Kejadian Tidak Diinginkan/KTDPart1
13
JUN
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang sangat komplek karena padat modal, padat teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien. KTD adalah suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) dan bukan karena under lying disease atau kondisi pasien. KTD dapat ditinjau dari berbagai faktor, salah satunya ditinjau dari faktor konstitusi. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin adanya pelayanan kesehatan untuk masyarakat, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan secara maksimal. Pada pasal 28H UUD Negara Republik Indonesia secara spesifik menyebutkan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 28H ayat 1 menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Masyarakat harusnya juga mendapatkan jaminan sosial sebagaimana pasal 28H ayat 3, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Untuk menjalankan konstitusi tersebut, pemerintah merupakan institusi pertama yang harus melakukannya. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya berbagai program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat diantaranya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin oleh pemerintah pusat yaitu Jamkesmas, disusul oleh Jamkesda yang menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) untuk menjamin kesehatan masyarakat di daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan pemerintah daerahnya. Contoh kejadian tidak diinginkan ditinjau dari segi konstitusi ini adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat suku terpencil atau pedalaman yang menderita penyakit tumor atau penyakit yang memerlukan tindakan yang tidak tersedia di sarana pelayanan dasar ataupun sarana pelayanan rujukan tingkat pertama sehingga perlu dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap sarana atau alat-alat kesehatan dan tenaga spesialisnya. Namun karena pasien tersebut tidak mempunyai kartu Jamkesmas, yang artinya pasien tersebut bukanlah peserta Jamkesmas, maka karena kendala dana pasien tersebut tidak dapat dirujuk dan tidak mendapatkan tindakan medik yang semestinya sehingga dapat menyebabkan kejadian yang tidak diinginkn (KTD). Padahal menurut konstitusi yang berlaku, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal. Menurut Nasution (2005), dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian (transaksi) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien. Sebaliknya pasien menyetujui tindakan teraupetik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Posisi yang demikian ini menyebabkan terjadinya kesepakatan berupa perjanjian teraupetik. Secara yuridis kesepakatan ini melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak dan harus dilaksanakan sebagaimana telah diperjanjikan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau bertindak di luar apa yang telah diperjanjikan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Kerugian yang timbul tersebut merupakan suatu Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) dalam pemberian pelayanan kesehatan
Hubungan dokter-pasien bukanlah hubungan bisnis tetapi kontrak teraupetik. Pasien datang membagi keterangan pribadi dan mempercayakan pengobatan penyakitnya pada dokter. Kepercayaan pasien terhadap dokter merupakan unsur utama kesembuhan pasien. Pasien yang percaya pada dokter akan menceritakan semua sakit yang dirasakan sehingga dokter juga dapat dengan leluasa menginformasikan penyakit yang diderita pasien dan menyampaikan pengobatan yang harus dilakukan disertai dengan kemungkinan efek samping atau kegagalan pengobatan. Pasien pun mendapatkan semua informasi yang perlu diketahui, perawatan yang diperlukan, dan perkiraan kemungkinan yang terjadi. Seorang dokter harus mendengarkan keluhan, menggali informasi dan menghormati pandangan serta kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya, memberikan informasi yang diminta atau diperlukan tentang kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien serta rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan bahasa yang dimengerti pasien dan keluarga. Selain itu pasien juga harus diberitahukan tentang tujuan pengobatan, pilihan obat, cara pemberian dan pengaturan dosis, efek samping obat. Dokter hanya boleh menyampaikan informasi tentang tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien kepada keluarga setelah mendapatkan persetujuan dari pasien. Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2009), dalam menerima layanan kedokteran/kedokteran gigi, pasien dapat saja mengalami ketidakpuasan ataupun hasil yang tidak sebagaimana mestinya diharapkan (advers events). Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris, sehingga probabilitas dan ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya. Iptekdok (Ilmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran) masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak mungkin menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya (inspanningsverbintenis). Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu: 1) hasil dari suatu perjalan penyakitnya sendiri atau komplikasi penyakit, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. 2)
Hasil dari suatu risiko yang tidak dapat dihindari, yaitu:
a) Risiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Risiko seperti ini dimungkinkan dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan terhadap pengaruh oleh faktor eksternal , sebagai contoh adalah shok anafilaktik. b) Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (forseeable) tetapi dianggap dapat diterima (acceptable), dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh pasien untuk dilakukan tindakan, yaitu: – Risiko yang derajat probabilitas dan derajat keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, pendarahan dan infeksi pad pembedahan, dan lain-lain; – Risiko yang derajat probabilitas dan derajat keparahannya besar pada ketentuan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satusatunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat. 3) Hasil dari suatu kelalaian medis Yang dimaksud dengan kelalaian medis adalah melakukan yang seharusnya tidak dilakukan, atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, oleh seorang dokter atau dokter gigi dengan kualifikasi yang sama, pada situasi dan kondisi yang sama. Hal ini terjasi apabila dokter melanggar kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya berdasarkan standar-standar sebagaimana diuraikan sebelumnya dan mengakibatkan cedera, meninggal, atau kerugian pada pasien dengan hubungan sebab akibat yang nyata. 4)
Hasil dari suatu kesengajaan
Untuk mengetahui penyebab suatu hasil yang tidak diharapkan perlu dilakukan penelitian mendalam (audit medis), bahkan bila diperlukan dapat dilaukan pula pemeriksaan mendalam terhadap pasien termasuk melakukan autopsi klinik bila pasien telah meninggal dunia. Terhadap peristiwa yang tidak diharapkan sebagaimana diatas, pasien atau keluarganya dapat meminta penjelasan secara lengkap dan jujur dari dokter atau dokter gigi pemberi pelayanan kedokteran/kedokteran gigi, atau kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatannya. Pasien atau keluarganya juga dapat meminta pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, baik di sarana kesehatan yang sama maupun di tempat lain. Diharapkan dengan cara itu pasien dan keluarganya dapat memahami apa, bagaimana, dan mengapa peristiwa atau hasil yang tidak diharapkan tersebut dapat terjadi, serta bagaiman tindakan selanjutnya yang sebaiknya dilakukan. Di dalam pengaduan atau laporannya, pasien harus melengkapinya dengan catatan kronologis peristiwa dan alasan timbulnya dugaan pelanggaran-pelanggaran yang diadukannya.