KEMATIAN TUHAN DAN MUNCULNYA PARA TUHAN Oleh. M. Yunis Pendahuluan Wacana kematian tuhan telah begitu lama diungkap oleh Nietzche, digambarkan dengan turunnya Zarathustra dari gunung untuk berdakwah dan menyampaikan salah satu pesan Nihilismenya bahwa tuhan telah mati. Nietzche berusaha membunuh para tuhan seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Muhammad, dengan harapan munculnya tuhan yang sebenarnya. Siapa yang mebunuh tuhan? Pembunuh itu bukanlah Ustad, bukan Nietzche, Pelajar, Intelektual tetapi para pembunuh itu adalah kita. Namun, sikap Nietzche yang eksentrik membuahkan pandangan yang sinis terhadapnya. Banyak orang yang mengatakan Nietzche gila dan Nietzche beserta seluruh kelurganya mati di dalam keadaan gila. Adalah benar jika kegilaan Nietzche sangat meresahkan banyak orang termasuk intelektual sendiri, seolah-olah para intelektual berusaha menyimpan kebohongan, kesombongan untuk menaklukan dunia beserta isinya. Para intelektual sekarang sedang berusaha membunuh tuhan yang sebenarnya, memecat para malaikat dari tugas, memberikan kebebasan bagi iblis seluas-luasnya, termasuk iblis yang bewujud manusia dan berusaha menggantikan Tuhan sebagai pencipta dunia. Hal ini, penulis katakan sebagai kesombongan model baru yang tidak mau mengakui kebenaran, egositis, sepihak dan melindungi ketidakadilan. Meminjam istilah Piliang, layaknya ini adalah sebuah dunia Hyperrealitas. Namun, jika pikiran kritis muncul dalam usaha menyikapi dunia Hyperrealitas seakan-akan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di koran-koran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan, penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya sebagai intelektual kita harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual. Pernah pula penulis dikatakan sebagai orang bodoh, dilecehkan, pembunuhan karakter. Dikatakan sebagian orang yang mengaku dirinya intelek bahwa kuliah di S2 di Unand hanya akan bertambah bodoh, lihat saja para Profesornya tidak bisa menulis, tidak berkarya, bayangkan saja apa yang mau diberikan kepada mahasiswanya. Namun, terlepas dari itu bagi penulis bukan persoalan berkarya atau tidaknya, tetapi sumber daya manusia mahasiswanya. Banyak buku yang mendukung perkuliahan, banyak referensi yang ditawarkan. Tiada kebenaran yang absolut, di sela kebenaran terdapat ketidakbenaran, seperti pahala didampingi oleh dosa, begitu pula dengan ilmu pengetahuan. Sependapat dengan Hegel bahwa sintesis lahir dari pertarungan dua buah unsur, disebutnya dengan pertarungan antara tesis dengan anti tesis, kemudian menghasilkan penyatuan dalam sebutan sintesis. Kemudian mengulas Nietzche dengan konsep Nihilisme, dinyatakan bahwa baik dan yang jahat hanyalah buatan sejarah. Sejarah adalah waktu, kondisi dan situasi dari kelahiran si jahat maupun si baik itu sendiri. Jika waktu bersahabat, maka baiklah yang dihasilkan dan begitu juga sebaliknya, saat waktu tidak bersahabat maka jahatlah yang dilahirkan. Juga, tidaklah salah Nietzche mengatakan di dalam geneologi moralnya, bahwa moral yang hakiki itu datang dari langit, hanya saja sampai di bumi direkayasa untuk kepentingan duniawi saja. Apa yang diajarkan oleh agama samawi sudah benar, namun manusia yang merealisasikannyalah yang durhaka, memutarbalikan moral dan nilai-nilai seenaknya saja. Manusia masih berkutat di sekitar lingkaran perut sendiri, manusia hanya mampu memunculkan wacana dan hanya sekedar wacana dan 1
