selalu ada perbedaan sesaat atau tepat antara sesamanya, karena pengalaman yang berbeda maupun yang ditanggapi secara berbeda. Jenis kelamin dapat mengakibatkan perbedaan yang kualitatif dalam efek farmakologi obat. Perbedaan yang kadang kala fundamental dalam pola fisiologi dan biokimia antara jenis jantan dan betina menyebabkan hal ini. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat 1. Faktor Genetik atau Keturunan Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadangkadang terjadi dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat. Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui n-asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo merupakan asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit, dan pada asetilator lambat antara 140-200 menit. Faktor genetik juga berpengaruh ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.

35

2. Perbedaan Spesies dan Galur Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadangkadang perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif. Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine, sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada bebek diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan sebagai asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami deaminasi oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol, pada kucing terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan asam glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil transferase. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-ortohidroksifenitoin. 3. Perbedaan Jenis Kelamin Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin, metabolisme juga tergantung pada macam substrat. Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat. Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.

36

4. Perbedaan Umur Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital, bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit. Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit. Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan hemoglobin dengan obatobat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. 5. Penghambatan enzim Metabolisme Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas. Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan isonizid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (S)warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.

37

6. Induksi enzim metabolism Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa obat dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obatobat tertentu atau prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Oleh karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital, maka dosis warfarin harus disesuaikan (diperbesar). Rokok mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin, dan profoksifen. Fenobarbital, dapat meningkatkan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral. Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan kortisol. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif. Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati, misal kanker hati.(Siswandono, 1995) Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksireaksi alergik. Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau

38

hiperaktif terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat. Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu seorang pasien pada waktu yang berbeda. a. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat. b. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap antagonis-antagonis farmakologik. c. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahanperubahan dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahanperubahan efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain. Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.

39

d. Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptorreseptor, respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ. (Bertram G. Katzung,2001) Faktor-faktor lain • Interaksi obat Perubahan respons penderita akibat interaksi obat. • Toleransi Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik. Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps. • Bioavailabilitas bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi

40

terapi. Contoh obat yang seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin, fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin. • Pengaruh Lingkungan Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obatobat tertentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obatobat tersebut dan dengan demikian mengurangi respons penderita. • Plasebo Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi. Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga mengoptimalkan proses penyembuhan.

41

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1

3.2

Alat dan Bahan Hewan Coba

: Mencit putih, jantan dan betina ( jumlah masing – masing 3 ekor ), usia 2 bulan, bobot tubuh 20 – 30 g

Obat

: Fenobarbital 100mg/70kgBB manusia secara IP

Alat

: Spuit injeksi 1 ml, jarum suntik No. 27 ( 3/4 – 1 inch ), timbangan hewan, bejana untuk pengamatan, stopwatch

Perhitungan ➢ Perhitungan dosis Fenobarbital Berat masing-masing mencit : 1. Mencit I (jantan)

: 35 g

2. Mencit II (jantan)

: 29 g

3. Mencit III (jantan)

: 34 g

4. Mencit IV (betina)

: 28 g

5. Mencit V (betina)

: 23 g

6. Mencit VI (betina)

: 27 g

42

1.

Mencit I jantan (35 g) Diketahui

Ditanya Jawab

: Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 35 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 35 g =

35 g 20 g

x 0,26 mg = 0,455 mg

Volume fenobarbital pada mencit 35 g =

0,455 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00455 ml x 10

= 0,0455 ml ~ 0,05 ml 2. Mencit II jantan (29 g) Diketahui

: Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml

Ditanya Jawab

: Volume pemberian pada mencit 29 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 29 g =

29 g 20 g

x 0,26 mg = 0,377 mg

Volume fenobarbital pada mencit 29 g =

0,377 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00377 ml x 10

= 0,0377 ml ~ 0,04 ml

43

3. Mencit III jantan (34 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg

Ditanya Jawab

Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 34 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 34 g =

34 g 20 g

x 0,26 mg = 0,442 mg

Volume fenobarbital pada mencit 34 g =

0,442 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00442 ml x 10

= 0,0442 ml ~ 0,04 ml 4. Mencit IV betina (28 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml Ditanya Jawab

: Volume pemberian pada mencit 28 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,002 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 28 g =

28 g 20 g

x 0,26 mg = 0,364 mg

Volume fenobarbital pada mencit 28 g =

0,364 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00364 ml x 10

= 0,0364 ml ~ 0,04 ml

44

5.

Mencit V betina (23 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml Ditanya Jawab

: Volume pemberian pada mencit 23 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 23 g =

23 g 20 g

x 0,26 mg = 0,299 mg

Volume fenobarbital pada mencit 23 g =

0,299 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00299 ml x 10

= 0,0299 ml ~ 0,03 ml 6.

Mencit VI betina (27 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 100 mg

Ditanya Jawab

Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 27 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg Dosis fenobarbital pada mencit 27 g =

27 g 20 g

x 0,26 mg = 0,351 mg

Volume fenobarbital pada mencit 27 g =

0,351 mg 200 mg

x 2 ml = 0,00351 ml x 10

= 0,0351 ml ~ 0,04 ml

45

➢ Perhitungan Onset Kerja 1. Mencit I jantan : 14.47 – 13.58 = 49 menit 2. Mencit II jantan : 14.45 – 14.03 = 43 menit 3. Mencit III jantan : 14.49 – 14.03 = 46 menit 4. Mencit IV betina : 15.33 – 14.16 = 67 menit 5. Mencit V betina : 15.23 – 14.16 = 67 menit 6. Mencit VI betina : 15.06 – 14.16 = 50 menit

3.3

Prosedur 1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing – masing mencit selama 10 menit. 2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing – masing mencit. 3. Berikan larutan fenobarbital 100 mg / 70 kgBB manusia secara IP catat waktu pemberiannya. 4. Tempatkan mencit kedalam bejana untuk pengamatan. 5. Amati selama 45 menit. 6. Catat dan tabelkan pengamatan masing – masing kelompok. Bandingkan hasilnya.

