Artikel--kematian Tuhan Dan Munculnya Para Tuhan (m. Yunis)

  • Uploaded by: M. Yunis
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel--kematian Tuhan Dan Munculnya Para Tuhan (m. Yunis) as PDF for free.

More details

  • Words: 2,592
  • Pages: 8
LAHIRNYA PARA TUHAN Oleh. M. Yunis Wacana kematian tuhan telah begitu lama diungkap oleh Nietzsche, digambarkan dengan turunnya Zarathustra dari gunung untuk berdakwah dan menyampaikan salah satu pesan Nihilismenya bahwa tuhan telah mati. Nietzsche berusaha membunuh para tuhan seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Muhammad, dengan harapan munculnya tuhan yang sebenarnya. Siapa yang mebunuh tuhan? Pembunuh itu bukanlah Ustad, bukan Nietzche, Pelajar, Intelektual tetapi para pembunuh itu adalah kita. Namun, sikap Nietzsche yang eksentrik membuahkan pandangan yang sinis terhadapnya. Banyak orang yang mengatakan Nietzsche gila dan Nietzsche beserta seluruh kelurganya mati di dalam keadaan gila. Adalah benar jika kegilaan Nietzsche sangat meresahkan banyak orang termasuk intelektual sendiri, seolah-olah para intelektual berusaha menyimpan kebohongan, kesombongan untuk menaklukan dunia beserta isinya. Para intelektual sekarang sedang berusaha membunuh tuhan yang sebenarnya, memecat para malaikat dari tugas, memberikan kebebasan bagi iblis seluas-luasnya, termasuk iblis yang bewujud manusia dan berusaha menggantikan Tuhan sebagai pencipta dunia. Hal ini, penulis katakan sebagai kesombongan model baru yang tidak mau mengakui kebenaran, egositis, sepihak dan melindungi ketidakadilan. Meminjam istilah Piliang, layaknya ini adalah sebuah dunia Hyperrealitas. Namun, jika pikiran kritis muncul dalam usaha menyikapi dunia Hyperrealitas seakan-akan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di koran-koran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan, penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya sebagai intelektual kita harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual. Pernah pula penulis dikatakan sebagai orang bodoh, dilecehkan, pembunuhan karakter. Dikatakan sebagian orang yang mengaku dirinya intelek bahwa kuliah di S2 di Unand hanya akan bertambah bodoh, lihat saja para Profesornya tidak bisa menulis, tidak berkarya, bayangkan saja apa yang mau diberikan kepada mahasiswanya. Namun, terlepas dari itu bagi penulis bukan persoalan berkarya atau tidaknya, tetapi sumber daya manusia mahasiswanya. Banyak buku yang mendukung perkuliahan, banyak referensi yang ditawarkan.

