Kajian Dokter Layanan Primer Belakangan ini kita sering mendengar istilah dokter layanan primer (DLP). Apalagi dengan berlakunya JKN pada tanggal 1 Januari 2014, peran dokter layanan primer akan semakin dibutuhkan. Dokter layanan primer ditekankan agar tidak hanya bergerak di bidang curative, tapi juga bergerak di bidang preventive, sehingga mendukung terciptanya paradigma sehat di Indonesia. Kita sebagai mahasiswa kedokteran yang nantinya akan berkecimpung di dunia medis tentunya harus mengikuti perkembangan-perkembangan di dunia medis baik dari segi keilmuan maupun kebijakan pemerintah. Pengertian Dokter layanan primer tercantum dalam UU No. 20 tahun 2013 mengenai Pendidikan Dokter. Pada pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013 disebutkan bahwa dokter layanan primer adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program internship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis.1 Gelar yang akan diberikan kepada dokter yang telah lulus program pendidikan dokter layanan primer adalah SpFM (spesialis Famili Medisin).2 DLP nantinya diharapkan dapat bertindak sebagai gate keeper yang akan menangani sebagian besar kasus di masyarakat sendiri hingga tuntas. DLP diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bersifat holistik, preventif dan promotif dibandingkan kuratif. 1 Di lain pihak, DLP juga harus berorientasi pada kedokteran keluarga, okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan.2 Respon dari dunia pendidikan terhadap berlakunya JKN adalah dengan membuka program pendidikan DLP. Salah satu syarat dari pembukaan prodi ini adalah universitas yang bersangkutan dapat mempertahankan atau memiliki akreditasi A sesuai dengan pasal 8 ayat 1 UU No. 20 tahun 2013. Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi hanya ada 16 program studi pendidikan dokter yang terakreditasi A di Indonesia. FK Unud juga akan membuka program pendidikan DLP pada tahun 2016 jika dapat mempertahankan akreditasi A. 4 Program pendidikan layanan primer dapat ditempuh selama tiga tahun sehingga kedepannya mahasiswa kedokteran dapat memilih five carrier pathways yaitu sebagai dokter umum, dokter layanan primer, dokter spesialis, dosen, maupun peneliti. Pada tahun 2019, Indonesia diharapkan sudah dapat mencetak dokter layanan primer bersamaan dengan target BPJS yaitu pada tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia telah mengikuti JKN. Bunyi pasal 8 ayat 3 UU No. 20 tahun 2013 yaitu, “Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis” berarti program pendidikan dokter layanan primer dapat ditempuh oleh mahasiswa yang telah lulus uji kompetensi (exit exam) dan menjalani internship serta merupakan jenjang pendidikan yang setara spesialis. Program pendidikan dokter layanan primer bersifat generalis bukan spesialis dikarenakan ranah kompetensi DLP tidak menyangkut satu sistem organ atau keahlian saja, sebagaimana yang telah didiskusikan pada Diskusi Publik UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter di FKUI.2
Adapun perbedaan DLP dengan dokter umum adalah DLP memiliki kompetensi yang lebih dibandingkan dokter umum karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan berupa 80% kompetensi sebagai dokter keluarga dan 20% kesehatan masyarakat. Kompetensi yang akan dimiliki oleh DLP adalah konsep kedokteran keluarga (konsep dan wawasan, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, pengaruh keluarga, komunitas dan lingkungan, tugas dan fungsi dokter keluarga dalam pelayanan primer), manajemen klinik dokter keluarga (manajemen SDM, fasilitas, informasi, dan dana), keterampilan klinik (klinis non bedah, mengatasi keadaan klinis