Ketahanan Pangan, Kedaulatan Negara, dan Kesejahteraan Petani
Bismillahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh Yang terhormat Ibu Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Yang terhormat Bapak Wakil Dekan I, Ibu Wakil Dekan II, dan Bapak Wakil Dekan III Yang terhormat Bapak Ketua Jurusan Pendidikan Geografi beserta Sekretaris, Ibu Ketua Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan beserta Sekretaris, Ibu Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah beserta Sekretaris, dan Ibu Ketua Prodi Pendidikan Antropologi Yang tersayang adik-adik yang sudah berhasil menyelesaikan tahapan perkuliahan dan sebentar lagi akan berganti status menjadi alumni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Pada kesempatan kali ini saya akan berbicara mengenai ketahanan pangan, kedaulatan negara, dan kesejahteraan petani.
Populasi dunia terus meningkat. Di saat yang sama, semakin banyak bahan makanan yang diolah menjadi bahan non-pangan. Di Brazil tebu dijadikan bahan baku fuel-ethanol pengganti bensin, di Amerika Serikat jagung yang dijadikan bahan baku fuel-ethanol, di Argentina kedelai dijadikan bahan baku sabun. Disamping itu, lahan tanaman pangan juga banyak ditanami tanaman lain, atau bahkan diubah ke penggunaan lahan lain. Indonesia juga mengalami permasalahan ini. Lahan pertanian padi banyak yang dikonversi dan dialih-fungsi menjadi lahan perkebunan atau lahan terbangun. Di Bantul, Bekasi, Karawang, dan Deli Serdang, sawah dirubah menjadi perumahan atau kawasan industri, sementara di berbagai daerah di Sulawesi dan Sumatera banyak sawah yang dijadikan kebun kelapa sawit. Dengan populasi yang besar, ke-empat terbesar di dunia, penurunan produksi padi memaksa Indonesia mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan domestik. Jika penurunan produksi yang disebabkan penurunan luas lahan ini tidak dapat dikontrol dengan baik, di satu sisi, ketergantungan Indonesia akan beras impor akan meningkat. Ketergantungan yang tinggi akan impor bahan pangan utama memiliki berbagai resiko. Disamping dapat menggerus devisa negara, ketergantungan akan impor dapat
mengancam kedaulatan serta stabilitas sosial dan keamanan. Ekspor dan impor merupakan kegiatan perdagangan. Negara pengekspor dapat dengan mudah menolak menjual beras kepada Indonesia. Pada kasus yang ekstrim, negara pengekspor dapat juga dipengaruhi atau ditekan untuk tidak menjual beras kepada kita. Jika ini terjadi, krisis pangan akut akan melumpuhkan sendi-sendi bangsa. Kerusuhan sosial dan kriminalitas meningkat, dengan sendirinya bangsa ini menjadi lemah dan menjadi target yang mudah ditaklukkan. Di sisi lain, jika ketergantungan Indonesia akan beras impor meningkat, maka stabilitas keamanan pangan dunia juga dapat terguncang, karena kebutuhan beras Indonesia yang sangat besar. Pada 2012 kebutuhan beras Indonesia setara dengan 2/3 dari seluruh beras yang diperdagangkan di pasar dunia. Bapak, Ibu, dan Adik-adik yang saya muliakan, Meskipun memiliki peran yang amat penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan secara tidak langsung turut menjaga kedaulatan bangsa, banyak petani padi yang tidak mampu mencapai kesejahteraan jika hanya bertumpu pada pertanian padi. Padahal, negara sudah mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk mendukung petani padi. Pada tahun 2017, anggaran untuk subsidi pupuk saja senilai 31,3 Trilyun Rupiah. Belum lagi dana untuk perawatan saluran irigasi, penyuluhan, berbagai kegiatan capacity building, bantuan alat pertanian, dan lain-lain. Hal ini tentu membuat kita bertanyatanya. Mengapa anggaran yang begitu besar dan dukungan dari berbagai sisi tidak mampu mensejahterakan petani padi? Ternyata jawabannya terletak pada tata niaga beras. Dukungan masif Pemerintah hanya berkutat di sawah pada proses produksi bulir padi atau gabah. Subsidi pupuk, penyuluhan bertani yang baik, pelatihan efisiensi paska panen dan lain-lain hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi gabah. Ketika gabah tersebut akan dijual, mekanismenya diserahkan pada pasar. Dan pasar tentu saja menganut prinsip ekonomi, meraup keuntungan terbesar dengan modal sekecilkecilnya. Meskipun Pemerintah menetapkan harga pokok pembelian beras (HPP), namun harga tersebut tidak berlaku jika petani menjual gabahnya kepada tengkulak. Dalam tata niaga beras saat ini, yang mendapatkan keuntungan terbesar adalah mereka yang dapat memberikan penambahan nilai terbesar, yaitu penggilingan padi dan penjual besar. Secara tidak langsung, penggilingan padi dan pedagang besar lah yang paling menikmati anggaran pertanian yang demikian besar itu. Sedangkan para petani sangat sulit menambahkan nilai karena keterbatasan sarana. Banyak petani lebih suka menjual padi langsung di sawah segera setelah panen. Harganya tentu saja yang paling rendah. Apalagi jika dijual ke tengkulak. Beberapa petani mau bersusah payah menjemur padinya. Dengan begitu nilai gabah sedikit meningkat. Namun, sangat sedikit masyarakat petani yang memiliki penggilingan padi sendiri sehingga nilai gabahnya
dapat lebih meningkat lagi. Diantara sedikit petani yang memiliki penggilingan padi tersebut, lebih sedikit lagi yang memiliki outlet penjualan beras yang formal dan menjangkau kalangan luas. Dengan tata niaga yang seperti ini, petani dapat diibaratkan seperti buruh dalam masyarakat industri. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga dan juga tidak memiliki akses ke pasar. Sudah barang tentu akan sangat sulit bagi petani untuk mencapai kesejahteraan.