tidak mau memandang kritis terhadap wacana tersebut. Tidaklah juga salah Malaikat protes terhadap Tuhan karena Tuhan ingin menciptakan wakilnya di muka bumi. Dikatakan oleh malaikat, untuk apa dibuat manusia kalau hanya untuk menciptakan kekacauan di muka bumi, bunuh-bunuhan, perang dan segala macamnya. Manusia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang ada pada dirinya, selalu ingin lebih dan lebih, sehingga manusia sendiri tidak sadar atas sikapnya yang keterlaluan sehingga tanpa sengaja 7 unsur Tuhan yang dimiliki manusia berusaha menyingkirkan Tuhan yang sebenarnya. Penulis menamakannya dengan kesombongan, keangkuhan, egois, dan tidak mau tahu terhadap nilai-nilai kemanusian. Sejalan dengan itu Piliang dan Eko (Piliang, 2004) sudah merangkum kesombongan dan keangkuhan kedalam itu sebuah penamaan, disebutnya Hyperealitas. Digambarkannya bahwa menyatunya dunia transenden dengan imanem, perselingkuhan kebaikan dengan kejahatan, tanda kembali menjadi tanda, tanda kehilangan realitasnya sebagai pencerdasan, sehingga memunculkan ribuan tanda baru, namun diujungnya tetap menghasilkan tanda tanya. Sebuah dunia yang sanat rumit dan serba salah. Kemudian lahir pemikir-pemikir kritis terhadap realitas, sebagai akibat dari kegagalan intelektual sebelumnya. Pemikir itu adalah fakta di dalam sejarahnya akan dikatakan sebagai orangorang kalah, hanya karena dia tidak mempunyai payung Hegemoni untuk menanamkan pengaruh dan tipis kemungkinan untuk merebut kursi ketuhanan. Bisa diperhatikan, sejak masa Aufklarung hingga masuknya dunia moderen dan mungkin akan berakhir dengan Potsmoderen. Ternyata tidak, setiap ilmu akan berkembang sesuai dengan ketegangan dan kegamangan yang dihasilkan oleh realitas yang diciptakannya, reliatas itulah yang dikatakan Nietzche sebagai fakta. Aufklarung yang notabenenya akan mencerdaskan masyarakat ternyata disanggah oleh pemikir Moderen seperti Marx Hokaimer dan Ardorno di sekolah Frankfurt (Sindhunata, 1982). Hokaimer dan Ardono membahu untuk meolak Hegel, Karl Marx tentang konsep sintesis dan Marxis yang menghambakan diri untuk kemanusiaan murni, sebab sekian lama pengkut Marx tidak seidealis Marx. Marx dilecehkan dengan difokuskannya marxisme pada kekuasaan. Stalin sebagai kalifah terakhir Marxisme menghambakan diri ke dalam politik untuk merebut kekuasaan dan menjadikan kekuasan seabsolut mungkin. Alhasil, pengikut Stalin anarkis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai makrifatnya. Anehnya, usaha baik dari sang guru seperti Hokaimer dan Ardorrno juga berujung pada sikap pesimistis, Hokaimer takluk dengan ketidakberdayaannya, mati dalam usia tua dan Ardorno dituntut oleh mahasiswanya. Senada dengan itu, kepenatan kembali muncul, lahirlah Postmoderen yang diperjuangakan Derrida, Piliang, Barthes dan kawan-kawan untuk menghancurkan narasi besar dan menghidupkan narasi kecil meskipun bersifat lokal (Ritzer, 2003). Tetapi dalam realitas, Postmoderen itu sendiri linglung setelah tidak begitu lama menempati posisi ketuhanan. Ada yang menertawakan ketentraman dan ada pula yang mencemooh ketidakberdayaan. Sebab, Postmoderen berbuah anarkis dan cenderung menciptakan moralnya sendiri yang bersifat sangat lokal. Alhasil, runtuhlah kembali Negara kemanusian itu di bawah bayang-bayang Hegemoni (Laclau dan Mouffe, 2008). Kemudian Edwar Said (Said, 1978) yang menyanggah Oreantalisme, keberpihakan kaum imperial kolonial. Sebab hal itu memunculkan perbedaan baru, perbedaan Barat dengan Timur, Timur terbelakang, sementara Barat adalah kemajuan. Barat laki-laki dan Timur adalah perempuan yang patut dicerdaskan, dilindungi dari kejahatan kaumnya sendiri. Kepentingan Barat untuk menegakan kembali bendera Imperialismenya di tanah yang tidak bertuan. Said mengatakan bahwa Barat telah salah memandang Timur sebagai Timur jauh, sebelah mata, sehingga Barat hancur oleh senjata buatnnya sendiri. Faktanya Chomsky adalah salah satu produk senjata yang paling
