Hyperrealitas Dan Kematian Intelektual (m.yunis)

  • Uploaded by: M. Yunis
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hyperrealitas Dan Kematian Intelektual (m.yunis) as PDF for free.

More details

  • Words: 6,595
  • Pages: 22
HYPERREALITAS DAN KEMATIAN INTELEKTUAL Oleh M. Yunis1 ‘’...yang baik dan yang jahat adalah buatan sejarah. Baik jahat muncul dari sentimen orang-orang kalah secara moral, tidak obahnya merupakan pembalasan dendam yang menggumpal. Padahal moral sebelumnya adalah sesuatu yang kodrati datang dari langit, sekarang moral merupakan sesuatu yang dihidupi di dunia dan hanya lahir dari rahim-rahim kepentingan duniawi saja...’’ (Frederik Nietzche) Terkadang apa yang diimpikan dan apa yang dicita-citakan jarang bersesuaian, bukannya menyalahkan kemajuan teknologi dan bukan pula memberi dosa alam realitas. Memang, hidup itu berangkat dari sebuah kehancuran, ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena, itu setapak demi setapak kemapanan intelektual harus diakali untuk memcapai sebuah pencerdasan moral. Sebab, realitas yang awalnya dianggap sebuah ideologi moral itu berangsur berubah menjadi ideologi anarkis, Postmodern yang mulanya ditujukan untuk sebuah penerangan kini menjelma menjadi dua buah ideologi yang sangat bertentangan, ditakuti. Di satu sisi menertawakan kekacauan dan di sisi lain mencemooh ketentraman. Namun, kedua ideologi itu selalu linglung menentukan posisinya di dalam realitas, memakan buah simalakama. Namun, bukan hal itu yang diinginkan ataupun yang dicitakan dalam tulisan ini, bukan menunjuk mengajari apa yang sudah terkukung di dalam sebuah kebenaran dan bukan pula menaklukan dunia beserta isinya. Tetapi, intinya bagaimana mensiasati agar idealisme bangkit dari mati suri dan menyingkirkan dampak doktrin-doktrin yang ekstrim terhadap kepentingan duniawi sehingga intelektual tersebut bangkit melakukan perlawanan dengan berpikir terus menerus dan runtuhkanlah tembok hagemoni. Apa yang benar dan apa yang salah? Siapa menyalahkan siapa?

1

Penulis dan Mahasiswa Pasca Linguistik Kebudayaan Unand. Seorang penulis dan sekarang bergabung dengan Pusat Study Humaniora Universitas Andalas Padang. Blog: www.sastraminangkabau.blogspot.com.

1

Penulis sangat berterimaksih kepada teman-teman yang menyebut penulis aliran sesat, karena di saat gelar itu dilabelkan maka di saat itu pulalah penulis mendoktrin diri tidak akan berhenti berpikir untuk menyingkap kepalsuan alam realitas. Sesungguhnya, kesemprunaan itu hanyalah akan menghambat cara berpikir dan kesempurnaan hanyalah milik yang Illah. 1. Kerangka Berpikir Awalnya hanya semiotika (Zoest, 1993)2, namun berangsur-angsur terlalu langkah itu kian menjemukan, terlalu lama berkecimpung pada tataran struktural sebab semiotik itu sebenarnya masih terputus setelah kematian Charles Sanders Pierce, Sausure berhenti pada tataran Langue dan Parole dan begitu pula Barthes tertumpu kepada mithologies. Padahal teori itu masih bisa dikembangkan seperti yang direalisasikan Umberto Eko dalam pandangannya tentang dunia Hiperealitas yang tercermin dalam bukunya Tamasya Dalam Hyperrealitas (1987)3. Sejalan dengan itu, Piliang juga menyebutnya dengan Hipersemiotika, yang mana penanda dan petanda bermutasi menjadi tanda lain. Ada yang dinamakan dengan tanda sebenarnya yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau tanda gadungan atau hanya menyerupai, tanda dusta yang mana tanda yang menggunakan tanda dan penanda yang salah, sementara realitas yang dicapai juga salah, tanda daur ulang tanda yang aneh tapi bermanfaat bagi dunia kekinian, penipuan, tanda buatan yang sengaja diciptakan lewat teknologi mutakhir, dan kemudian tanda ekstrim sebagai tanda yang hiperbola (Piliang, 2003). Begitulah semiotik itu berkembang sesuai dengan kehendak zaman dan realitas yang tampak di relung setiap pribadi. Namun, sebelum Piliang dan Eco, Guattari dan Deleuze (Piliang, 2004) juga telah mebahas konsep yang sama, mereka berbicara tentang keruntuhan tembok transenden dengan immanen. Dua konsep ini tidak lagi dalam status 2

Menurut Pierce semiotika adalah Ilmu yang mempelajari tanda dan segala macam yang berkaitan dengannya. Adanya hungan tanda dengan Ground, hubungan tanda dengan Denotatum dan hubungan tanda dengan Interpretan (Pierce dalam Zoest, 1993 dan Kristomi, 2004). 3 Eco menganalisis teknik Hologravi yang merupakan mukjizat teknik sinar laser yang paling mutakhir pada tahun 50 an oleh Dennis Gabor. Ia mampu menghadirkan representasi fotografis yang penoh makna lebih dari 3 dimensi . Menghadirkan bayangan semu wanita cantik sedang beradegan seks sesama jenis, sementara penonton dapat menikmatinya dari segala macam sudut pandangan, bahkan wanita yang dihasilkan dari representasi tersebut dapat tersenyum merayu bernafsu terhadap penontonnya ( Eco, 1987: 25).

2

oposisi biner, dalam artian bahwa keduanya telah membaur. Kemudian Budrillar dalam kerangka patafisika, istilah ini digunakannya untuk menjelaskan realitas yang melampoi fikisa dan metafisika sekaligus. Lalu muncul pula simulakra yang merangkan hal-hal yang tidak tercapai oleh pengetahuan dapat ditembus lewat kecanggihan teknologi artifisial virtual. Menghadirkan Karl Marxs dalam dunia simulasi sangat memungkin ataupun Plato di saat sekarang adalah wajar dan tuhan pun dapat diserupai dalam simulasi. Budrillar menyebutnya sebagai solisi imajiner yaitu proses menjadikan suatu yang non-empiris, mengobjekan lewat kecanggihan teknologi simulasi sehingga menjadi sebuah fakta, dapat dilihat, dirasakan, didiami meskipun tanpa melalui hukum fisika sebagai sebuah benda (Piliang 2004;69). Inilah simulasi seperti yang dikatakan Budrillar itu, yang mana realitas diciptakan tanpa pondasi dan realitas. Bebicara soal kejenuhan itu, pas betul seperti konsep yang hasilkan oleh Postmoderen, yang mana Piliang menjealaskan dalam Dunia yang Dilipat, bahwa Postmoderen akan menghasilan dua buah konsep yang saling bertentangan, pertama Ideologi yang timbul tanpa asal usul, tanpa pondasi, tanpa makna, akhirnya mengarah kepada tindakan yang ekstrim dan tidak menghargai idelisme. Berbahayanya ideologi ini telah merambah ke kota-kota besar di dunia, dalam alam nyata, dampaknya masyarakat komsumer menolak aturan moral yang mengikat, mereka berusaha membuat aturannya sendiri dalam dunianya sendiri, beralih ke dalam isu-isu lokal dengan gaya dan corak anarkis yang berlainan. Contohnya saja seks bebas yang melanda remaja di kota-kota besar, pengkomsumsian obat-obatan diluar batas, menganiaya diri sendiri dengan teknologi dan segala macamnya. Ini adalah pintu masuk ke dalam geneologi moral yang pernah diungkit oleh Nietzche, dia menerangkan bahwa manusia resentiment membenci, tapi takut bertindak, sehingga kebencian tersebut meresapi segala yang dipikirkan dan diperbuatnya. Orang tahu cara memafaafkan tetapi tidak tahu kekuatan melupakan dan akhirnya menimbulkan dendam, mengingatingat masa lalu yang pernah terjadi. Akibatnya, kekuatan resentiment tersebut berbalik ke dalam dan menciptakan seorang subjek emosi-emosi yang tidak diungkapkan. Si aku (subjek moralitas) adalah objek yang dilahirkan dari

3

kekecewaan, suatu hasrat yang lahir dari penyangkalan pengakuan (Poole, 1993; 58). Membopong perjalanan idealis itu, Nietzche membebaskan moral tersebut dari penjara sejarah lewat nalar putisnya. Sebab selama ribuan tahun moral telah terpenjara di dalam sejarah. Baginya, matinya moral menandakan hidupnya nalar puitis yang bekerja di atas tanah yang tidak berjejak antara yang relatif dan yang mutlak.

Memang

Nietzche

barangkat

dari

segala

penderitaan

yang

berkecenderungan balas dendam dari orang lemah untuk menciptaan penderitaan yang penuh makna, sehingga melahirkan para budak yang berkuasa dengan gaya moralnya sendiri. Apabila impul-impul itu itu tidak dicegah dan tidak dijinakan akan terjadi subordinasi sehingga menimbulkan kefanatikan yang sangat berbahaya. Dalam hal ini yang patut dipersalahkan adalah kontrol sosial dari masyarakat, sebab kekuatan itu tidak hanya berakibat melemahkan individu yang kuat malahan juga dapat melemahkan budaya luas (Ritzer, 2003: 42). Jadi, yang dinginkan Nietzche sebenarnya adalah individu yang berdaulat untuk menciptakan intelektual yang handal. Sedangkan ideologi kedua yang munculkan adalah ideologi yang berpondasi, berdasar, menghargai idelisme, menghargai perbedaan, multikultural? dan segala macamnya. Masyarakat kembali kepada nilai-nilai tradisional yang bersifat

lokal

dan

beraturan

konvensioanal.

Jika

seperti

ini,

apakah

Postmodernisme tersebut berhasil atau malah gagal mengembangkan sayapnya? Sebab yang dicapai Postmoderen itu kurang lebih sama dengan yang dikemukakan Guattari dan Deleuze atas keruntuhan tembok transenden dengan immanen, Postmoderen menginginkan runtuhnya narasi besar dan melahirkan narasi kecil yang bersifat lokal, menghilangkan konsep dunia Timur ataupun Barat. Lalu bagaimana dengan Edwar Said yang mempertahankan dunia Timurnya, dia menganggap bahwa Timur itu lebih mulia dari pada barat (Edward, 1977). Kemudian gagasan tersebut disambut baik oleh Hasan Hanfi dalam doktrin Oksidentalism. Memang konsep ini sudah sering penulis singgung baik di dalam tulisan koran maupun saat presentasi di dalam mata kuliah Teori Linguistik Kebudayaan dan Semiotika. Tetapi penulis rasa masih banyak yang harus dijelaskan, terlebih

4

lagi terhadap ketidakmautahuan dan kesombongan model baru yang dimunculkan para ego-ego yang memvonis dirinya sangat berdaulat. Penulis masih ingat atas vonis yang penulis terima ‘’aliran sesat atau mungkin menyesatkan’’. Namun, julukan itu dirasa sangat membantu, sebab setiap kali julukan itu dilabelkan, maka setiap kali itu pula pengkajian lebih dalam terhadap realitas yang ingin penulis singkap. Satu hal lagi, di saat salah satu teman di Pasca Linguistk Kebudayaan Unand mengemukan bahwa Hyperealiats itu belumlah terjadi dan masyarakat yang mana yang tergolong kedalam Hyperealitas tersebut? Hal ini cukup menjadi bukti betapa pentingnya kajian terhadap realitas kerkinian membutuhkan lampulampu pijar, sebab jika tidak segera dimulai maka generasi intelektual setelahnya akan terus berpikir perskeptif kata lain dari Postskeptif? atau benar salah. Menurut penulis cara berpikir ini berkembang dari konsep skeptis yang dikemukana Rene Des Cartes dengan konsep cogito orgosumnya4. Perskeptif adalah sebuah doktrin yang sudah terlalu lama berkembang dan mendarah daging, anehnya cara berpikir itu diwariskan dari generasi hingga generasi sekarang. Seiring dengan itu, tebalnya tembok hagemoni membuat kita harus memutar kincir otak. Bagaimana caranya menaklukan kekuasaan absolut dan menghidupkan kembali intelektualitas? Untuk menjawab hal itu, terdapat 3 cara berpikir yang layaknya dicoba. Pertama berpikir terbalik berguna untuk melawan 4

