Jika Ada Rambut di Makananmu Bagi rata-rata keluarga Indonesia, rambut masih memegang peran penting termasuk dalam membuat pertengkaran. Terutama jika rambut ini, betapapun bersih dan berkilaunya, betapapun jika dalam adegan percintaan dibelai dan dipuja, ia akan berubah menjadi barang menjijikkan ketika sudah nyelonong ke dalam makanan. Banyak ragam kotoran bisa nyelonong ke dalam makanan, mulai dari lalat, lebah, kaki serangga sampai ke anak kecoa, tapi rambut masih memegang popularitas tertinggi. Riset pertama saya lakukan di rumah. Responden pertama adalah istri, menyusul anak dan keponakan. Minimal sekali dalam hidup, mereka pernah menemukan rambut pada makanannya. Di setiap obrolan, ketika saya bercerita tentang makanan berambut, langsung beredar cerita serupa dari anggota obrolan. Di sebuah acara Prie GS Morning Show Radio Prambors Semarang belum lama ini, ketika ''kotoran dalam makanan'' saya jadikan tema, semua penelpon menceritakan temuan kotoran dalam makanannya dengan rambut masih sebagai juara. Hampir bisa pasti rambut adalah kotoran paling populer dalam makanan Indonesia. Lebih pasti lagi, minimal sekali dalam umur manusia, seseorang pasti pernah menemukan kotoran dalam makanan mereka. Soal terakhir inilah sebetulnya yang menyita perhatian saya. Kenapa? Karena makanan bermasalah itu bisa kita temui kapan saja, di mana saja. Ia bisa makanan dari warung tenda, kedai kakilima, restoran mahal, gerai fast food, sampai dapur keluarga. Pertanyaannya ialah, bagaimana jika suatu kali kita harus menghadapi ujian ini. Karena apapun reaksi kita, ia menyimpan dilema yang tidak sederhana. Bukti berikut ini adalah contohnya. Di waktu lampau, saya pernah makan di sebuah warung, tepat ketika warung laris ini tertimpa huru-hara. Salah seorang pembelinya, mengaku mendapati anak cicak di dalam makanannya. Wajar, jika pembeli ini bangkit dengan kemarahan luar biasa. Instink kemarahan si pembeli dan reaksi alamiah sang pedagang membuat insiden ini tak lagi mungkin disembunyikan. Seluruh pembeli warung laris ini langsung dicekam ketegangan. Si pedagang dengan segenap pekerjanya hanya bisa pucat dan kehilangan kata-kata. Situasi makan siang itu pun rusak sempurna. Anak cicak itu dari manapun ia datang, telah membuat seluruh makanan di warung ini menjadi barang haram seketika. Tidak terjadi keributan lanjutan, selain bahwa para pembeli tetap tertib membayar dengan sebagian besar meninggalkan sisa makan siangnya. Sebagai sesama ''pemakan siang'' bayangan anak cicak itu bukan tidak merusak selera. Tapi hingga kini, wajah pemilik warung itulah yang lebih memenuhi kepala. Wajah manusia yang takut, kalah dan terluka. Sejak saat itu, warung ini terkenal dengan sebutan warung cicak. Tidak sampai bangkrut, tapi ia kemudian menjadi warung yang terbata-bata. Aduh sejak saat itu, saya menjadi sangat platonis. Bayangan wajah orang yang kalah dan tak berdaya itu, terus saja muncul jika saya melihat kotoran dalam makanan saya. Akhirnya saya nekat membuat janji pada diri sendiri, jika suatu saat harus ada kotoran dalam makanan, katimbang berisiko merusak nasib sesama, saya akan diam saja, menahan diri sekuatnya. Saya pikir, menahan mual sementara, dengan risiko tertinggi cuma muntah, adalah beban yang saya masih kuat menanggung dibanding melihat seorang yang terjepit di depan publik, lalu terbunuh nasib baiknya. Tapi ini peringatan bagi Anda. Jangan sok berani membuat janji. Karena akan langsung diminta menepati. Perasaan saya, lalu seperti ada saja cobaan datang menggoda. Pernah saya memesan segelas jus yang jelas sekali ada lalat terkapar di
dasar gelasnya. Sekuat tenaga saya bersikap tenang, tapi seorang teman keburu melihatnya. Ia hampir bermanuver kalau saya tidak buru-buru mencegah. Caranya? Membuang lalat itu dan dengan tenang meminum jus lalat ini dengan gaya seorang kanibal. ''Sumanto! Siapa takut!'' kata saya. Ketegangan memang mereda, dengan akibat diam-diam saya harus menahan muntah sekuat yang saya bisa. Belum lama ini, saya dan keluarga malah harus diare bersama. Di tengah malam buta, istri bangun dan merintih dengan keringat dingin berleleran, menyusul anak pertama, anak kedua giliran berikutnya. Ketiga orang yang saya cintai terkapar bersama. Ooo, anak saya yang kecil-kecil itu, harus menahan kesakitan sedemikian rupa. Oo istri yang biasanya sigap merawat anak-anak, kini bahkan tak berdaya menahan deritanya sendiri. Kiamat! Dan sumber persoalannya langsung ketemu: ikan bakar yang kami makan siang sebelumnya. Ikan dari warung langganan lama kami, warung yang demikian baik pelayanannya, lezat menunya, dan dicintai banyak pembelinya. Hanya, hari ini, ia membakar ikan laut yang sudah kadaluarsa yang sebetulnya sudah tersirat dari aromanya. Hari itu sekuat tenaga kami menahan sakit. Setelah si sakit lewat, sekuat tenaga kami menahan diri. Karena betapa ingin kami melabrak warung ini, betapapun baik pemiliknya. Apalah arti kelezatan masakannya jika sekali kecerobohan, nyawa sekeluarga langsung menjadi taruhan. Tapi celakanya, akal sehat saya masih bekerja. Ini pasti murni kekhilafan. Jika terhadap pihak yang khilaf, saya kehilangan kesabaran, sewenang-wenang betul saya ini. Tapi yang lebih celaka lagi, saya kepalang pernah janji pada diri sendiri: akan diam saja, akan menahan diri sekuat tenaga. Jika terhadap diri sendiri pun kita menjadi penipu, alamak, manusia macam apa pula saya ini. Akhirnya jurus terakhirlah yang muncul: menghibur diri. ''Lagi pula, kami toh tidak mati,'' batin saya. Sialan! (PrieGS/)