Jaksa Agung Gagas Eksekusi Suntik Mati Tags: SINDO JAKARTA (SINDO) - Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menilai hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia. Bahkan, pihaknya mewacanakan perubahan cara eksekusi terhadap terpidana mati dari hukuman tembak menjadi injeksi (suntik mati). "Eksekusi dengan injeksi itu sudah pernah dibicarakan, namun belum kita dalami. Rencananya, kita akan meminta pertimbangan pada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk eksekusi dengan injeksi," kata Abdul Rahman Saleh saat memberikan keterangan mewakili pemerintah dalam sidang uji materiil UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta,kemarin. Pernyataan Abdul Rahman Saleh dalam sidang tersebut merupakan tanggapan terhadap para pemohon yang mengajukan uji materiil UU Narkotika. Para pemohon terdiri atas Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myran Sukumuran, Scott Anthony Rush,dan Andrew Chan. Para pemohon adalah terpidana hukuman mati kasus narkoba di Indonesia. Mereka menganggap pasal yang mengatur hukuman mati dalam UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945. Atas dasar itu,mereka menginginkan agar pasal-pasal dalam UU Narkotika yang terkait hukuman mati dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Menurut Jaksa Agung, dasar ide injeksi itu mengacu pada jenis hukuman mati yang diterapkan di Amerika Serikat. Dia menambahkan, di AS terpidana mati disuntik dua kali dengan bahan mematikan. Suntikan pertama diberikan agar terpidana tersebut pingsan terlebih dulu. Kemudian, diberikan suntikan kedua yang mengandung racun mematikan. "Sehingga, meninggalnya terpidana tersebut terlebih dulu diawali dengan pingsan," ungkap Arman, panggilan akrab Abdul Rahman Saleh. Arman menjelaskan, untuk saat ini eksekusi di Indonesia dilakukan oleh regu tembak. Setelah penembakan dilakukan, eksekutor meminta bantuan dokter untuk memastikan apakah terpidana sudah meninggal. "Jika ternyata belum meninggal,terpidana tersebut akan ditembak di bagian belakang (kepala)," jelasnya. Komisioner untuk Hak Politik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) MM Billah mengatakan, wacana yang dikemukakan Jaksa Agung adalah upaya memperkecil penderitaan atau rasa sakit dari terpidana narkoba. "Upaya pembunuhan lewat suntik tentu bisa mengurangi rasa sakit daripada hukuman lewat pancung atau tembak," katanya kepada SINDO, tadi malam. Namun, secara substansial, dirinya menolak hukuman mati.Menurut Billah, dalam perspektif HAM, hukuman mati sudah selayaknya tidak diperlakukan lagi karena prinsip HAM menghargai hak hidup yang diatur dalam konstitusi. Dia menambahkan, perspektif HAM yang menolak hukuman mati dapat dilihat di banyak negara di dunia. "Kecenderungan di dunia saat ini adalah penghapusan hukuman mati. Banyak pula negara yang mendukung penghapusan hukuman mati. Hal itu membuktikan banyaknya negara yang ingin menjunjung tinggi HAM," ungkap Billah. Billah juga tidak
menyangkal bahwa beberapa negara masih menggunakan hukuman mati.Negara yang masih sepakat dengan hukuman mati itu,katanya,berpendapat bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera pada masyarakat. Namun, jelasnya, sebuah penelitian ilmiah di AS me-nyebutkan, tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan efek jera pada masyarakat. Direktur Human Right Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mengaku heran dengan wacana yang dikemukakan Jaksa Agung. "Itu (hukuman mati lewat injeksi) maksudnya apa, apakah hal itu akan membuat negara lebih beradab dan apakah itu membedakan keberadaban Indonesia dengan negara lain yang melakukan hukuman dengan metode