JEJAK KELAM MASA SILAM Bijak Kelana*) Wulan tengah duduk di dalam ruangannya yang kecil namun apik. Ia sedang memikirkan seorang kawan karibnya yang kini terbaring di sebuah rumah sakit jiwa. Ia sampai saat ini tidak mengerti mengapa kawannya,Hesti, mengalami depresi yang begitu berat. Padahal, ia kini telah menjadi seorang akhwat yang bermujahadah (serius) dalam dakwah Islam yang semakin bersemi di fakultas tempat mereka berdua kuliah. Dalam kebingungannya, Wulan berusaha mencari tahu dimana keluarga Hesti berada. Ia telah mencoba ke rumah orangtua angkat Hesti yang berada tidak jauh dari tempat kost Wulan. Namun orangtua angkat Hesti menjawab tidak tahu bahkan agak marah karena terkesan ikut campur dalam urusan depresi Hesti. "Hai, koq melamun sih?" tanya Dila mengagetkan Wulan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" "Ah, nggak apa-apa. Aku hanya sedang mencari ide, gimana caranya aku bisa bertemu dengan kedua orangtua asli Hesti." Jawab Wulan. "Emang kenapa dengan Si Hesti, Wulan? Apakah ia sedang ada masalah?" tanya Dila tidak mengerti. "Emmmm, nanti ajalah aku ceritakan! Aku udah ngantuk berat, nih! Maaf ya Dila!" "Oke, kalau gitu aku masuk ke kamarku yaaa? Assalamu'alaikum?" sapa Dila. "Wa'alaikum salam!" ******* Di sebuah ruangan rumah sakit jiwa, Wulan menemui Hesti yang kini sedang melamun kosong. Ia coba menyadarkan Hesti dengan segala usaha. Apalagi orang yang terdekat dengannya kini tinggal Wulan seorang. Tetapi yang hanya nampak hanya tangisan sesenggukan Hesti jika ditanya tentang masalahnya. Hesti cuma berbicara tidak tentu arah, bahkan sampai menjerit-jerit segala. Hampir-hampir jilbab yang dikenakan Wulan copot kalau tidak segera dibius oleh perawat yang selalu siaga di dekat Hesti. Setelah keluar dari tempat perawatan Hesti, Wulan lalu menanyakan kondisi kawannya itu kepada Dokter Amran. "Dok, sesungguhnya kenapa dengan teman saya itu?" "Mbak Wulan, saya sudah mencari penyebab depresi Mbak Hesti secara seksama. Tampaknya apa yang dialaminya sekarang adalah letupan dari emosinya yang tertahan sejak lama!" jawab Dokter Amran. "Sejak kapan itu, Dok? Selama saya bergaul dengannya, ia tidak pernah tuh merasa punya masalah!" balas Wulan tidak percaya. "Apa Mbak Wulan bisa menolong saya dalam hal ini?" tanya sang dokter. "Apa yang bisa saya bantu, Dokter?" "Mbak bisa mencari barang-barang dimana barangkali ada semacam pemicu atau informasi mengenai masalah Mbak Hesti
di kamarnya!" "Wah, yang ini kayaknya agak sukar, Dok!" jawab Wulan. "Mengapa?" "Karena sejak saya bergaul dengannya, saya tidak diperbolehkan ke rumahnya. Katanya sih, nggak boleh sama orangtua angkatnya!" "Tapi nggak ada salahnya kalau dicoba?" "Insya Allah, Dok akan saya coba. Mudah-mudahan dapat diizinkan oleh orangtuanya Hesti." Dan Wulan pun lalu minta izin untuk pulang. ******* "Kawan-kawan, aku ada masalah nih!" tanya Wulan kepada teman-temannya sesama akhwat. "Ada apa, Wulan?" tanya Husna. "Aku ingin ke rumah si Hesti. Tapi aku takut jika pergi sendirian!" "Oh, ya! Bagaimana kabarnya si Hesti, Wulan?" tanya Nur. "Yaah, masih kayak gitu. Belum ada perubahan sama sekali." "Koq nggak ada perubahan?" tanya Linda."Emang sudah diperiksa ama dokter?" "Sudah. Bahkan dokter mengatakan kepadaku agar mencari barang-barang yang bisa membangkitkan memorinya. Hitung-hitung bisa memicu memorinya kembali lagi sehingga dokter dapat merawatnya lebih intensif lagi." Jawab Wulan. " Jadi apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tanya ketiga temannya. "Kita akan coba membujuk kedua orangtua angkatnya Hesti agar mau menerima kita dan ikut serta memikirkan cara penyembuhan Hesti selain ketentuan Allah tentu!" tukas Wulan. "Iya deh, setuju kalau gitu. Minggu depan aja yah, khan sudah nggak ujian lagi kita, Lan!" saran Linda. "Baiklah, nanti kita tentukan lebih pasti kapan kita pergi ke rumahnya Hesti!" ******* Di rumah Hesti rupanya terjadi pertengkaran antara kedua orangtua angkat Hesti dengan Wulan dan kawan-kawan. Bapak Hesti tidak berkenan menerima kehadiran mereka berempat. "Jadi kalian pengin masuk ke kamar Hesti, hah?" bentak bapak Hesti. "Sebelumnya kami mohon maaf kepada Bapak. Bukan berarti kami lancang untuk masuk ke kamar Hesti. Tetapi ini sudah saran dokter agar ingatan Hesti dapat kembali lagi." Jawab Wulan tenang. "Oooh, jadi kamu ya yang ingin menjadi pahlawan di rumah ini? Apa hakmu mencampuri terus keluarga kami? Kamu selalu bikin masalah semenjak Hesti terlibat dalam kegiatan konyolnya yang membuat Hesti pake baju anehnya itu." "Emang apa masalahnya, Pak?" balas Linda emosi. "Bapak pikir kalau Hesti pake jilbab seperti ini pergaulannya dibatasi?" "Heh, kamu lagi. Nggak usah ikut campur yaa! Kami sebetulnya nggak pengen Hesti menjadi gadis yang nggak dapat pasangan. Kalian harus tahu, sebenarnya Hesti akan kami nikahkan dengan seorang pemuda dari kalangan berada. Agar kami dapat bebas dari kemiskinan yang mendera kami." Jawab ibu angkat Hesti.