46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tabel Pengamatan Pengamatan

Hewan

Obat

Dosis

Rute

Waktu

Waktu

Waktu

Hilang

Kembali

Onset

Durasi

Pemberian

Righting

Righting

Kerja

Kerja

Reflex

Reflex

Obat

Obat

(menit )

(menit )

(menit)

(menit)

(menit )

13.58

14.47

-

49

-

14.03

14.45

-

43

-

14.03

14.49

-

46

-

14.16

15.33

-

77

-

14.16

15.23

-

67

-

Obat

Mencit Fenobarbital jantan

Mencit Fenobarbital jantan

Mencit Fenobarbital jantan

Mencit Fenobarbital betina

Mencit

Fenobarbital

100mg/70 kgBB manusia

100mg/70 kgBB manusia

100mg/70 kgBB manusia

100mg/70 kgBB manusia

IP

IP

IP

IP

IP

47

betina

100mg/70 kgBB manusia

Mencit Fenobarbital betina

4.2

100mg/70 kgBB manusia

IP 14.16

15.06

-

50

-

Pembahasan Pada praktikum kali ini yang dilakukan tentang Faktor yang Mempengaruhi Efek Farmakologi (Variasi Biologi dan Variasi Kelamin). Pada percobaan kali ini menggunakan Fenobarbital yang memiliki efek sedasi dan hipnotik. Menurut teori jenis kelamin, jantan lebih cepat berefek disbanding betina dan untuk bobot tubuh yang lebih kecil yang lebih cepat berefek dibanding bobot tubuh yang besar. Dari data yang diperoleh sangat bervariasi, namun jika dilihat dari keseluruhan dapat ditentukan. Dari data yang diperoleh untuk mencit jantan dengan bobot yang lebih kecil menghasilkan efek yang cepat dan data yang diperoleh kelompok kami sesuai dengan teori yang ada dengan dosis yang diberikan sesuai dan efek yang diinginkan tercapai. Sedangkan pada mencit betina tidak sesuai dengan teori yaitu bobot yang lebih besar lebih mudah berefek daripada bobot yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan kurang terampilnya praktikum dalam penyuntikkan atau pada saat penyuntikkan di spuit banyak gelembung yang jika di teliti dosisnya kurang sehingga efek yang diinginkan tidak tercapai. Perbandingan data pada mencit jantan dan mencit betina dari data yang diperoleh jantan lebih cepat berefek dan betina lebih lama berefek sehingga hasilnya sesuai dengan teori. Tetapi pada praktikum kali ini hanya dapat diketahui Hasil Onset Kerja saja untuk Durasi Kerja tidak ada karena mencit tidak tidur dan hanya mengantuk saja dan waktu praktikum yang kurang atau pada saat penyuntikkan kurang tepat pada tempat yang dituju atau dosisnya kurang dikarenakan dalam spuit banyak gelembung udaranya. Faktor kesalahan

48

Kesalahan-kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan, antara lain kurang terampil praktikan dalam penyuntikkan, dosis obat yang tidak sesuai karena ada obat yang terbuang saat penyuntikkan, tempat penyuntikkan yang kurang tepat. Pengamatan dan pencatatan data tidak lengkap dan manajemen waktu kurang baik dikarenakan sulit dalam penyuntikkan dapat menjadi factor kesalahan dalam praktikum.

49

BAB V PENUTUP

5.1

Kesimpulan 1. Antara mencit jantan hasilnya sesuai dengan teori yaitu bobot mencit yang lebih ringan lebih cepat berefek disbanding bobot yang lebih besar. 2. Antara mencit betina hasilnya kurang sesuai dengan teori yaitu bobot mencit yang besar lebih cepat berefek disbanding mencit yang bobotnya lebih ringan, harusnya bobot mencit yang lebih ringan lebih cepat berefek disbanding bobot yang lebih besar. 3. Antara mencit jantan dan mencit betina sesuai dengan teori yaitu mencit jantan lebih cepat berefek daripada mencit betina.

5.2

Saran Disarankan agar memakai dua atau lebih spesies hewan agar dapat dilihat perbandingan respon farmakologi antarspesies. Disarankan agar dosis yang diberikan ada yang seragam ada yang tidak seragam. Satu menyesuaikan dengan perbandingan berat badan, sedang yang lainnya tidak menyesuaikan dengan berat badan, sehingga dapat dilihat perbandingannya antara kedua dosis.

50

DAFTAR PUSTAKA 1. Katzung, B.G. 2002. “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba Medika : Jakarta, Halaman 44-46. 2. Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting (Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya). PT. Elex Media Komputindo : Jakarta 3. Gan, S. 1980. “Farmakologi dan Terapi”. Edisi 2. Penerbit Buku Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

51

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Judul praktikum : Eksperimen Dasar (Hubungan Dosis Obat VS Respon)

1.2

Latar Belakang : Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul. Pemikiran ini sudah berlangsung lebih dari seabad dan diwujudkan dengan istilah reseptor. Afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk membentuk kompleks obat-reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal yang ditimbulkan oleh obat. Respon terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Memilih di antara sekian banyak obat dan menentukan dosis obat yang tepat, seorang dokter harus mengetahui potensi relative farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam kaitannya dengan efek terapeutik yang diharapkan. Potensi mengacu pada konsentrasi (EC50) atau dosis (DE50) obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% efek maksimal obat tersebut. Potensi obat bergantung sebagian pada afinitas reseptor untuk mengikat obat dan sebagian lagi pada efisiensi interaksi, yang mana interaksi reseptor obat dihubungkan terhadap respon.