2
ditakuti oeh Barat, terlebih lagi setelah dia menulis tentang Teroris Internasional (Chomsky, 1991). Barat terpukul dan harus ekstra hati-hati. Dari sikap tersebut, Barat menuduh Islam sebagai biang keladinya, segala macam sara dilakukan nuntuk mendeskreditkan Islam, membangun sebuah kode bahwa Islam identik dengan kekerasan. Membuat kartun Muhammad yang sedang memegang pedang, didampiungi wanita cantik dan segala macamnya, runtuhnya WTC, meledaknya JW. Mariot, sebuah skenario yang cukup bagus penurut penulis. Tidak lama lagi Barat akan luluh lantak, Negara adi daya (Postkolonial) itu akan berpindah tangan kepada Cina dan India. Jika ini benar, maka berhasillah Anya Loomba dan Leela Gandhi dalam menyikapi kaum Kolonial Imperial itu. Lahirnya Para Tuhan ‘’Tuhan telah mati! Siapa yang membunuh Tuhan? Kamu? Kamu? Tidak! Kita yang membnuh Tuhan’’ (Zarathustra, 2000). Kematian Tuhan yang digembor-gemborkan Nietzche bukanlah kematian Tuhan yang hakiki, namun kematian yang digambarkan adalah kematian spiritualitas, keterputusan hubungan manusia dengan Tuhan. Kita mulai berjalan mundur, pada masa keemasan Gereja, terjadinya pembaharuan di Gereja Khatolik, penjualan surat Aflak, surat pengampunan dosa bagi pendosa yang mengakui dosa di Gereja. Akibat dari itu, para penganut paham lama risih dan marah, mereka menuntut pembaharuan di dalam gereja, maka berdirilah dogma baru di bawah bayang Kristen Protestan. Bagi penganut Kristen Protestan, kekuasaan gereja telah disalahgunakan untuk kepentingan individu saja, agama menjadi bisnis, Tuhan sengaja diciptakan oleh para pemegang kekuasaan di dalam gereja. Senada dengan itu, melirik dunia realitas yang juga naïf, jauh menyimpang dari apa yang diajarkan oleh agama samawi. Baik Isalm ataupun Kristen telah membaur, percampuran antar agama, pernikahan beda agama. Sedangkan bagi agama Islam sendiri tidak mensahkan bagi penganutnya untuk menikah dengan agama lain. Larangan ini sudah dilanggar oleh umat Islam sendiri, di bawah lindungan Jaringan Islam Liberal. Bagi mereka, sah saja asalkan suka sama suka dan tidak didasarkan paksaan. Terkadang bagi pihak tertentu mengatasnamakan solidaritas antar agama, tiada lagi kum dinukum waliyadin, zinah telah dilegalkan. Di bidang sosial juga dapat diperhatikan, jarang sekali orang berbuat untuk kepentingan sosial murni. Seperti pepatah minang, ‘’sakali dayuang dua tiga pulau terlampaui’’. Berbuat untuk kepentingan umun, terselip kepentingan politik, menanamkan pengaruh untuk menguasai saja. Pemberian beras miskin yang katanya hanya untuk orang miskin, namun di dalam realisasinya banyak yang mendapatkan bantuan hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi. Sayang sekali pemerintah sudah merasa puas dan sudah merasa bantuan yang diberikan telah sampai kepada orang yang dituju, padahal bantuan baru hanya sampai pada tingkat simulasi saja. Terlihat sekali pemerintah kita malas bekerja, pemerintah hanya cukup menugaskan orang yang dipercayai untuk mengumpulkan data orang miskin, sementara orang yang dipercayai juga malas bekerja, data orang miskin cukup diambil adari kantor Wali Nagari, padahal data itu data bertahun kadarluasa. Anehnya, yang dikatakan miskin itu hanya berputar di sekitar sanak familiki si tukang data. Di balik itu, terdapat banyak orang yang mengaku miskin, seorang guru sekolah dasar pun bisa mengaku miskin. Pengalaman pendataan penduduk ini pernah penulis temui di saat KKN tahun 2004 yang lalu, petugas sensus cukup mendatangai Pak Wali Nagari atau Ibu Wali Nagari untuk mendapatkan data sensus penduduk.