Bapak, Ibu, dan Adik-adik alumni FIS yang saya banggakan, Sudah saatnya paradigma dukungan kepada petani yang saat ini berbasis pada input di hulu dirubah menjadi berbasis output dan hilirisasi. Sama seperti buruh yang sulit mencapai kesejahteraan, jika pertanian kita masih tetap pada paradigma dan tata niaga saat ini, maka kesejahteraan petani, khususnya petani padi, masih sulit kita capai. Dukungan berbasis output dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu subsidi harga beli, bantuan sarana hilirisasi produk, dan akses ke pasar. Selama ini, subsidi pada umumnya dialokasikan pada input, khususnya pupuk. Menurut data dari Biro Pusat Statistik, produksi padi pada tahun 2017 sebanyak 81.382.451 ton gabah kering giling. Anggaran subsidi pupuk pada tahun 2017 sebanyak Rp. 31,3 Trilyun. Jika dibagi total produksi gabah maka didapatkan nilai 385 Rupiah. Jika anggaran subsidi pupuk tersebut dialokasikan untuk menambah harga beli, maka setiap satu kilogram gabah kering giling, dibeli Rp. 385,-/kg lebih mahal dari HPP atau setara dengan Rp. 385.000,-/ton gabah kering giling. Sawah dengan produktifitas sedang dapat menghasilkan gabah kering giling hingga 4 ton per hektarnya sedangkan sawah dengan produktifitas baik dapat menghasilkan hingga 6 ton. Artinya, per hektar sawah akan mendapat subsidi harga beli senilai Rp. 1.540.000,- – 2.310.000,-. Bagi petani, ini bukanlah jumlah yang sedikit. Pengalihan subsidi dari subsidi pupuk menjadi subsidi harga beli menjadikan subsidi akan dapat dinikmati oleh semua kalangan baik petani besar dan kecil. Selama ini subsidi pada pupuk banyak dikritik hanya dapat dinikmati oleh petani besar, karena petani kecil sering tidak memiliki anggaran untuk pupuk sekalipun bersubsidi. Untuk mencapai kesejahteraan, hilirisasi produk di tangan petani mutlak dilakukan, karena yang dapat meraih keuntungan terbesar dari produksi dan tata niaga beras adalah mereka yang dapat memberikan penambahan nilai terbesar. Bantuan sarana hilirisasi produk yang paling dasar adalah fasilitas penggilingan padi. Sawah di Desa Babussalam di Labuanbatu Utara tinggal beberapa hektar saja. Namun tetap bisa bertahan di tengah tekanan kelapa sawit salah satunya karena tersedianya fasilitas penggilingan padi milik rakyat. Dengan memiliki penggilingan padi sendiri, maka disamping penambahan
nilai yang signifikan, petani juga sudah memiliki produk siap jual ke masyarakat sekitar dengan harga yang dapat mereka tentukan sendiri. Sarana hilirisasi produk lanjutan yaitu berupa fasilitas pengemasan sehingga produk petani tersebut siap untuk dipasarkan ke khalayak yang lebih luas. Setelah petani mampu memproduksi beras kemasan siap jual, maka yang harus dilakukan adalah memastikan keterserapannya di pasar. Kebijakan yang sangat sederhana bisa diterapkan, seperti penyediaan beras untuk program raskin dari petani lokal daerah masing-masing dan membuka jalur ke retail modern serta mewajibkan retail modern untuk menjual beras dan produk pertanian lokal lainnya seperti yang dicontohkan Brazil dengan Fome Zero nya dan Kulon Progo Yogyakarta dengan Bela Beli Kulon Progo nya. Jika ingin tahu lebih banyak mengenai kedua program ini dapat kita diskusikan di lain waktu.
Bapak, Ibu, dan Adik-adik yang saya cintai, Dengan tata niaga seperti ini, petani bukan hanya berperan sebagai buruh dalam industri beras, tapi mereka juga pebisnis beras. Ketika semua dapat terwujud dengan baik, kesejahteraan petani adalah keniscayaan. Demikian uraian singkat yang dapat saya sampaikan. Lebih dan kurangnya saya mohon maaf. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh