Ketika Aku Sedang Tidak Setuju Di kotaku makin sering berdiri aneka mal. Di antaranya ada yang berlokasi di sebuah tempat yang aku tidak setuju. Tetapi karena mal itu tetap berdiri di situ tanpa peduli aku menolak atau setuju maka aku pun menyalurkan kemarahan dengan caraku sendiri. Untuk mendemo Pemerintah aku tak punya massa. Untuk menginvestigasi adakah pemberian izin itu adalah penyimpangan, aku tak cukup keahlian. Akhirnya jalan terakhir aku tempuh, aku berencama menolak mal ini cukup di dalam hati. Jika kemarahan ini kulebarkan ia terbatas pada daerah kekuasaanku: yakni keluargaku. Aku melarang anak dan istriku belanja di tempat itu. Seperti biasa, jika pemimpin keluarga sedang punya kuasa, yang lain menuruti. Aku tak perlu meminta persetujuan dan aku juga tak mau tahu apakah mereka rela atau terpaksa. Ternyata ada di dalam diriku ini naluri totaliter. Jika ada pangkat di pundakku dan hidup di zaman lalu, aku pasti juga berbakat menjadi seorang fasis: pihak yang memaksakan kehendak bukan karena mutunya melainkan karena pangkat dan bedilnya. Maka berjalanlah larangan itu. Ketika mal ini dibuka dan pengunjung begitu meluap aku bukan tidak mengerti istriku yang menggoda. Ia menyebut-nyebut jumlah barang yang begitu banyak ragamnya dan begitu murah harganya dan cuma di mal itu berada. Rampung mengintimidasi dengan gayanya sendiri, ia juga meminjam dukungan dari anak-anaknya. Dan entah bagaimana caranya, anak-anak ini juga mulai termakan hasutan. Tetapi strategi ibu-anak ini keliru. Karena semakin mereka menyebut nama mal kesukaannya itu hanya makin menerbitkan kemarahanku. "Inilah susahnya masyarakat yang lugu. Terhadap barang yang keliru pun begitu mudah tertipu," kataku dengan marah. Dan selanjutnya, di depan keluargaku aku bekrotbah. Bahwa langkahku ini adalah strategi kebudayaan yang serius. Strategi yang memakai kekuatan rakyat tertinggi derajatnya yakni boikot. Rakyat memang tidak punya hak mengubah undang-undang, tidak bisa menolak keputusan yang keliru. Tetapi rakyat masih memiliki kekuatan untuk menolak. Itulah boikot namanya. Televisi akan mati jika tidak ditonton, barang akan tidak laku jika tidak dibeli, koran akan bangkrut jika tidak dibaca. Boikot adalah perlawanan yang tak tertandingi jika ia dipercayai. Tetapi sejak mal ini dibuka, rasaku sudah mulai curiga. Karena dari seluruh penduduk kota, rasanya cuma aku sendiri yang menolak datang ke tempat ini. Tadinya aku marah sekali. Apakah orang-orang itu tidak tahu betapa kelirunya lokasi mal ini. Ia tidak cuma akan memperkeruh tata-kota, melainkan juga akan membunuh para pedagang kecil. Mal sebesar itu hanya layak ada di pinggiran dan tidak dijejalkan di tengah kota yang makin mengonsentrasi kemacetan. Apakah orang-orang itu tidak merasa apa yang aku rasakan? Jeritku dalam hati. Tetapi karena aku sendirian, lama-lama aku bingung sendiri. Adakah semua ini karena orang-orang itu yang tak tidak mengerti atau karena gaya berpikirku yang sulit diikuti. Lama sekali teka-teki ini gagal aku pecahkan hingga soal-soal yang kusangka idelogis ini ternyata selesai oleh jawaban yang remeh saja. Yakni soal DVD yang lama aku rindukan tetapi tidak pernah berhasil aku miliki. Di internet ia kujelajahi, setiap aku pergi ia kucari, di mana ada penjual aku datangi, seluruh perangkat pergaulan aku kerahkan, tetapi hasilnya sia-sia. Sekian lama aku mencari dan putus asa itulah hasil akhirnya, jika tidak seorang kawan lama tiba-tiba memberi barang tercinta ini begitu saja di suatu kali. Mataku terbelalak saking gembiranya. Aku anggap teman ini malaikat penemu barangbarang langka. "Langka gimana orang di mal itu banyak sekali, murah lagi!" katanya
ringan. Aku terdiam. Kegembiraan yang meluap-luap itu segera kusembunyikan. Di rumah, keinginanku untuk segera menonton DVD ini tak tertahankan. Tetapi sambil menonton terbayang wajah mal yang aku benci itu dengan perasan yang belum rampung kuterjemahkan. Tetapi inilah yang agaknya yang tak bisa kusembunyikan: bahwa membenci pun butuh berhati-hati karena kebaikan ternyata ada di mana-mana bahkan termasuk di dalam diri pihak yang kubenci. (Prie GS/)