Kelompok 3.docx

  • Uploaded by: Marsela Eka Marsel
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,012
  • Pages: 14
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang psikiatri. Electro convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis. Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal adalah: ”Terapi Kejang Listrik” (Electroconvulsive Therapy), terapi yang lebih awal dari pada psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh masyarakat, dipasung,

dirantai

diceburkan

ke

dalam

kolam.

Phillipe

Pinel

(1745-1826)

mengumpulkan penderita gangguan jiwa di suatu tempat (Rumah Sakit Salpetriere untuk laki-laki dan Bicetre untuk wanita) dan membebaskan mereka dari belenggu/rantai yang mengikat mereka. Pada saat itu masih baru taraf membebaskan dari belenggu dan mengumpulkan penderita gangguan jiwa, belum mengobati. Dengan kemajuan zaman dan berkembangannya penelitian-penilitian yang canggih, khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa, maka ditemukan obat untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun sekarang sudah ditemukan berbagai macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita gangguan jiwa, tetapi tidak semua obat psikofarmaka dapat mengobati semua penderita gangguan jiwa. Terapi Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus- kasus tertentu yang resisten terhadap obat psikotropik/psikofarmaka yang ada. Walaupun obat-obat psikotropik sekarang sudah berkembang seperti obat psikotropik baru yang digolongkan

1

dalam bentuk, atipikal. Untuk golongan obat chlorpromazine dan haloperidol, disebut golongan tipikal. ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak. Indikasi utamanya adalah : 1. Gangguan/ episode depresif mayor 2. Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pascapartum) 3. Mania 4. Skizofrenia katatonik 5. Gangguan skizoafektif.

B. Tujuan Makalah ini bertujuan : 1. Mengetahui pengertian dari ECT (Electro Confulsive Terapy). 2. Mengetahui sejarah ECT (Electro Confulsive Terapy). 3. Mengetahui mekanisme kerja dari ECT (Electro Confulsive Terapy). 4. Mengetahui jenis ECT (Electro Confulsive Terapy). 5. Mengetahui frekuensi dari ECT (Electro Confulsive Terapy). 6. Mengetahui indikasi dari ECT (Electro Confulsive Terapy). 7. Mengetahui kontaindikasi dari ECT (Electro Confulsive Terapy). 8. Mengetahui efek samping dari ECT (Electro Confulsive Terapy). 9. Mengetahui peran perawat dalam pelaksanaan ECT (Electro Confulsive Terapy).

C. Manfaat Manfaat dari makalah ini adalah : 1. Bagi mahasiswa agar memahami Electro Convulsive Therapy/ ECT dan peran perawat dalam pelaksanaan ECT. 2. Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi terapi ECT.

2

BAB II PEMBAHASAAN

A. Pengertian ECT ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Sujono, 2009). Terapi elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart, 2007). Dan menurut Townsend (1998) Terapi Elektrokonvulsif (ETC) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009) Terapi kejang listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elektroda yang ditempelkan di kepala penderita sehingga menimbulkan serangan kejang umum (Mursalin, 2009). Terapi elektrokonvulsif (ETC) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik (Taufik, 2010). Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang mengeluarkan listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran sinusoid itu sehingga pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2004).

3

B. Sejarah Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang, diperkenalkan dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan penderita epilepsi yang disertai gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi datang maka gangguan jiwanya membaik. Berdasarkan pengamatannya ini maka ia mendapat inspirasi pada penderita skizofenia dibuat kejang untuk menghilang gejala-gejala gangguan jiwanya. Pada mulanya Lasdislas J. Meduna menggunakan kamper dan kemudian digunakan metrazol (cardiazol). Selama 3 tahun metrazol digunakan untuk membangkitkan kejang dan dipergunakan secara luas keseluruh dunia pada saat itu. Pada tahun 1937 diadakan pertemuan internasional terapi kejang di Swiss oleh Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah dipakai secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri, yang berkebangsaan Itali, juga mengembangkan terapi kejang yang menggunakan listrik dengan uji coba pada binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai ide, bahwa untuk menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan metrazol. Tahun 1937 percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland dan kemudian baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut. Terapi kejang listrik adalah bentuk

pengobatan shok yang terjadi pada

pengobatan medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan berkembang seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu: 1. Lebih murah. 2. Kurang menakutkan. 3. Lebih cepat kerjanya. Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan, sebab pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika serikat. Selama tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik meluas.

