1.Bolehkah Menggunakan Foto Orang Lain Tanpa Izin ??? Quote: Informasi yang satu ini penting ni buat hukumpedias yang memiliki sebuah studio foto dan mau menggunakan foto-foto klien untuk promosi. Mungkin teman-teman bertanya, Bolehkah Menggunakan Foto Orang Lain Tanpa Izin? Ini penjelasannya. Menurut Pasal 13 ayat (1) huruf j UUHC fotografi termasuk ciptaan yang dilindungi. Selanjutnya, pengaturan hak cipta untuk potret/fotografi diatur dalam Pasal 19 s.d. Pasal 23 UUHC. Orang yang mengambil foto orang lain menjadi seorang Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dari foto yang dihasilkan. Akan tetapi, terhadap fotografi terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHC yang berbunyi: (1) Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia. (2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam Potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia. (3) Ketentuan dalam Pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat: a. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret; b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau c. untuk kepentingan orang yang dipotret. Keharusan untuk meminta persetujuan orang yang dipotret karena tidak selalu orang yang dipotret akan setuju bahwa potretnya diumumkan tanpa diminta persetujuannya. Oleh karena itu, ditentukan bahwa harus dimintakan persetujuan yang bersangkutan atau ahli warisnya. Demikian bunyi penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHC. Jadi, bila ingin menggunakan foto yang menampilkan orang lain untuk misalnya kegiatan promosi, atau menampilkan foto tersebut dalam suatu website untuk keperluan komersial, sebaiknya meminta persetujuan terlebih dahulu dari orang yang dipotret. Bila tidak dapat dijerat ancaman pidana Pasal 72 ayat (5) UUHC yang berupa pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp150 juta.
Hukumnya Jika Diam-diam Memfoto Orang Lain
Quote: Hukumpedias di sini pasti pernah “isengin” temennya deh. Salah satu keisengan yang dilakukan adalah dengan memfoto temannya secara diam-diam. Di Klinik Hukumonline pernah ada yang tanya sebenarnya bagaimana aspek hukum memfoto orang lain secara diam-diam itu? Singkat cerita, kasusnya begini: Ada teman kantornya sedang bekerja dan tanpa sadar difoto dengan menggunakan HP yang mana foto itu seolah-olah posisinya menunduk seperti sedang tidur. Lalu foto itu dicetak dan dijadikan bukti ke atasannya bahwa dia lagi tidur di jam kerja. Bisakah orang yang memfoto dipidana sesuai UU ITE? Apakah foto tersebut merupakan bukti yang sah? Foto yang diambil melalui kamera handpohone tersebut dapat dikatakan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila masih berbentuk elektronik (jika belum dicetak) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 UU ITE. Jika dilihat dari segi UUHC, foto teman itu dikategorikan sebagai potret, yaitu gambar dari wajah orang yang digambarkan. Sebagai pencipta, si pengambil foto memiliki hak cipta yang memberi sejumlah hak eksklusif kepada pencipta di antaranya untuk melaksanakan perbanyakan, pengumuman termasuk perubahan atas gambarnya sendiri dan melarang orang lain melaksanakan tindakan-tindakan tersebut tanpa seijinnya. Akan tetapi, terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta atas potret. Artinya, orang yang mengambil potret harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari yang difoto sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUHC. Sanksinya adalah pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000. Perbuatan ini tidak bisa dikenakan ancaman pidana dalam UU ITE oleh karena perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan jalan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ini karena foto yang telah dicetak tersebut tidak lagi dalam bentuk informasi dan/atau dokumen elektronik. Kalau foto tersebut tidak berbentuk informasi elektronik, maka pelakunya diancam Pasal 310 ayat (2) jo. ayat (1) KUHP ttg perbuatan menista dengan gambar. Jadi, pada dasarnya memfoto orang lain secara diam-diam itu tidak dipidana. Tapi, jika foto tersebut disebarluaskan tanpa seizin pihak yang difoto, maka pelakunya bisa dipidana sesuai UUHC. Jika memuat unsur pencemaran nama baik dan fotonya masih dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, pelakunya diancam pidana sesuai UU ITE. Jika memuat unsur pencemaran nama baik dan fotonya berbentuk gambar yang dicetak lalu disebarluaskan, pelakunya diancam dengan KUHP. Mengenai pembuktian, pada dasarnya sesuatu yg menyatakan kebenaran suatu peristiwa bisa dijadikan bukti. Namun, ditinjau dari UU ITE, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Selengkapnya baca di sini ya: Beberapa dari kaka-kaka mungkin suka mengunggah foto-foto ke grup BBM. Misalnya kita mengunggah foto kejadian unik di sekitar kita atau mungkin kejadian-kejadian yang terkait dengan salah satu anggota grup. Sebenarnya ada konsekuensi hukum ga sih dari perbuatan mengunggah foto ke grup BBM?