3
Andai saja pemerintah benar-benar berniat memberantas kemiskinan, caranya sangat gampang. Uang yang sejumlah Rp. 300.000 satu bulan tidak terlalu berarti bagi masyarakat, andai saja uang itu dikoordinir untuk membuka usaha mandiri bagi masyarakat atau menciptakan lapangan kerja baru, memberikan modal usaha bagi pengusaha keluarga tentu akan lebih bermanfaat. Penulis pikir data orang yang dikategorikan miskin tidaklah banyak tetapi data orang yang mau dikatakan miskin sangatlah banyak. Orang miskin akan bertambah banyak jika pemerintah selalu berjanji akan memberikan bantuan berupa uang kepada masyarakat. Semakin sering pemerintah menjanjikan bantuan kepada masyarakat semakin bertambah pulalah orang miskin di Negara ini. Kapankah kemiskinan bisa dibrantas? Kemudian realitas perpolitikan di Indonesia deawasa ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Para calon menafaatkan agenda spiritual untuk menanamkan pengaruh dengan harapan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Jelas terlihat di saat kampanye para calon memberikan sumbangan ke masjid-masjid, namun ketika calon kalah sumbangan ditarik kembali. Menyumbang ubin untuk pembuatan jalan, setelah calon kalah ubin dibuka kembali. Di waktu kampanye beribu janji yang dikemukan, tapi setelah menjabat calon legislative hilang ingatan. Sebuah pengalaman bagi penulis di dalam kampanye calon DPD, kebetulan sekali penulis sedang mengunggulkan Edi Utama sebagai DPD utusan Sumbar. Setelah letih berjalan, penulis istrirahat di daerah Maninjau, kata-kata yang aneh bagi penulis dengar dari caleg golkar berkampanye, ‘’kalau sya menjabat nanti, saya akan bangun jembatan di daerah ini!’’, masyarakat menjawab, ‘’kami tidak mempunyai sungai Pak!’’, caleg membalasnya, ‘’kalau perlu kita buat sungainya!’’, spontan kami dan rombongan tertawa. Begitulah fenomena perpolitikan di Indonesia. Layknya, adanya anggapan baru terhadap perpolitikan di Indonesia, faktanya banyak para calon berpandangan bahwa terjun di bidang politik bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mencari lapangan kerja, sebab telah terlalu lama menjadi pengguran bersertifikat setelah memenangkan gelar sarjana. Salah satu bentuk penipuan intelektual terhadap masyarakat bawah. Sejalan dengan itu, kita perhatikan kampanye pilpres 2009. Dalam masa tenggang pegawai honorer dijanjikan akan diangkat menjadi PNS seratus parsen, pilihlah SBY untuk calon presiden. Penulis melihat adanya ketidak feir-an calon pemimpin kita, tanpa berdosa berpijak di atas nasib seseorang untuk mencapai kekuasaannya, para pegawai honorer terpengaruh karena dijanjikan untuk di angkat apalagi para PNS merasa mendapat durian runtuh sebab gaji akan dinaikan. Apakah rakyat Indonesia ini hanya PNS? Di bidang pendidikan, penulis melihat terdapat ketidakadilan bagi masyarakat. Di mulai dari penyelewengan dana pendidikan 20 parsen hingga bantuan pendidikan berrupa beasiswa bagi yang berprestasi dan untuk orang kurang mampu. Banyak sekali bantuan beasiswa atau bantuan pemerintah tidak tepat sasaran. Siapakah yang patut disalahkan? Pemerintah atau orang yang diperintah untuk menjalankan misi tersebut? Di daerah perkampungan tidak sedikit anak usia sekolah terputus sekolah karena tidak ada biaya, masih banyak orang yang terlantar yang patut disantuni, anak jalanan, tuna wisma hinga tuna moral. Mungkin sudah nasib penulis sebagai orang aneh banyak menemukan keanehan di dunia ini. Di SD No 47 Toboh Olo, kecamatan Sintoga Kabupaten padang Pariaman, masih dipungut bayaran perkepala oleh komite sekolah bagi setiap murid, alsananya untuk membangun pagar, padahal dana BOS sudah disediakan oleh pemerintah. Bagi masyarakat kampong, uang Rp 20.000 persemester sudah sukup berarti bagi maskarakat, di saat diadakan rapat dengan orang tua murid, para guru mengancam ini hanya uang
4