"Hesti sebenarnya bukan anak kandung kami. Kami mengambilnya dari pinggir jalan karena ditinggal oleh ibu aslinya. Kalian mau tahu ibunya. Dia yang kini menjadi wanita panggilan di diskotik dekat jalan itu. Namanya Sinta. Kalian temui dia saja dan jangan kembali lagi ke rumah ini. Kami tidak mau lagi kalian datang mengganggu ketentraman rumah ini! Mengerti?" jawab bapak angkat Hesti marah. Keempat akhwat itu beristighfar serempak. Selagi bapak angkat Hesti marah, rupanya ibu angkat Hesti membawa barang-barang Hesti, dan melemparkan barang-barang itu kepada Wulan dan kawan-kawan, "Nih, bawa semua barang-barang Hesti. Mulai sekarang Hesti tidak kami beri lagi tempat tinggal di rumah ini. Pergilah kalian!" usir ibu angkat Hesti. Seketika itu keempat akhwat itu pergi sambil menangis tersedu-sedu. ******* "Sudah Mbak Wulan bawa barang-barang Mbak Hesti?" tanya Dokter Amran. "Alhamdulillah, sudah kami ambil semua barang-barang Hesti, Dokter. Walaupun dengan caci maki kedua orangtua angkatnya!" jawab Wulan. "Jadi kedua orangtua angkat Mbak Hesti nggak mau kemari?" tanya Dokter Amran tak percaya. "Iya Dok! Tapi ada petunjuk yang cukup memudahkan kita dalam proses penyembuhan Hesti, Dok." Kata Linda. "Apa itu?" "Kami berhasil mengetahui siapa ibu kandung Hesti Dok. Ia......" omongan Linda terputus. Lalu ia menangis diikuti ketiga kawannya. "Lho, koq belum selesai udah menangis. Ceritakanlah pada saya apa masalahnya!" "Ibu Hesti ternyata wanita panggilan, Dokter!" jawab Husna. "Masya Allah! Kalau begitu siapa namanya?" "Namanya Sinta, Dok. Ibunya itu berada di diskotik dekat dengan tempat tinggal saya" jawab Wulan. "Kalau begitu nanti akan saya temani kalian bersama ikhwan-ikhwan yang lain." "Terima kasih, Dok. Mudah-mudahan langkah kita berhasil dengan izin Allah." Jawab Wulan. "Insya Allah! Kita berdo'a saja kepada Allah" ujar Dokter Amran. "Kami permisi pulang. Assalamu'alaikum, Dok?" salam mereka serempak. "Wa'alaikum salam!" ******* Ternyata untuk menemui ibu Hesti tidaklah gampang. Ini terbukti setiap kali mereka menanyakan tentang Sinta, sekawanan tukang pukul menghadang mereka dengan garang di depan pintu diskotik. Selalu dikatakan bahwa Sinta sedang tidak berada di diskotik itu atau sedang kerja. Malah mereka mengancam Wulan, Dokter Amran, dan kawan-kawan jika kembali ke diskotik itu lagi mereka tidak segan-segan akan dihantam. Ngeri juga nih, pikir mereka.
