Ketahanan Pangan

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ketahanan Pangan as PDF for free.

More details

  • Words: 4,052
  • Pages: 10
KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA Oleh: Reny Sukmawani Abstrak Indonesia saat ini membutuhkan bahan pangan pokok sekurang-murangnya 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton kedelai untuk kebutuhan konsumsi penduduk sekitar 216 juta jiwa. Apabila tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan produksi pangan dari dalam negeri secara signifikan, maka akan mengakibatkan rendahnya ketahanan pangan nasional. Meskipun upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri pada saat ini telah dilakukan, namun laju peningkatannya masih belum mampu memcukupi kebutuhan pangan dalam negeri karena produktifitas tanaman pangan yang stagnan bahkan cenderung menurun serta terjadinya peningkatan alih fungsi lahan. Ini terbukti dengan masih besarnya ketegantungan Indonesia akan impor kebutuhan pangan . Untuk meningkatkan produksi pangan nasional, dapat dilakukan peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi produksi antara lain melalui penggunaan pupuk organik. Pupuk tersebut dapat mengembalikan kesuburan tanah melalui jasa mikroba yang menguntungkan. Sejalan dengan itu perlu juga dilakukan perluasan areal lahan pertanian disamping juga melindungi lahan-lahan produktif agar tidak beralih fungsi. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap salah satu bahan pangan pokon adalah dengan digalakkannya program diversifikasin pangan. Kata kunci: Bahan pangan, teknologi produksi, produktifitas, perluasan areal, diversifikasi pangan

1

Pendahuluan Program Departemen Pertanian yang tercantum dalam Rencana Strategi Program Pembangunan Pertanian 2005-2009, terdiri dari tiga tujuan dasar, yaitu: (1) ketahanan panagn, (2) mengurangi kemiskinan, dan (3) meningkatkan kesejahteraan serta pengembangan agribisnis. Ketahanan pangan berarti kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau (BBKP. 2003). Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis, mengingat pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Banyak contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Sejarah juga menunjukkan bahwa strategi pangan banyak digunakan untuk menguasai pertahanan musuh. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkeraman penjajah/musuh. Pada KTT pangan sedunia tahun 1996 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan di semua negara anggota separuhnya, yakni dari 800 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 400 juta jiwa pada tahun 2015 (Mewa Ariani. 2006). Dengan demikian upaya untuk mencapai kemadirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja, tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasonal yang harus dilindungi. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam Undang-Undang pangan Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan PP nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Beberapa hasil penelitian dan kajian menunjukkan bahwa persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah, rumah tangga atau individu (Mewa, Ariani. 2006). Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar. Kesenjangan yang terus meningkat ini jika terus di biarkan konsekuensinya adalah peningkatan jumlah impor bahan pangan yang semakin besar, dan kita semakin tergantung pada negara asing. Impor beras yang meningkat pesat terjadi pada tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1998 yang mencapai 5,8 juta ton. Kondisi ini mewarnai krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dimana produksi beras nasional turun yang antara lain karena kekeringan panjang. Pada komoditi jagung, meskipun pada tahun 1996 terjadi penurunan produksi namun pada tahun 1998 justru menjadi surplus (ekspor) meskipun dalam jumlah yang kecil. Hal ini diduga karena banyaknya masyarakat yang memanfaatkan lahan tidur untuk komoditas jagung. Namun pada tahun-tahun berikutnya sampai saat ini produksi jagung cenderung turun dan impor semakin besar (lebih dari 2 juta ton / tahun) Produksi kedelai nasional mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. Disisi lain produktivitas kedelai nasional rendah sedangkan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri. Dampaknya pada harga kedelai petani tidak bisa bersaing dengan membanjirnya kedelai Impor dan petani kedelai tidak terlindungi.

2

Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant untuk mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan nasional mejadi rapuh. Melihat kenyataan tersebut seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan langkah kerja yang serius untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: 1. Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun 2. Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional. Upaya-upaya tersebut diantaranya yaitu dengan meningkatkan produktivitas tanaman pangan, menambah perluasan areal pertanian baru dan menggalakan diversifikasi pangan. Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha (Purba dan Las, 2002), jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktifitas padi di Indonesia adalah peringkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha (FAO, 1993). Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Guedev S Kush, 2002). Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotongsepotong (Mashar, 2000). Seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Selain itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 – 20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan

3

menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional. Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya. Sebagai contoh petani dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas organik hayati, benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca panen dan sekaligus pengawalan pendampingannya. Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi hijau dengan mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki dampak negatif pada kesuburan tanah yang berkelanjutan dan terjadinya mutasi hama dan pathogen yang tidak diinginkan. Sebagai contoh lahan yang terus dipupuk dengan Urea (N) cenderung menampakkan respon kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak pada cepat habisnya bahan organik tanah karena memacu berkembangnya dekomposer dan bahan organik sebagai sumber makanan mikroba lain habis (< 1%). Pemakaian pupuk kimia, alkali dan pestisida yang terus menerus menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika tidak terurai akan menjadi “racun tanah” dan tanah menjadi “Sakit”. Akibatnya disamping hilangnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung kesuburan tanah, ketidakseimbangan mineral dan munculnya mutan-mutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang kontra produktif. Di lahan sawah/irigasi dengan berbagai upaya program revolusi hijau yang telah ada tidak lagi memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas karena telah mencapai titik jenuh dan produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun. Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management untuk mengembalikan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan organik tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui bahwa mikro-organisme unggul berguna dapat diintroduksikan ke tanah dan dapat diberdayakan agar mereka berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana mestinya. Selain itu, sekumpulan mikroorganisme Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi. Meskipun upaya breeding modern, teknologi transgenik dan hibrida dirancang agar tanaman yang dikehendaki memiliki kemampuan genetik produksi tinggi (Gurdev S Kush, 2002), tetapi jika dalam menerapkannya di lapangan asal-asalan, maka performa keunggulan genetiknya tidak nampak. Hasil penggunaan varietas unggul di lapangan seringkali masih jauh dari harapan. Penyebabnya adalah masih belum dipahaminya teknik budidaya sehingga hasil yang didapat belum menyamai potensinya, apalagi melebihi. Padi Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun 1,5 % dan impor beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan produksi dalam negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun 2010 diperlukan trend peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 % pertahun. Peningkatan ini sangat rasional dan dapat dilakukan dengan melihat potensi produktivitas yang dapat 4

ditingkatkan dan potensi ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka. Upaya untuk mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padidapat dilakukan melalui program Supra Indus, pengelolaan tanaman terpadu, System Rice of Intensification dan teknologi lainnya yang berkelanjutan. Jagung Pada tahun 2002 impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak tahun 2000 pertumbuhan produksinya menunjukkan trend yang cenderung negatif. Melihat potensi yang ada bahwa hal upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat dilakukan, bahkan sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan menciptakan tingkat pertumbuhan produksi 2 % sampai 6,5 %per tahun maka pada tahun 2010 Indonesia akan dapat mengekspor jagung. Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan dicapai mengingat masih banyak lahan tidur dan lahan kering potensial yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat meningkatkan produksi jagung. Peluang penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic dan penerapan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi agribisnis jagung telah didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari hulu sampai hilirnya. Kedelai Upaya mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 % kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000 memiliki dampak yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan impor harus ada perlakuan khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali bertanam kedelai. Upaya perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika produksi dapat terus ditingkatkan secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh meningkat hingga 20 % pada tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang rasional dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari produksi dalam negeri sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi saat ini dan dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang layak saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi sehingga menurunkan biaya produksinya per satuan hasil. Upaya Menambah Perluasan Lahan Pertanian Baru Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Hal ini terjadi karena nilai land rent untuk usahatani lebih rendah dibandingkan nilai land rent untuk non pertanian. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan/atau membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional. Dari sisi perluasan areal lahan tanaman pangan ini upaya yang dapat ditempuh adalah: 1. Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut (Alihamsyah, dkk, 2002) 2. Mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan. Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah:

5

1. Pemerintah sebaiknya memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah diusahahan petani yaitu semacam HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan kontribusi berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut 2. Memberikan bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan 3. Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar. Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi, mencintai dan memperbaiki produksi pangan lokal harus terus dikembang-majukan. Pertanian pangan termasuk di kawasan transmigrasi hendaknya jangan dipandang sebagai lahan untuk menyerap tenaga kerja atau petani dikondisikan untuk terus memberikan subsidi bagi pertumbuhan ekonomi sektor lain dengan tekanan nilai jual hasil yang harus rendah dan biaya sarana produksi terus melambung. Tetapi seharusnya petani pangan mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam hal ini adalah wajar jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku produksi pertanian pangan karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat Indonesia. Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan yang semakin tergantung impor dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka untuk mencapai kemandirian pangan ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi pangan nasional yang terencana mulai “presisi” di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya. Yang perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan dan pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo untuk stock pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional. Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan impor (tarif bea masuk) dan insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang perlu pada komoditas ini karena merupakan komoditi hajat hidup orang banyak (Inkopti, 2001), jika memang keputusan kemandirian pangan sebagai keputusan politik untuk ketahanan pangan. Persoalan teknologi produktivitas kedelai dan lahan sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya, hanya saja jika petani tidak diberikan subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah (< 1,2 ton/ha) dan biaya produksi per satuan produk menjadi tinggi sehingga ke depannya tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini perlu dilakukan dengan dengan menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang pertumbuhan tinggi baik dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu hingga hilir, teknologi, petani, perbankan dan pemerintah. Harus diciptakan kondisi yang kondusif untuk memberikan perlindungan pada petani. Menciptakan dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran petani serta stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan teknologi, sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang memberikan kemudahan petani pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi dan jalan, 6