Tiga konsep yang Descartes; pertama mematuhi undang-undang dan adat-istiadat negeri tempat berada, sambil tetap berpegang teguh kepada agama, berkat karunia Tuhan, telah diajarkan kepada kita sejak masa anak-anak. Hal ini bertujuan untuk menguji kebenaran yang telah didapat, apakah kebenaran tersebut sesuai dengan agama dan aturan yang berlaku di negara itu, jika kebenaran yang ditemukan tidak sesuai dengan pranata yang telah ada tersebut berarti kebenaran itu masih keliru, dan terpaksa memulainya kembali dari awal. Kedua, bersikap setegas dan semantap mungkin dalam tindakan, dan mengikuti pendapat yang paling meragukan secara sama mantapnya sebagaimana mengikuti pendapat yang sangat meyakinkan, bila kita telah memutuskan untuk mengikutinya. Artinya, di sini diperlukan keyakinan yang tegas, tidak boleh plin-plan dalam bersikap, kalau perlu tekuni sebuah pendapat yang dianggap benar menurut nalar. Tujuan kita harus jelas dan terarah kedepan, tidak boleh berhenti di tengah jalan, tidak boleh berubah karena hal yang sepele. Seperti orang yang sedang memasuki hutan, lebih baik terus, tanpa berbelokbelok, paling tidak kita sampai di suatu tujuan dari pada tersesat di tengah hutan. Prinsip ketiga adalah selalu berusaha mengalahkan diri sendiri, mengubah keinginan-keinginan sendiri dan bukannya merombak tatanan dunia; serta membiasakan diri untuk meyakini bahwa tidak ada satu pun yang berada di bawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita. Artinya, walaupun kita gagal tetapi kita telah berusaha untuk lebih baik dari yang baik, jangan egois dalam menghadapi sesuatu, sebab bagimanapun juga kita tidak bisa menolak takdir yang datang dari tuhan. Bagaimanapun juga kita orang Asia tidak akan pernah menjadi bangsa Eropa, tetapi sekurangkurangnya sudah berusaha untuk menjadi bagian dari apa yang lebih baik di Eropah, sekali lagi kita bukanlah Eropa. Dengan berusaha semaksimal mungkin tetapi masih gagal, toh kita tidak akan menyesali karena tidak dapat meraihnya, sebab kita telah mencoba (Rahayu S (Pen), 1995.

5

para pembunuh idiologi, kedua berpikir menyimpang berguna untuk melawan tembok hagemoni, dan ketiga berpikir melompat berguna untuk melawan pikiran Perskeptif/Postskeptis di atas. Namun begitu, untuk mencapai tiga pola pikir di atas kita harus mengenyahkan dua cara berpikir yang dapat menghilangkan realitas itu, sebab hal itu dapat menghambat perlawanan terhadap being yang diciptakan antologi citraan yang selama ini telah bercokol dan membunuh intelektual itu sendiri, pertama berpikir perskeptif seperti yang telah diterangkan di atas dan kedua tidak berpikir sama sekali. 3. Politik Sejarah Kita mulai dari yang sederhana, yaitu ‘’sejarah’’. Sejarah panjang negara ini tentu ikut melatarbelakangi sistem pendidikan kedepan, seperti tindakantindakan saparatis daerah terhadap pemerintahan pusat yang sentralistik, muncullah PRRI di Sumatra tengah, DI/TII d, GAM di Aceh, RMS di Maluku, PARMESTA dan lain sebagainya. Akibat dari itu muncullah Skhizofrenia terhadap seluruh daerah di Indonesia. Kemudian pasca komunis di Indonesia melahirkan orde baru yang selalu di dalam ketakutan tanpa batas, sehingga anak-anak bekas PKI atau tertuduh PKI dideskriminasikan, larangan untuk menjadi pegawai pun direalisasikan, barulah pasca kejatuhan Suharto sebagai simbol kestabilan nasonal hukuman itu dihapuskan. Namun, di tingkat daerah-daerah, sejarah itu tetap berlanjut seperti yang direncanakan dan sampai sekarang masih diderita oleh para pahlawan yang tidak pernah dianggap itu. Baik keturunan PRRI maupun PKI adalah sama-sama orang yang bersalah dan sekaligus sebagai korban politik, adu domba, meskupun mereka tidak tahu apa-apa dengan masa lalu yang baru saja kemaren terjadi. Natsir pernah menyatakan, ‘’Saya tidak takut dengan ribuan tentara pusat, tapi yang saya takutkan OPR5, mereka itu tahu seluk beluk hutan, tahu gang-gang kecil ataupun jalan-jalan setapak di tengah hutan, karena OPR adalah dari kita!’’. Apa yang dinyatakan Natsir itu adalah benar, OPR adalah korban, hansip yang dipersenjatai itu tidak mempunyai jalan lain untuk

5

Organisasi Perlawanan Rakyat adalah hansip yang dipersenjatai, suara dan sikapnya lebih keras dari pada tentara benaran, pada dirinyalah ideologi komunis tersebut mulai ditanamkan.

6

menyelamatkan dirinya dari perang politik tanpa sedikit pun diketahui bahwa meraka dikomandoi oleh PKI yang membonceng dengan tentara pusat6. Kemuadian saat kedatangan Tentara Pusat ke Sumatra Tengah untuk menumpas PRRI, ada sedikit kebanggan dari masyarakat karena yang datang itu Devisi Barwijaya dan Siliwangi. Masyarakat merasakan tiada pelecehan atau pun kekasaran tentara itu kaepada masyarakat. Namun, setelahnya devisi Diponegoro pimpian A. Yani menggantikan posisi itu, prasangka yang masih sama terhadap tentara pusat akhirnya berubah telak setelah para penduduk tidak bersalah ditembaki, para wanita dilecehkan, diperkosa, laki-laki dipaksa menceraikan istrinya kalau tidak ditembak, lalu istrinya dipakai layaknya istri sendiri tanpa dinikahi7. Wajar saja seorang suami yang dipaksa bercerai dengan istrinya kalut dan lari kehutan kemudian bergabung dengan tentara PRRI. Lalu Rumah Gadang dijadikan pusat pelacuran yang mana wanita Minang dipaksa menjadi pekerjanya. Alhasil, PRRI kalah yang ditutup dengan penyerahan diri M. Natsir yang direncanakan turun 25 september 1962 jam 2, namun rencana itu meleset Natsir sampai di bawah (di palembeyan) jam 4 sore, sebab di dalam perjalanan di waktu menyeberangi sungai yang arusnya sangat deras (Batang Masang) Natsir hanyut. Tetapi, hal itu jugalah yang menyelamatkan Natsir dari kematian, seandainya Natsir sampai di bawah jam 2 siang dapat dipastikan Natsir tewas, sebab para tentara sudah diperintahakan pinpinan pusat untuk menembak siapa saja yang turun dari hutan pada jam 2 siang itu. Anehnya yang menjadi komando pos penjagaan di sana adalah ajudan M. Natsir sendiri sewaktu beliau menjabat Perdana Mentri di Yogyakarta, maka sibak tangis pun memecahkan suasana ketika itu. Berbeda dengan Dahlan Jambek, sebagai seorang Ustad, dia juga seorang tentara yang idealis, tetap tidak mau menyerah dan menginginkan ditangkap diadili atau ditembak di tempat. Akhirnya, Dahlan Jambek tewas di tangan OPR pimpinan Sugandhi di Desa Lariang Aia Kijang, desa terakhir Agam termasuk Kumpulan daerah Pasaman8. Selanjutnya, bekas-bekas pejuang PRRI hingga anak cucunya dilabeli denga orang terlibat (PKI). 6

Sebagian menyebutnya dengan tentara Sukarno. Wawancara Hari Efendi dengan Abdul Samat di Bukittinggi saksi PPRI Tanggal 6 september 2008, Jam 10 pagi. 8 Wawancara Hary Efendi dengan Tan Kabasaran di Bukittinggi, 6 September 2008, Jam 12 siang. 7

