Jasa6.docx

  • Uploaded by: Desi Anggraini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jasa6.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,863
  • Pages: 14
PEMULIHAN JASA

Pemulihan jasa merupakan tindakan-tindakan khusus yang perlu dilakukan untuk meyakinkan pelanggan sehingga mereka dapat menerima dengan tingkat alasan tertentu atas kegagalan jasa atau selama proses penyampaian jasa secara normal terjadi gangguan/kekacauan. Pemulihan jasa dipersepsikan oleh pelanggan dalam tiga bentuk tindakan dan perlakuan yang adil, yakni: Outcomes fairness, Procedural fairness, dan Interactional fairness. Pemulihan layanan itu sendiri adalah tindakan yang diambil oleh sebuah organisasi dalam menanggapi kegagalan layanan. Dalam upaya ini,tidak hanya menyangkut pada penanganan terhadap pengaduan konsumen saja, namun juga menyangkut pada situasi-situasi di mana kegagalan terjadi tanpa adanya keluhan yang dibuat oleh konsumen. Dalam kasus ini, mungkin konsumen tidak mampu atau tidak mau mengeluh, atau pihak karyawan mungkin telah mengakui kegagalan sebelum konsumen menyampaikan keluhannya. Faktor Penentu Konsumen Komplain (Day – Engel, 1990) 1. Penting tidaknya konsumsi yang dilakukan, yaitu menyangkut tingkat kepentingan produk bagi pelanggan, harga, waktu yang dibutuhkan untuk mengonsumsi produk, dan social visibility.Dalam hal ini seberapa penting jasa yang akan diterima pada pelanggan, harga jasa yang diberikan, dan waktu yang dibutuhkan dalam pelayanan tersebut. 2. Pengetahuan dan pengalaman, yakni jumlah pembelian sebelumnya, pemahaman mengenai produk, persepsi terhadap kapabilitas sebagai konsumen, dan pengalaman komplain sebelumnya. Dalam hal ini pengalaman pasien terhadap jasa pelayanan yang diberikan sebelumnya. 3. Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi, meliputi jangka waktu penyelesaian masalah, gangguan terhadap aktivitas rutin, dan biaya. Dalam hal waktu yang dibutuhkan apabila terjadi masalah yang mengganggu aktivitas pelanggan dan merugikan pelanggan.

4. Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. Dalam ini peluang pelanggan untuk berhasil melakukan komplain terhadap pemberia jasa pelayanan. Pemulihan pelayanan pelanggan berisikan hal-hal sebagai sebagai berikut: 1. Respons, pengakuan bahwa telah terjadi masalah atau kegagalan jasa; permohonan maaf, empati, respons yang cepat, keterlibatan manajemen. 2. Informasi, penjelasan atas kegagalan yang terjadi; mendengarkan pandangan pelanggan terhadap solusi yang diharapkan, menyepakati solusi, menjamin bahwa masalah yang sama tidakakan terulang lagi, permohonan maaf tertulis. 3. Tindakan, koreksi atas kegagalan atau kesalahan; mengambil langkahIangkah perbaikan, seperti mengubah prosedur untuk mencegah terulangnya masalah di kemudian hari; melakukan tindaklanjut untuk memeriksa dampak setelah pemulihan jasa. 4. Kompensasi, token compensation, kompensasi ekuivalen ataupengembalian uang atau “big gesture” compensation. Proses pemulihan jasa yang efektif terdiri atas empat tahap utama: (1) mengidentifikasi kegagalan jasa (service failure), (2) memecahkan masalah pelanggan, (3)

mengkomunikasikan dan mengklasifikasi kegagalan jasa, dan (4)

mengintegrasikan data dan menyempurnakan jasa keseluruhan (Tax and Brown, 1998). 1. Identifikasi kegagalan Hambatan terbesar dalam upaya pemulihan jasa dan organization learning adalah fakta bahwa hanya sekitar 5 sampai 10% dari pelanggan yang tidak puas yang melakukan komplain atas kegagalan jasa. Sebagian besar dari mereka justru memilih beralih pemasok atau berusaha membalas dendam dengan jalan menyampaikan komentar negative kepada pihak-pihak lain. Empat penyebab utama mengapa pelanggan enggan menyampaikan komplain : a. Pelanggan yakin bahwa organisasi bersangkutan tidak akan responsive