52

Perlu dibedakan antara potensi obat dan efikasi. Keefektifan obat secara klinik tidak bergantung pada potensinya (EC50), tetapi pada efikasi maksimalnya dan kemampuannya mencapai reseptor yang bersangkutan. Kemampuan ini dapat bergantung pada cara pemberian, penyerapan, distribusi di dalam tubuh, dan klirens dari darah atau titik tangkap obat. Efikasi obat yang maksimal jelas krusial untuk mengambil keputusan klinik ketika diperlukan respon yang besar. Potensi farmakologis sebagian besar dapat menentukan dosis obat terpilih yang diberikan. Kuantal efek dosis sering kali dikarakterisasi dengan menyatakan dosis efektif median (DE50, median effective dose ), dosis dimana 50% individeindividu yang menunjukkan efek kuantal tertentu. Demikian juga dosis yang diperlukan menghasilkan efek toksik tertentu dalam 50% hewan-hewan disebut dengan dosis toksis median (TD50, median toxic dose). Kalau secara efek toksiknya adalah kematian hewan tersebut, maka dapat ditentukan secara eksperimental dengan dosis lethal 50 (LD50, median lethal dose). Satu perhitungan, yang menghubungkan dosis suatu obat yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan dengan dosis yang menghasilkan efek yang tidak diinginkan disebut sebagai indeks terapeutik. Indeks terapeutik ini biasa dirumuskan sebagai rasio dari LD50 dengan DE50. 1.3

Tujuan Praktikum 1. Memperoleh kurva hubungan dosis obat VS respon 2. Memperoleh DE50 dan DL50 suatu obat. 3. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasinya.

53

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teori Dasar Intensitas efek obat pada makhluk hidup lainnya meningkat jika dosis obat yang diberikan kepadanya juga meningkat. Prinsip ini memungkinan untuk menggambarkan kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang diberikan, atau menggambarkan kurva dosis respon. Dari kurva demikian dapat diturunkan DE50, artinya dosis yang memberikan efek yang diteliti pada 50% dari hewan percobaan yang digunakan. Prinsip sama dapat digunakan untuk DL50 atau dosis yang menimbulkan kematian pada 50% dari hewan percobaan yang digunakan. Untuk dapat menentukan secara teliti DE50 lazimnya digunakan berbagai transformasi untuk memperoleh garis lurus. Salah satu transformasi ini menggunakan transformasi log-probit, dalam hal ini dosis yang digunakan ditransformasi menjadi logaritma dan persentase hewan yang memberikan respon ditransformasikan menjadi nilai probit. Adapun respon dosis sangat dipengaruhi oleh: 1. Dosis yang di berikan. 2. Penurunan / kenaikkan tekanan darah. 3. Kondisi jantung. 4. Tingkat metabolisme dan ekskresi.

54

Respon obat masing–masing individu berbeda–beda. Respon biasanya disebabakan oleh perbedaan genetic pada metabolisme obat atau mekanismemekanisme imunologik, termasuk rasa alergi. Empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan merespon suatu obat : a. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor. b. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen. c. Perubahan dalam jumlah atau fungsi reseptor–reseptor. d. Perubahan – perubahan dalam komponen respon dastal dari reseptor. ➢ Hubungan dosis obat – persen responsif : Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam 10%) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan diperoleh kurva distribusi normal. ➢ Hubungan antara dosis obat dengan respon penderita ➢ Potensi obat Potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorbsi, distribusi, biotransformasi, metabolisme, ekskresi. Kemampuan bergabung dengan reseptor dan sistem efektor. Atau ukuran dosis obat yang diperlukan untuk menghasilkan respon. ➢ Efikasi maksimal Efek maksimal obat dinyatakan sebagai efikasi (kemanjuran) maksimal atau disebut saja dengan efikasi. Efikasi tergantung pada kemampuan obat tersebut untuk menimbulkan efeknya setelah berinteraksi dengan reseptor. Efikasi dapat dibatasi timbulnya efek yang tidak diinginkan, sehingga dosis harus dibatasi. Yang berarti bahwa efek maksimal tidak tercapai. Tiap obat mempunyai efikasi yang berbeda. Misalnya : Morphin, mampu menghilangkan semua intensitas nyeri, sedangkan aspirin hanya menghilangkan nyeri ringan sampai sedang saja.

55

DL50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang pecobaan. DL50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam) sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterapkan dalam grafik yang menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat). DL secara variable menyatakan bahwa dosis ini akan membunuh binatang-banatang dengan sensitivitasnya rata-rata hampir sama. LD50 merupakan suatu hasil dari pengujian dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD50 bukanlah merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain, dan malahan pada laboratorium yang sama akan berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan. Oleh karena itu kondisi-kondisi pada percobaan pengujian harus dicatat, demikian pula spesies dan strain binatang yang digunakan harus sama pada setiap kali dilakukan percobaan. Demikian pula cara pemberian, konsentrasi zat penambah untuk melarutkan obat atau untuk membuat dalam bentuk variable atau bubuk dan besarnya volume yang diberikan harus seteliti mungkin dan dicatat. Diet, suhu lingkungan dan lain-lain variable tidak selalu dapat dikontrol dengan baik. Oleh karena itu suatu standar yang berhubungan dikontrol dengan baik. Dengan pemberian obat ini harus diteliti sebagai pembanding.