sumbangan, bagi Wali Murid yang tidak membayar lapor anaknya ditahan. Kemudian tentang orang terlantar, masih banyak penulis temui bergelimpangan di jalanan, salah satunya juga terjadi di daerah Toboh Olo. Seorang anak perempuan yang bernama Lisa Atalia (13) tersesat di daerah tersebut, Ayah dan Ibu meninggal, dia tidak bisa mengingat apa-apa selain nama orang tua dan namanya saja, beruntunglah kebaikan hati masyarakat masih tersisa, anak tersebut ditampung dan dianggap anak sendiri oleh masyarakat. Anehnya, hingga sekarang belum ada saudara atau familinya yang mengaku kehilangan saudara. Negara yang aneh, anak terlantar dipelihara di jalanan Negara. Kemudian mari kita lihat tentang arti Demokrasi, menyediakan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin, berpolitik seluas-luasnya, bebas berpendapat, terbuka. Adalah sebuah konsep yang salah, dengan adanya kebebasan yang seperti inilah yang mendorong siapa saja untuk berkuasa, termasuk orang yang tidak berkualitas untuk mengendalikan Negara ini. Demokrasi dalam realisasinya hanya mengejar kuantitas saja dan bukan mengedepankan kualitas. Prinsip demokrasi telah memberikan kesempatan kepada orang picik, bodoh, para pembunuh moral, pengantung tuhan untuk mengendalikan Negara ini. Jika saja pemerintahan mau mengejar kualitas, tentunya kemajuan Negara ini berkembang dengan pesat, tetapi kenyataannya yang menjadi pejabat hanya mental-mental koruptor, berhasil memegang tampuk pimpinan dengan kendaraan uang. Di sisni posisi orang miskian sagnat dibutuhkan oleh calon pemimpin dalam menggapai kekuasaan, siapa saja yang menebar uang sebanyak-banyaknya merekalah yang bisa menjadi pemimpin masyarakat. Masyarakat tahu dibodohi, tetapi masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena masyarakat butuh makan untuk hidup. Pilihlah pemimpin yang menolong kita, pilihlah presiden yang memperhatikan nasib PNS, menaikan gaji, mengayomi guru, semantara para petani dijadikan tunggangan. Rakyat miskin tidak akan bisa dibrantas, jika di Negara ini masih menganut sitem yang sadis. Kemudian , masalah seksual yang awalnya pada Abad ke- 17 hanya dibatasi di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa dalam memperjuangankan semua itu, ternyata telah menciptakan pembiakan liar dan ketidakstabilan bagi kaum feminis. Kaum feminis mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan, media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki. Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg1, menciptakan frontier2 femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis menciptakan daerah tidak 1
Penyatuan Tubuh dengan mesin atau tepatnya memesinkan manusia. Model dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan treknologi di Barat, sarat denga maskulinitas/individual/anarkis dan berusaha mencari daerah serta tantangan baru (Piliang 2004: 426). 2
5
bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnold Suasinegar, di sini di citrakan Arnold dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui mesin, zaman telah berubah, kemudian Arnold bertemu dengan seorang wanita yang hidup di era itu, Arnol menginginkan transaksi seksual dengan wanita itu, si wanita memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf, sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam dunia Cyborg. Berarti, tidak adanya keturunan yang dihasilkan transaksi tersebut, tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka dan setiap orang bebas mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing. Akibat dari itu, terjadilah keliaran menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara laki-laki dengan wanita, si wanita menjadi lakilaki dan laki-laki menjadi wanita, akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masingmasingnya. Chating yang pada awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita untuk menyuarakan ketidakadilan ternyata berubah fungsi sebagai tempat memvirtualkan harga diri, identias diri wanita, ekploitasi wanita. Website porno, seks online, Facebook, frindster yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan perempuan di hadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan, kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan wacana lokalisasi, homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama, namun denotatumnya masih sama yaitu ketidakpuasan perempuan dengan dominasi laki-laki. Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik tubuh. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan menghancurkan nama baik seseorang. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagianbagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112). Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja Lokalisai Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat sejenak. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan memanajemen itu semua.