b. Mereka enggan mengkonfrontasikan tanggung jawab individual atas kegagalan yang terjadi c. Mereka kurang memahami hak-hak mereka dan tanggung jawab perusahaan, dan d. Mereka mengkawatirkan biaya tinggi berkenaan dengan waktu dan usaha untuk menyampaikan komplain. Untuk mengatasi hambatan tersebut, dibutuhkan beberapa pendekatan yang terbukti efektif pada berbagai perusahaan, diantaranya : a. Menetapkan standar kinerja b. Mengkomunikasikan pentingnya pemulihan jasa c. Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan komplain d. Memanfaatkan dukungan teknologi seperti custumer all centers dan internet. 2. Pemecahan masalah pelanggan Berbagai riset menunjukkan bahwa sebagian besar dari komplain yang dikemukaan menyangkut pengalaman pelanggan yang mereka persepsikan sebagai masalah serius (Shets, et all, 1999). Oleh sebab itu, bila pelanggan sampai melakukan komplain, mereka sangat mengharapkan tindakan dan perlakuan yang adil. Persepsi mereka terhadap keadilan dibentuk atas dasar penilaian mereka terhadap tiga aspek pemulihan jasa : outcome, procedural fairness, dan interactional (Tax and Brown, 1998). Outcome fairness berkenaan dengan hasil yang diterima pelanggan dari komplain. Procedural fairness berkenaan dengan kebijakan, peraturan dan ketepatan waktu proses komplain.

Sedangkan

interactional

fairness

meyangkut

perlakuan

interpersonal yang didapatkan selama proses komplain. Pada umumnya ada beberapa cara untuk mewujudkan ketiga aspek pemulihan jasa ini: a. Memberikan hasil yang adil. Bila terjadi kegagalan jasa, pelanggan berharap ada kompensasinya. Bentuk kompensasi dapat berujud permohonan maaf, refund, reparasi, penggantian, korekasi harga maupun kombinasi di antaranya Meyediakan proses yang adil.

Prosedur yang adil mencakup tiga elemen penting yakni: 1) perusahaan mengeban tanggungjawab atas kegagalan jasa;2)setiap complain ditangani dengan cepat, dimulai oleh karyawan yang pertama kali kontak pelanggan;3) adanya system fleksibel dan mempertimbangkan pula situasi individual serta masukan dari pelanggan mengenai hasil akhir yang diharapkannya. b. Merealisasikan interaksi yang adil. Perilaku relasi antar-pribadi yang adil meliputi kesopanan, perhatian dan kejujuran, penjelasan atas kegagalan jasa yang terjadi, dan usaha yang tulus dalam memecahkan masalah yang dihadapi pelanggan. 3. Komunikasi dan klasifikasi kegagalan jasa Banyak

perusahaan

yang

tidak

mendokumentasikan

dan

mengkategorisasikan komplain secara memadai, akibatnya proses belajar dari pengalaman menjadi terlambat. Situasi semacam ini biasanya disebabkan oleh empat factor; Pertama, dalam banyak kasus karyawan kurang perhatian dalam mendengarkan uraian atau penjelasan rinci pelanggan mengenai masalah yang terjadi. Kedua, banyak karyawan dan manajer yang lebih suka menghindari tanggung jawab atas masalah yang terjadi, sebaliknya mereka malah cenderung menyalahkan pelanggan. Ketiga, banyak komplain yang tidak pernah ditangani atau diselesaikan. Pelanggan telah menyampaikan komplain via telepon, langsung ke karyawan serta mengirim surat komplain, namun tetap saja tidak ada tindak lanjut. Keempat, banyak pula perusahaan yang tidak memiliki pendekatan sistematis dalam mengumpulkan dan mendistribusikan informasi komplain kepada setiap individu yang bertanggung jawab atas proses yang bermasalah. Organisasi jasa dapat memfasilitasi klasifikasi data kegagalan jasa secara efektif melalui tiga cara: a. Membuat formulir complain internet b. Mengakses komplain yang ditujukan pada karyawan lini