Tiada kebenaran yang absolut, di sela kebenaran terdapat ketidakbenaran, seperti pahala didampingi oleh dosa, begitu pula dengan ilmu pengetahuan. Sependapat dengan Hegel bahwa sintesis lahir dari pertarungan dua buah unsur, disebutnya dengan pertarungan antara tesis dengan anti tesis, kemudian menghasilkan penyatuan dalam sebutan sintesis. Kemudian mengulas Nietzche dengan konsep Nihilisme, dinyatakan bahwa baik dan yang jahat hanyalah buatan sejarah. Sejarah adalah waktu, kondisi dan situasi dari kelahiran si jahat maupun si baik itu sendiri. Jika waktu bersahabat, maka baiklah yang dihasilkan dan begitu juga sebaliknya, saat waktu tidak bersahabat maka jahatlah yang dilahirkan. Juga, tidaklah salah Nietzche mengatakan di dalam geneologi moralnya, bahwa moral yang hakiki itu datang dari langit, hanya saja sampai di bumi direkayasa untuk kepentingan duniawi saja. Apa yang diajarkan oleh agama samawi sudah benar, namun manusia yang merealisasikannyalah yang durhaka, memutarbalikan moral dan nilai-nilai seenaknya saja. Manusia masih berkutat di sekitar lingkaran perut sendiri, manusia hanya mampu memunculkan wacana dan hanya sekedar wacana dan tidak mau memandang kritis terhadap wacana tersebut. Tidaklah juga salah Malaikat protes terhadap Tuhan karena Tuhan ingin menciptakan wakilnya di muka bumi. Dikatakan oleh malaikat, untuk apa dibuat manusia kalau hanya untuk menciptakan kekacauan di muka bumi, bunuh-bunuhan, perang dan segala macamnya. Manusia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang ada pada dirinya, selalu ingin lebih dan lebih, sehingga manusia sendiri tidak sadar atas sikapnya yang keterlaluan sehingga tanpa sengaja 7 unsur Tuhan yang dimiliki manusia berusaha menyingkirkan Tuhan yang sebenarnya. Penulis menamakannya dengan kesombongan, keangkuhan, egois, dan tidak mau tahu terhadap nilai-nilai kemanusian. Sejalan dengan itu Piliang dan Eko (Piliang, 2004) sudah merangkum kesombongan dan keangkuhan kedalam itu sebuah penamaan, disebutnya Hyperealitas. Digambarkannya bahwa menyatunya dunia transenden dengan imanem, perselingkuhan kebaikan dengan kejahatan, tanda kembali menjadi tanda, tanda kehilangan realitasnya sebagai pencerdasan, sehingga memunculkan ribuan tanda baru, namun diujungnya tetap menghasilkan tanda tanya. Sebuah dunia yang sanat rumit dan serba salah. Kemudian lahir pemikir-pemikir kritis terhadap realitas, sebagai akibat dari kegagalan intelektual sebelumnya. Pemikir itu adalah fakta di dalam sejarahnya akan dikatakan sebagai orangorang kalah, hanya karena dia tidak mempunyai payung Hegemoni untuk menanamkan pengaruh dan tipis kemungkinan untuk merebut kursi ketuhanan. Bisa diperhatikan, sejak masa Aufklarung hingga masuknya dunia moderen dan mungkin akan berakhir dengan Potsmoderen. Ternyata tidak, setiap ilmu akan berkembang sesuai dengan ketegangan dan

kegamangan yang dihasilkan oleh realitas yang diciptakannya, reliatas itulah yang dikatakan Nietzche sebagai fakta. Aufklarung yang notabenenya akan mencerdaskan masyarakat ternyata disanggah oleh pemikir Moderen seperti Marx Hokaimer dan Ardorno di sekolah Frankfurt (Sindhunata, 1982). Hokaimer dan Ardono membahu untuk meolak Hegel, Karl Marx tentang konsep sintesis dan Marxis yang menghambakan diri untuk kemanusiaan murni, sebab sekian lama pengkut Marx tidak seidealis Marx. Marx dilecehkan dengan difokuskannya marxisme pada kekuasaan. Stalin sebagai kalifah terakhir Marxisme menghambakan diri ke dalam politik untuk merebut kekuasaan dan menjadikan kekuasan seabsolut mungkin. Alhasil, pengikut Stalin anarkis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai makrifatnya. Anehnya, usaha baik dari sang guru seperti Hokaimer dan Ardorrno juga berujung pada sikap pesimistis, Hokaimer takluk dengan ketidakberdayaannya, mati dalam usia tua dan Ardorno dituntut oleh mahasiswanya. Senada dengan itu, kepenatan kembali muncul, lahirlah Postmoderen yang diperjuangakan Derrida, Piliang, Barthes dan kawan-kawan untuk menghancurkan narasi besar dan menghidupkan narasi kecil meskipun bersifat lokal (Ritzer, 2003). Tetapi dalam realitas, Postmoderen itu sendiri linglung setelah tidak begitu lama menempati posisi ketuhanan. Ada yang menertawakan ketentraman dan ada pula yang mencemooh ketidakberdayaan. Sebab, Postmoderen berbuah anarkis dan cenderung menciptakan moralnya sendiri yang bersifat sangat lokal. Alhasil, runtuhlah kembali Negara kemanusian itu di bawah bayang-bayang Hegemoni (Laclau dan Mouffe, 2008). Kemudian Edwar Said (Said, 1978) yang menyanggah Oreantalisme, keberpihakan kaum imperial kolonial. Sebab hal itu memunculkan perbedaan baru, perbedaan Barat dengan Timur, Timur terbelakang, sementara Barat adalah kemajuan. Barat laki-laki dan Timur adalah perempuan yang patut dicerdaskan, dilindungi dari kejahatan kaumnya sendiri. Kepentingan Barat untuk menegakan kembali bendera Imperialismenya di tanah yang tidak bertuan. Said mengatakan bahwa Barat telah salah memandang Timur sebagai Timur jauh, sebelah mata, sehingga Barat hancur oleh senjata buatnnya sendiri. Faktanya Chomsky adalah salah satu produk senjata yang paling ditakuti oeh Barat, terlebih lagi setelah dia menulis tentang Teroris Internasional (Chomsky, 1991). Barat terpukul dan harus ekstra hati-hati. Dari sikap tersebut, Barat menuduh Islam sebagai biang keladinya, segala macam cara dilakukan untuk mendeskreditkan Islam, membangun sebuah kode bahwa Islam identik dengan kekerasan. Membuat kartun Muhammad yang sedang memegang pedang, didampiungi wanita cantik dan segala macamnya, runtuhnya WTC,

