Jika Anakku Jadi Pejabat Tinggi

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jika Anakku Jadi Pejabat Tinggi as PDF for free.

More details

  • Words: 736
  • Pages: 2
Jika Anakku Jadi Pejabat Tinggi Ada tiga jenis pembawa kemacetan di jalan raya Indonesia: membengkaknya jumlah kendaraan, rendahnya kedisiplinan pengendara dan pejabat tinggi yang kebetulan sedang lewat dengan mobil dinasnya. Belum lama berselang, kemacetan jenis ketiga ini hampir saja membuat anak-anak saya telat bersekolah. Dan saya berjanji, jika anak-anak saya besok menjadi pejabat tinggi, dia tak boleh memacetkan jalan seperti itu, jika hanya dasarnya cuma karena ia pejabat tinggi, hingga maunya lancar melulu. Memperlancar diri sendiri sambil memacetkan orang lain yang jauh lebih membutuhkan, pastilah tindakan yang tega. Dibanding pejabat tinggi tadi, anak saya pasti jauh lebih berhak merasa buru-buru. Pertama karena ia masih kecil-kecil, si sulung baru kelas 3 SD dan adiknya baru kelas TK Kecil. Mereka adalah anak-anak yang patuh kepada guru-gurunya. Kalau sampai terlambat mereka suka menangis karena takut pada hukuman sekolahnya. Berbaris sendiri, mengucapkan ikrar tidak terlambat di depan pintu masuk, adalah kengerian bagi mereka. Anak-anak ini sudah belajar memiliki rasa malu, sebuah rasa yang mulai dilupakan bahkan olah para orang tua mereka. Jadi, posisi anak saya ini benar-benar berada di pihak yang lemah karena ia adalah pihak yang takut. Pihak yang melulu kena marah dan hukuman. Sedang pejabat tinggi tadi, pastilah pihak yang ditakuti dan lebih banyak punya hak menghukum katimbang dihukum. Jadi mestinya ia tak perlu buru-buru karena tak ada lagi bawahan yang akan menegur dan memarahi. Satu-satunya atasan langsungnya adalah presiden. Kalaupun ia dipanggil presiden, bisalah beralasan ia telambat bukan karena bangun kesiangan, melainkan karena tertahan di jalan demi menunggu anak-anak sekolah lewat agar mereka tidak terlambat ke sekolah. Atau sang pejabat ini bisalah menyarankan, kalau mengadakan panggilan, janganlah bertepatan dengan jam-jam anak sekolah. Maklum, jalan rasa sedang begitu padatnya. Anak-anak sedang begitu ingin sampai ke sekolahnya. Kalau mereka dimacetkan, mereka pasti akan takut dan gelisah. Dan jika para petinggi itu tidak mau sabar sejenak, tidak mau mendahulukan anak-anak sekolah itu lewat duluan, berarti para petinggi itu sungguh tidak mendukung jalannya dunia pendidikan. Jadi, jika alasannya demi mendahulukan kepentingan rakyat dan anak-anak sekolah, presiden pasti akan memahami dan malah bisa jadi akan menambah kenaikan pangkatnya. Karena tak ada presiden yang tidak mencintai rakyatnya, lebih-lebih anak sekolah, lebih-lebih lagi jika ia masih kecil-kecil seperti anak saya. Jadi sungguh tidak ada alasan bagi sang pejabat tinggi untuk buru-buru. Indonesia tidak dalam keadaan darurat. Karena sang pejabat itu, disebabkan kelancarannya, pasti tidak sempat merasakan betapa runyam akibat yang ditimbulkan oleh kelancarannya itu. Bayangkan sebuah lingkaran yang dikepung banyai titik lampu merah, tapi hanya satu titik saja yang dibiarkan melaju, sementara yang lain ditahan. Penahanan ini sudah tidak tergantung lagi pada merah dan hjuanya lampu, tapi lebih pada aba-aba seorang polisi. Rakyat sedang macet ini tidak tahu apa yang terjadi. Sepengetahuan mereka kenapa kemacetan ini berlama-lama sementara satu jalur itu dibiarkan terus melaju. Hampir saja para pengendara yang diberhentikan ini kehilangan kesabaran. Mereka hampir saja membobol aba-aba polisi dan telah gaduh meneriakkan klakson bersama. Situasi memang berangsur memanas. Jalanan ini tidak cuma sedang berisi orang-orang yang takut terlambat ke kantor, tapi juga para orang tua yang cemas akan jam sekolah anak mereka. Golongan terkahir ini yang jauh lebih berbahaya.

Polisi yang di depan itu pun tampak demikian rupa mempertahankan aba-abanya,. Tapi tampak betul ia mulai tak percaya diri. Betapapun, ia mengerti, antrean ini pasti sedang merasa disakiti. Dan betapapun polisi berpangkat rendah itu pun bagian dari kami juga, yang mulai merasa tak enak hati, dan bisa jadi mulai jengah di dalam hati, tentang kemewahan para petinggi. Tapi untunglah, ketika terdengar bunyi sirine, antrean ini agak meredakan kemarahannya. Saya pikir, bukan karena takut pada iring-iringan yang menjengkelkan hati mereka itu. Karena ketakutan ini bertentangan dengan watak budaya massa, yang jika sudah marah gampang tidak peduli. Kemarahan mereka mereda, agaknya justru dipicu oleh rasa iba pada polisi berpangkat rendah dan telah bekerja keras ini. Pertama, polisi itu sudah sangat tampak bersalah. Kedua, jika antrean ini kacau dan pejabat tinggi itu tejebak dalam kemacetan, sungguh nasib seperti apa gerangan yang akan ia diterima. Kepada sesama pihak yang susah begini, rakyat di Indonesia sungguh gampang luluh hatinya. Kami semua membiarkan iring-iringan yang mewah dan lancar itu melaju dan kami menahan diri. Kepada anak-anak yang mulai pucat karena kegaduhan klakson di sekitarnya saya berkata: ''Bapak polisi yang di depan itu hebat sekali. Jika kamu besok jadi pejabat tinggi dan naik mobil iring-iringan seperti yang lewat tadi, jangan bikin repot dia. Kasihan. Sudah rendah pangkatnya, kecil gajinya, berat tugasnya, kerap dibikin repot pula!'' Anak-anak saya melotot, tak mengerti. (PrieGS/)

Related Documents


More Documents from "lp3y.org"

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43