ANAKKU SAYANG, ANAKKU MALANG Masa anak-anak ( 2 hingga 18 tahun ) merupakan masa pesatnya belajar. Pada masa ini anak mempelajari semua yang dilihat, didengar, maupun yang dialaminya sendiri. Dalam hal ini lingkungan merupakan media utama pembelajaran anak yang dengan sengaja maupun tidak sengaja sangat mempengaruhi proses belajarnya, terutama terhadap perkembangan kepribadian anak. Bila lingkungan baik, mendukung proses belajar, maka anak pun akan mendapatkan pelajaran yang baik, yang akan menjadi bekal positif dalam kehidupannya kelak. Sebaliknya, lingkungan yang kurang baik (negatif) akan selalu membekas dalam diri anak, terbawa anak sampai dia dewasa. Oleh karena itu, memperhatikan lingkungan kehidupan anak mutlak diperlukan orang tua, jika tidak ingin anaknya menjadi korban lingkungan. Sekolah memang memiliki fungsi mendidik anak untuk mencapai kecerdasan intelektual juga kecerdasan spiritual dan emosional (kepribadian ) anak. Tetapi sekolah bukan satu-satunya penentu keberhasilan dalam pencapaian tiga kecerdasan itu, lebihlebih yang bertkaitan dengan perkembangan jiwa anak. Hal ini disebabkan sebagian kecil saja waktu anak dihabiskan di sekolah, sedang sebagian besar lainnya waktu anak adalah di luar sekolah, di rumah (lingkungan luar). Ketika anak berada di lingkungan luar sekolah/ rumah, maka banyak sekali pengaruh negatif yang secara langsung maupun tidak langsung diterima oleh anak sebagai pelajaran. Jika orang tua (ibu) berada di rumah mungkin hal ini masih bisa diproteksi, tetapi bagaimana jika kedua orang tua bekerja sampai sore/ malam, anak tinggal sendiri di rumah bersama pembantu? Alangkah sayangnya bila orang tua bekerja membanting tulang demi anak, di sisi lain mengabaikan perkembangan jiwa/ kepribadian anak. Pengaruh kemajuan teknologi memang tidak dapat kita hindari. Sedikit banyak dampak media elektonik seperti tayangan di televisi, internet, serta media komunikasi seperti HP punya andil membentuk perilaku dan kepribadian anak-anak kita. Bahkan secara sengaja, kejahatan terhadap anak dengan media elektronik dilakukan. Seperti munculnya kasus poronografi yang disisipkan di tengah-tengah film “Power Renger” yang digemari anak-anak, atau disisipkan pada permaianan video games anak-anak. Belum lagi maraknya sinetron televisi yang nota bene jauh dari misi mendidik. Bagaimana bisa anak-anak belajar bersikap santun, jika tayangan yang mereka lihat selalu mempertontonkan anak yang selalu bertentangan dengan orang tuanya, membentak orang tua, berebut pacar dengan teman, bertengkar dengan teman atau berbuat curang/ licik untuk mencapai keinginannya. Demikian juga bagamaimana bisa kita berharap anak memiliki jiwa spiritual yang tinggi, tidak mudah putus asa, bila setiap hari mereka disuguhi tontonan-tontonan yang tidak logis, mistis, atau tinggal “bim salabim”, menunggu pertolongan peri? Belum lagi adanya berbagai bentuk iklan yang menyuguhkan gaya hidup metropolis yang konsumentaristik. Ya, banyak dan sering sebenarnya secara sengaja maupun tidak kita mengundang “guru” yang bernama televisi ini untuk andil mendidik anak-anak kita. Walau demikian, tidaklah bijaksana bila kita selalu mengambinghitamkan kemajuan teknologi sebagai penyebab merosotnya nilai-nilai moral, kepribadian pada anak-anak yang kita sayangi dan yang kita harap-harapkan itu. Segala bentuk dan jenis “virus” yang ditularkan oleh kemajuan teknologi tersebut tidak akan mampu menyerang daya ketahanan moral / kepribadian anak-anak kita, jika