56

➢ Indeks terapeutik Indeks terapeutik adalah suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosis-dosis yang efektif dan dosis yang toksik. Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan dan respon toksik pada berbagai dosis obat. Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan tolensitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aksi Obat : 1. Berat badan 2. Umur 3. Jenis kelamin 4. Kondisi patologik pasien 5. Genetik ( Idiosinkrasi ) 6. Cara pemberian obat : a. Yang memberikan efek sistemik : oral; sublingual; bukal; parenteral; implantasi subkutan; rektal. b. Yang memberikan efek lokal : inhalasi; topikal ( pada kulit ) : salep, krim , lotion; obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga.

57

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1

3.2

Alat dan Bahan Hewan Coba

: Mencit putih, jantan betina ( jumlah masing-masing 3 ekor ), bobot tubuh 20 – 30 g

Obat

: Fenobarbital secara IP

Alat

: Spuit injeksi 1 ml, jarum suntik No. 26 ( 1/2 inch ), timbangan hewan, bejana untuk pengamatan, stopwatch

Perhitungan ➢ Perhitungan Dosis Fenobarbital Berat masing-masing mencit : 1. Mencit I (jantan)

: 31 g

2. Mencit II (jantan)

: 35 g

3. Mencit III (jantan)

: 36 g

58

1. Mencit I jantan (31 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 800 mg

Ditanya Jawab

Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 31 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 800 mg = 2,08 mg Dosis fenobarbital pada mencit 31 g =

31 g 20 g

x 2,08 mg = 3,224 mg

Volume fenobarbital pada mencit 31 g =

3,224 mg 200 mg

x 2 ml = 0,03224 ml x 10

= 0,3224 ml ~ 0,3 ml

2. Mencit II jantan (35 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 800 mg

Ditanya Jawab

Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 35 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 800 mg = 2,08 mg Dosis fenobarbital pada mencit 35 g =

35 g 20 g

x 2,08 mg = 3,64 mg

Volume fenobarbital pada mencit 35 g =

3,64 mg 200 mg

x 2 ml = 0,0364 ml x 10

= 0,364 ml ~ 0,4 ml

59

3. Mencit III jantan (36 g) Diketahui : Dosis fenobarbital pada manusia 70 kg = 800 mg Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 200mg/2ml : Volume pemberian pada mencit 36 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 800 mg = 2,08 mg Dosis fenobarbital pada mencit 36 g

Ditanya Jawab

=

36 g 20 g

x 2,08 mg = 3,744 mg

Volume fenobarbital pada mencit 36 g =

3,744 mg 200 mg

x 2 ml = 0,03744 ml x 10

= 0,3744 ml ~ 0,4 ml ➢ Perhitungan Persamaan Regresi y = a + bx DE50 Dik = a = 100 b =0 Jwb = y = a + bx 50 = 100 + 0. X X = 50 – 100 = ~ DL50 Dik = a = 0 b=0 Jwb = y = a + bx 50 = 0 + 0. X X=

50−0 0

=~

60

3.3. Cara Kerja 1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masingmasing mencit selama 10 menit. 2. Mencit dibagi menjadi 6 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2) : • Kelompok I : Fenobarbital 100mg/70kgBB manusia secara IP • Kelompok II : Fenobarbital 200mg/70kgBB manusia secara IP • Kelompok III : Fenobarbital 400mg/70kgBB manusia secara IP • Kelompok IV : Fenobarbital 800mg/70kgBB manusia secara IP • Kelompok V : Fenobarbital 1600mg/70kgBB manusia secara IP • Kelompok VI : Fenobarbital 3200mg/70kgBB manusia secara IP 3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit. 4. Berikan larutan fenobarbital sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu pemberiannya. 5. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan. 6. Amati selama 45 menit. Catat waktu pemberian dan waktu saat timbulnya efek.

61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Pengamatan Efek yang Diamati yaitu : Pengamatan Waktu Hewan

Obat

Dosis

Efek yang Diamati

Obat

Waktu Saat Timbul Efek Obat

14.18

14.33

Efek sesuai

14.24

14.52

Efek sesuai

14.22

14.40

Efek sesuai

14.28

14.59

Efek sesuai

14.31

14.49

Efek sesuai

14.36

14.52

Peka

14.25

14.35

Efek sesuai

14.31

15.01

Resisten

14.36

14.53

Peka

14.22

14.31

Efek sesuai

14.27

14.36

Peka

14.32

14.45

Efek sesuai

14.21

14.35

Peka

14.34

15.34

Efek sesuai

Rute Pemberian

Mencit Jantan

Fenobarbital

Mencit Jantan

Fenobarbital

Mencit Jantan

Fenobarbital

Mencit Jantan

Fenobarbital

100mg /70 kgBB manusia

200mg/ 70 kgBB manusia

400mg/ 70 kgBB manusia

800mg/ 70 kgBB manusia

IP

IP

IP

IP

Mencit Jantan

Fenobarbital

IP

62

1600mg /70 kgBB manusia

Mencit Jantan

Fenobarbital

Keterangan • • • • •

3200mg /70 kgBB manusia

14.30

15.40

Peka

14.25

14.53

Peka

14.35

14.49

Peka

14.32

14.40

Peka

IP

:

Sangat resisten Resisten Efek sesuai Peka Sangat peka

: tidak ada efek : tikus tidak tidur tetapi mengalami ataksia : tikus tidur tetapi tegak kalau diberi rangsang nyeri : tikus tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri : mati

Tabel untuk Menentukan DE50 Mencit yang Mengalami Hilangnya Righting Dosis Reflex Fenobarbital 1 2 3 100mg/70kgBB + + + manusia 200mg/70kgBB + + + manusia 400mg/70kgBB + + + manusia 800mg/70kgBB + + + manusia 1600mg/70kgBB + + + manusia 3200mg/70kgBB + + + manusia