7

Suatu kesalahan bagi OPR, sebagai hansip yang dipersenjatai merasa mempunyai kekeuatan, bahkan lebih ganas daripada tentara benaran, penduduk dipukul, ditembaki dan segala macamnya. Sikap seperti ini adalah sangatlah keterlaluan, anarkis dan kejam. Setelah PRRI tamat, semua bekas OPR juga dilabeli dengan orang-orang terlibat (PKI), dipenjara tanpa diadili dan bahkan dibunuh. Pada saat itu barulah mereka sadar, ternyata selama ini mereka dikendalikan oleh tangan-tangan yang tidak terliaht dari pusat. Siapakah PKI yang sebenarnya? Berbeda pula ceritanya dengan Suwardi Idris sebagai Jurnalis Vokal dari Harian ‘’Nyata’’ ketika itu. Selaku wartawan yang idealis, dia mempunyai tugas menyarakan hati nurani rakyat. Karena terlalu berani, dia pun ikut terjebak di antara dua dunia, Suwardi Idris dicurigai apakah dia memihak pusat atau PRRI dan akhirnya Harian Nyata9 terkubur atau dikuburkan hingga sekarang. Namun, sekarang sejarah itu diputus dari realitasnya sendiri, ditegaskan PRRI sebagai pemberontak telah kalah perang, padahal PRRI sesungguhnya bukanlah pemberontak terhadap negara, Natsir sendiri menyatakan ‘’kita tidak akan membuat negara di atas negara, sekurang-kurangnya ini peringatan terhadap Sukarno yang telah melibatkan PKI di dalam pemerintahan, kita tidak melawan APRI tetapi kita melawan tentara Sukarno dan antek-anteknya’’. Meskipun Dewan Banteng mendesak untuk mendirikan sebuah negara yang terpisah, Natsir tetap bersikeras pada prinsipnya. Di awali trauma PRRI inilah intelektual pertama mati di Minangkabau. Setelah PRRI menyerah, pandangan dialihakan kepada PKI sebagai sasaran politik, PKI dideskreditkan, musuh persatuan dan kesatuan, dicap sebagai perusak ideologi negara. Maka ditanamkanlah kebencian terhadap PKI dari segala penjuru, media-media, seperti pemutaran filem G 30/SPKI setiap tanggal 30 September. Dilambanglan Gerwani menyayat-nyayat muka para jendral, menarinari bugil di hadapan para jendral, A. Yani termasuk salah satunya korbannya. Sedangkan Nasution yang dulu berada dibelakang A. Yani semasa PRRI, dihukum seumur hidup, disisihkan dari percaturan politik Indonesia. Nasution sebagai 9

Media yang berkembang pada saat itu, suaranya lantang tapi sayangnya dikubur oleh pemerintah. Di samping itu terdapat 2 buah media yaitu Penerangan dan Haluan yang sering lebih memilih diam dan cari keselamatan. Sekarang Haluan masih eksis, antara hidup dan mati.

8

jendral hebat tetapi berlindung dibalik mayat Ade Irma Suryani yang masih 5 tahunan. Nah, kematian kembali mengunjungi generasi intelektual kedua. Barulah tahun 1998 yang dipelopori seluruh mahasiswa Indonesia hancurnya simbol kestabilan nasional, Suharto jatuh tapai, namun beberapa orang mahasiswa harus meregang nyawa ditangan peluru-peluru tajam aparat, Reformasi!. Setelah itu para aktifis 98 mendapatkan tempat di dalam kekuasaan, dihargai perujuangannya, tidak ada aktifis 98 yang gagal secara ekonomi, kemudian terputuslah kembali sejarah itu hingga di sini. Orang lupa akan Natsir, Siti Mangopoh, PDRI dan segala macamnya. Sekali lagi intelektual generasi ke tiga mati. Sebuah fakta bahwa realitas telah diwarnai kematian demi kematian intelektual, dengan alasan trauma dan segala macamnya. Akibatnya, Minangkabau sebagai ujung tombak kemerdekaan terputus dari akarnya sejarahnya dan semua berkiblat kepada pusat. Ternyata keadaan itu melahirkan pemberontak baru, dialah ‘’seniman, penyair, budayawan, satrawan’’, kembali menorehkan ketajaman ujung-ujung penanya untuk menggugat ketidakadilan dan meruntuhkan tembok Hagemoni. Seiring waktu berjalan penguasa kembali risih terhadap kehadiran mereka, maka dibentuklah DKSB10, yang mana di dalamnya tergabung para seniman, budayawan dan segala macamnya itu. Sekali lagi intelektual ke empat kembali mati. Nah, kematian demi kematian itu tetap terus belanjut hingga sekarang, namun penamaan dan tingkatannya sudah agak berbeda dan sedikit elite, dan sekarang kematian itu mulai merayap memasuki dunia akademis. 4. Tamasya Realitas Kita kembali ke utopia akan kemajuan yang tidak pernah terealisasikan, masyarakat komsumer dan nostalgia masa lalu, mengusung lahirnya kembali tanda tanya? Tnda yang dihasilkan adalah tanda yang berhubungan relatif simetris dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau gadungan, tanda dusta yang penanda salah dan realitas yang dicapai juga salah, tanda rekontruksi/Dekontruksi aneh tapi bermanfaat bagi dunia sekarang, tanda ciptakan lewat teknologi mutakhir dan tanda ekstrim yang dianggap tanda hiperbola (Piliang, 2003). 10

Dewan Kesenian Sumatra Barat.

9

Sepaham dengan Jean Baudrillard, tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam Hyperealitas, sebab simulasi itu sendiri menurutnya tidak hanya melipatgandakan ada (being), tetapi sudah menciptakan model yang tanpa asal usul atau realitas, Hiperealitas. Tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Inilah yang dikatakan Piliang (2006) manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun simulasi mulanya dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, tetapi perkembangannya membawa dampak menuju hyperrealitas sebagai dampak dari pengalaman kebendaan. Apakah maksud Piliang dengan terjebak ke dalam belantara bujuk rayu? Berpijak pada awal pembahasan di atas bahwa tembok transenden dengan immanen telah melebur, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik ataupun buruk. Sesuatu itu buruk jika tidak sesuai dengan cita pribadi, semua itu baik ketika bersesuaian dengan kepentingan duniawi, bukankah Nietzche telah menjelaskan moral telah dilahirkan dari rahim-rahim kepentingan duniawi? Tuhan dilahirkan lewat dunia citraan, seperti di media masa. Masyarakat konsumer menggilai apa yang ditawarkan perkembangan teknologi, nafsu sebagai objek. Masyarakat berani membayar mahal asalkan dapat tampil di hadapan orang banyak, kalau perlu dengan harga diri, persoalan moral itu urusan pribadi. Sejalan dengan apa yang dikatakan Heidegger dalam Piliang11 bahwa dunia moderen telah dijajah oleh dunia citraan, yang diproduksi lewat kemajuan teknologi sains untuk mengubah potret dunia dan teknologi tersebut menentukan pandangan dunia (Word view) manusia moderen. Keberadaan being hanya dalam representasi itu dianggap sebagai yang real. Tidak sebatas itu, manusia digiring ke dalam sebuah dunia yang mana dikendalikan oleh antologi citra12 (Levin dalam Piliang, 2004; 81), sebagai predator pamangsa yang berbahaya atas keberadaan being, akhirnya being terputus dari sejarah dan asal muasalnya. Predator itu ialah 11

Piliang 2004; 8. Penulis menafsirkan bahwa penjajahan ini bisa dikatakan sebuah pembunuhan terhadap ideologi dan melahirkan ideologi paling baru yang dapat menyatukan konsumen di dalam satu kesenangan, nafsu akan dunia 12 Antologi citra adalah being di dunia kini telah dijajah oleh being dalam wujud citraan, being dalam wujud representasi (Piliang, 2004; 81).