meledaknya JW. Mariot, sebuah skenario yang cukup bagus penurut penulis. Tidak lama lagi Barat akan luluh lantak, Negara adi daya di era Postkolonial ini akan berpindah tangan kepada Cina dan India. Jika ini benar, maka berhasillah Anya Loomba dan Leela Gandhi dalam menyikapi kaum Kolonial Imperial itu. Lalu melirik ke masalah seksual, pada Abad ke- 17 hanya dibatasi di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, terdapatnya`suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa. Pernyataan, bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Seksual diaanggap masalah di dalam Feminisitas, yang tidak lain adalah sebuah wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita direalisasikan, media dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa dalam memperjuangankan semua itu. Namun, sebaliknya ternyata media telah menciptakan pembiakan liar dan ketidakstabilan bagi feminis itu sendiri. Padahal awalnya kaum feminis mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan, media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki. Meminjam istilah Piliang, adalah sebuah pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg, menciptakan frontier femininisitas, kerena dengan teknologi ini perempuan bisa melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnold Suasinegar, di sini di citrakan Arnold dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui mesin, zaman telah berubah, kemudian Arnold bertemu dengan seorang wanita yang hidup di era itu, Arnol menginginkan transaksi seksual dengan wanita itu, si wanita memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf, sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam dunia Cyborg. Berarti, tidak adanya keturunan yang dihasilkan transaksi

tersebut, tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka dan setiap orang bebas mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing. Akibat dari itu, keliaran menggganas tiada terkendali. Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara laki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita, akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita untuk menyuarakan ketidakadilan ternyata berubah fungsi sebagai tempat memvirtualkan harga diri, identias diri wanita, ekploitasi wanita. Website porno, seks online, Facebook, frindster yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan perempuan di hadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan, kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan wacana lokalisasi, homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama, namun denotatumnya masih sama yaitu ketidakpuasan perempuan dengan dominasi laki-laki. Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam seks dan kekuasaan, bahwa kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik tubuh. Tubuh wanita dijadikan sarana politik untuk menghancurkan nama baik seseorang. Jelas terlihat, disaat diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Dipertegas oleh Focoult bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagianbagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112). Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai lakilaki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung

PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja Lokalisai Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat sejenak. Sekali lagi, kaum feminim telah gagal menamkan kekuasaan terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya malahan menuai kelincahan kekuasan memanajemen itu semua. Di samping itu, kekuasaan juga tidak pernah lengah, kekuasaan terus membangun sebuah tatanan sosial baru, feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan Hegemoni yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan Timur, tetapi sesungguhnya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem. Alimi Yasir pernah menyatakan perempuan menjadi kelas dua bukan karena biologis yang melekat padanya tetapi karena citra negatif yang dilekatkan pada dirinya (Yasir Alimi, 2004: 36). Seperti Ilmu pengetahuan yang dikodekan oleh Darwin bahwa kapasitas otak laki-laki lebih besar dari pada otak perempuan, Imanuel Kant menyebut bahwa laki-laki itu bodoh tapi masih bisa dididik tetapi perempuan itu bodoh dan tidak bisa dididik, kemuadian diskursus Agama juga mempertegas bahwa perempuan lebih rendah keimanannnya dibandingkan laki-laki, makanya seluruh permukaan tubuh perempuan dimasukan ke dalam aurat kecuali telapak tangan dengan muka. Di dalam power-imu pengetahuan-kenikmatan, karya Focoult power dengan pengetahuan saling berrelasi untuk menghasilkan kebenaran baru begitu juga sebaliknya, sementara pengetahuan mengeskploitasi kenikmatan. Sebuah contoh terhadap kasus itu adalah kisah tragis yang dialami Barbin seorang Hermaprodit Parncis abad ke XIX , setelah melakukan pengakuan kepada dokter dan pendeta di gereja, secara hukum Barbin