% Indikasi yang Berespon 100% 100% 100% 100% 100% 100%

63

Tabel untuk Menentukan DL50 Dosis Fenobarbital 100mg/70kgBB manusia 200mg/70kgBB manusia 400mg/70kgBB manusia 800mg/70kgBB manusia 1600mg/70kgBB manusia 3200mg/70kgBB manusia

Mencit yang Mengalami Kematian

% Indikasi yang Berespon

1

2

3

-

-

-

0%

-

-

-

0%

-

-

-

0%

-

-

-

0%

-

-

-

0%

-

-

-

0%

4.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini yang dilakukan yaitu Hubungan Dosis Obat vs Respon, obat yang digunakan adalah Fenobarbital pada dosis 100mg/70kgBB manusia, 200mg/70kgBB manusia, 400mg/70kgBB manusia, 800mg/70kgBB manusia, 1600mg/70kgBB manusia dan 3200mg/70kgBB manusia. Pada dosis 100mg/70kgBB manusia disuntikkan ketiga ekor mencit dengan bobot 34g, 29g, dan 32g mendapatkan kekuatan dosis yang sama dan efek yang sama. Seharusnya pada bobot mencit yang lebih kecil memberikan efek yang lebih cepat disbanding mencit bobot yang lebih besar. Tetapi pada hasil percobaan efek ketiga mencit dengan bobot yang berbeda menghasilkan efek yang sama. Seharusnya pada dosis 100mg/70kgBB manusia belum terlihat efeknya. Pada dosis 200mg/70kgBB manusia disuntikkan ketiga ekor mencit dengan bobot 26g, 34g, dan 35g. Pada bobot mencit 26g dan 34g menghasilkan efek yang sesuai dan pada mencit bobot 35g menghasilkan efek peka. Seharusnya pada bobot mencit yang lebih kecil semakin cepat berefek. Pada dosis 400mg/70kgBB manusia disuntikkan ketiga ekor mencit dengan bobot 34g, 33g, dan dan 30g. Mencit yang bobot kecil menghasilkan efek peka dan mencit yang bobot besar menghasilkan efek sesuai. Pada bobot mencit yang lebih kecil sesuai dengan teoritis karena memberikan efek sesuai.

64

Pada dosis 800mg/70kgBB manusia disuntikkan ketiga ekor mencit dengan bobot 31g, 35g, dan 36g. Pada mencit yang bobotnya lebih besar menghasilkan efek sesuai dan mencit yang bobotnya lebih kecil menghasilkan efek sesuai juga. Seharusnya pada bobot mencit yang lebih besar menghasilkan efek yang lebih kecil. Pada dosis 1600mg/70kgBB manusia disuntikkan ketiga ekor mencit dengan bobot 38g, 39g, dan 37g. Pada bobot mencit yang lebih besar dan bobot mencit yang lebih kecil memiliki efek peka semakin besar dosis yang digunakan efek kematian yang terjadi semakin tinggi jadi harus diawasi penggunaanya. Pada dosis 3200mg/70kgBB manusia disuntikkan ketiga ekor mencit dengan bobot 37g, 32g, dan 27g. Ketiga mencit memiliki efek peka sehingga semakin tinggi dosis semakin cepat berefek. Pada praktikum kali ini diperoleh nilai DE 50 adalah 100mg/70kgBB manusia karena memberikan efek sesuai sedangkan nilai DL 50 tidak ada karena tidak didapatkan mencit yang mati.

65

BAB V PENUTUP

5.1

Kesimpulan 1. DE 50 adalah dosis yang memberikan efek pada 50% hewan coba dan DL 50 adalah dosis yang menyebabkan kematian pada 50% hewan coba. 2. Semakin kecil bobot mencit semakin cepat berefek. 3. Pada percobaan kali ini tidak terjadi DL 50 atau tidak terjadi kematian pada mencit.

5.2

Saran Sebaiknya hewan yang digunakan dalam percobaan ini jangan hanya mencit saja. Kita bisa juga menggunakan tikus atau kelinci.

66

DAFTAR PUSTAKA

1. Schmitz, Gary Hans dan Michaels Heidrich. 2003. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2. Katzung, Bertram, E. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik. Jakarta : EGC 3. Kee, Joyce L dan Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

67

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Judul Praktikum Obat Sistem Saraf Pusat (Uji Analgesik akibat Induksi Kimia dengan Mtode Geliat)

1.2

Latar Belakang Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan salah satu penyebab paling sering pasien datang berobat ke dokter karena rasa nyeri mengganggu fungsi sosial dan kualitas hidup penderitanya. Hasil penelitian The U.S. Centre for Health Statistic selama 8 tahun menunjukkan 32% masyarakat Amerika menderita nyeri yang kronis dan hasil penelitian WHO yang melibatkan lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22% pasien menderita nyeri, minimal selama 6 bulan. Pada populasi orang tua, prevalensi nyeri meningkat menjadi 50%. Rasa nyeri akan disertai respon stress, antara lain berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas. Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani secara kuat, memicu respon stress yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan menurunkan fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme, pembekuan darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan (Hartwig & Wilson, 2006). Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan bisa dirasakan sebagai rasa sakit. Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon terhadap stimulus yang berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin, tertusuk benda tajam, patah tulang, dan lain-lain. Rasa nyeri timbul apabila terjadi kerusakan jaringan akibat luka, terbentur, terbakar, dan lain sebagainya. Hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan posisi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997).

68

Pada dasarnya, rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Meskipun nyeri berguna bagi tubuh, namun dalam kondisi tertentu, nyeri dapat menimbulkan ketidaknyamanan bahkan penderitaan bagi individu yang merasakan sensasi ini. Sensasi nyeri yang terjadi mendorong individu yang bersangkutan untuk mencari pengobatan, antara lain dengan mengkonsumsi obat-obatan penghilang rasa nyeri (Analgetik). Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran Saat ini telah banyak beredar obat-obatan sintetis seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS). Sebanyak 25% obat yang dijual bebas di pasaran adalah analgetik asetaminofen. Obat ini banyak dipakai untuk bayi, anak-anak, dewasa, dan orang lanjut usia untuk keluhan nyeri ringan dan demam (Kee, 1994). 1.3

Tujuan Praktikum : 1. Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi kimia. 2. Mengetahui mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action) dan saat obat mencapai efek yang maksimum.

69

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot (Tjay 2007). Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot, tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall 1997; Ganong 2003). Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujungujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum-lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay & Rahardja 2007). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang

70

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay 2007). Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu : a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics) Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat termasuk derivat asam arylalkanoat. b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan. Ada 3 golongan obat ini yaitu: 1)

Obat yang berasal dari opium-morfin

2)

Senyawa semisintetik morfin

3)

Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

71

Mekanisme Kerja Obat Analgesik a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics) Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar. b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika Mekanisme kerja utamanya

ialah dalam

menghambat enzim

sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer Efek analgesiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).

72

Mekanisme kerja Paracetamol Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana, 1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.

Parasetamol

hanya mempunyai

efek ringan

pada

siklooksigenase perifer (Dipalma, 1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. (Wilmana, 1995). MONOGRAFI Pemerian

: serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit

Kelarutan

: larut dalam air mendidih mudah larut dalam etanol.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya (Anonim1995). Khasiat

: Analgetik, antipiretik

Dosis

: 500 – 2000 mg per hari (Anonim, 1979).

Mekanisme kerja Asam Mefenamat Cara Kerja Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2).

73

Asam mefenamat mempunyai efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan antipiretik. 1. Kontra indikasi • Dikenal hipersensitivitas terhadap Asam mefenamat atau bahan dalam formulasi. • Riwayat asma, urtikaria, atau reaksi sensitivitas lain dipicu oleh aspirin atau NSAID

lainnya.

• nyeri perioperatif dalam pengaturan pembedahan CABG. • ulserasi aktif atau peradangan kronis dari saluran GI bagian atas atau bawah. • sudah ada sebelumnya penyakit ginjal 2. Efek GI Toksisitas GI serius (misalnya, perdarahan, ulserasi, perforasi) dapat terjadi dengan atau tanpa gejala peringatan; peningkatan risiko pada mereka dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulserasi, pasien geriatri, perokok, mereka yang ketergantungan alkohol, dan mereka yang secara umum memikiki kesehatan yang buruk. Untuk pasien berisiko tinggi untuk komplikasi dari NSAIA-induced GI ulserasi (misalnya, perdarahan, perforasi), pertimbangkan penggunaan seiring misoprostol, alternatif, pertimbangkan penggunaan seiring inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol) atau penggunaan NSAIA yang merupakan inhibitor selektif COX-2 (misalnya, celecoxib). 3. Efek Ginjal Cedera langsung ginjal, termasuk nekrosis papiler ginjal, dilaporkan pada pasien yang menerima terapi NSAID jangka panjang. Potensi decompensation terbuka ginjal, Peningkatan risiko toksisitas ginjal pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati atau gagal jantung, pada pasien geriatri, pada pasien dengan penurunan volume, dan pada mereka yang menerima diuretik, ACE inhibitor, atau antagonis reseptor angiotensin II. 74

4. Farmakokinetik Pada Asam Mefenamat

ABSORBSI Bioavailabilitas • Cepat diserap berikut administration. oral, konsentrasi plasma puncak biasanya dicapai dalam waktu 2-4 jam. Makanan • Pengaruh makanan terhadap laju dan tingkat penyerapan tidak diketahui. DISTRIBUSI • Muncul untuk menyeberangi placenta • Didistribusikan ke dalam susu dengan jumlah kecil,

Protein Plasma Binding • 90%

METABOLISME • Dimetabolisme oleh CYP2C9 ke 3'-hidroksimetil asam mefenamat;

oksidasi

lebih

lanjut

menjadi

asam

3'-carboxymefenamic

dapat

terjadi. Asam mefenamat dan metabolitnya juga adalah glucuronidated. ELIMINASI • Rute eliminasi • Diekskresikan dalam urin (52%) terutama sebagai konjugat asam

glukuronat obat dan metabolitnya dan kotoran (<20%). Waktu Paruh • Mefenamat Asam: sekitar 2 jam. Waktu paruh 3'-hidroksimetil asam mefenamat dan asam 3'-carboxymefenamic mungkin lebih lama dari orang tua. Populasi khusus • Paruh 5 kali lebih lama pada bayi prematur dibandingkan dengan dewasa • Pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati, pembersihan metabolit dapat

menurun. • Substansial tidak dihapus oleh hemodialisis.

