Kelana Malam.docx

  • Uploaded by: Farihah Zein
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelana Malam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 969
  • Pages: 2
Jarang ku pijakkan kaki di atas bumi amat malam begini. Biasnya, pukul 9.30 kaki ku sudah tidak berpijak untuk berkelana, sudah melebur, meringkuk bersama badan dibalut selimut hangat. Malam itu ku berkelana ke tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Tidak sendirian, bersama ku berjalan dengan sesosok yang dulunya ku kira dia gelap. Lonceng berbunyi ketika pintu kedai itu dibuka oleh tangannya, diikuti ucapan selamat datang dari pramusaji yang bertugas kala itu. Disodorkan menu untuk kupilih makanan apa yang akan memanjakan mulutku malam itu, sudah lewat jam makan malam ku, tapi eskrim tidak pernah ku tolak jam berapapun kemanisan itu bertemu dengan lidah dan jiwaku. Seperti biasa, bingung memilih apa yang aku mau. Ku minta sosok itu yang memilihkan untukku, tapi dia bilang tidak mau, dia bilang perempuan harus punya pendirian. Sial, dia benar. Setelah ku bolak-balik menu untuk melihat banyak hal menggugah, jari telunjukku memilih

blueberry pancake ice cream untuk kucicipi malam itu. Kemudian sosok itu memilih choco- entah aku lupa namanya. Di kedai yang namanya terkenal itu, dengan harga yang overprized begitu, untuk makanan penutup mulut yang begitu, tentu ekspektasi lidah ku tinggi. Tak sabar aku mencicipi dan mengetahui apakah ekspektasi itu terpenuhi atau tidak. Kakinya melangkah menuju tangga, ‘di atas saja’, pintanya. Akupun mengikuti langkahnya ke atas, duduk di kursi dengan meja panjang menghadap ke luar memandang jalan raya yang masih banyak dilalui kendaraan malam itu. Aku tidak pernah sebelumnya melakukan hal itu, seperti anak kecil katanya, aku tertarik memerhatikan setiap kendaraan yang lewat. Mungkin aku akan mengajaknya mengitung jumlah mobil atau motor yang lewat berdasarkan warnanya, seperti di film animasi ‘up’ itu yang aku sukai. Tapi akhirnya tidak, sudah malam, dan sepertinya dimataku malam itu semua warna mobil terlihat sama. Kalimat demi kalimat berkumpul menjadi paragraph. Paragraf tentang kisah hidup yang mengalir dengan luwesnya. Menjadi kebiasaan baruku bertukar kisah dengan sosok ini. Tawa-tawa kecil bias ke udara malam, sembari ku menutup mulut karena tawaku tidak sekecil pertama kali bicara. Kemudian ada suatu hal yang keluar dari mulutku, membuatnya tertunduk diam. Yang aku tahu setelahnya, canggung, sepi dan diam. Diam yang benar-benar diam. Baru pertama kali, aku menghadapi diamnya secara langsung. Diamnya tepat di depan mataku. Aku sudah lama, tidak menghadapi hal ini. Terakhir kuhadapi dengan sosok lain di masa lalu ku. Kemudian diam itu terpecah, dipecahkan oleh pramusaji yang datang membawa eskrim yang sudah tidak semangat ku sambut seperti semula. Mulutku berucap untuk membuka perbincangan baru- ‘makan dulu’, potongnya langsung singkat. Dingin, seperti eskrim, tapi rassanya tidak senikmat eskrim. Bahkan rasanya eskrim malam itu tidak nikmat lagi di lidahku. Suapan pertama menjawab ekspektasiku, kecewa. Tidak senikmat itu, tidak sesuai harapanku, rasanya standar seperti di warung biasa, mungkin eskrim di kedai makanan cepat saji itu lebih nikmat. Entah karena dingin yang menyergap dari percakapan sebelumnya, atau memang eskrim yang ku santap malam itu rasanya biasa saja. Jadi malam itu, aku mengalami dua rasa tidak enak. Eskrim dan pernyataanku yang membuatnya terdiam beku. Suapan terakhir sudah tertelan dengan ogah, yang kemudian dibersihkan air dingin segelas kecil. ‘Enak?’ tanyanya halus setelah dinginnya tadi. Ku tengok, ku arahkan badanku yang daritadi menyantap eskrim biasa saja itu sambil membelakangi badannya. Ia yang malam itu mengenakan kaus putih polos, membuat mataku senang menatapnya dari pundak sampai sepatu conversenya. Tapi tetap tidak menutupi rasa kesalku membuatnya dingin diam begitu. Dia yang harusnya kesal, bukan aku. Oke, mungkin aku bukan kesal, tapi merasa bersalah. Ku kira setelah diam dinginnya, amarah yang kemudian memuncak. Tidak, dia berbicara dengan halus, tidak dengan nada tinggi. Eskrim tadi tidak menghibur hatiku, maupun hatinya yang

telah aku kecewakan dengan pernyataanku. Dia yang kecewa, tapi raut wajahku yang lebih kusut dari wajahnya. Tidak sadar tangan kecilku terbalut sesuatu. Dinginnya angin malam tiba-tiba hilang, tergantikan dengan balutan kehangatan. Sesuatu yang tidak seharusnya kunikmati, sesuatu yang seharusnya kupaksa lepas rasanya, sesuatu yang harusnya kuhindari entah sampai kapan. Tapi malam itu, maafkan aku semesta, aku menikmati sesuatu yang menutupi tangan ku. Maafkan aku semesta, aku merasa nyaman diselimuti begitu. Maafkan aku semesta, seharusnya ku tarik jauh tanganku dari kenikmatan itu. Tangannya yang menggenggam tanganku hangat, membuatku lebih tenang, dengan ‘sudah tidak apa’ yang ia ucapkan, membuat kusut wajahku berkurang. Walau begitu, tetap rasa bersalah membuatnya dingin tadi masih ada. Namun sambil tetap menggenggam tangaku semakin nyaman, aku tak sanggup menatapnya, dia tetap meyakinkan ku bahwa dia sudah tidak apa. ‘Benar, aku tidak mengapa’ katanya, ‘sudah jangan kusut begitu’ tambahnya lagi, ‘aku sudah baik-baik saja’ terakhir meyakinkanku. Rasa bersalahku mulai memudar, seiring senyumannya yang mengembang dengan mata sayunya, sambil tetap tanganku berada dipangkuan tangannya. Segera setelah itu ku kira kedua kaki ku akan beristirahat bertemu dengan selimut. Genggaman tangan itu kemudian menuntun ku keluar dari kedai eskrim yang tak mau aku datangi lagi itu. Sampai jumpa kedai eskrim terkenal sok mahal, kedai makanan cepat saji itu lebih memikat hatiku untuk berkunjung besok. Ku kira sosok itu segera mengantarku pulang, tapi tidak. Sosok itu memberhentikan langkah kakinya di pinggiran jalan yang sepi di tengah kota itu. Entah apa yang ingin dilakukannya. Gantian giliran sosok itu yang senang seperti anak kecil. Dia duduk di pipnggir jalan begitu, melihat lampu, melihat kendaraan yang lewat dan menikmati suasana sepi di tengah kota begitu sambil senyumsenyum. Dia suka sendirian disitu, katanya menenangkan pikirannya. Saat itu pukul 23.00. Aku heran dan bingung, betapa aneh dan randomnya sosok ini. Tapi aku hanya tertawa, lucu saja, aneh, tapi lucu. Namun aku tidak suka memang tempat begitu, akhirnya dia mengalah dan memasang wajah pura-pura sedih. Aku memang tidak meminta langsung pergi, biar dia menikmatinya sesaat. Setelah menyadari aku tidak suka, diapun akhirnya melanjutkan langkah kakinya dan mengantar ku pulang. Tetap sambil merangkai kata menjadi kalimat kemudian paragraf selama langkah kaki berpijak kejalan pulang. Tetap dengan tawa seperti pertama pergi berkelana. Sosok itu menunggu ku, mengucapkan selamat tinggal, sampai wajahku menghilang tertutup pintu gerbang yang benar-benar memisahkan dan menyudahi kelana ku dengannya malam itu.

Related Documents


More Documents from "Pengakap Daerah Bukit Bintang WP KL PPM"