diharuskan mengubah kelaminnya menjadi laki-laki karena maskulinitas yang dimilikinya, akhirnya barbin Bunuh diri, lalu Dorce yang diharuskan mengubah kelamin menjadi wanita? Hal ini dikatakan Focoult ‘’aneh’’ sebab yang namanya Hermaprodit itu berjenis kelamin ganda bukannya dijadikan satu kelamin. Di yakini oleh Yasir bahwa seksualitas menjadi heteroseksual atau homoseksual hanyalah kontruksi sosial, efek wacana sebagai akibat dari praktek diskursus, oleh karena itu tidak bisa ditemukan di dalam darah tetapi dapat ditemukan hanya di dalam tanda bahasa. Diskursus juga diyakini oleh Fokoult sangat berpengaruh dalam histerisasi tubuh perempuan dan performen menurut Butler dalam Yasir. Diskursus adalah wadah yang sangat potensial untuk meneriakan bahwa perempuan itu feminim, laki-laki maskulin, laki-laki dan perempuan harus punya kelamin satu, awalnya sangat sederhana, cukup mengatakn bahwa ‘’saya laki-laki dan harus bersifat maskulin!, kamu perempuan! kamu orang Hyper! Aliran sesat!’’ atau mungkin tanda bahasa lain yang perlu dimunculkan untuk menciptakan sebuah diskursus. Kuncinya hanya satu kata, ‘’pengulangan’’ hingga lambat laun kode itu diakui dan diterima. Kemudian, Barat moderen menyatakan bahwa seksual baginya adalah prokreasi untuk memkasimalkan kekuatan, potensi diri, menjaga hubungan pernikahan dan menolak Yunani dan Romawi yang menyatakan bahwa seksual merupakan kesenangan, maka dari itu dibangun tatanan moral untuk melahirkan moral kebenaran, onani dapat merugikan kesehatan, homoseksual menimbulan penyakit, hyperseksual mampu meningkatlan AIDS, sementara Barat sendiri meningkatkan kegairahannnya melihat perempuan Timur sebuah ladang eksotis, sensual dan sexy. Di percayai bahwa pusat perdagangan daging mentah di Asia tenggara itu adalah di Indonesia, Surabaya (Dam Truong, 1992). Timur itu feminis, Barat maskulin maka dari itu Timur harus dibimbing, dicerdaskan dan dilindungi oleh kuasa Barat. Timur itu pasif layaknya perempuan yang membutuhkan perlindungan laki-laki, karena dari Baratlah pengetahuan itu berasal, sedangkan Timur tinggal menikmatinya saja, dari Baratlah Teori-teori muncul dan Timur hanya tinggal memakainya saja. Timur dianggap sebagai objek seksual, dijajah karena bodoh. India dikatakan maju karena pernah dijajah oleh Inggris, yang lebih anarkis saat Imanuel Kant menyatakan bahwa adanya hubungan paralel antara kecerdasan dengan warna kulit. Memang sangat pelik, penyair mengatakan, ‘jalanilah hidup ini seperti air yang mengalir!’, ungkapan ini jelas sangat salah, air hanya dipermainkan oleh hidup, pesimistis, bukan mental para pejuang. Hal inilah yang ditentang oleh Marx dengan

prinsip sosialismenya, Nietzsche dengan kehendak berkuasa, Focoult dengan geneologi kekuasaan dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain seperti Marx Hokaimer, Ardorno, Piliang, Baudrillrad, Umberto Eko, Edwar Said, Chomsky, Lela Gandhi, Anya Loonba, hingga Weber. Jika dilihat dan ditelusuri secara detil, mulai dari latar belakang pemikiranya hingg tujuan akhir, semuanya masih mengusung persoalan yang sama hanya saja penamaannya dan ideologi yang dibawa berbeda-beda, persoalnnya masih berkutat pada terputusnya tali silaturrahmi dengan Tuhan, para pembunuh tuhan sekaligus para orang-orang yang melahirkan Tuhan untu membunuh para tuhan. Para tuhan adalah kesombongan, keangkuahan, egois, picik, tipu muslihat dan segala macamnya, dengan satu tujuan yaitu kehendak untuk berkuasa saja. Sehingga lahirlah para tuhan yang menuntut kematiann Tuhan yang sebernya. Selanjutnya terserah kepada pembaca. *Mahasiswa Pasca Linguistik Budaya Universitas Andalas Padang.

Related Documents


More Documents from ""