lembaga yang bernama keluarga menjalankan fungsinya dengan baik. Anak merupakan bagian dari anggota keluarga. Secara alami kedua orang tua (ayah ibu) menyayangi anggota keluarga ini ( anak). Sebagai bentuk kasih sayang, orang tua harus memenuhi segala kebutuhan anak. Mulai dari kebutuhan materi maupun kebutuhan emosional (kasih sayang, perhatian, perlindungan), pendidikan terhadap anak. Kebutuhan anak mau tidak mau harus kita penuhi tidak sekedar secara kuantitatif, tetapi yang lebih penting adalah secara kualitatif. Boleh saja kedua orang tua sibuk bekerja , sebagai bentuk tuntutan ekonomi yang mengharuskan ayah ibu mencari nafkah. Tetapi, perhatian pada kepribadian, pendidikan moral, akhlak anak harus tetap berjalan. Setiap hari orang tua harus memiliki kesempatan berkomunikasi dengan anak, walau hanya sebentar. Boleh jadi orang tua (ibu) yang selalu di rumah, jarang berkomunikasi dengan
anak, sehingga kehadiran orang tua menjadi tidak berarti atau kurang berfungsi. Untuk itulah sebagaimana disebutkan di atas, tidak bisa jika tanggung jawab pendidikan anakanak tersebut diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Fungsi keluarga (orang tua) harus berperan secara aktif. Artinya, jalinan komunikasi antara anak dan orang tua harus berfungsi dengan baik secara kualitatif. Sehingga, anak akan merasa segala permasalahan, keluh kesah yang mereka alami dapat terselesaikan di dalam keluarga, bukan di luar rumah. Misalnya, ketika anak sedang mengalami masalah identifikasi jati diri, anak akan gelisah mencari figur-figur yang cocok untuk dirinya. Bila anak tidak mendapat arahan atau tidak menemukan figur yang sesuai dalam keluarga (orang tuanya), maka mereka akan mencarinya pada tokoh-tokoh yang mereka tonton di televisi. Demikian juga ketika anak butuh perlindungan dalam keluarga, tetapi bila yang mereka dapatkan hanya percecokan kedua orang tua, atau kondisi orang tua yang sibuk dengan urusannya sendiri, maka anak tidak akan merasa nyaman berada di lingkungan keluarganya dan dia akan mencari perlindungan di luar keluarga. Teman, geng misalnya, merupakan solusi yang tepat menurut anak untuk mendapatkan perlindungan. Bila teman atau geng yang mereka dekati membawa pengaruh negatif maka ini akan membawa permasalahan baru tidak hanya bagi anak tetapi juga bagi orang tua. Demikianlah perhatian orang tua memang sangat diperlukan bagi anak. Tetapi, ada pula orang tua yang salah dalam memberikan perhatian terhadap anaknya. Perhatian yang diwujudkan dengan sikap overprotektif juga akan membawa dampak kepribadian anak yang negative. Demikian juga kasih sayang yang diwujudkan orang tua dengan pemenuhan kebutuhan materi secara berlebih justru membawa risiko bagi anak. Pemberian fasilitas yang melebihi kebutuhan anak cenderung akan disalahgunakan oleh anak untuk hal-hal yang negatif. Nah jika demikian sayang bukan? Masa depan anak berada di tangan kita. Anak bagai sebuah komputer canggih dengan kemampuan dan kapasitas yang luar biasa. Tetapi bila program yang kita instalkan tidak sesuai dengan kebutuhannya, maka komputer itu tidak berfungsi secara efektif. Jika banyak virus yang masuk dalam komputer itu maka program yang kita instalkan juga akan eror. Demikianlah anak kita, bergantung bagaimana kita memprogram (mendidik), bagaimana kita memberikan antivirus (menyelamatkan dari pengaruh luar yang negatif). Jangan sampai anak-anak yang kita sayangi ini menjadi malang karena kesalahan kita sebagai orang tua atau pendidiknya.