4

Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi dari ECT tersebut, yaitu: 1. Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks. 2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal. Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal. Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama efektif dengan bilateral.

Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut listrik yang searah

berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang memuaskan. Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang

yang

dihasilkan

dari

alat

ECT

tersebut.

Kemudian

diperkenalkan

“suxamethonium” (succinylcholine) zat yang sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970. Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT dari film yang berjudul “For 5

Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo’s nest”. Ini adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia bila penggunaan yang berlebihan. Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric Association(APA) bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan dalam tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan Taylor tahun 1973 membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-efektif dengan cara bilateral dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara bilateral. Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya dengan menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi efek samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980 penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat, karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada menggunakan ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan National Institutes of Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi pada pengobatan psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT. Namun baru pada tahun 1990 American Psychiatric Association, mengeluarkan pernyataan yang kedua, yang lebih spesifik dan mendetail pada persalinan, pendidikan dan pelatihan ECT yang didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001, APA , mengeluarkan pernyataan bahwa ECT masuk pada pengobatan modern yang prosedurnya mengharuskan menanda tangani informed consent.

C. Mekanisme Kerja Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui. Salah satu teori yang berkaitan dengan hal ini adalah teori neurofisiologi. Teori ini mempelajari aliran darah serebral, suplai glukosa dan oksigen, serta pemeabilitas sawar otak akan meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun. Hal ini paling jelas dilihat pada lobus frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa derajat 6

penurunan metabolisme serebral berhubungan dengan respon terapeutik. Teori lain adalah teori neurokimiawi yang memusatkan perhatian pada perubahan neurotransmitter dan second messenger. Hampir semua pada sistem neurotransmiter dipengaruhi oleh ETC. Akhir-akhir ini mulai berkembang neuroplastisitas yang berhubungan dengan stimulasi kejang listrik. Pada pecobaan hewan, dijumpai plastisitas sinaps, di hipotalamus, yakni pertumbuhan serabut saraf, peningkatan konektifitas jaras saraf, dan terjadinya neurogenesis.

D. Jenis ECT Jenis ECT ada 2 macam : 1. ECT Konvensional ECT Konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien sehingga tampak tidak manusiawi. Terapi konvensional ini dilakukan tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT Pre-medikasi. 2. ECT Pre-medikasi Terapi ini lebih manusiawi daripada ECT Konvensional, karena pada terapi ini diberikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang yang terjadi pada pasien.

E. Frekuensi Frekuensi pemberian ECT tegantung pada keadaan penderita yang dapat diperlakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari 2. Dua sampai tiga kali seminggu 3. ECT “maintannace” sekali tiap 2-4 minggu 4. Pasien dengan gangguan depresi berat diberikan antara 5-10 kali 5. Untuk pasien yang mengalami gangguan dipolar, mania, dengan gangguan skijo, frenia, pasien baru mendapat respon yang maksimum setelah 20-25 kali tindakan ECT

7

F. Indikasi 1. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap anti depresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuart, 2007). Menurut Tomb (2004) gangguan efek yang berat : pasien dengan gangguan bipolar, atau deprsi menunjukkan respon yang tidak baik dengan ECT. Pasien dengan gejala vegetative yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juga memberikan respon yang baik pada ECT, terutama pada natrium karbonat gagal untuk mengontrol fase akut. 2. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuart, 2007). Menurut Tomb (2004), pasien bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja. Kerja efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama kehamilan (Stuart, 2007). 3. Gangguan skizofrenia : skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan respon yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlabih dahulu, tetapi kondisinya mengancam kehidupan (delyrium hyperexited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizofrenia) yang tidak berespon pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).

G. Kontraindikasi Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit neurologi bukan suatu kontraindikasi 1. Resiko sangat tinggi : a. Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. b. Infark miokard : ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil. 8

2. Resiko sedang : a. Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama terapi (pelemas otot) dan oblasio retina. b. Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya ada disana. c. Infeksi berat, cedera serebrovaskuler, kesulitan berbafas yang kronis, ulkus peptic akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).