Menurut Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Apakah Blackberry Messenger (BBM) Termasuk Media Sosial?, pengiriman satu konten dari satu anggota kepada grup BBM dapat diterima oleh anggota-anggota lain dari grup tersebut. Dengan kata lain, teknologi aplikasi media sosial, termasuk aplikasi BBM tersebut, dapat menciptakan ruang publik virtual. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum. Oleh karena itu, sama seperti menggunakan media sosial lainnya, pengguna harus memiliki kehati-hatian dalam melakukan pengiriman. Foto yang diunggah ke grup BBM dapat menimbulkan konsekuensi hukum, jika foto tersebut memuat konten atau isi yang bertentangan dengan UU ITE atau melanggar UUHC (sehubungan dengan penyebaran foto seseorang). Oleh karena itu, hati-hati kalau share foto di grup BBM. Jika muatannya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, bisa kena hukum lho.
Risiko hukum mengumbar foto mesra dengan istri orang lain Quote: Ok, kali ini kita gak lagi bahas tentang aspek hukum bila bermesraan dgn istri orang lain. Yang kita omongin kali ini terbatas pada bagaimana risiko hukumnya jika seorang laki2 menyebarluaskan foto mesranya bersama istri orang lain. Apalagi bila motif penyebarluasan foto adalah krn sakit hati dan pengen ngejatuhin sang perempuan. Ada dua kemungkinan risiko hukum dalam kasus penyebaran poto ini. Yg pertama, bila penyebaran foto dilakukan lewat media elektronik seperti email, facebook, twitter atau bahkan di kaskus. Hehe.. Sang penyebar foto bisa diancam pidana. Yaitu penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Demikian diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) serta Pasal 43 UU ITE Pasal 27 ayat (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal 27 ayat (3) “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Beda hal klo penyebaran foto itu dilakukan lewat media cetak seperti pamflet, poster, dll. Ancaman hukumannya lebih ‘ringan’. Yaitu penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal Rp4,5 juta. Hal ini diatur dalam Pasal 310 (2) KUHP
Pasal 310 ayat (2) KUHP Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Telanjang Di Social Media Quote: Dunia social media memang wadah menunjukkan eksistensi yang digandrungi masyarakat dari berbagai lapisan. Menariknya cara untuk eksis di socmed ini kadang-kadang ekstrim. Salah satunya adalah dengan memposting foto-foto telanjang. Nah hukumpedias mungkin bertanya-tanya apakah cara yang kayak gituh ngelanggar hukum atau sah-sah aja? Pertama-tama, yang perlu kaka-kaka ketahui ialah masalah Pornografi sudah diatur secara tegas oleh UU Pornografi yang sudah secara tegas Pasal 4 ayat (1)-nya menyatakan: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. Jadi berdasarkan pasal di atas, dilarang menyebarkan foto-foto telanjang di social media. Bila masih nekad melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) di atas, hukumpedias dapat dijerat sanksi
pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun, dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250 Juta dan paling banyak Rp. 6 miliar. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU Pornografi. Masih juga relevan dengan masalah foto-foto telanjang, Pasal 8 UU Pornografi menyatakan bahwa Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pelanggaran terhadap pasal 8 ini diancam sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5 miliar. Nah tuh, jadi bukan hanya fotografernya maupun penyebar foto-foto telanjang di social media saja yang terancam sanksi pidana, orang yang menjadi model foto-foto telanjangnya pun dapat dikenai sanksi. Selain diatur oleh UU Pornografi, menyebarkan foto-foto telanjang di social media juga merupakan pelanggaran terhadap pasal 27 ayat 1 UU ITE yang mengatur sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Pelanggaran pasal di atas ada ancaman sanksi pidananya di Pasal 45 ayat (1) UU ITE berupa penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Bagaimana sesungguhnya kaidah menyebarkan foto-foto demikian menurut Islam? Berikut ini penjelasan dari situs resmi Nahdlatul Ulama. Tak diragukan, Islam sangat menganjurkan tiap orang untuk berempati kepada sesama, termasuk menjenguk saat datang musibah sakit ataupun kematian. Anjuran ini tersebar dalam banyak teks hadits. Orang yang dijenguk pun bisa siapa saja, mulai dari keluarga, tetangga, ulama, hingga orang-orang yang membenci kita. Menjenguk orang sakit adalah bagian dari ibadah yang utama. Saking pentingnya ibadah ini, dalam sebuah hadits riwayat Imam ath-Thabrani dijelaskan bahwa di antara kewajiban terhadap tetangga adalah menjenguknya kala sakit dan