Akhirnya mereka berembug di rumah Saiful, seorang ikhwan yang menjadi ketua Rohis di fakultas Wulan, "Lan, kalau begini terus kayaknya kita bakalan sulit mempercepat proses penyembuhan Hesti. Untung aku belum pernah masuk ke ruangan Hesti karena ia nggak pakai jilbabnya." Kata Saiful. "Kayaknya kita harus pakai cara lain untuk dapat menemui ibunya Hesti, Lan." Kata Rudi. "Gimana caranya, Rud? Ana nggak bisa banyak berpikir lagi, nih!" tanya Wulan. "Kebetulan ana punya paman yang bekerja di Kepolisian. Namanya Pak Harun. Ia bekerja di bagian intelijen. Orangnya Insya Allah baik dan mau membantu permasalahan kita." Saran Wawan. "Wah itu ide bagus tuh! Kayaknya bisa kita minta tolong sama beliau!" ujar Dokter Amran. "Tapi kalau memungkinkan, paman bakal minta beberapa barang Hesti yang berkaitan dengan ibunya." Lanjut Wawan. "Coba nanti Mbak Wulan bisa mencari barang-barang itu nanti, yaaa??" pinta Dokter Amran. "Baiklah, Dokter dan kawan-kawan. Akan kami cari nanti setelah rapat ini selesai. Dan Akh Wawan, tolong banget nih hubungi paman antum, yaa?! Nanti ana tunggu telepon dari antum." Tukas Wulan. "Insya Allah akan ana jalankan." ******* Waktu malam mulai merayapi tempat kost Wulan. Bintang-bintang sedang berkedip seolah ingin tahu apa yang dikerjakan Wulan saat itu. Dan binatang-binatang malampun tak hendak beranjak dari kebun bunga di depan kamar Wulan yang indah dan mempesona. Sehabis sholat malam, Wulan rupanya sedang membongkar isi barang-barang Hesti yang dikardusi oleh kotak Aqua gelas. Ia periksa satu demi satu kelima kotak kardus itu. Ia hampir-hampir tak percaya semua pakaian yang dilihatnya adalah pakaian-pakaian usang yang sudah tidak layak lagi dipakai, bahkan bertambal-tambal. Kemudian ia buka lagi kardus kedua yang isinya alat makan Hesti. Ia langsung menangis ternyata Hesti hanya dibekali piring dan gelas kaleng yang semuanya hampir berkarat. Dan di kardus terakhir ia terbelalak tidak percaya. Ternyata baju-baju dan celana-celana ketat semua isinya, dan di bagian bawah terselip sebuah diary yang sudah hampir hilang tulisannya. Dengan seksama ia baca semua isinya, "Maret 2000, akhir belajar mendekati Ebtanas. Aku sedang berada di kamar belajarku mempersiapkan diri untuk menghadapi EBTANAS. Aku baca semua materi pelajaran dan langsung ku hafal, apalagi ternyata pelajaran Matematika yang amat ku sukai sampai sekarang. Ketika aku sedang belajar, tiba-tiba pintu depan diketuk oleh orang. Aku langsung pergi ke depan dan ku lihat Bapak
angkatku pulang disertai beberapa kawannya. Aku lalu membuka pintu depan, dan Bapak menanyakan kemana ibu. Tercium bau alkohol yang cukup menyengat hidungku dari mulut bapakku dan kawan-kawannya. Rupanya mereka sedang mabuk dan berjudi biasanya di tempat diskotik beliau mangkal. Tiba-tiba bapakku bertanya,"Hes, kemana ibumu?" "Ibu pergi ke rumah nenek, Pak!" jawabku. "Apa??!!! Ke rumah nenek. Kurang ajar!! Kamu dari tadi ngapain aja, Hesti? Kerjamu cuma tidur, makan, tidur, makan! Apa nggak kamu larang ibumu ke tempat nenekmu, hah?" "Ma, maafkan Hesti, Pak! Hesti sedang belajar untuk EBTANAS besok! Hesti nggak tahu kalau Ibu......" ratapku. "Apa? Belajar untuk EBTANAS? Wuah, wuah, anak ini banyak alasan. Bapak pukul kamu sekarang." Langsung tangan bapakku menampar pipiku. "Ada apa, Win? Anakmu nggak mau turutin perintahmu?" tanya kawan bapakku. "Udah biarin aja. Sini, Hesti Oom minta bantuan kamu mijitin Oom." Ujar kawan bapakku yang satu lagi. "Sana, pijitin Om Doni. Dia kayaknya suka pijitanmu!" perintah bapakku. "Tapi Pak, Hesti lagi belajar!" "Udah, nanti aja belajarnya. Kamu nggak perlu belajar!" bentak bapakku. Akhirnya aku memijit Om Doni yang sudah tidur tengkurap di bale-bale ruangan depan. Kawan-kawan bapakku yang lain melihatku memijit dan mengisengiku. "Wah, Hesti udah gede, yaa? Boleh Ooom dekat-dekat kamu?" tanya oom yang tidak aku kenal namanya. "Jangan, Om! Hesti masih mau sekolah, Om! Hesti jangan diapa-apain, Om!" pintaku memelas. "Sudahlah, semestinya dalam usia seperti ini kamu udah banyak yang naksir. Masa Oom dekat-dekat nggak boleh." "Hesti, layani aja Oom Ireng itu! Kalau nggak kamu nggak dapat tempat menumpang lagi. Ingat, kamu dulu aku ambil di jalanan setelah dibuang