10

Media Massa yang telah mampu merepresentasikan dirinya dan terobsesi oleh citarnya sendiri. Hal ini menurut Piliang terjadi karena kecendrungan mendefinisiskan being lewat bahasa dan kategori adanya sendiri, Media telah membentuk dunianya sendiri dengan manusianya sendiri, melampoi pandangan dunia dan eksistensi manusia didefinisikan. Di saat Antogi citraan menguasai pikiran-pikiran mangsanya maka pada saat itu pulalah eksistensi manusia itu mati, yang dihasilkan manusia-manusia image dan dunia image dunia citraan. Bayangkan, berapa banyak kepala yang terantai dan salah satu ujung rantai itu terikat pada sauatu titik yang disebut mata bola raksasa, kita bisa mengumpamakannya sebagai sebuah matahari sebagai pusat planet dikelelingi terus menerus oleh planet-planet yang ingin mendapatkan cahayanya, seperti itulah manusia yang digambarkan. Layaknya media massa telah mampu memanajemen kerinduan masyarakat konsumer akan kesenangan, kemapanan hidup dan harga diri di mata orang banyak. Media menghadirkan dunia Hyper lewat teknologi simulasi virtualnya. Iklan kondom, alat memperbesar dan memperindah tubuh agar tetap tampil menarik, pemuas nafsu, Cyberspace, Holografi, peresmian lokalisasi, bahkan di Sumbar sendiri telah dimunculkan wacana tersebut. Realitas seperti ini jelas memperlihatkan ketidakkomitmenan terhadap aturan-aturan moral, sehingga kepentingan berpindah ke dalam arena Postmoral itu sendiri. Inilah kebenaran yang seharusnya ditakuti di dalam diskursus Potmoderen itu, perayaan besarbesaran ideologi tanpa pondasi dan tanpa asal usul terealisasi sudah di tengah masyarakat kita. Sejalan dengan itu, yang patut menjadi perhatian adalah spiritualitas. Masih adakah? Sekurang-kurangnya sebagai wacana? Nyatanya spiritual sudah dimapatkan ke dalam program ISQ power, Postspiritual, pelatihan-pelatihan spiritual, spiritual sudah dipisahkan dan sudah direncanakan di dalam dunia yang berbeda. Mencapai titik spirittual di dalam dunia hampa makna dan ketiadaan being adalah suatu yang sangat menjenuhkan, sebab alam pikiran bawah sadar masyarakat simulasi telah terasah tajam kedalam ketersesatan hutan belantara bujuk rayu virtual begitulah yang dikatakan Piliang. Sangat menyedihkan saat melihat wajah Islam di televisi, kampungan, anarkis, bejat, hantu dan syetan

11

sudah berwujud, syetan sudah mengambil profesi sebagai selebritis dan berhenti mengganngu manusia, kemudian muncul syetan-syetan elit yang sangat dibutuhkan tanda tangannya oleh para penggemar baik dari dunia manusia maupun dikalangan dunia persetanan sendiri. Manusia bebas dari gangguan syetan? Lalu menyelip pula gambaran syurga neraka yang juga dihadirkan lewat media, alhasil masyarakat takut untuk berbuat keburukan karena takut menderita seperti yang didakwahkan media, manusia tidak takut kepada tuhan yang sebenarnya, tuhan berpindah pada citraan (ontologi citra). Selanjutnya tindakan mengeksploitasi libido dan keindahan tubuh, pinggul, paha, dada, betis dan kepuasan puncak hasrat. Hal itu menjadi unsur utama dalam citra media, dengan gaya baru ini, produk yang ditawarkan laku terjual, ideologi yang digambarkan dilumat habis oleh para penonton yang berumur belasan tahun hingga penonton yang sudah uzur. Saat panggilan sholat yang berwujud irama azan datang, sholat ditunda dulu karena Cinta Pitri masih tergantung, mumpung sebentar lagi iklan. Di saat suasana sholat berlangsung ingatan terus berpaling kepada sinetron yang sedang ditampilkan, takut ketinggalan cerita dan lahirlah Imagologi.13 Hal di atas sebuah kenyataan bahwa dunia media telah dianggap sebagai simbol perubahan zaman yang menjanjikan kemakmuran, kesenangan, dan kekayaan. Orang sibuk dan berlomba mengikuti kuis berhadiah, limpahan durian runtuh, kuis telkomsel, kursi panas melioner, ketiban mobil, dan LMN sangat menjanjikan kemapanan. Lalu masyarakat lupa akan pentingnya berusaha mengeluarkan keringat, lalu siapa yang akan berdagang, beladang dan bersawah, jika masyarakat kita telah bertumpu pada dunia maya. Lalu didikan terhadap anak pun sudah dimapatkan, bisa dilakukan lewat televisi. Kalau dulu keindahan suasana mengaji di surau, hingar bingar seloroh teman sesama besar, belajar mandiri secara alamiah hilang begitu saja setelah peran itu diambil alih oleh media. Anak sudah dibuatkan kamar sendiri di rumah bercampur aduk antara anak perempaun dan laki-laki, alhasil hilang rasa segan menyegani sesama saudara, malahan bisa mempraktekkan apa yang dilihat anak dari media kepada saudara 13

Imagologi adalah penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas yang pada titik tertentu akan akan dianggap realitas itu sendiri (Piliang, dalam Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, 2003; 150).