H. Efek Samping Efek samping dari penggunaan ECT secara terus menerus adalah sebagai berikut : 1. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara 1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena pemberian anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi kardiovaskuler. 2. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi aritmia jantung sementara. Aritmia ini terjadi karena bradikardia post ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis premikasi anti kolinerjik. Aritmia dapat juga terjadi karena hiperaktifitas simpathetik kejang atau saat pasien sadar kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan alergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi frekuensinya sangat jarang. 3. Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami gangguan memori (Tomb, 2004).

I. Peran Perawat dalam Pelaksanaan ECT 1. Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT a. Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan. b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT. c. Siapkan surat persetujuan tindakan. 9

d. Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan. e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin dipakai klien. f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi. g. Klien jika ada tanda anastesi, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT. h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena beresiko organic. i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal (Riyadi, 2009). 2. Persiapan alat a. Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel elektroda, bantalan kassa, alcohol, saline, elektroda Elektroencevalogram (EEG), dan kertas grafik. b. Peralatan untuk memantau, termasuk Elektrokardiogram (EKG) dan Elektroda EKG. c. Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi. d. Stetoskop e. Palu reflek f. Peralatan intravena. g. Penahan gigitan dengan wadah individu. h. Pel bet dengan kasur yang keras dan berisi pengaman serta dapat meninggikan bagian kepala dan kaki. i. Peralatan penghisap lender j. Peralatan ventilasi, termasuk selang, masker, ambu bag, peralatan jalan nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf anastesi (Stuart, 2007)

10

3. Prosedur pelaksaan Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan terapi kejang listrik: a. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur. b. Dapatkan persetujuan tindakan. c. Pastikan status puasa pasien setalah tengah malam. d. Minta pasien melepaskan perhiasan, jepit rambut, kacamata, dan alat bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi parsial dipertahankan. e. Pakaikan baju yang longgar dan nyaman. f. Kosongkan kandung kemih pasien g. Berikan obat praterapi h. Pastikan obat dan peralatan yang diperlukan tersedia dan siap pakai. i. Bantu pelaksanaan ECT 1) Tenangkan pasien 2) Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot 3) Berikan obat 4) Pasang spatel lidah yang diberikan bantalan untuk melindungi gigi pasien 5) Pasang elektroda. Kemudian berikan syok 6) Pantau pasien selama pemuliahan 4. Peran perawat setelah ECT Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah dimodofikasi dari pendapat Stuart (2007) dan Townsend (1998). Menurut pendapat Stuart (2007) memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut : a. Bantu pemberian oksigen dan penghisapan lender sebagia kebutuhan. b. Pantau tanda-tanda vital. c. Setelah pernafasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai sadar. Pertahankan jalan nafas paten. 11

d. Jika pasien berespon, orientasikan pasien. e. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi postural. f. Ijinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya. g. Berikan makanan ringan. h. Libatkan dalam aktifitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai kebutuhan. i. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan. Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi ketakutanketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut : a. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut hanya sementara. b. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi. c. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat. d. Biarkan

pasien

mengatakan

ketakutan

dan

kecemasannya

yang

berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya. e. Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktifitas-aktifitas rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.

12

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Sujono, 2009). Terapi elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart, 2007). Dan menurut Townsend (1998) Terapi Elektrokonvulsif (ETC) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009). ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak. Indikasi utamanya adalah : 

Gangguan/episode depresif mayor



Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pasca partum)



Mania



Skizofrenia katatonik



Gangguan skizoafektif

13

DAFTAR PUSTAKA

Maramis. W. F. 1995, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta : EGC Stuart GW, Sudeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Tomb, David. 2004, Buku Saku Psikiatri, edisi 6. Jakarta : EGC Townsend, M . C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri (terjemahan), Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

14

Related Documents

Kelompok
May 2020 52
Kelompok
May 2020 50
Kelompok
May 2020 61
Kelompok
June 2020 49
Kelompok 7 Kelompok 12
June 2020 53

More Documents from "lisa evangelista"