6
Sejalan dengan itu, kekuasaan juga membangun sebuah tatanan sosial baru, feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Angka dua dari segala tradisi mistis dianggap simbol angka sial. Angka dua sebagai perselisihan antara laki-laki dengan perempuan, makanya harus disatunan dengan hubungan seksual. Angka dua adalah simbol jiwa dan materil, angka dua adalah dunia kejahatan dan kebaikan.Untuk menutup pertentangan itu segala yang dua disebut berpasangan satu pasang, jarang sekali disebut dua orang. Berikutnya perhatikan juga smbol Yin dan Yang di dalam tradisi cini, Yin dilambangkan dengan bagian hitam dan putih laki-laki, namun begti pada bagian hitam terdapat titik putih begitu juga sebaliknya. Yin dan Yang disimbolkan penyatuan antara laki-laki dengan perempuan (Scimmel, 206: 56-66). Jadi, terlalu sering menggunakan simbol 2 akan berakibat malapetaka, nah jelaslah salah prinsip yang ditanamkan oleh pemerintah kita. Penulis berpendapat, bahwa ini adalah sebuah kesuksesan Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan Timur, tetapi sesungguhnya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem. Seiring dengan itu Yasir menyatakan perempuan menjadi kelas dua bukan kaerena biologis yang melekat padanya tetapi karena citra negatif yang dilekatkan pada dirinya (Yasir Alimi, 2004: 36). Seperti Ilmu pengetahuan yang dikodekan oleh Darwin bahwa kapasitas otak laki-laki lebih besar dari pada otak perempuan, Imanuel Kant menyebut bahwa laki-laki itu bodoh tapi masih bisa dididik tetapi perempuan itu bodoh dan tidak bisa dididik, kemuadian diskursus Agama juga mempertegas bahwa perempuan lebih rendah keimanannnya dibandingkan laki-laki, makanya seluruh permukaan tubuh perempuan dimasukan ke dalam aurat kecuali telapak tangan dengan muka. Sementara Focoult sendiri menyatakan adanya 3 unsur yang sangat berpengaruh dalam menentuan sebuah ideologi, yaitu power-imu pengetahuan-kenikmatan. Di antara ketiga unsur ini saling kait, power dengan pengetahuan saling berrelasi untuk menghasilkan kebenaran baru begitu juga sebaliknya, sementara penghetahuan mengeskploitasi kenikmatan. Sebuah contoh terhadap kasus itu adalah kisah tragis yang dialami Barbin seorang Hermaprodit Parncis abad ke XIX , setelah melakukan pengakuan kepada dokter dan pendeta di gereja, secara hukum Barbin diharuskan mengubah kelaminnya menjadi lakilaki karena maskulinitas yang dimilikinya, akhirnya barbin Bunuh diri, lalu Dorce yang diharuskan mengubah kelamin menjadi wanita? Hal ini dikatakan Focoult ‘’aneh’’ sebab yang namanya Hermaprodit itu berjenis kelamin ganda bukannya dijadikan satu kelamin. Di yakini oleh Yasir bahwa seksualitas menjadi heteroseksual atau homoseksual hanyalah kontruksi sosial, efek wacana sebagai akibat dari praktek diskursus, oleh karena itu tidak bisa ditenmukan di dalam darah tetapi dapat ditemukan hanya di dalam tanda bahasa. Diskursus juga diyakini oleh Fokoult sangat berpengaruh dalam histerisasi tubuh perempuan dan performen menurut Butler dalam Yasir. Diskursus adalah wadah yang sangat potensial untuk meneriakan bahwa perempuan itu feminim, laki-laki maskulin, laki-laki dan perempuan harus punya kelamin satu, awalnya sangat sederhana, cukup mengatakn bahwa ‘’saya laki-laki dan harus bersifat maskulin!, kamu perempuan! kamu
7
orang Hyper! Aliran sesat!’’ atau mungkin tanda bahasa lain yang perlu dimunculkan untuk menciptakan sebuah diskursus. Kuncinya hanya datu kata, ‘’pengulangan’’ hingga lambat laun kode itu diakui dan diterima. Kemudian, Barat moderen menyatakan bahwa seksual baginya adalah prokreasi untuk memkasimalkan kekuatan, potensi diri, menjaga hubungan pernikahan dan menolak Yunani dan Romawi bahwa seksual merupakan kesenangan, maka dari itu dibangun tatanan moral untuk melahirkan moral kebenaran, menyatakan onani dapat merugikan kesehatan, homoseksual menimbulan penyakit, hyperseksual mampu meningkatlan AIDS, sementara Barat sendiri meningkatkan kegairahannnya melihat perempuan Timur sebuah ladang