ibumu, tau?" bentak bapakku. Rupanya inilah awal tragedi yang menimpaku. Di tangan Oom-Oom ini kehormatanku direnggut secara paksa. Sampai-sampai ayah angkatku ikut pula dalam kenistaan ini. Oh, Tuhan! Mengapa Kau uji hamba-Mu dengan cobaan seperti ini!" Di sini, wajah Wulan mulai dibasahi titik air mata karena tidak percaya dengan tragedi yang menimpa Hesti ini. Lalu di halaman berikutnya, Wulan membaca lagi, "Pertengahan April 2000 Setelah peristiwa malam itu, aku hampir-hampir berputus asa dari kehidupan ini. Bapakku yang seharusnya menyayangiku kini tak ubahnya seperti serigala. Aku tak sanggup bayangkan betapa hancurnya hidupku nanti dimasa depan. Hanya yang tersisa seonggok iman dan harapan semoga Allah menolongku. Untunglah, EBTANAS aku lalui dengan mulus. Aku bisa lulus
dari SMU tempatku belajar. Dan rupanya aku tambah gembira lagi dapat diterima di suatu perguruan tinggi negeri tanpa harus ikut UMPTN, yang kebetulan masih berdekatan dengan tempat tinggalku." Halaman berikutnya Wulan membaca tulisan Hesti, "Awal September 2000. Akhirnya aku bertemu dengan akhwat-akhwat yang sholehah dan cantik-cantik seperti Wulan, Linda, Husna, dan Nur. Aku merasakan kasih sayang mereka menggantikan kasih sayang orangtua angkatku yang sudah pudar. Apalagi seringkali aku mendengar percekcokan mereka yang sampai kapan akan berakhir. Namun, rasa minderku seringkali membuatku putus asa dan tertekan. Aku sebenarnya ingin meninggalkan kenangan pahit itu. Apalagi taujih yang disampaikan oleh sahabat karibku, Wulan, agar dalam hidup manusia harus optimis menghadapi kehidupan dan bertawakkal kepada Allah, menambah semangatku untuk terus belajar. Dan ini tidak didukung oleh bapak angkatku. Beliau malah mengatakan lebih baik berhenti kuliah dan menikah dengan Johny yang nggak berbudi itu. Bahkan tidak jarang beliau menyindir kenangan pahit itu yang membuat tekanan di dalam batinku semakin membludak. Hingga aku bingung bagaimana aku lari dari permasalahan ini semua. Aku sebenarnya ingin menceritakan ini semua kepada kawan-kawan yang kuanggap sebagai saudari-saudariku. Tetapi aku takut mereka mengejek dan mencemoohku sehingga tidak mau bergaul denganku yang hina dan kotor ini. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu yang lemah ini. Berikanlah keadilan-Mu kepada yang menzhalimi diriku ini." ******* Epilog Wulan akhirnya tidak dapat menghentikan air matanya yang terus bercucuran di malam itu. Ia tidak sanggup membayangkan penderitaan yang Hesti terima selama ini. Hampir-hampir tangisannya membuat seluruh penghuni kostnya terbangun dari peraduannya. Keesokan harinya ia langsung menghubungi Dokter Amran, Rudi, Wawan, Saiful, Linda, Dila, Husna, dan Nur. Akhirnya semua permasalahan Hesti dapat diatasi dengan ditangkapnya kedua orangtua angkatnya dan yang memperkosa Hesti di malam kejadian itu. Termasuk diskotik dimana ibu Hesti bekerja. Dan bertemulah Hesti dengan ibunya yang selama ini amat ia rindukan, walaupun akhirnya Sinta dipenjara akibat menjadi wanita panggilan. Dalam waktu yang tidak lama tekanan batin yang diderita Hesti dapat disembuhkan dengan cepat. Karena Wulan, Linda, Husna, Nur, dan beberapa ikhwan yang lain sering membezuk Hesti dan memberi dukungan kepadanya agar selalu tabah dan optimis dalam hidupnya. Sebagai hadiahnya, Hesti tinggal di rumah Linda yang anak tunggal itu dan saling membantu
dalam kegiatan-kegiatan dakwah di kampus. N.B. Salam jihad untuk kepengurusan KAMMI Daerah Lampung Periode 2002-2004. Jika ada nama, tempat, dan situasi yang sama, itu hanya rekaan penulis saja. *) Bijak Kelana adalah nama samaran dari Arief Syafari, S.Pd. Saat ini ia masih aktif mengajar agama di SMU Tunas Harapan dan anggota non-aktif Forum Lingkar Pena Lampung. =============================================================================== ==== PlasaCom mengadakan Lomba Design Kartu Elektronik dengan tema Natal dan Tahun Baru ... ikutan ya ..berhadiah lho... selengkapnya kunjungi http://www.plasa.com/informasi/lomba-desain =============================================================================== ==== Bila ada spamming atau abuse laporkan ke
[email protected] To unsubscribe from this group, send an email to:
[email protected] For futher help, send an email to :
[email protected]
Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/
JEJAK KELAM MASA SILAM Bijak Kelana*) Wulan tengah duduk di dalam ruangannya yang kecil namun apik. Ia sedang memikirkan seorang kawan karibnya yang kini terbaring di sebuah rumah sakit jiwa. Ia sampai saat ini tidak mengerti mengapa kawannya,Hesti, mengalami depresi yang begitu berat. Padahal, ia kini telah menjadi seorang akhwat yang bermujahadah (serius) dalam dakwah Islam yang semakin bersemi di fakultas tempat mereka berdua kuliah. Dalam kebingungannya, Wulan berusaha mencari tahu dimana keluarga Hesti berada. Ia telah mencoba ke rumah orangtua angkat Hesti yang berada tidak jauh dari tempat kost Wulan. Namun orangtua angkat Hesti menjawab tidak tahu bahkan agak marah karena terkesan ikut campur dalam urusan depresi Hesti. "Hai, koq melamun sih?" tanya Dila mengagetkan Wulan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" "Ah, nggak apa-apa. Aku hanya sedang mencari ide, gimana caranya aku bisa bertemu dengan kedua orangtua asli Hesti." Jawab Wulan. "Emang kenapa dengan Si Hesti, Wulan? Apakah ia sedang ada masalah?" tanya Dila tidak mengerti. "Emmmm, nanti ajalah aku ceritakan! Aku udah ngantuk berat, nih! Maaf ya Dila!" "Oke, kalau gitu aku masuk ke kamarku yaaa? Assalamu'alaikum?" sapa Dila. "Wa'alaikum salam!"
******* Di sebuah ruangan rumah sakit jiwa, Wulan menemui Hesti yang kini sedang melamun kosong. Ia coba menyadarkan Hesti dengan segala usaha. Apalagi orang yang terdekat dengannya kini tinggal Wulan seorang. Tetapi yang hanya nampak hanya tangisan sesenggukan Hesti jika ditanya tentang masalahnya. Hesti cuma berbicara tidak tentu arah, bahkan sampai menjerit-jerit segala. Hampir-hampir jilbab yang dikenakan Wulan copot kalau tidak segera dibius oleh perawat yang selalu siaga di dekat Hesti. Setelah keluar dari tempat perawatan Hesti, Wulan lalu menanyakan kondisi kawannya itu kepada Dokter Amran. "Dok, sesungguhnya kenapa dengan teman saya itu?" "Mbak Wulan, saya sudah mencari penyebab depresi Mbak Hesti secara seksama. Tampaknya apa yang dialaminya sekarang adalah letupan dari emosinya yang tertahan sejak lama!" jawab Dokter Amran. "Sejak kapan itu, Dok? Selama saya bergaul dengannya, ia tidak pernah tuh merasa punya masalah!" balas Wulan tidak percaya. "Apa Mbak Wulan bisa menolong saya dalam hal ini?" tanya sang dokter. "Apa yang bisa saya bantu, Dokter?" "Mbak bisa mencari barang-barang dimana barangkali ada semacam pemicu atau informasi mengenai masalah Mbak Hesti di kamarnya!" "Wah, yang ini kayaknya agak sukar, Dok!" jawab Wulan. "Mengapa?" "Karena sejak saya bergaul dengannya, saya tidak diperbolehkan ke rumahnya. Katanya sih, nggak boleh sama orangtua angkatnya!" "Tapi nggak ada salahnya kalau dicoba?" "Insya Allah, Dok akan saya coba. Mudah-mudahan dapat diizinkan oleh orangtuanya Hesti." Dan Wulan pun lalu minta izin untuk pulang. ******* "Kawan-kawan, aku ada masalah nih!" tanya Wulan kepada teman-temannya sesama akhwat. "Ada apa, Wulan?" tanya Husna. "Aku ingin ke rumah si Hesti. Tapi aku takut jika pergi sendirian!" "Oh, ya! Bagaimana kabarnya si Hesti, Wulan?" tanya Nur. "Yaah, masih kayak gitu. Belum ada perubahan sama sekali." "Koq nggak ada perubahan?" tanya Linda."Emang sudah diperiksa ama dokter?" "Sudah. Bahkan dokter mengatakan kepadaku agar mencari barang-barang yang bisa membangkitkan memorinya. Hitung-hitung bisa memicu memorinya kembali lagi sehingga dokter dapat merawatnya lebih intensif lagi." Jawab Wulan. " Jadi apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tanya ketiga temannya. "Kita akan coba membujuk kedua orangtua angkatnya Hesti agar mau menerima kita dan ikut serta memikirkan cara penyembuhan Hesti selain ketentuan Allah tentu!" tukas Wulan. "Iya deh, setuju kalau gitu. Minggu depan aja yah, khan sudah nggak ujian lagi kita, Lan!" saran Linda. "Baiklah, nanti kita tentukan lebih pasti kapan kita pergi ke rumahnya Hesti!" ******* Di rumah Hesti rupanya terjadi pertengkaran antara kedua orangtua angkat Hesti dengan Wulan dan kawan-kawan. Bapak Hesti tidak berkenan menerima kehadiran mereka berempat. "Jadi kalian pengin masuk ke kamar Hesti, hah?" bentak bapak Hesti.