pertama c. Mengkategorikan pelanggan yang komplain 4. Integrasi data dan penyempurnaan jasa keseluruhan Pada umumnya pelanggan hanya ingin menyampaikan complain mengenai masalah- masalah yang mereka persepsikan penting. Oleh karena itu, komplain mencerminkan bentuk informasi pasar yang sangat berharga. Akan tetapi pelanggan jarang sekali melakukan komplain manakala terjadi kegagalan jasa. Implikasinya perusahaan yang ingin menyempurnakan kualitas jasanya harus mengupayakan sumber iformasi tambahan lewat manajemen data. Tujuan manajemen data ini adalah memastikan bahwa organiasi jasa mendapatkan informasi yang relevan, kredibel, dan tepat waktu, serta menyebar luaskannya kepada setiap angota organisasi yang terlihat dalam keputusan investasi kualitas jasa. Secara lebih spesifik upaya tersebut meliputi: a. Mengumpulkan data kualitas jasa b. Mendistribusikan data c. Investasi dalam penyempurnaan kualitas

Sebagai contoh, United Airlines mengidentifikasikan dua kelompok pelanggan utama, yakni (1) business travelers yang jumlahnya hanya 40 % dari total penumpang, namun memberikan kontribusi 72% bagi total pendapatan, dan (2) mile- collecting vacationer yang proporsinya 60% dari total penumpang namun hanya menyumbang 28% dari total pendapatan perusahaan. Sementara itu, business travelers yang paling sering bepergian dengan pesawat (biasa disebut road warriors) memberikan kontribusi 37% pendapatan sekalipun jumlah mereka hanya 6% dari total penumpang. United Airlines belajar dari komplain dan hasil riset bahwa road warriors merupakan tipe pelanggan yang

paling rendah tingkat kepuasannya dan paling sering frustasi terhadap jasa

penerbangan.

Berdasarkan

data

ini,

perusahaan

tersebut

menginvestasikan US$ 400 juta untuk menyediakan berbagai fasiltas khusus kepada para business travelers, diantaranya tempat duduk, makanan, dan ruang tunggu yang lebih nyaman dan bagus, layanan special sebelum keberangkatan agar mereka terhindar dari antrian panjang, manfaat frequency-flier yang lebih banyak, serta fasilitas lainnya seperti kamar mandi di terminal bandara. Gambar : Proses Pemulihan Jasa Tahap 1 Identifikasi kegagalan jasa

Tahap 2 Pemecahan masalah pelanggan

Tahap 3 Komunikasi dan Kegagalan Jasa

Tahap 4 Integrasi data dan Perbaikan

Jasa

Kepuasan Pelanggan Individual dan karyawan

Perbaikan system jasa

Mempertahankan loyalitas Pelanggan dan karyawan

Kepuasan Pelanggan dan karyawan

Profit

Sumber: Tax and Brown(1998)

Respon karyawan terhadap kegagalan jasa berhubungan langsung dengan kepuasan atau ketidak puasan pelanggan. Kegagalan jasa umumnya dikelompokkan dalam tiga kategori berikut (Binter, et al., 1990) 1. Respon karyawan terhadap kegagalan system penyampaian jasa

Tipe ini merupakan kegagalan dalam penawaran jasa inti perusahaan. Dalam konteks perusahaan penerbangan, contoh kegagalan semacam ini antara lain menghidangkan makanan yang sudah basi atau kadaluwarsa; keliru menangani bagasi penumpang; tidak mengumumkan perubahan jadwal penerbangan; kondisi pesawat yang jorok; kekurangan stok (seperti makanan,

minuman, selimut, bantal, headphone, dan lain-lain; dan jumlah

pramugari/.pramugara yang tidak memadai untuk melayani kebutuhan para penumpang. Semua aktivitas ini berkaitan langsung dengan jasa inti perusahaan

penerbangan.