eksotis, sensual dan sexy. Di percayai bahwa pusat perdagangan daging mentah di Asia tenggara itu adalah di Indonesia, Surabaya (Dam Truong, 1992). Timur itu feminis, Barat maskulin maka dari itu Timur harus dibimbing, dicerdaskan dan dilindungi oleh kuasa Barat. Timur itu pasif layaknya perempuan yang membutuhkan perlindungan lakilaki, karena dari Baratlah pengetahuan itu berasal, sedangkan Timur tinggal menikmatinya saja, dari Baratlah Teori-teori muncul dan Timur hanya tinggal memakainya saja. Timur dianggap sebagai objek seksual, dijajah karena bodoh. India dikatakan maju karena pernah dijajah oleh inggris, yang lebih anarkis lagi saat Imanuel Kant menyatakan bahwa adanya hubungan paralel antara kecerdasan dengan warna kulit. Penyair mengatakan, ‘jalanilah hidup ini seperti air yang mengalir!’, ungkapan ini jelas sangat salah, air hanya dipermainkan oleh hidup, pesimistis, bukan mental para pejuang. Hal inilah yang ditentang oleh Marx dengan prinsip sosialimenya, Nietzche dengan kehendak berkuasa, Focoult dengan geneologi kekuasaan dan masih banyak lagi tokohtokoh lain seperti Marx Hokaimer, Ardorno, Piliang, Baudrillrad, Umberto Eko, Edwar Said, Chomsky, Lela Gandhi, Anya Loonba, Weber. Jika dilihat dan ditelusu secara detil, mulai dari latar belakang pemikiranya hingg tujuan akhir, semuanya masih mengusung persoalan yang sama hanya saja penamaannya dan ideology yang dibawa berbeda-beda, persoalnnya masih berkutat pada terputusnya tali silaturrahmi dengan Tuhan, para pembunuh tuhan sekaligus para orang-orang yang melahirkan Tuhan untu membunuh para tuhan. Para tuhan adalah kesombongan, keangkuahan, egois, picik, tipu muslihat dan segala macamnya, dengan satu tujuan yaitu kehendak untuk berkuasa saja. Simpulan Din Syam Sudin mengatakan, ‘’bahwa Negara ini sudah cukup sempurna kerusakannya’’. Jalan keluarnya hanya satu, tinggalkanlah quantitas dan kembali menjemput bola untuk mengejar kualitas. Mari bersama-sama membunuh para Tuhan, lahirkanlah Tuhan dari hati untuk menyambung tali silaturrahmi yang terputus dengan Tuhan. Sebab Tuhan Maha Tahu, tetapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh Tuhan, yaitu pengganti Tuhan itu sendiri.
Sumber Bacaan Alimi, Yasir. 2004. Dekontruksi Seksualitas Poskolonuial. Yokyakarta: LKIS. Agger, Ben. 2003. Terjemahan; Teori Sosial Kritis. Yokyakarta: Kreasi Wacana Yokyakarta. Berlin, Isah. 2000. Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Promethea.
8
Chomsky, Noam.2008. Neo Imperialisme Amerika Serikat. Yokyakarta: Resist Book. Eco, Umberto. 1987. Tamasya Dalam Hyperrealitas. Yogyakarta: Jala Sutra. Foucult, Michel. 2002. Terjemahan; Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon Terlitera Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yokyakarta: Qalam. Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialisme. Yokyakarta: Resis Book. Nietzche, Frederik. 2000. Terjemahan; Zarathustra. Yokyakarta: Penerbit JEJAK. ----------------------. 2000. Terjemahan; Senjakala Berhala dan Anti-Kris. Yokyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melanpou Batas-batas Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra. -----------------------. 2004. Post-Realitas, Realitas Postmetafisika. Yogyakarta: Jala Sutra.
Kebudayaan
dalam
Era
-----------------------. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra. ----------------------. 2003. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai. Poole, Rose. 1993. Terjemahan; Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus Ritzer, George. 2003. Terjemahan; Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose Research And Publication Study Club dan Kreasi Wacana. Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yokyakarta: LKIS. Said, Edward.1977. Terjemahan; Orientalism. London: Penguin. Sunardi, ST. 1996. Nietzche. Yokyakarta: LKIS. Schimmel, Annemarie. 2006. Terjemahan: The Mystery of Numbers. Bandung: PUSTAKA HIDAYAH. Truong, Thanh-Dam. 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
9