12

perempuannya sendiri. Dulu, anak yang telah berumur 6 tahun ke atas sangat dilarang tidur di rumah karena malu di rumah ada saudara perempuan, sekarang anak laki-laki dilarang keluar rumah, dibilang oleh orangtua anak kecil dilarang keluar rumah karena tidak baik. Sejalan dengan itu, para ibu rumah tangga mau menangisi kematian tokoh idola dari pada menangisi tetangga yang meninggal, atau salah satu keluarga yang meninggal. Kehilangan tokoh panutan di media sangat menganggu semangat hidup, setiap hari menangisi artis ngetop yang bercerai dengan suaminya sementara ibu rumah tangga lupa mempererat tali perkawinannya sendiri dengan sang suami. Akhirnya ala perceraian gaya bercerainya artis ngetop pun menjadi komsumsi. Lalu simbol kemapanan harus dimiliki oleh setiap keluarga meskipun kreditan, karena hal itu sudah berubah menjadi perjuangan harga diri, sementara itu anak-anak memakai baju compang camping ke sekolah, iyuran sekolah belum dibayar, sudah diusir guru tidak boleh ujian, makan dengan sayur kangkung ditambah ikan 1 potong dibagi empat. Bagimana mau cerdas kalau makan telur saja satu kali seminggu. Kemudian tidak malu mengemis meminta bantuan beras miskin, bantuan BBM, sementara rumah sudah dilengkapi dengan motor, mobil dan bahkan berstatus PNS. Akibat dari itu, ujung-unjungnya masyarakat komsumer terpapah kearah Postsosial14, yang mengusung kematian ruang sosial itu sendiri. Dimana kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya raib sudah ditelan kepentingan, tercerabutnya ruang-ruang sosial, tenggang rasa dan rasa tangung jawab. Sebauh fatamorgana sosial15 yang dihasilkan media, mencari sahabat lewat internet, mencari uang lewat internet, berkelahi lewat internet dan segala macamnya. Sehingga silaturrahmi tatap muka tiada lagi, aura silaturrami tersebut hilang ditelan ontologi citraan itu sendiri. Alhasil, ruang-ruang sosial itu mati dan digantikan oleh ruang realitas media seperti internet, manusia sosial tidak ada lagi karena sudah digantikan oleh manusia imajiner tanpa sosial (individual) dan

14

Postsosial adalah realitas sosial yang hadir dalam wujud media yang menghubungkan komponen-komponen sosial dalam relasi jarak jauh (Piliang 2005; 95) 15 Fatamorgana adalah citraan yang dibentuk oleh penanda (signifier) yang berdasarkan persepsi orang yang melihatnya dikaitkan dengan sebuah penanda (signified), berupa konsep atau makna di baliknya (Piliang, 2003; 150).

13

kebudayaan bermoral itu menjauh karena sudah digantikan budaya imaji (budaya massa). 5. Postmoral Geneologi moral itu diawali dengan runtuhnya ideologi, pujaan hanya hayalan-hayalan akan nafsu, baik nafsu kebendaan, ekonomi, jabatan hingga nafsu seks. Referensi yang tersisa hanyalah konsumen yang memamahbiak hasil dunia citraan, norma baru hanya menjadi bingkai dalam sistem nilai dan akan terus membingkai, sebab konsumen yang dihasilkan Hipereralitas ini pasif, terjebak dalam lingkaran setan, terperangkap ke dalam dunia penampakan, terbongkar dari akar spiritual, tercerabut dari ideologi dan jauh dari mitos-motos masa lalu yang agamais. Derrida pernah menyatakan telah terjadi pemaknaan penanda sebagai penanda dan bukan sebagai tinanda lagi, di sini tanda kehilangan loyalitas kediriannya, membaur dengan nafsu serakah akan duniawi. Sangat wajar di negara ini KKN tidak pernah terhapuskan, sebab bagimana pun KKN itu adalah jiwa yang tidak takut dengan sosok Antasari Azar. Dulu tahun 1998 pernah muncul wacana bahwa Mahasiswa takut kepada Dosen, Dosen takut pada Presiden, dan presiden takut pada Mahasiswa’’, awal runtuhnya simbol kestabilan Nasional yang berwujut orde baru. Nah, pasca reformasi realitas sudah berlainan, ormas dan organisasi mahasiswa seperti yang dimiliki aktifis 98 itu ternodai oleh sonior-soniornya yang tidak lain adalah sebagian dari aktifis 98 itu sendiri? Dunia akademis diterobos oleh politik, mahasiswa ikut berkampenye untuk calon Wali Kota atau legislatif, otonomi kampus dari pihak asing sudah terlangkahi. Beriringan dengan itu, sebuah sifat yang sudah teruji, kekeluargaan dan kegotongroyongan pun menciptakan realitasnya sendiri. Kekeluargaan dimaknai di dalam lapangan kerja, kegotongroyongan dibingkai dalam sebuah ‘’awak samo awak’’, alhasil sitem lama terputus dan melahirkan sitem simulasi, Kolusi, Nepotisme individual dan intrelektual tidak dihargai lagi. Kita tidak bisa mengelak bahwa bantuan-bantuan pemerintah baik di bidang pendidikan maupun kemasyarakatan sering tersampaikan dalam sasaran simulasi, contohnya beasiswa lebih didahulukan untuk pegawai negri dibandingkan orang-orang yang tidak

14

mampu tetapi ingin cerdas, pengangkatan PNS untuk kepentingan politik hingga intervensi sebuah lembaga terhadap lembaga ain. Bagimana mau cerdas kalau untuk makan sehari-hari sulit? Bagaimana mau pintar jika kesempatan untuk belajar hanya diberikan untuk orang-orang mapan secara ekonomi? Inilah yang diciptakan dunia simulasi, Hyperrealitas dalam pelipatan dunia yang digambarkan Piliang tersebut. Adanya bantuan pendidikan sebanyak 20 %, tetapi yang dibantu dan yang menerima siapa? Hanya parsennya saja yang tersampaikan kepada orang yang membutuhkan (kebohongan intelektual) sementara 20-nya masuk kekantongkantong yang sudah dipersiapkan, anak dosen, PNS, orang-orang kaya, atau mempunyai orang dalam, mungkin pula keluarga yang diangap bersih dan sangat dihargai di tengah masyarakat, itulah yang wajib dibantu dengan dana pendidikan 20 %. Padahal kemerdekaan negara ini didapatkan atas perjuangan orang-orang yang terpinggirkan secara ekonomi, setelah merdeka jasa mereka tidak dihargai, anak cucunya pun tidak tercatat sebagai anak veteran, mungkin pekerjaan mereka sehari-hari tetap saja keladang, ke sawah atau menarik ojek. Lebih parahnya sejarah mencapnya sebagai orang terlibat (PKI) karena sempat dipenjara tanpa diadili atas tuduhan terlibat dan diasingkan dalam waktu yang cukup lama. Sejalan dengan itu, lihat juga pergaulan antar remaja, gaya berpacaran, zinah hati hingga zinah kelamin. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh remaja tetapi peminpin terpilih pun tidak ketinggalan. Bermesraan di tempat ramai, di pantai, di muka umum dan anak SMU yang membuat VCD porno? Kemudian berhubugan layaknya suami istri, sudah memanggil papa mama. Di saat terjadi kehamilan di luar nikah kedua pelaku dilindungi, bukannya hukum agama menegaskan bahwa pelaku zinah itu dirajam sampai mati, di usir, bahkan pezinah hnya wajib nikah hanya dengan pezinah pula. Bukankah peraturan juga ikut menyediakan sarana bagi remaja untuk berzinah? Perhatikan di sepanjang panati Padang di saat magrib datang, seiring azan dimesjid para remaja juga azan di pondok remang-remang, yang mana para penjaga warung menurunkan tirai untuk menutupi dosa para remaja itu, pakai jilbab juga, juga ikut organisasi mahasiswa islam, ikut nafsu juga, tiada pembatas antara keduanya sehingga di antara remaja tersebut juga tanpa pembatas, berhubungan layaknya suami istri. Lalu realitas yang melampoi