Secara

garis

besar,

kegagalan

system

penyampaian jasa terdiri atas respon karyawan terhadap tiga tipe kegagalan jasa. a. Ketidaktersediaan jasa (unavailable service), berkenaan dengan tidak adanya layanan tertentu yang biasanya tersedia b. Layanan yang lambatnya keterlaluan (unreasonable slow service) yaitu layanan atau karyawan yang dipersepsikan pelanggan sangat lambat dalam menjalankan fungsi atau tugasnya. c. Kegagalan jasa inti lainnya (other core service failurures) yang mencerminkan berbagai jasa inti yang ditawarkan oleh industry yang berbeda-beda, misalnya makanan yang sudah dingin, pesawat yang kotor, dan bagasi yang keliru ditangani (industry jasa penerbangan) 2. Respon karyawan terhadap kebutuhan individual dan permintaan special pelanggan. Kebutuhan pelanggan dapat implisit maupun eksplisit. Kebutuhan implisit adalah kebutuhan pelanggan yang tidak diminta secara khusus, namun sepatutnya diketahui dengan jelas oleh penyedia jasa. Contohnya kalau ada perubahan jadwal penerbangan, kebutuhan implisit para penumpang adalah bahwa informasi tersebut seharusnya diumumkan sehingga mereka dapat mengatur jadwal penerbangan alternatif selanjutnya. Sebaliknya, kebutuhan eksplisit adalah kebutuhan pelanggan yang memang jelas-jelas diminta. Misalnya, penumpang pesawat yang meminta voucher penginapan sehubungan dengan tertundanya jadwal penerbangan oleh pihak

perusahaan. Secara garis besar, kebutuhan dan permintaan pelanggan mencakup respon karyawan terhadap empat tipe keumngkinan kegagalan jasa: a. Kebutuhan

special,

yaitu

permintaan

yang

didasarkan

pada

pertimbangan medis, diet, psikologi, bahasa, atau sosiologis khusus pelanggan. Misalnya, menyediakan makanan khusus untuk vegetarian merupakan upaya memenuhi permintaan special. b. Respon

karyawan

kemampuan

terhadap

karyawan

preferensi

memodifikasi

pelanggan,

system

menyangkut

penyampaian

jasa

sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi preferensi khusus pelanggan yang bukan disebabkan masalah medis, diet, psikologis, bahasa, maupun sosiologis mereka. Contoh tipikal preferensi pelanggan restoran adalah permintaan mereka agar hidangannya ditukar atau diganti. c. Respon karyawan terhadap kesalahan pelanggan (customer error), meliputi skenario di mana kegagalan jasa disebabkan kesalahan pelanggan yang diakui atau diterima, seperti tiket dan kunci kamar hotel hilang. Respon karyawan terhadap disruptive others (pelanggan atau pihakpihak tertentu yang mengganggu pengalaman jasa pelanggan lainnya), berkenaan dengan kemampuan karyawan dalam menenangkan situasi atau menyelesaikan perselisihan antar pelanggan. Misalnya meminta penonton bioskop agar tenang atau diam selama pertunjukan, atau meminta perokok agat tidak merokok di ruangan-ruangan restoran yang tidak boleh ada asap rokok. 3. Tindakan karyawan yang tidak cepat dan tidak diminta (unprompted and unsolicited employee actions) Tipe ini menyangkut kejadian dan perilaku karyawan (yang baik maupun yang jelek) yang sama sekali tidak diharapkan pelanggan. Tindakantindakan ini tidak diminta pelanggan dan juga tidak menjadi bagian dari system penyampaian jasa inti. Kategori ini terdiri atas lima macam :

a. Tingkat perhatian (level of attention), menyangkut sejauh mana tingkat respek karyawan kepada pelanggan. Salah satu cara mewujudkan tingkat perhatian positif adalah upaya karyawan “memanjakan” pelanggan dan mengantisipasi kebutuhan mereka. Di lain pihak, tingkat perhatian negative berkenaan dengan sikap karyawan yang acuh tak acuh atau mengabaikan pelanggan. b. Tindakan luar biasa (unusual actions) yang mencerminkan kejadian positif dan negative, di mana karyawan merespon dengan tindakan yang di luar kebiasaan. Contoh kejadian positif dia antaranya: perhatian khusus pada hari ulang tahun pelanggan dan sikap empati atas masalah atau musibah yang dialami pelanggan. Sedangkan contoh kejadian negative antara lain ketidak sopanan atau tutur kata yang kasar. c. Norma cultural, mengacu pada tindakan-tindakan karyawan jasa yang secara positif memperkuat norma cultural (seperti kesamaan hak, keadilan, dan kejujuran), serta yang melanggar norma social masyarakat. Pelanggaran norma social meliputi perilaku diskriminatif; tindakan tidak jujur seperti berdusta dan mencuri; serta aktivitasaktivitas lainnya yang dianggap tidak fair oleh pelanggan. d. Gestalt, yaitu evaluasi pelanggan yang dibuat secara holistic dan tidak merinci atau menspesifikasi individual yang dianggap gagal dan bermasalah. Dalam hal ini, pelanggan hanya menggunakan ungkapan penilaian menyeluruh (overall terms). Contoh kompalin yang dapat dikategorikan evaluasi gestalt adalah komentar pelanggan seperti ” Tidak dibayangkan betapa buruknya kami diperlakukan oleh para karyawan perusahaan penerbangan Anda” tanpa menyebutkan aspek kegagalannya. Adverse conditions, meliputi tindakan positif maupun negative karyawan dalam kondisi penuh tekanan (stressfull). Pelanggan akan sangat terkesan bila ada karyawan perusahaan jasa yang dapat