mengiringi jenazahnya saat meninggal dunia. Penjenguk orang yang tertimpa musibah memiliki nilai lebih karena memang ia bukan sekadar penonton. Ada aspek solidaritas dalam aktivitas tersebut. Kehadirannya dibutuhkan sebab orangorang yang sakit memerlukan ketenangan jiwa, motivasi, semangat, dan juga doa. Peran para penjenguk adalah memberikan itu semua. Lebih berfaedah lagi bila ada uluran tangan dalam bentuk lain, seperti biaya pengobatan atau sejenisnya. Lantas, apakah tingkah sebagian penjenguk yang mengambil gambar orang sakit dan memublikasikannya ke media sosial seperti jamak dilakukan belakangan ini memenuhi etika tersebut? Foto-foto yang diumbar umumnya melukiskan kondisi pasien yang sedang tergolek
lemah di atas ranjang, kadang bertelanjang dada, dan lengkap dengan cairan infus dan tancapan selang di rongga hidung dan mulut. Seberapa penting mengekspos gambar-gambar seperti ini? Islam sangat menghormati privasi seseorang. Islam memuliakan manusia dan menjamin terlindunginya hak yang menyangkut kehormatan pribadinya. Termasuk jika privasi tersebut menyangkut dosa personal atau aib lainnya. Sebuah hadits mengingatkan:
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Jangan Asal Sebar Foto Orang Sakit atau Jenazah di Media Sosial, Ini Pandangan Islam, http://surabaya.tribunnews.com/2016/08/30/jangan-asal-sebar-foto-orang-sakit-atau-jenazah-dimedia-sosial-ini-pandangan-islam. Editor: Yuli “Barangsiapa menutup (aib/cacat) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim) Orang-orang yang sakit bisa jadi sangat tidak menginginkan gambar tentang keadaan dirinya yang ringkih, nelangsa, dan tak berdaya, tersebar bebas di media sosial semacam Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, BBM, atau lainnya. Walaupun, ia tahu ungkapan simpati dan doa pasti bakal membludak—bukan langsung kepada dirinya yang sedang sakit melainkan kepada akun si penyebar gambar. Tubuh adalah bagian dari citra kehormatan seseorang. Jika dalam kondisi normal sehari-hari saja seseorang berusaha berpenampilan bagus di hadapan orang lain, bagaimana mungkin dalam situasi “buruk” seperti itu rela ditonton banyak orang? Para penjenguk barangkali bermaksud baik dengan mempublikasikan foto orang sakit. Bukan pamer kesalehan sosial, tapi sedang menggalang solidaritas dan doa dari lebih banyak orang lain. Atau mungkin sebatas menyampaikan informasi ke masyarakat bahwa si A tengah sakit. Namun, apakah penyebaran foto-foto itu sudah memperoleh izin dari yang bersangkutan? Tidak adakah cara yang lebih santun dan elegan dalam menggalang simpati selain dengan mengumbar foto-foto penderitaan dan ketidakberdayaan pasien? Di sinilah perlunya dimengerti bahwa prinsip menjenguk orang sakit adalah meringankan beban penderitaan, atau minimal tak menambah ketidaknyamanannya. Niat baik memang penting, namun cara dan adab dalam mengejawantahkan niat tersebut juga tak kalah penting. Karena menyangkut privasi seseorang, maka yang harus ditekankan adalah restu atau izin dari si pemilik privasi. Karena menyangkut pula ranah publik, konten yang ditampilkannya pun seyogianya tak melanggar kepantasan di mata umum (‘urf). Garis etis ini tak hanya berlaku untuk foto penderita
sakit, tapi juga gambar jenazah, korban kecelakaan, atau sejenisnya. Wallâhu a‘lam. nu.or.id/mahbib
Eksistensi boleh saja, tetapi jangan sampai kebablasan. Seperti yang ramai di media sosial barubaru ini. Seorang tenaga medis perempuan dan rekan-rekannya, melakukan selfie di tengah proses operasi pasien. Terang saja, foto yang diunggah tenaga medis perempuan itu di path langsung menuai kecaman. Hingga Selasa (15/12/2015), foto itu menyebar, kritik datang ke para tenaga medis ini. Semestinya mereka tak melakukan perbuatan selfie itu. Dari foto yang dilihat di path, ada sekitar lima orang yang terdiri atas pria dan wanita yang tengah melakukan operasi. Hanya seorang saja yang terlihat serius melakukan operasi melihat ke pasien, sedang empat yang lain menatap kamera yang dipegang seorang tenaga medis perempuan. Tak diketahui siapa identitas mereka, hanya saja disebutkan di keterangan mereka adalah tenaga medis di Provinsi Bangka Belitung. Tidak jelas juga apakah mereka dokter atau perawat yang ikut operasi. Namun pastinya, perbuatan mereka selfie saat proses operasi tidak diperbolehkan. Bahkan Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prijo Sidipratomo mengecam perbuatan itu. "Nggak boleh, ada beberapa yang kita tegur," terang Prijo di Jakarta. "Kalau main begitu nggak konsen dan ada pasien yang disebarluaskan nggak boleh. Kalau memang karena ketidaktahuannya teguran, tapi kalau ugal-ugalan kena skorsing," tegas dia.