15

itu terus berkembang sehingga bayi yang dilahirkan pun dilabelkan dengan nama Muhammad, Muhammad Alfarezal anaknya Pingkam Mambo vokalis ratu? Hal yang serupa tidak berhenti di sana, semua pengaruh itu merebak ke kampung tradisional yang agamais, desa-desa tradisional, tiada lagi buang siriah bagi si pezinah, tiada lagi memnyemblih seekor kerbau bagi yang hamil diluar nikah, semua disamarkan atas nama menjaga malu, tetapi tiada malu kepada pencipta yang mana matanya selalu terbuka. Nah, realitas di atas sebuah kenyatan yang sedang menimpa masyarakat kita, apalagi di era serba maju seperti sekarang ini, apakah itu namanya Postmoderen atau Hyperrealitas? Serba menjanjikan, serba semu, fana, alam mimpi, dunia hayal, menyatu dengan kebenaran, kebenaran menyatu dengan kebohongan, mana yang benar, mana yang salah sudah membaur, apalagi bicara soal moral? Moral hanyalah produksi dan dilahirkan dari rahim kepentingan duniawi, Nietzche menyebutnya begitu. 6. Skizofrenia Tanda Menerjemahkan alam relitas memang terlalu sulit, melalui pernak penik tanda yang menjelma ke dalam bentuk berbagai macam rupa dan fungsi membuat orang enggan menyadari malahan lebih memilih hanyut di dalam kesenangan, kemalasan yang ditawarkan teknologi firtual. Dunia media yang digambarkan telah menawarkan dunia baru, nafsu baru, ideologi baru hingga ke tuhan baru (ontologi citra). Piliang dalam dunia yang berlari 2004, menjelaskan bahwa mesin hasrat telah menyudutkan tuhan sebagai penguasa dunia, kursi ketuhanan diambil alih, mungkin para malaikat digantikan jabatannya. Lihatlah kemanapun menoleh dan kemanapun tujuan diarahkan selalu dihadapkan kepada permainan tanda, haluisnasi dan kegilaan waham generasi dari skizofrenia. Produk media ditawarkan dalam skala besar menjajikan dan berlebihan, sehingga menjadi penguasa bagi konsumen, dikatakan piliang (2006, 73) sebuah meme atau pesan kultural yang membentuk pikiran setiap orang dan itu dilakukan berulang-ulang dan tersistem diwariskan dari generasi kegenerasi, di mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, hingga dunia pendidiakan. Lebih parahnya pemangsa tersebut merambah dunia akademis secara terang-terangan. Sikap

16

merasa lebih dan merasa pintar telah menguasai individu yang memilikinya, sehingga orang berada di bawahnya diangap bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kefanaan dunia. Di saat kritikan dilemparkan atau terdapat kesempatan untuk berbuat lebih memihak kepada orang lain, berontaklah virus mematikan tersebut, penulis menyebutnya skizofrenia kadar menengah (waham). Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu,

termasuk

berfikir

dan

berkomunikasi,

menerima

dan

mengenterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi dan berprilaku dengan sikap yang dapat diterima secara social (Ann Isaacs, 2005; 151). Schizofrenia merupakan jenis gangguan jiwa yang paling berat dengan harapan sembuh kecil sekali, selalu kambuh. Biasanya ditandai dengan pembicaraan yang kacau tidak dapat dimengerti maksudnya oleh orang lain. Dengan tingkah laku aneh yang terkadang memperlihatkan gerakan yang diulang atau dipertahankan. Walaupun secara umum penyebab pasti skizofrenia masih belum jelas, namun konsensus umum menyatakan bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai faktor, faktor tersebut di antaranya; Faktor Genetik, meskipun genetika merupakan faktor yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang di identifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen seperti; Abnormalitas, perkembangan saraf yang menurut penelitian menunjukkan bahwa malfarmasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Sejalan dengan itu, adanya proses psikososial dan lingkungan, sesuai dengan teori perkembangan seperti yang dikemukan Freud, bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interprestasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan pada penderita skizofrenia. Biasanya adanya hubungan kuat antara skizofrenia dan status sosial ekonomi yang rendah dan model kerentanan stres, yang mana model interaksional yang menyatakan bahwa penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetik dan biologik terhadap terhadap skizofrenia. Kerentanan ini, bila disertai dengan pajanan stressor kehidupan, dapat menimbulkan gejala-gejala pada individu tersebut.

17

Sejalan dengan itu terdapat gejala umum terhadap skizofrenia ini, di antaranya; Waham yaitu keyakinan keliru yang sangat kuat, yang tidak dapat dikurangi dengan menggunakan logika. Sikap waham inilah yang sedang beranak pinak, seperti meme yang digambarkan piliang. Dia hidup dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, sehingga terdapat waham terhadap ilmu, karya, jabatan, kekuasaan, kecantikan, kegagahan dan menggagahi apa yng tidak menjadi hak. Kemudian terjadinya asosiasi longgar yang mana menjadi penyebab utama adalah kurangnya hubungan yang logis antara pikiran dan gagasan, yang dapat tercermin pada berbagai gejala. Di ranah ini manusia dikendalikan oleh simbol kestabilan dan kemapanan dunia, kolonialisasi hak dan berusaha membentuk tubuh yang patuh terhadap aturan moral buatan segelintir orang, Nietzche menyebutnya moral para budak. Skizofrenia mampu menetaskan halusinasi yaitu persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indra. Di sinilah utopia kemajuan tersebut diungkitungkit,

mimpi-mimpi

postmoderenism

diganyang

habis.

