Kepemimpinan Lelaki Author: Akmal. 14 December 2006 : 4:01 pm. Komputer Anda Bermasalah? | Cara menerbitkan buku >>
assalaamu’alaikum wr. wb. Dalam Q.S. An-Nisaa’ [4] : 34 dijelaskan bahwa “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” Inilah salah satu ayat yang sering digugat oleh kaum ‘feminis’ dan orientalis serta seringkali dijadikan senjata untuk memaksakan imej buruk kepada Islam. Seolah-olah Islam adalah agama penindas perempuan, dan seolah-olah Tuhan selalu berpihak pada lelaki. Bunyi penggalan awal ayat tersebut aslinya adalah “ar-rijaalu qawwaamuuna ‘ala annisaa”. Kata “qawwaamuuna” adalah bentuk jamak dari kata “qawwaam” yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “pemimpin”. Akar katanya adalah “qaama”, yang juga selalu digunakan dalam perintah shalat. Jika digunakan dalam kaitannya dengan shalat, maka kata ini biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “mendirikan”. Mendirikan shalat artinya bukan sekedar menunaikan kewajiban dengan melaksanakan shalat alakadarnya, namun melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnahsunnahnya, dan dengan sangat teliti memperhatikan ketertibannya. Sangat menarik untuk mengamati kenyataan bahwa orang yang melaksanakan tugas atau apa yang diharapkan darinya diberi sebutan “qaa’im”, dan jika ia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin secara berkesinambungan dan berulang-ulang, maka ia dinamakan “qawwaam”. Jika kita mengamati penjelasan di atas, agaknya terjemahan “pemimpin” belum mampu menjelaskan semua makna yang hendak dijelaskan oleh Al-Qur’an, meskipun aspek kepemimpinan adalah salah satu kandungannya. Dengan menghayati penggunaan kata “qawwaamuuna” dalam ayat di atas, maka kita bisa memahami bahwa dengan ayat ini, Allah tidak hendak menyematkan medali kehormatan kepada laki-laki dan memaksa perempuan untuk menjadi manusia kelas dua sepanjang hidupnya. Yang jelas terlihat dari ayat ini bukanlah pemberian hak yang berlebih. Sebaliknya, justru ayat ini secara tegas memberi kewajiban yang lebih kepada kaum lelaki. Dengan satu pilihan kata saja, Allah SWT membebani kaum Adam dengan kewajiban pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Sama sekali bukan hal yang mudah, dan sama sekali bukan pembenaran untuk berbuat seenaknya dengan predikat ‘pemimpin’. Banyak orang cenderung berpendapat bahwa ayat ini bicara dalam konteks hubungan suami-istri, tapi tidak semua juga berpikiran demikian. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang laki-laki dan perempuan secara umum, tidak mesti antara suami dan istri, karena kata yang digunakan pun bersifat umum. Sebelumnya, beliau berpendapat sebaliknya, namun pendapat itu diralatnya sendiri pada buku Tafsir al-Mishbah vol. 2. Tentu saja saya belum tergolong ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an, namun saya cenderung pada penafsiran yang mengatakan bahwa penggalan awal ayat ini bicara
tentang kewajiban kaum laki-laki secara umum, baik ia sudah beristri maupun belum. Kenyataannya, menjadi suami yang bersifat seperti ‘pemimpin’ seperti yang disebut dalam ayat di atas bukanlah suatu proses yang terjadi dalam semalam. Tentu saja lelaki bejat tidak mungkin berubah menjadi suami yang saleh begitu saja. Ada proses panjang yang harus dilaluinya seiring pertumbuhannya. Saya berpendapat bahwa laki-laki yang semasa lajangnya tidak memiliki sifat kepemimpinan nyaris tidak mungkin mengemban tugas sebagai suami yang baik, kecuali jika ia melakukan perubahan superdrastis yang hanya segelintir manusia yang mampu melakukannya. Karena itu, kepemimpinan adalah suatu aspek penting yang harus dilatih dan diajarkan kepada anak laki-laki sejak kecil. Sebelum menjadi pemimpin di rumah tangga, ia bisa mencoba-coba dahulu menjadi pemimpin di kelas, OSIS, DKM, atau di organisasi dan kepanitiaan lainnya. Saya sangat ragu jika anak laki-laki yang cenderung penakut, terlalu ‘pendiam’, tidak mampu mengungkapkan pendapatnya, tidak berani menghadapi tantangan dan tidak bernyali mengambil tanggung jawab akan mampu menjadi suami yang baik suatu hari nanti. Kini beredar pemahaman awam bahwa – dalam pandangan Islam – tugas lelaki adalah sebagai pemimpin, dan perempuan hanya bertugas melayani mereka. Poin pertama sudah saya jelaskan sejak awal, yaitu bahwa predikat ‘pemimpin’ yang dimaksud dalam Al-Qur’an sebenarnya bukanlah hal yang menggembirakan, namun justru beban yang mesti dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, entah bagaimana. Tanggung jawab ini menuntut kesempurnaan dan kesinambungan. Tidak ada tempat untuk orang-orang yang kerdil jiwa dan minim kemampuannya. Begitulah semestinya lelaki yang mengaku dirinya Muslim. Poin kedua adalah masalah tugas perempuan melayani lelaki. Sebenarnya, yang bertugas melayani