"Sebelumnya kami mohon maaf kepada Bapak. Bukan berarti kami lancang untuk masuk ke kamar Hesti. Tetapi ini sudah saran dokter agar ingatan Hesti dapat kembali lagi." Jawab Wulan tenang. "Oooh, jadi kamu ya yang ingin menjadi pahlawan di rumah ini? Apa hakmu mencampuri terus keluarga kami? Kamu selalu bikin masalah semenjak Hesti terlibat dalam kegiatan konyolnya yang membuat Hesti pake baju anehnya itu." "Emang apa masalahnya, Pak?" balas Linda emosi. "Bapak pikir kalau Hesti pake jilbab seperti ini pergaulannya dibatasi?" "Heh, kamu lagi. Nggak usah ikut campur yaa! Kami sebetulnya nggak pengen Hesti menjadi gadis yang nggak dapat pasangan. Kalian harus tahu, sebenarnya Hesti akan kami nikahkan dengan seorang pemuda dari kalangan berada. Agar kami dapat bebas dari kemiskinan yang mendera kami." Jawab ibu angkat Hesti. "Hesti sebenarnya bukan anak kandung kami. Kami mengambilnya dari pinggir jalan karena ditinggal oleh ibu aslinya. Kalian mau tahu ibunya. Dia yang kini menjadi wanita panggilan di diskotik dekat jalan itu. Namanya Sinta. Kalian temui dia saja dan jangan kembali lagi ke rumah ini. Kami tidak mau lagi kalian datang mengganggu ketentraman rumah ini! Mengerti?" jawab bapak angkat Hesti marah. Keempat akhwat itu beristighfar serempak. Selagi bapak angkat Hesti marah, rupanya ibu angkat Hesti membawa barang-barang Hesti, dan melemparkan barang-barang itu kepada Wulan dan kawan-kawan, "Nih, bawa semua barang-barang Hesti. Mulai sekarang Hesti tidak kami beri lagi tempat tinggal di rumah ini. Pergilah kalian!" usir ibu angkat Hesti. Seketika itu keempat akhwat itu pergi sambil menangis tersedu-sedu. ******* "Sudah Mbak Wulan bawa barang-barang Mbak Hesti?" tanya Dokter Amran. "Alhamdulillah, sudah kami ambil semua barang-barang Hesti, Dokter. Walaupun dengan caci maki kedua orangtua angkatnya!" jawab Wulan. "Jadi kedua orangtua angkat Mbak Hesti nggak mau kemari?" tanya Dokter Amran tak percaya. "Iya Dok! Tapi ada petunjuk yang cukup memudahkan kita dalam proses penyembuhan Hesti, Dok." Kata Linda. "Apa itu?" "Kami berhasil mengetahui siapa ibu kandung Hesti Dok. Ia......" omongan Linda terputus. Lalu ia menangis diikuti ketiga kawannya. "Lho, koq belum selesai udah menangis. Ceritakanlah pada saya apa masalahnya!" "Ibu Hesti ternyata wanita panggilan, Dokter!" jawab Husna. "Masya Allah! Kalau begitu siapa namanya?" "Namanya Sinta, Dok. Ibunya itu berada di diskotik dekat dengan tempat tinggal saya" jawab Wulan. "Kalau begitu nanti akan saya temani kalian bersama ikhwan-ikhwan yang lain." "Terima kasih, Dok. Mudah-mudahan langkah kita berhasil dengan izin Allah." Jawab Wulan. "Insya Allah! Kita berdo'a saja kepada Allah" ujar Dokter Amran. "Kami permisi pulang. Assalamu'alaikum, Dok?" salam mereka serempak. "Wa'alaikum salam!" ******* Ternyata untuk menemui ibu Hesti tidaklah gampang. Ini terbukti setiap kali mereka menanyakan tentang Sinta, sekawanan tukang pukul menghadang mereka dengan garang di depan pintu diskotik. Selalu dikatakan bahwa Sinta sedang tidak berada di diskotik itu atau sedang kerja. Malah mereka mengancam Wulan, Dokter Amran,
dan kawan-kawan jika kembali ke diskotik itu lagi mereka tidak segan-segan akan dihantam. Ngeri juga nih, pikir mereka. Akhirnya mereka berembug di rumah Saiful, seorang ikhwan yang menjadi ketua Rohis di fakultas Wulan, "Lan, kalau begini terus kayaknya kita bakalan sulit mempercepat proses penyembuhan Hesti. Untung aku belum pernah masuk ke ruangan Hesti karena ia nggak pakai jilbabnya." Kata Saiful. "Kayaknya kita harus pakai cara lain untuk dapat menemui ibunya Hesti, Lan." Kata Rudi. "Gimana caranya, Rud? Ana nggak bisa banyak berpikir lagi, nih!" tanya Wulan. "Kebetulan ana punya paman yang bekerja di Kepolisian. Namanya Pak Harun. Ia bekerja di bagian intelijen. Orangnya Insya Allah baik dan mau membantu permasalahan kita." Saran Wawan. "Wah itu ide bagus tuh! Kayaknya bisa kita minta tolong sama beliau!" ujar Dokter Amran. "Tapi kalau memungkinkan, paman bakal minta beberapa barang Hesti yang berkaitan dengan ibunya." Lanjut Wawan. "Coba nanti Mbak Wulan