mengendalikan secara efektif situasi di mana hampir semua orang disekitarnya sudah kehilangan akal. Sebaliknya, tindakan anak buah kapal dan kapten kapal yang akan tenggelam yang naik sekoci sebelum penumpang, dikategorikan sebagai tindakan negatif dan tidak bertangung jawab dalam situasi penuh tekanan. PERILAKU KOMPLAIN

Dalam hal terjadi ketidakpuasan, paling tidak terdapat empat kemungkinan respon pelanggan. (lihat Gambar ) Terjadi Ketidakpuasan

Mengambil Tindakan

Tidak Mengambil Tindakan

Melakukan Private Action

Berhenti Membeli produk di persh tsb

Melakukan Direct Action

Memperingatk an rekan mengenai produk persh

Komplain ke Produsen/Penngecr/ produsen

Melakukan Public Action

Menempuh jalur hukum utk ganti rugi

Komplain ke instansi pemerintah

Menuntut ganti rugi dari produsen

Ganbar: Alternatif Reaksi Pelanggan Bila Terjadi Ketidakpuasan. Sumber : Singh, J. (1998) Pertama: tidak melakukan apa-apa. Maksudnya mereka tidak menyampaikan

komplainnya kepada siapapun. Namun, mereka praktis sudah beralih ke pemasok atau penyedia jasa lain. Kemungkinan kedua, berhenti membeli produk/jasa perusahaan bersangkutan dan atau menyampaikan negative/bad word–of-word kepada keluarga, rekan sejawat, maupun orang dekat lainnya (private actions). Informasi negative semacam ini biasanya mengalir cepat dan berdampak negative terhadap citra perusahaan maupun sikap pelanggan terhadap penyedia jasa dan produknya. Akibatnya, perusahaan dapat kehilangan banyak pelanggan potensial maupun pelanggan saat ini yang beralih ke pesaing. Kemungkinan ketiga, menyampaikan keluhan secara langsung dan atau meminta kompensasi kepada perusahaan maupun penyalurnya. Bila ini yang terjadi, sesungguhnya perusahaan memperoleh

berkah.

Paling tidak

perusahaan

mendapat umpan balik berharga dari berbagai komplain yang masuk dan ada peluang untuk mengatasi masalah-masalah sebelum menyebar luas (apalagi sampai merusak citra dan reputasi perusahaan). Bila komplain berhasil ditangani dengan efektif dan memuaskan, konsumen yang semula tidak puas dapat berubah menjadi puas dan tetap akan membeli produk/jasa perusahaan. Ini sangat kontras dengan konsumen yang langsung berhenti memakai jasa perusahaan tanpa menyampaikan komplain. Perusahaan tidak akan dapat mengetahui penyebab kekecewaan mereka dan melakukan perbaikan. Kemungkinan keempat, mengadu lewat media massa (misal menulis di surat pembaca surat kabar), mengadu ke lembaga konsumen atau instansi pemerintah terkait, dan atau menuntut produsen atau penyedia jasa secara hukum. Ini merupakan bentuk komplain yang paling di takuti setiap perusahaan. Komunikasi pemasaran dan public relation memegang peranan vital dalam mengantisipasi dan menangani kemungkinan terjadinya bentuk komplain ini. Berbagai riset psikologi konsumen menunjukkan bahwa kompalin dapat dibedakan menjadi dua tipe: instrumental complaints dan non-instrumental complaints.