itu adalah istri terhadap suami. Perintah untuk hal ini pun sebenarnya sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan arti kaum perempuan. Bukan berarti ketika sudah diperistri, lantas kehidupan seorang perempuan harus dibatasi hanya untuk melayani suaminya saja. Saya belum pernah menemukan dalil yang menyatakan hal seperti ini. Anehnya, banyak orang yang membiarkan akalnya dikuasai oleh asumsi-asumsi tak berdasar, lantaran mereka terlanjur curiga terhadap ayat-ayat Allah. Na’uudzubillaah ! Dalam hal ‘pelayanan kepada pemimpin’ ini, saya mendekatinya dari sebuah perspektif, yaitu bahwa Islam adalah agama yang senantiasa sesuai dengan fitrah manusia. Islam tidak mungkin memberatkan, justru mempermudah hidup manusia. Kalau ada suatu ketidakseimbangan yang terjadi pada kita ketika kita berusaha menegakkan ajaran Islam dengan sempurna, maka pasti ada suatu kesalahan dalam memahami perintah agama. Apa maksudnya dengan ‘melayani’? Mengapa istri rela melayani suami? Mengapa kaum istri mau menghabiskan umurnya untuk berbakti pada seorang lelaki saja? Selain karena adanya kewajiban dari Allah SWT, tentu saja karena kewajiban itu sendiri memang sesuai dengan fitrah. Saya ingat suatu kenangan manis ketika saya sedang mengikuti acara akhir Ospek yang diadakan selama seminggu penuh pada tahun 2000 silam. Saat itu, 114 peserta Ospek dibagi dalam belasan kelompok, masing-masing diketuai oleh seorang
pemimpin. Para pemimpin kelompok itu diketuai pula oleh seseorang yang menjadi pemimpin dari seluruh peserta Ospek. Kalau peserta Ospek dihukum push-up sekali, maka pemimpin kelompok harus push-up dua kali, dan pemimpin yang posisinya paling tinggi tadi harus push-up empat kali. Singkatnya, sang pemimpin menerima hukuman empat kali lipat daripada orang-orang yang dipimpinnya. Seringkali bahkan sang pemimpin sendiri yang minta agar dirinya saja yang dihukum, agar kami semua terhindar dari kelelahan fisik (padahal dia sendiri sudah sangat kelelahan, tentunya). Kenangan manis yang saya maksud terjadi pada saat istirahat makan siang. Orang nomor satu di angkatan kami itu terduduk kelelahan dengan tubuh yang sudah habishabisan didera hukuman dari para senior. Ketika disodori sepiring penuh makanan, ia langsung makan dengan lahap. Wajar, karena perutnya pasti sudah berteriak-teriak kelaparan sejak pagi. Dalam sekejap, piringnya langsung kosong, saking cepatnya ia menyantap makanan. Lupakanlah soal Ospek, tapi yang terjadi selanjutnya adalah sebuah keajaiban kepemimpinan. Tanpa dikomando, ada teman yang menyumbang nasi jatahnya ke piring sang pemimpin, ada yang menyumbang setengah potong tempe, ada yang menyumbang sepotong telur dadar, ada yang menyumbang sedikit daging ayam, ada juga yang menyodorkan sedikit jatah minumnya. Alhasil, ia bisa makan dengan porsi dua-tiga kali lipat daripada yang lain. Mengapa semua orang rela membagi jatahnya tanpa diminta? Sudah barang tentu karena mereka sudah melihat bukti kepemimpinannya. Semua orang maklum dengan kelelahannya, dan semuanya tahu bahwa sang pemimpin menanggung segala kepayahan itu demi mereka. Tanpa berpikir dua kali, semua orang berusaha membantu dan meringankan tugas sang pemimpin. Setelah makan pun, ada beberapa teman yang berinisiatif memijiti tangan dan punggungnya. Inilah kepemimpinan, dan inilah bukti keridhaan orang-orang yang dipimpin untuk melayaninya. Jadi, jika kaum istri merasa tidak rela diberi tugas untuk melayani suami, maka kaum suami pun harus berpikir jernih. Jangan-jangan selama ini dirinya tidak cukup bersikap sebagai pemimpin, pelindung, pendidik, pengayom, dan ragam predikat lain yang terangkum dalam kata “qawwaam”. Jangan-jangan selama ini ia tidak menjadi pemimpin, melainkan hanya sebagai bos yang cuma bisa menyuruh-nyuruh. Barangkali istrinya tidak mau melayani lantaran memang suaminya itu tidak pantas untuk dilayani. Kalau kewajibannya sebagai pemimpin tidak dipenuhi, bagaimana mungkin ia berharap akan memperoleh haknya untuk dilayani? Contoh terbaik tentulah Rasulullah saw. Ketika bajunya koyak ia menjahitnya sendiri. Ketika di pagi hari tidak ada makanan tersaji di atas meja, ia tidak marah-marah karena merasa sudah memberikan cukup uang belanja, melainkan justru memutuskan untuk shaum saja. Bahkan untuk shalat malam pun ia minta ijin pada istrinya, padahal tidak ada keharusan baginya untuk melakukan hal itu. Beliau sibuk seharian mencari nafkah dan memimpin umat, tapi di rumah pun tidak mau sampai menyusahkan istri dan tetap menghormatinya sedemikian rupa. Kalau sudah begini, perempuan mana yang tidak ‘takluk’ hatinya? Menjadi pemimpin itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dalam semalam, Bung!
Artikel ini pernah dimuat di http://akmal.multiply.com/journal/item/315 wassalaamu’alaikum wr. wb.