lain?" tegasnya.Dia mengungkapkan,wacana itu tidak akan memberikan efek bahwa negara menjadi lebih beradab. Rafendi mengatakan, wacana itu adalah upaya untuk mempermainkan nasib orang yang sekarang menjadi terpidana hukuman mati. "Sekarang, bagaimana perasaan keluarga yang memiliki anggota terpidana mati ketika mendengar wacana Jaksa Agung tersebut," katanya. Selain itu, ujar dia, wacana injeksi adalah upaya untuk mengalihkan substansi permasalahan hukuman mati. Baginya, substansi sebenarnya adalah penolakan hukuman mati,namun coba dialihkan oleh Jaksa Agung. Ahli anestesi FKUI/RSCM dr Oloan Tampubolon mengemukakan, hukuman mati melalui injeksi untuk mempercepat kematian masih diperdebatkan hingga kini. "Kondisi badan antara orang satu dengan yang lain itu berbeda-beda. Butuh deteksi secara dekat," katanya saat dihubungi SINDO. Dia mengakui adanya negara yang telah memberlakukan hukuman mati melalui injeksi itu, terutama di Amerika Latin.Menurut dia, pilihan metode melakukan hukuman mati bukan substansial. "Yang substansi itu kan hukuman itu dilaksanakan. Setelah itu, kalangan dokter disuruh memastikan apakah sudah meninggal atau belum," tukasnya. Hukuman
Mati
Masih
Relevan
Dalam keterangan kepada Mahkamah Konstitusi, kemarin, Jaksa Agung juga menyangkal jika pasalpasal dalam UU Narkotika yang menyebutkan hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Menurut Arman, Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. "Dalam Pasal 28j ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Maka, pembatasan itulah yang telah membuat hukuman mati tetap dilaksanakan," kata Arman. Menurut dia, dengan adanya Pasal 28j tersebut, hukuman mati masih relevan. Atas alasan itu, Arman memohon agar hakim konstitusi menolak permohonan yang diajukan para pemohon. "Kami meminta agar pasal-pasal tersebut (pasal terkait hukuman mati dalam UU Narkotika) tetap dinyatakan sah dan mengikat," tandasnya. Arman juga menanyakan kedudukan hukum dari pemohon. Dalam uji materiil ini, tiga pemohon adalah warga negara Australia. "Bagaimana bisa seorang warga asing menguji UU negara Indonesia,"
katanya. Hal senada disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Hamid Awaluddin. Hamid mengungkapkan, untuk kejahatan narkoba, hukuman mati masih diterapkan. Alasannya, penggunaan narkoba memberikan efek yang sangat merugikan. Hamid membeberkan, saat ini pengguna narkoba sudah mencapai 3,2 juta yang berarti 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia. "Dari 3,2 juta tersebut, 79 persennya adalah pencandu," katanya. Hamid juga mengungkapkan, biaya ekonomi dan sosial yang dibutuhkan untuk penyalahgunaan narkoba mencapai Rp23,6 triliun. Hamid menambahkan,dari 111 ribu terpidana di seluruh Indonesia, 30 persennya adalah kasus narkoba. Bahkan, untuk kota tertentu persentase terpidana narkoba lebih dari 30%. Di Jakarta, misalnya, terpidana narkoba mencapai 60%,sedangkan di Samarinda dan Balikpapan mencapai 80%. Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol I Made Mangku Pastika mengatakan, hukuman mati untuk kasus narkoba masih diperlukan. Hukuman mati,katanya,untuk melindungi negara dan masyarakat dari bahaya narkoba. "Seperti diketahui, bahaya narkoba sangat luar biasa," jelanya. Sementara kuasa hukum pemohon, Todung Mulya Lubis, masih berpendapat bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tetap melanggar UUD 1945. Alasannya,dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa hak hidup adalah hak asasi. "Hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dengan keadaan apapun," katanya. http://www.berpolitik.com/static/internal/2007/03/news_3073.html di akses tanggal July, 26th 2008 at : 06:18 PM