75

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1

Alat dan Bahan

Hewan Coba

Mencit putih, jantan (jumlah 9 ekor), bobot tubuh 20-30g •

Obat

• • •

Alat

3.2

Larutan asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP CMC Na 1% secara PO Asam mefenamat 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO Paracetamol 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO

Spuit injeksi 1 ml, jarum sonde oral, timbangan hewan, bejana untuk pengamatan, stop watch

Perhitungan ➢ Perhitungan dosis Fenobarbital Berat masing-masing mencit : 1. Mencit I : 25 g 2. Mencit II : 30 g

76

Mencit I (25 g) Diketahui Ditanya Jawab

: Dosis Asam Mefenamat 500mg/70kgBB manusia Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 1g/100ml : Volume pemberian pada mencit 25 g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 500 mg = 1,3 mg Dosis Asam Mefenamat pada mencit 25 g =

25 g 20 g

x 1,3 mg = 1,625 mg

Volume Asam Mefenamat pada mencit 35 g =

1,625 mg 1000 mg

x 100 ml = 0,1625 ml ~ 0,2 ml

Mencit II (30 g) Diketahui Ditanya Jawab

: Dosis Asam Mefenamat 500mg/70kgBB manusia Sediaan fenobarbital yang ada dilaboratorium = 1g/100ml : Volume pemberian pada mencit g? : Faktor konversi manusia 70 kg -> mencit 20 g (lihat tabel) = 0,0026 maka dosis fenobarbital pada mencit 20 g = 0,0026 x 500 mg = 1,3 mg Dosis Asam Mefenamat pada mencit 30 g =

30 g 20 g

x 1,3 mg = 1,95 mg

Volume fenobarbital pada mencit 30 g =

1,95 mg 1000 mg

x 100 ml = 0,915 ml ~ 0,2 ml

77

3.2

PROSEDUR KERJA 1. Siapkan mencit sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masingmasing mencit selama 10menit. 2. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (factor perkalian 2): Kelompok I : CMC Na 1% secara PO Kelompok II : Asam mefenamat 500mg / 70 kg BB manusia secara PO Kelompok III : Paracetamol 500mg/ 70 kg BB manusia secara PO 3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit. 5. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu pemberiannya. 6. Setelah ditunggu 15-30menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asam glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP 7. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan. 8. Amati, catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit

78

BAB IV PEMBAHASAN

4.1

HASIL PENGAMATAN Efek Geliat Jml Geliat

Percobaan

Bahan

Obat

Respon Awal

Dlm Periode

X

15-60

Awal

Akhir

Geliat

Geliat

(menit (menit ) )

Durasi Efek

X

Geliat

Menit Uji Analgesik Akibat Induksi

1

166

14.27

15.27

162 CMC Na 1%

Kimia Dengan

14.04

Mencit

2

14.10

157

14.30

15.30

Menit

60

60

Mnt

Menit 1

13.59

158

Metode

14.21

15.19

150

Geliat

60

2

14.10

141

14.45

15.20

48 Memit

42

35

Mnt

Menit Asam Mefena mat 500mg/ 70kgB B

1

14.17

63

14.35

15.30

54 2

14.28

44

14.43

15.35

55 Menit

54

52

nt

Menit 1

14.22

46

14.49

15.20

54 2

14.06

62

14.33

15.02

31 Menit

30

29

Mnt

79

Menit Paraset amol 500mg/ 70kgB B

1

14.33

16

14.57

15.27

27 2

14.34

37

14.42

15.14

30 Menit

31

32

Mnt

Menit 1

14.07

33

14.34

15.40

28 2

14.10

23

15.05

15.38

66 Menit

50

33

Mnt

Menit

80

4.2. Pembahasan Pada praktikum kali ini yaitu Obat Sistem Syaraf Pusat (Uji Analgesik Akibat Induksi Kimia Dengan Metode Geliat). Dari jumlah yang dihasilkan dari data tersebut. Pada obat CMC Na 1% menghasilkan jumlah geliat 166 kali dan 157 kali (kel.1) dan jumlah geliat 158 kali dan 141 kali (kel.2). Pada obat Asam Mefenamat 500mg/70kgBB manusia menghasilkan jumlah geliat 63 kali dan 44 kali (kel.3) dan jumlah geliat 46 kali dan 62 kali (kel.4). Pada obat Parasetamol 500mg/70kgBB menghasilkan jumlah geliat 16 kali dan 37 kali (kel.5) dan jumlah geliat 33 kali dan 23 kali (kel.6). Pada CMC Na lebih banyak jumlah geliatnya dikarenakan CMC Na tidak memiliki efek analgesik/penghilang rasa sakit. Jadi saat diberi penginduksi nyeri mencit merasakan nyeri yang luar biasa. Pada Asam Mefenamat dan Parasetamol jumlah geliat Asam Mefenamatlebih banyak disbanding jumlah geliat pada Parasetamol. Berdasarkan jumlah geliat, geliat yang paling banyak dihasilkan yaitu pada CMC Na, Asam Mefenamat dan Parasetamol hal ini sesuai dengan teori yang ada Dilihat dari durasi efek geliat seharusnya semakin sedikit durasi semakin sedikit jumlah geliat nya dan semakin lama durasi semakin banyak jumlah geliat yang dihasilkan. Pada hasil praktikum yang menggunakan obat Parasetamol durasi geliatnya lebih lama dibandingkan denghan CMC Na, seharusnya yang durasi geliatnya lebih lama yaitu CMC Na karena CMC Na memiliki jumlah geliat yang lebih banyak perbandingan pada Asam Mefenamat dan Parasetamol didapatkan Asam Mefenamat lebih lama durasinya disbanding Parasetamol. Fungsi utaman Asam Mefenamat untuk mengurangi dan menghilangkan dan rasa nyeri. Parasetamol juga obat Pereda nyeri, tetapi Parasetamol tidak dapat meringankan peradangan, melainkan hanya akan menghambat pengiriman pesan “nyeri”

keotak.

Mekanisme kerja

Parasetamol

menghambat produksi

prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun Parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi sedangkan mekanisme kerja dari Asam Mefenamat menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesic, anti

81

inflamasi, dan anti tiretik. Tetapi pada hasil percobaan berbeda secara teori hal ini dikarenakan banyak factor, misalnya factor genetic dapat mempengaruhi respon terhadap pemberian obat, factor lingkungan fisik, dapat pula mempengaruhi daya kerja obat, misalnya suhu lingkungan tinggi menyebabkan pembuluh darah perifer melebar sehingga dapat meningkatkan kerja vasedilator.