bisa mencari barang-barang itu nanti, yaaa??" pinta Dokter Amran. "Baiklah, Dokter dan kawan-kawan. Akan kami cari nanti setelah rapat ini selesai. Dan Akh Wawan, tolong banget nih hubungi paman antum, yaa?! Nanti ana tunggu telepon dari antum." Tukas Wulan. "Insya Allah akan ana jalankan." ******* Waktu malam mulai merayapi tempat kost Wulan. Bintang-bintang sedang berkedip seolah ingin tahu apa yang dikerjakan Wulan saat itu. Dan binatang-binatang malampun tak hendak beranjak dari kebun bunga di depan kamar Wulan yang indah dan mempesona. Sehabis sholat malam, Wulan rupanya sedang membongkar isi barang-barang Hesti yang dikardusi oleh kotak Aqua gelas. Ia periksa satu demi satu kelima kotak kardus itu. Ia hampir-hampir tak percaya semua pakaian yang dilihatnya adalah pakaian-pakaian usang yang sudah tidak layak lagi dipakai, bahkan bertambal-tambal. Kemudian ia buka lagi kardus kedua yang isinya alat makan Hesti. Ia langsung menangis ternyata Hesti hanya dibekali piring dan gelas kaleng yang semuanya hampir berkarat. Dan di kardus terakhir ia terbelalak tidak percaya. Ternyata baju-baju dan celana-celana ketat semua isinya, dan di bagian bawah terselip sebuah diary yang sudah hampir hilang tulisannya. Dengan seksama ia baca semua isinya, "Maret 2000, akhir belajar mendekati Ebtanas. Aku sedang berada di kamar belajarku mempersiapkan diri untuk menghadapi EBTANAS. Aku baca semua materi pelajaran dan langsung ku hafal, apalagi ternyata pelajaran Matematika yang amat ku sukai sampai sekarang. Ketika aku sedang belajar, tiba-tiba pintu depan diketuk oleh orang. Aku langsung pergi ke depan dan ku lihat Bapak angkatku pulang disertai beberapa kawannya. Aku lalu membuka pintu depan, dan Bapak menanyakan kemana ibu. Tercium bau alkohol yang cukup menyengat hidungku dari mulut bapakku dan kawankawannya. Rupanya mereka sedang mabuk dan berjudi biasanya di tempat diskotik beliau
mangkal. Tiba-tiba bapakku bertanya,"Hes, kemana ibumu?" "Ibu pergi ke rumah nenek, Pak!" jawabku. "Apa??!!! Ke rumah nenek. Kurang ajar!! Kamu dari tadi ngapain aja, Hesti? Kerjamu cuma tidur, makan, tidur, makan! Apa nggak kamu larang ibumu ke tempat nenekmu, hah?" "Ma, maafkan Hesti, Pak! Hesti sedang belajar untuk EBTANAS besok! Hesti nggak tahu kalau Ibu......" ratapku. "Apa? Belajar untuk EBTANAS? Wuah, wuah, anak ini banyak alasan. Bapak pukul kamu sekarang." Langsung tangan bapakku menampar pipiku. "Ada apa, Win? Anakmu nggak mau turutin perintahmu?" tanya kawan bapakku. "Udah biarin aja. Sini, Hesti Oom minta bantuan kamu mijitin Oom." Ujar kawan bapakku yang satu lagi. "Sana, pijitin Om Doni. Dia kayaknya suka pijitanmu!" perintah bapakku. "Tapi Pak, Hesti lagi belajar!" "Udah, nanti aja belajarnya. Kamu nggak perlu belajar!" bentak bapakku. Akhirnya aku memijit Om Doni yang sudah tidur tengkurap di bale-bale ruangan depan. Kawan-kawan bapakku yang lain melihatku memijit dan mengisengiku. "Wah, Hesti udah gede, yaa? Boleh Ooom dekat-dekat kamu?" tanya oom yang tidak aku kenal namanya. "Jangan, Om! Hesti masih mau sekolah, Om! Hesti jangan diapa-apain, Om!" pintaku memelas. "Sudahlah, semestinya dalam usia seperti ini kamu udah banyak yang naksir. Masa Oom dekat-dekat nggak boleh." "Hesti, layani aja Oom Ireng itu! Kalau nggak kamu nggak dapat tempat menumpang lagi. Ingat, kamu dulu aku ambil di jalanan setelah dibuang ibumu, tau?" bentak bapakku. Rupanya inilah awal tragedi yang menimpaku. Di tangan Oom-Oom ini kehormatanku direnggut secara paksa. Sampai-sampai ayah angkatku ikut pula dalam kenistaan ini. Oh, Tuhan! Mengapa Kau uji hamba-Mu dengan cobaan seperti ini!" Di sini, wajah Wulan mulai dibasahi titik air mata karena tidak percaya dengan tragedi yang menimpa Hesti ini. Lalu di halaman berikutnya, Wulan membaca lagi, "Pertengahan April 2000 Setelah Bapakku sanggup tersisa
peristiwa malam itu, aku hampir-hampir berputus asa dari kehidupan ini. yang seharusnya menyayangiku kini tak ubahnya seperti serigala. Aku tak bayangkan betapa hancurnya hidupku nanti dimasa depan. Hanya yang seonggok iman dan harapan semoga Allah menolongku.