dan kredit produksi), perlindungan pasar serta kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan. Dalam hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan sistematis sebagai komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui Departemen Pertanian dan departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional yang tangguh sebagai keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan. Upaya menciptakan kemandirian pangan dengan mengembangkan produksi sumber pangan alternatif substitusi pangan impor dilakukan seiring dengan pemacuan tiga komoditi pangan utama di atas. Sumber pangan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk substitusi pangan impor seperti kentang, jagung putih dan umbi-umbian. Mengembangkan sumber pangan alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis tinggi karena disamping produktivitas per hektarnya tinggi, pangan tersebut sebagai bahan baku industri. Dengan keragaman sumber bahan pangan yang dikonsumsi dan dapat diproduksi di dalam negeri diharapkan dapat menekan impor pangan secara nyata dan mengurangi ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan kemandirian pangan nasional semakin mantap. Diversifikasi Konsumsi Pangan Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahuan 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan pangan pokok selain beras. Kemudian di akhir Pelita I secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Inpres no 14 tahun 1974 tentang perbaikan menun makanan Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui inpres n0.20 tahun 1979. Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam perjalanannya tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebihditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, kaeran diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Diversifikasi pangan pada dasarnya memperluas pilihan masyarakat dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan cita rasa yang diinginkan dan sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan akan salah satu bahan pangan. Tujuannya adalah agar gizi masyarakat dapat terpenuhi sehingga masyarakat dapat hidup sehat. Hal ini memang sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, pengetahuan, ketersediaan, dukungan kebijakan dan faktor sosial budaya. Konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan protein sangat dipengaruhi oleh daya beli dan kesadaran masyarakat terhadap pangan dan gizi (Tabel 1). Tabel 1. Konsumsi Energi dan Protein menurut kelompok Pendapatan, 2004 N0 Kelompok Pendapatan Penduduk (%) Energi Protein (Rp/Kap/Bl) (Kal/Kap/Hr) (Gram/Kap/Hr) 1 2 3 4 5 6 7 8

< 60.000 60.000 – 79.999 80.000 – 99.999 100.000 – 149.999 150.000 – 199.999 200.000 – 299.999 300.000 – 499.999 > 500.000

0,72 3,45 7,80 23,17 21,47 22,82 14,01 6,57

1.240,9 1.452,0 1.627,6 1.794,9 1.983,4 2.126,8 2.253,1 2.398,0

31,5 28,0 37,5 43,3 49,4 54,6 62,2 72,9

Sumber: Susenas 2004, BPS

7

Pada Tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat berbeda antar kelompok pendapatan dan terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Dengan mengacu pada patokan anjuran dalam WNPG VI tahun 1998, seseorang akan terpenuhi konsumsi energi dan proteinnya apabila pendapatan per kapita per bulannya di atas Rp. 200.000. Dengan memperhatikan Tabel di atas, berarti jumlah penduduk yang memenuhi kriteria tersebut hanya 43,4% atau dalam arti jumlah penduduk yang mengalami kekurangan pangan atau rawan pangan masih besar dan apabila hal ini tidak ditangani secara serius akan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Pola konsumsi pangan mayoritas masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun dipedesaan masih didominasi oleh kelomppok padi-padian (beras, jagung, terigu). Padahal pangsa konsumsi energi dari kelompok padi-padian ini seharusnya hanya 50%. Sebaliknya pangsa energi dari umbi-umbian masih sekitar setengahnya dari yang dianjurkan, padahal di Indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian masih sekitar setengahnya dari yang dianjurkan, padahal di indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian dengan harga yang relatif murah. Pada umumnya memang pola konsumsi Indonesia masih lebih rendah dari yang dianjurkan (Tabel 2) Tabel 2. Perkembangan Konsumsi Energi Menurut kelompok pangan di Kota dan Desa 1999 – 2004 (%) Harapan Kenyataan Kelompok Pangan 1999 2002 2003 2004 Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak&lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & Buah Lain-lain