umum, masalah klinis khusus, menggunakan sarana penunjang dan medis teknis bedah) dan keluasan penerapan ilmu dan wawasannya (masalah kesehatan kelompok usia dan masalah kesehatan kelompok khusus). Sedangkan dokter umum hanya memiliki konsep dan wawasan kedokteran keluarga, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, keterampilan klinis non-bedah, mengatasi masalah klinis khusus, dan medis teknis bedah.2 Menurut Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo, Dr. dr. Czeresna. H. Soedjono, Sp.PD-KGer, yang membedakan dokter spesialis, dokter umum dan dokter layanan primer adalah kompetensi, area dan pekerjaannya. “Dibanding dokter umum biasa, dokter layanan primer memiliki 10 atau 11 item yang akan membedakan bukan hanya jenis area kompetensinya saja tapi bagaimana pendekatan kepada pasien dalam masalah kesehatan. Misalnya, dokter yang mengobati batuk pilek di layanan primer. Dia harus periksa dan menetapkan obat ini. Mungkin dokter umum akan langsung memberikan obat tapi dokter layanan primer tidak begitu,” kata Czeresna saat ditemui dalam acara Dies Natalis Universitas Indonesia ke 64 di UI Salemba, Jakarta, Rabu (5/3/2014). Czeresna menerangkan, dokter layanan primer tidak akan memberikan obat langsung karena dia akan mencari tahu lebih dalam lagi mengenai sebab pasien batuk pilek. Seperti faktor-faktor apa yang menyebabkan pasien batuk pilek. Apakah virusnya dari diri sendiri, keluarga, lingkungan atau sekitar rumahnya ada yang mengalami batuk pilek. Kemudian apakah batuk pilek ang dialami hanya sekali atau berulang dan tidak pernah terpikirkan oleh dokter sebelumnya. “Dokter layanan primer akan melakukan penelusuran lebih dalam dan approachlebih baik lagi sehingga pengobatan juga secara komprehensi akan lebih baik lagi,” ujarnya. Untuk pendidikan dokter layanan primer, Czeresna melanjutkan, perlu waktu 2-3 tahun untuk setiap angkatannya dengan bobot 50-90 SKS. Dan saat ini, proses pendidikan ini masih dalam tahap penyusunan standar kompetensi dan membutuhkan waktu sekitar 5 tahun. Artinya, dokter layanan primer baru ada pada 2019. “Nanti proses pendidikan akan mengacu pada RSCM karena idealnya mereka (dokter layanan primer) akan bekerja di pelayanan primer dan bukan berarti tidak perlu mengenal RS. Mereka perlu mengenal proses di RS agar mereka tahu betul apa yang terjadi di RS. Ketika mereka mengetahui bagaimana komunikasinya, barulah diterjunkan ke komunitas,” ujarnya.4 Perbedaan lainnya adalah BPJS hanya akan menandatangani kontrak dengan DLP bukan dokter umum. DLP nantinya akan menangani 2.500 orang (maksimal 3.000 orang) yang kapitasi nya ditentukan oleh BPJS. Untuk sekarang, BPJS mematok harga Rp19.500/orang untuk pelayanan oleh DLP.2 Akan tetapi, besarnya iuran ini dapat berubah. Menurut rapat Komisi I tentang DLP
Muktamar AIPKI VII, hanya akan diberikan iuran sebesar Rp2.600 dan telah menjadi keputusan menteri keuangan.2 Dalam hal ini DLP diharapkan dapat meningkatkan kesehatan masyarkat karena semakin sedikit masyarakat yang berobat maka semakin besar gaji seorang DLP. Tetapi DLP juga diberikan kewenangan untuk membuka praktik umum sendiri, tidak harus bekerja di puskemas atau rumah sakit pemerintah. Lalu bagaimana dengan dokter umum yang telah lama menempuh karirnya? Program studi DLP hanya dapat diambil oleh dokter yang baru lima tahun menyandang gelar dokternya alias baru lulus. Sedangkan untuk dokter umum yang telah lama lulus, mereka hanya tinggal mengisi borang yang disediakan oleh BPJS, dan jika borang tersebut dipertimbangkan oleh BPJS maka dokter umum tersebut dapat dianggap setara dengan DLP. Selain itu, kini beberapa puskesmas di Indonesia juga