Sudah

pada

tempatnyanya mercusuar hasrat menanamkan pengaruh baik di dalam pergaulan akademis maupun masyarakat di tingkat akar rumput. Akibatnya, sistem tinggal sistem yang sambil lalu tetap memangsa apa yang dapat dimangsa dan kemapanan akan menghantui semua pikiran orang-orang yang terlecehkan secara intelektual. Kemudian Intelektual digantikan oleh meme kemapanan dan berhenti berpikir? Layaknya sebuah kesalahan menginterprestasikan stimulus lingkungan (ilusi) yang diperparah dengan depersonalisasi/derealisasi, yaitu sikap yang merasa bahwa “dirinya” sudah berubah secara mendasar. Oleh karena itu individu tersebut tidak perlu lagi melakukan apa-apa sebab sudah adanya jaminan masuk sorga atau sejenis surat aflat (penganmpunan dosa) atau ESQ power. Alhasil, adanya; pertama ambivalensi yang berupa konfik atau pertentangan emosi yang menyebabkan sulitnya individu menentukan pilihan atau keputusan. Kedua avolisi, kurangnya motivasi untuk melanjutkan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. Ketiga alogia, berkurangnya pola bicara atau miskin kata-kata. Keempat ekopraksia, meniru tindakan orang lain tanpa sadar. Kelima anhedonia, kurang senang melakukan aktifitas dan hal-hal lain yang secara normal menyenangkan.

18

Keenam

pemikiran

konkrit,

kesulitan

berpikir

abstrak

sehingga

ia

menginterprestasikan komunikasi orang lain secara harfiah. Dari gambaran di atas jelaslah skizofrenia itu sangat berbahaya di dalam dunia keintelektualan. Kudeta kesempatan, rampas aklak menjadi pokok utama untuk mencapai apa yang disebut dengan kemapanan, sehingga secara tidak langsung ego kekuasaan telah menzalimi truktur di bawahnya, dan strukutur di bawah akan melemparkannya ke segala penjuru dan begitulah seterusnya. Begitu pula dengan

media, melalui pemadatan bahasa mampu menjadi puncak

pengendali, virtualisasi lewat sarana langue dan parole merekayasa kebutuhan konsumen akan kemapanan sehingga para konsumen berhenti berpikir untuk sesuatu yang abadi dan mengorbankan hidup ke dalam kefanaan. Kegilaan yang sangat berbahaya di dunia. 7. Simpulan Sebagian orang mungkin akan berpikir, bahwa orang-orang cerdas sebelumnya pernah ada seperti Plato, Socrates, Marxs adalah orang-orang latar belakang ekonominya hancur lebur karena kondisi Hyperealitas tetapi menang secara intelektual. Buktinya mereka itu masih hidup hingga sekarang melalui karya intelektualnya. Namun, permasalahan akan muncul di saat zaman Plato, Socrates maupun Marxs berbeda dengan kondisi sekarang, sekarang pendidikan telah maju walaupun dalam tahapan wacana tetapi sekurang-kurangnya telah meninggalkan masa Plato dan Socrates yang paceklik. Kalau boleh dibilang dari satu sisi inilah kejahatan simulasi yang sangat berbahaya, sebab akan memperextrim tindakan extrim yang pernah ada dan di sisi lain sebagai strategi intelektual kuno yang harus diremajakan. Sejalan dengan itu, di saat wacana tentang Hyperrealitas muncul seakanakan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di korankoran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan, penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak

19

bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya sebagai intelektual harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual. Terlepas dari itu, yang patut mendapatkan perhatian adalah asal muasal kematian entektual yang digulung realitas tersebut. Berawal dari perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan cita-cita realitas dan perkembangan ideologi yang bergerak melampaui kodrat. Manusia beruasaha menciptakan dan merealisasikan kemajuan yang dianggap tidak pernah terrealisasikan dalam kehidupan realitas, masyarakat membentuk budayanya sendiri dalam ranah budaya massa, masyarakat membatasi moralnya sendiri berdasarkan kepentingan akan duniawi, nafsu benda. Sementara itu ketajaman intelektual tidak diasah dan tali spiritual tidak dipertebal, kiranya sebuah kejenuhan dengan utopia politik, sejarah dan budaya yang selalu menawarkan kemapanan baik di bidang pendidikan maupun ekonomi. Masyarakat sebagai individu yang mandiri butuh energi agar tetap hidup untuk bisa mencapai tahap itu, dilihat juga peraturan dan norma yang disepakati berubah dari mengatur menjadi mengekor mengikuti ke arah mana budaya masa berkembang. Maka, hiduplah geneologi moral yang mengusung Hyperrealitas, yang setiap saat akan memangsa siapa saja yang menderita, terlecehkan dan teraniaya. Seiring dengan itu, dunia Hyper juga dilatari oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi untuk memenuhi nafsu manusia yang tidak pernah merasa mapan. Sehingga teori-teori ilmu pengetahuan itu pun ikut berkembang melampoi realitasnya. Piliang menyebutnya dengan Posteori adalah dimana teori-teori ilmu sosial maupun eksakta telah berreproduksi melampau kodratnya, seperti posmetafikika, Postsemoitika dan segala macam bentuk post dalam artian perlawanan terhadap teori asal. Kenyataan yang senada, di dalam dunia Hyperrealitas itu akan serat dengan eksploitasi terhadai tanda yang awalnya tanda (signifier) mengacu pada petanda (signified) sekarang telah berreproduksi atas kepetingan, tanda itu sendiri di dalam masyarakat tidak sebagai penanda tetapi tetap sebagai tanda. Siapa saja yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek) sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju, sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global

20

kedua. Kedua Langue dan parole, juga telah berkembang melewati kodratnya, bagi siapa yang dapat mempermain langue untuk kepentingan makna dia akan menghasilkan penikmat parole sebanyak mungkin, semakin banyak permaian terhadap parole maka semakin hancurlah dunia ini. Semua orang akan dikendalikan bujuk rayu dan manisnya bahasa yang kemudian menghasilkan tindakan yang membuat aturan moralnya sendiri. Inilah yang dapat disebut sebuah kegagalan Postmoderen yang mana pada awalnya ingin meruntuhkan narasi besar dan melahirkan narasi kecil yang bersifat isu lokal dan diikuti dengan kegagalan intelektual dalam memanajemen tanda, langue dan parole.

Daftar Bacaan Eco, Umberto. 1987. Tamasya Dalam Hyperrealitas. Yogyakarta: Jala Sutra Idris, Soewardi. 2008. Perjalanan Dalam Kelam. Yogyakarta: Beranda. Isaacs, Ann. 2005. Keperawatan Jiwa Dan Psikiatrik. Jakarta: EGC. Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melanpou Batas-batas Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra. -----------------------. 2004. Post-Realitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta: Jala Sutra. -----------------------. 2004. Dunia Yang Berlari. Jakarta: Grasindo. -----------------------. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra. ----------------------. 2003. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai. Poole, Rose. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose Research And Publication Study Club dan Kreasi Wacana.

21

Wawancara Hari Efendi dengan Abdul Samat saksi PPRI, di Bukittingi, 6 september 2008, Jam 10 pagi. Wawancara Hary Efendi dengan Tan Kabasaran saksi PPRI, di Bukittinggi, 6 September 2008, Jam 12 siang. Yuwono, Untung dan T. Cristomy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Zoest, Art Van. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

22

Related Documents


More Documents from ""