Untunglah, EBTANAS aku lalui dengan mulus. Aku bisa lulus dari SMU tempatku belajar. Dan rupanya aku tambah gembira lagi dapat diterima di suatu perguruan tinggi negeri tanpa harus ikut UMPTN, yang kebetulan masih berdekatan dengan tempat tinggalku." Halaman berikutnya Wulan membaca tulisan Hesti, "Awal September 2000. Akhirnya aku bertemu dengan akhwat-akhwat yang sholehah dan cantik-cantik seperti Wulan, Linda, Husna, dan Nur. Aku merasakan kasih sayang mereka menggantikan kasih sayang orangtua angkatku yang sudah pudar. Apalagi seringkali aku mendengar percekcokan mereka yang sampai kapan akan berakhir.
Namun, rasa minderku seringkali membuatku putus asa dan tertekan. Aku sebenarnya ingin meninggalkan kenangan pahit itu. Apalagi taujih yang disampaikan oleh sahabat karibku, Wulan, agar dalam hidup manusia harus optimis menghadapi kehidupan dan bertawakkal kepada Allah, menambah semangatku untuk terus belajar. Dan ini tidak didukung oleh bapak angkatku. Beliau malah mengatakan lebih baik berhenti kuliah dan menikah dengan Johny yang nggak berbudi itu. Bahkan tidak jarang beliau menyindir kenangan pahit itu yang membuat tekanan di dalam batinku semakin membludak. Hingga aku bingung bagaimana aku lari dari permasalahan ini semua. Aku sebenarnya ingin menceritakan ini semua kepada kawan-kawan yang kuanggap sebagai saudari-saudariku. Tetapi aku takut mereka mengejek dan mencemoohku sehingga tidak mau bergaul denganku yang hina dan kotor ini. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu yang lemah ini. Berikanlah keadilan-Mu kepada yang menzhalimi diriku ini." ******* Epilog Wulan akhirnya tidak dapat menghentikan air matanya yang terus bercucuran di malam itu. Ia tidak sanggup membayangkan penderitaan yang Hesti terima selama ini. Hampir-hampir tangisannya membuat seluruh penghuni kostnya terbangun dari peraduannya. Keesokan harinya ia langsung menghubungi Dokter Amran, Rudi, Wawan, Saiful, Linda, Dila, Husna, dan Nur. Akhirnya semua permasalahan Hesti dapat diatasi dengan ditangkapnya kedua orangtua angkatnya dan yang memperkosa Hesti di malam kejadian itu. Termasuk diskotik dimana ibu Hesti bekerja. Dan bertemulah Hesti dengan ibunya yang selama ini amat ia rindukan, walaupun akhirnya Sinta dipenjara akibat menjadi wanita panggilan. Dalam waktu yang tidak lama tekanan batin yang diderita Hesti dapat disembuhkan dengan cepat. Karena Wulan, Linda, Husna, Nur, dan beberapa ikhwan yang lain sering membezuk Hesti dan memberi dukungan kepadanya agar selalu tabah dan optimis dalam hidupnya. Sebagai hadiahnya, Hesti tinggal di rumah Linda yang anak tunggal itu dan saling membantu dalam kegiatan-kegiatan dakwah di kampus. N.B. Salam jihad untuk kepengurusan KAMMI Daerah Lampung Periode 2002-2004. Jika ada nama, tempat, dan situasi yang sama, itu hanya rekaan penulis saja. *) Bijak Kelana adalah nama samaran dari Arief Syafari, S.Pd. Saat ini ia masih aktif mengajar agama di SMU Tunas Harapan dan anggota non-aktif Forum Lingkar Pena Lampung.