50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0

50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0

63,9 2,3 6,3 10,5 1,7 3,5 5,3 4,9 1,5

68,3 4,5 3,8 8,4 2,5 2,5 4,8 3,9 1,3

60,2 2,4 8,3 11,2 2,0 4,2 5,4 4,3 2,0

64,5 4,2 4,7 9,4 2,9 3,3 5,4 4,2 1,8

60,6 2,2 8,7 10,8 2,1 3,9 5,2 4,6 1,8

64,6 4,1 5,3 9,1 2,9 2,9 4,9 4,6 1,5

60,7 2,1 9,7 10,8 1,9 3,7 5,3 4,1 1,8

63,9 5,1 5,3 9,0 2,7 3,3 4,8 4,3 1,6

Sumber: Susenas 1999, 2002, 2003, 2004. BPS Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa masih banyak masyarakat baik di desa maupun di kota yang pola konsumsi pangannya pada padi-padian melebihi harapan sedangkan pada kelompok pangan yang lainnya masih dibawah harapan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pdi-padian masih sangat mendominasi, walaupun kalau di liaht berdasarkan kenyataannya masyarakat di kota masih lebih rendah dibandingkan masyarakat di desa. Secara kualitatif memang terlihat perubahan konsumsi pada masyarakat kota. Program diversifikasi konsumsi pangan yang selama ini diharapkan untuk mengkonsumsi pangan pokok non beras agak lambat proses pencapaiannya, bahkan cenderung banyak yang tidak tercapai. Oleh karena itu upaya untuk diversifikasi ini harus terus ditingkatkan disertai dengan upaya mencari strategi dan cara yang jauh lebih baik dan efektif . Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mendukung tercapainya diversifikasi konsumsi pangan antara lain adalah: 1. Peningkatan dan pencatatan produksi pangan pokok selain beras. Sudah saatnya dilakukan pencatatan produksi pangan secara statistik terus menerus untuk

8

pangan lokal. Contohnya: tales, garu dan sejenisnya sehingga keberadaan pangan ini termonitor. Mengingat setiap daerah mempunyai pangan lokal yang spesifik maka perlu dikembangkan cadangan pangan non beras 2. Pengembangan divesrsifikasi produk olahan yang melibatkan industri. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada pihak industri untuk pengembangan pangan lokal 3. Peningkatan pendapatan melalui penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan yang bergizi Kesimpulan Kebutuhan pangan yang tinggi akibat jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah bila tidak diimbangi dengan tercukupinya kebutuhan pangan akan menimbulkan ketidaaman terhadap stabilitas bangsa. Agar ketahanan pangan nasional dapat terwujud perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya. Upaya-upaya tersebut diantaranya yaitu dengan meningkatkan produktivitas tanaman pangan, menambah perluasan areal pertanian baru dan menggalakan diversifikasi pangan. Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih belum terdiversifikasi sempurna baik untuk konsumsi pangan maupun untuk pangan pokok. Diversifikasi pangan pada hakekatnya tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi ketegantungan pada beras tetapi juga sebagai upaya perbaikan gizi masyarakat untuk mendapatkan masyarakat yang berkualitas dan mampu berdayasaing dan juga untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Untuk mewujudkan swasembada dan kemandirian serta ketahanan pangan diperlukan perangkat kebijakan yang mengarah pada perbaikan implementasi sistem agribisnia dan tataniaga bahan pangan Saran 1. Sistem pembangunan ketahanan pangan harus lebih tegas lagi 2. Agar program diversifikasi pangan dapat berjalan sesuai dengan harapan, pemerintah harus lebih bekerja keras dan meningkatkan konsisten dengan pihak-pihak terkait seperti pemerintah pusat dan daerah, industri makanan, LSM dan masyarakat. 3. Program ketahanan pangan penekanannya haruslah berupa upaya peningkatan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan baik produksi sendiri maupun dari pasar DAFTAR PUSTAKA BBKP. 2003. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. BPS. 1999. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 1999. BPS. 1999. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. BPS. 2002. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2002. BPS. 2002. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. BPS. 2003. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2003. 9

BPS. 2003. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. BPS. 2004. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2004. BPS. 2004. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. FAO. 1993. Rice In Human Nutrition. Food and Nutrition Series. Rome Gurdev S. Khush. 2002. Food Security by Design: Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi nasional di Sukamandi 22 maret 2002. Kedi Suradisastra, dkk. 2006. Diversifikasi Usahatani dan konsumsi: suatu alternatif peningkatan kesejahteraan rumahtannga petani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Mashar Ali Zum. 2000. Teknologi hayati Bio P 2000 Z sebagai Upaya untuk Memacu Produktivitas Pertanian Organik di lahan marginal. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Teknologi Organik di Cibitung 22, Mei 2000 Mewa Ariani. 2006. Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Purba S dan las I. 2002. Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi nasional di Sukamandi 22 maret 2002. Sinar tani. Edisi 29 Agustus – 4 September 2007. Nomor 3217. Sri Adiningsih J., dkk. 1994. Teknologi untuk meningkatkan Produktivitas lahan Sawah dan lahan Kering. Prosiding Temu konsultasi Sumberdaya lahan untuk pembangunan Kawasan Timur Indonesia.

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS UMMI

10

Related Documents