telah membuka program percepatan DLP yang terdiri dari 11 sampai dengan 12 modul yang disponsori oleh Kemenkes khusus untuk 9.000 dokter di Indonesia. Diharapkan dalam dua tahun ke depan, dokter-dokter ini memiliki kompetensi yang setara dengan DLP. Untuk saat ini, BPJS hanya bekerja sama dengan puskesmas dan dokter umum yang dianggap memliki kompetensi yang memadai. Problematika yang dihadapi oleh DLP adalah besarnya kapitasi dan iuran yang belum secara jelas diuraikan dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut. Besarnya anggaran kesehatan yang ideal adalah 5% dari APBN tetapi kenyataannya di Indonesia anggaran kesehatan masih di bawah 5%. Anggaran kesehatan tahun 2015 sebesar 74,2 triliun rupiah5 dan pendapatan negara tahun 2015 sebesar 1.793,6 triliun rupiah.6 Padahal sesungguhnya besarnya iuran yang dikenakan akan berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jika besarnya insentif (iuran) tidak sepadan dengan kebutuhan biaya kesehatan maka dapat memicu underutilisasi pada DLP atau peningkatan rujukan dari dokter yang takut merugi. Solusi dari problematika ini adalah ketegasan pemerintah dalam komitmennya membangun masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Yang dapat dituangkan dalam UU mengenai kejelasan DLP, program kapitasi dan anggaran dana kesehatan. Selain itu, di sisi lain diperlukan pula sosialisasi mengenai DLP dan perubahan mindset mahasiswa yang menganggap menjad dokter spesialis akan lebih menguntungkan. Paradigma di kalangan masyarakat juga perlu diubah yang awalnya hanya kuratif menjadi preventif. Dari hasil wawancara beberapa mahasiswa di FK Unud, yaitu Wirga Wirgunatha dari angkatan 2012 dan kini menjabat sebagai ketua BEM FK Unud, Wahyu Mahasurya dari angkatan 2013 yang kini menjabat sebagai ketua HMKU, dan Lady Adelaida dari angkatan 2014, mereka menyatakan persetujuan tentang keberadaan DLP, akan tetapi masih banyak kesimpangsiuran mengenai tugas dan wewenang DLP dan dokter umum. Ketika ditanya mengenai pendapat mereka tentang DLP, Wahyu memberikan pendapat bahwa jika ditinjau dari urgensinya mungkin DLP cukup penting, namun dari segi mindset masyarakat belum siap karena masyarakat masih banyak yang langsung berobat ke dokter spesialis. Hal yang sama juga diutarakan oleh Lady yaitu Indonesia membutuhkan sebuah revolusi mental, pelatihan, dan pembekalan untuk para dokter. Menurut Wirga, DLP memiliki kelebihan yaitu menyediakan langkah preventif di mana dokter dituntut
untuk dapat menjaga kesehatan masyarakat sehingga nantinya angka kesakitan dimasyarakat dapat menurun dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Sementara itu kekurangan DLP adalah kurangnya sosialisasi dan publikasi oleh pemerintah, mirip seperti yang diungkapkan oleh Lady. Ketika ditanya tentang setuju atau tidaknya mengenai JKN dan DLP, dr. Sutarsa menjawab bahwa program JKN dan DLP ini cukup baik. Selain JKN dapat memberikan surplus bagi pendapatan negara, DLP juga nantinya tidak hanya mengobati masyarakat yang sakit tetapi juga diharuskan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Jika program ini dapat berjalan dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Tetapi menurut dr. Sutarsa, Indonesia belum siap untuk menerapkan program ini karena dari segi infrasturuktur dan geografis Indonesia tidak memadai. Banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki pelayanan kesehatan yang memadai bahkan banyak yang belum tersentuh oleh listrik. Selain itu, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan program JAMKESDA (Jaminan Kesehatan Daerah). Untuk kedepannya, JAMKESDA diharapkan dapat melebur bersama JKN pada tahun 2019. /