82

BAB V PENUTUP

5.1

Kesimpulan 1. Pada CMC Na 1% tidak terdapat efek analgesic. 2. Jumlah geliat CMC Na banyak dihasilkan. 3. Durasi kerja Paracetamol paling lama, hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada.

5.2 Saran Praktikan dapat berhati-hati dalam setiap praktikum yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau bahaya yang ditimbulkan serta teliti dan cermat dalam melakukan percobaan.

83

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. PT Gramedia : Jakarta. 2. Satyanegara, M.D. 1978. Teori dan Terapi Nyeri. Jakarta : Pantjasimpati. 3. Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

84

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I........................................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1 1.1.

Judul Percobaan : ................................................................................................... 1

1.2.

Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.3.

Tujuan Eksperimen ................................................................................................ 1

BAB II ...................................................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................... 2 2.1.

Landasan Teori ....................................................................................................... 2

BAB III..................................................................................................................................... 4 METODELOGI PENELITIAN ............................................................................................ 4 3.1.

Alat ........................................................................................................................... 4

3.2.

Prosedur Kerja ........................................................................................................ 4

BAB IV ................................................................................................................................... 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 15 4.1

Pembahasan ........................................................................................................... 15

BAB V .................................................................................................................................... 17 PENUTUP.............................................................................................................................. 17 5.1.

Kesimpulan ............................................................................................................ 17

5.2.

Saran ...................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 18 BAB I...................................................................................................................................... 19 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 19 1.1

Judul percobaan : ................................................................................................. 19

1.2

Latar Belakang ...................................................................................................... 19

1.3

Tujuan Praktikum ................................................................................................ 19

BAB II .................................................................................................................................... 20

85

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 20 2.1.

Teori Dasar ............................................................................................................ 20

BAB III................................................................................................................................... 24 METODOLOGI PRAKTIKUM.......................................................................................... 24 3.1.

Alat dan Bahan ...................................................................................................... 24

3.2.

Perhitungan Dosis ................................................................................................. 24

3.3

Prosedur ................................................................................................................. 27

BAB IV ................................................................................................................................... 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 28 4.1.

Tabel Pengamatan ................................................................................................ 28

4.2

Pembahasan ........................................................................................................... 29

BAB V .................................................................................................................................... 31 PENUTUP.............................................................................................................................. 31 5.1

Kesimpulan ............................................................................................................ 31

5.2

Saran ...................................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 32 BAB I...................................................................................................................................... 33 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 33 1.1

Judul Praktikum : ................................................................................................. 33

1.2

Latar Belakang ...................................................................................................... 33

1.3.

Tujuan Praktikum ................................................................................................ 33

BAB II .................................................................................................................................... 34 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 34 2.1

Teori Umum .......................................................................................................... 34

BAB III................................................................................................................................... 42 METODOLOGI PRAKTIKUM.......................................................................................... 42 3.1

Alat dan Bahan ...................................................................................................... 42

3.2

Perhitungan ........................................................................................................... 42

3.3

Prosedur ................................................................................................................. 46

BAB IV ................................................................................................................................... 47 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 47 4.1.

Tabel Pengamatan ................................................................................................ 47

86

4.2

Pembahasan ........................................................................................................... 48

BAB V .................................................................................................................................... 50 PENUTUP.............................................................................................................................. 50 5.1

Kesimpulan ............................................................................................................ 50

5.2

Saran ...................................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 51 BAB I...................................................................................................................................... 52 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 52 1.1

Judul praktikum : ................................................................................................. 52

1.2

Latar Belakang : ................................................................................................... 52

1.3

Tujuan Praktikum ................................................................................................ 53

BAB II .................................................................................................................................... 54 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 54 2.1

Teori Dasar ............................................................................................................ 54

BAB III................................................................................................................................... 58 METODOLOGI PRAKTIKUM.......................................................................................... 58 3.1

Alat dan Bahan ...................................................................................................... 58

3.2

Perhitungan ........................................................................................................... 58

3.3.

Cara Kerja ............................................................................................................. 61

BAB IV ................................................................................................................................... 62 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 62 4.1

Hasil Pengamatan ................................................................................................. 62

4.2

Pembahasan ........................................................................................................... 64

BAB V .................................................................................................................................... 66 PENUTUP.............................................................................................................................. 66 5.1

Kesimpulan ............................................................................................................ 66

5.2

Saran ...................................................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 67 BAB I...................................................................................................................................... 68 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 68 1.1

Judul Praktikum ................................................................................................... 68

1.2

Latar Belakang ...................................................................................................... 68

87

1.3

Tujuan Praktikum : .............................................................................................. 69

BAB II .................................................................................................................................... 70 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 70 2.1 Teori Dasar .................................................................................................................. 70 BAB III................................................................................................................................... 76 METODOLOGI PRAKTIKUM.......................................................................................... 76 3.1

Alat dan Bahan ...................................................................................................... 76

3.2

Perhitungan ........................................................................................................... 76

3.2

PROSEDUR KERJA ............................................................................................ 78

BAB IV ................................................................................................................................... 79 PEMBAHASAN .................................................................................................................... 79 4.1

HASIL PENGAMATAN ...................................................................................... 79

4.2.

Pembahasan ........................................................................................................... 81

BAB V .................................................................................................................................... 83 PENUTUP.............................................................................................................................. 83 5.1

Kesimpulan ............................................................................................................ 83

5.2 Saran ............................................................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 84

88

Related Documents

Putri
June 2020 47
Putri
December 2019 50
Putri Inovasi.docx
May 2020 21
Putri Malu
October 2019 58
Putri Puna
November 2019 44

More Documents from ""