KCB: Tontonan Sekaligus Tuntunan Berangkat dari novel best-seller Habiburrahman El Shirazy, film layar lebar “Ketika Cinta Bertasbih” yang kini tengah diputar di berbagai bioskop di seluruh Indonesia ini tampaknya sedikit memberi angin segar bagi para pencinta film tanah air. Film garapan sutradara senior Chaerul Umam ini, sebagaimana novelnya, melejit bukan hanya karena diperankan oleh para pemain yang memiliki integritas dengan tokohtokoh yang diperankannya ataupun karena film perdana yang mengambil setting di Mesir, tetapi juga karena di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur Islam yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keteguhan dan konsistensi Azzam (Khalidi Asadil Alam)dalam memegang prinsip hidupnya terlihat pada saat Eliana (Alice Norin), seorang putri duta besar Indonesia untuk Mesir, ingin memberikannya “hadiah” berupa french kiss karena ia telah menyuguhkan makanan istimewa pada salah satu acara kedutaan. Namun, Azzam malah menganggapnya sebagai “musibah”. Bagi anak muda masa kini, hal ini mungkin terdengar “aneh”, “kolot”,bahkan mungkin “gila”. Bagaimana mungkin suatu french kiss dari seorang wanita cantik, seksi, kaya, dan pintar sekelas Eliana ditolak mentah-mentah oleh tokoh (sok) suci bernama Khairul Azam itu. “Itu adalah prinsip saya… prinsip yang saya terapkan dari Alquran dan Assunah,” demikian tegas Azam. Proses taaruf pun digambarkan dengan baik pada film yang konon menelan dana hampir Rp 20 miliar ini. Furqon (Andi Arsyil) bertatap muka dan berbicara langsung dengan Anna Athofunnisa (Oki Setiana Dewi), calon istrinya, hanya pada saat meminang. Itu pun disertai keluarga masing-masing. Sebelumnya, Anna dan Furqon hanya mengetahui informasi tentang calon pasangan masing-masing dari orangorang terdekatnya. Hal ini jelas mendobrak tradisi kalangan muda-mudi yang umumnya memulai hubungan dengan pasangannya dengan berpacaran sebelum berlanjut ke jenjang pernikahan. Tujuannya, untuk mengenal pasangan masingmasing secara lebih mendalam. Padahal, konotasi pacaran saat ini semakin negatif karena bukan lagi mengacu pada suatu proses melainkan pada hubungan fisik. Selain itu, sebagaimana pada film pendahulunya Ayat-Ayat Cinta garapan sutradara kontroversial Hanung Bramantyo, isu poligami pun disinggung di dalam film ini. Namun, berbeda dengan konsep poligami versi A2C yang samar, isu poligami pada KCB disajikan secara lebih proporsional. Dalam hal ini, Anna menyatakan dirinya tidak ingin dipoligami sehingga Furqon menganggapnya mengharamkan poligami. Akan tetapi, setelah Anna menjelaskan alasannya yang diperkuat dengan rujukan yang sahih, akhirnya calon suaminya itu menerimanya dengan sepenuh hati. Hal ini menunjukkan, betapapun sakitnya, beratnya, dan pahitnya sesuatu, apabila itu bersumber dari Alquran dan Assunah, maka kita harus menerimanya dengan penuh ketaatan. “Sami’naa wa Atho’ naa,” demikian istilah Alquran. Kendati tidak mengikuti tren perfilman Indonesia yang notabene berbau mistis, melankolis, tragis, dan dramatis, KCB terbukti telah mampu menyedot jutaan
penonton, khususnya di Indonesia, yang merindukan film Indonesia yang berkualitas dan sarat makna. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika film ini diputar serentak di delapan negara termasuk Indonesia dan layak mendapatkan berbagai penghargaan dari seluruh dunia. Mudah-mudahan ke depan, insan perfilman Indonesia lebih kreatif dan kritis lagi dalam menggali isi cerita, tentunya dengan dukungan pemerintah, dalam hal ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, sebagai pemegang kebijakan. Dengan demikian, film-film yang diputar di Indonesia tidak hanya menjadi tontonan tetapi juga menjadi tuntunan.