Instrumental complaints merupakan komplain yang diungkapkan dengan tujuan mengubah situasi atau keadaan yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, komplain kepada pramusaji mengenai steak yang kurang matang merupakan instrumental complaints. Dalam kasus ini pengkomplain sangat berharap bahwa si pramusaji memperbaiki situasi tersebut (dengan jalan memasak kembali steak itu atau menggantinya dengan yang lain). Sebaliknya non-instrumetal complaints dilontarkan tanpa harapan khusus bahwa situasi yang tidak diinginkan tersebut akan berubah. Contohnya komplain mengenai cuaca yang terlalu panas atau kualitas vocal diri sendiri yang jelek. Tipe non instrumental ini mencakup pula instrumental complaints yang disampaikan kepada pihak ketiga dan bukannya kepada pihak yang menimbulkan masalah.misalnya komplain tentang masakan yang tidak enak di restoran tertentu disampaikan ke teman dan tidak kepada restoran bersangkutan. Menarik diamati, ternyata tipe non-instrumentals justru yang lebih banyak disuarakan oleh para pelanggan dari pada instrumental complaints. Dalam kaitannya dengan complain, Denham (1998) mengidentifikasi tiga tipe pelanggan

;

active

complainers,

nactive

complainers

dan

hyperactive

comppaliners. 1. Active complainers, yakni mereka yang memahami haknya, asertif, percaya diri, dan tahu persis cara menyampaikan komplain. Bila harapan mereka akan pelayanan dan nilai (value) tidak terpenuhi, mereka akan menyampaikan komplainnya ke perusahaan yang bersangkutan. Tipe pelanggan semacam ini sangat berharga bagi perusahaan, karena mereka cenderung langsung menginformasikn dan mencari solusi atas setiap komplain yang mereka rasakan. Dengan demikian perusahaan masih berpeluang untuk melakukan perbaikan dan memuaskan mereka. Inactive complainers, yakni mereka yang lebih suka menyampaikan keluhan kepada orang lain (teman, keluarga, rekan kerja) dari pada langsung kepada perusahaan bersangkutan. Mereka cenderung langsung berganti pemasok dan tidak pernah

kembali lagi ke perusahaan yang mengecewakan

mereka. Dengan demikian peluang perbaikan bagi perusahaan praktis tidak ada. 2. Hyperactive complainters, yaitu mereka yang selalu komplain terhadap siapapun. Tipe ini dapat disebut pula chronic complainers yang kadangkala berlaku kasar dan agresif. Mereka ini hampir tidak mungkin dipuaskan karena tujuan komplainnya lebih dilatar belakangi keinginan untuk mencari untung. Studi yang dilakukan Singh (1990) juga mengidentifikasikan bahwa respon pelanggan terhadap ketidakpuasan dipengaruhi pula oleh karakteristik individu. Meskipun studi ini dilakukan di Amerika Serikat kesimpulannya dapat bermanfaat sebagai peringatan bagi setiap pemasar di mana pun. Reputasi dan kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan dapat terancam oleh para pelanggan ‘diam’ yang tidak

melakukan

komplain

secara

langsung,

namun

menceriterakan

ketidakpuasannya kepada teman dan keluarga mereka. Oleh karena itu, setiap perusahaan

harus

selalu

berusaha

memuaskan

setiap

pelanggannya,

menyempurnakan kualitas produknya, dan menangani setiap komplain sebaik mungkin. Selain pengaruh karakteristik indvidu, faktor produk juga memainkan peranan penting dalam menjelaskan respon pelanggan terhadap ketidakpuasan. Sebagai contoh, pelanggan yang tidak puas pada jasa yang mahal atau penting (seperti penumpang kelas eksekutif penerbangan luar negeri) akan lebih mungkin melakukan direct action dibandingkan pelanggan jasa-jasa yang relative murah atau kurang penting (seperti penonton film di bioskop). Demikian pula halnya dalam situasi pelanggan memiliki banyak waktu dan saluran komplain mudah diakses direct action akan lebih mungkin terjadi. Ada sejumlah factor sebagai determinan apakah seorang konsumen yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak (Day dalam Engel, et al., 1990) a. Penting tidaknya konsumsi yang dilakukan, yaitu menyangkut tingkat

kepentingan produk bagi pelanggan, harga, waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi produk, dan social visibility. b. Pengetahuan dan pengalaman, yakni jumlah pembelian sebelumnya, pemahaman mengenai produk, persepsi terhadap kapabilitas sebagai konsumen, dan pengalaman komplain sebelumnya. c. Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi, meliputi jangka waktu penyelesaian masalah, gangguan terhadap aktivitas rutin, dan biaya. Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain.

More Documents from "Desi Anggraini"