Jalan Menurun DI tengah keluarga dan saudara, Presiden Megawati mengatakan cuma ada satu jalan: jalan menurun. "Karena tak ada lagi jalan naik," katanya. Sungguh, kata-kata ini bukan cuma pernyataan seremonial seorang presidan baru tapi proposal kekuasaan yang akan ditunggu bangsa ini: gaya turun seperti apakah kelak yang akan dipilih oleh Megawati. Di Indonesia, turun tahta memang sesuatu yang mencemaskan. Ia bukan sekadar masa pensiun biasa, tapi saat para penguasa menerima rapor kekuasaannya. Dan rapor akhir para pemimpin kita selalu ditandai dengan hasil yang menakutkan. Maka membayangkan pensiun sambil mengisi hari dengan berkebun adalah sebuah kemewahan. Lebih-lebih keinginan untuk menyepi, menjadi pertapa atau madek pandhita, nyari lebih menyerupai olok-olok belaka. Akhir kekuasaan di Indonesia selalu diwarnai oleh adegan turun paksa yang pasti mendatangkan rasa sakit luar biasa. Lalu dengan apa jalan turun itu disiapkan? Tak banyak sesungguhnya. Ia cukup dengan menyediakan semacam anak tangga. Anak tangga itu dalam bayangan kita barangkali seperti apa yang pernah dinasihatkan oleh pakar manajemen Amerika, Tom Peters, bahwa tugas pemimpin bukan untuk mencetak banyak pengikut, tapi menyiapkan banyak pemimpin lainnya. Nasihat yang lebih tua malah sudah pernah datang dari guru-guru Tai Chi bahwa tugas seorang guru bukan untuk memperbanyak murid, tapi berhenti mengajar jika muridnya telah memperoleh pencerahan. "Kembali ke kosong," begitu anjur sang guru. Tapi sejarah kekuasaan kita memang lebih banyak diisi oleh para flamboyan dan kaum jagoan. Mental jagoan ini unik. Ia gagah dalam pertempuran tapi kebingungan ketika lawan telah dikalahkan. Seorang jagoan selalu butuh lawan, seorang pahlawan selalu butuh medan pertempuran. Maka ironi yang sering menimpa para jagoan ialah ketika ia masih terus mengayunkan pedang sementara musuh telah tunggang langgang. Ia masih terus ingin mengambil peran meski kastingnya tak tercantum lagi dalam adegan. Menyadari kapan harus berhenti adalah pekerjaan rumah yang belum rampung kita kerjakan hingga kini. Tapi marilah kita lupakan anjuran yang bertele-tele ini. Menunggu datangnya watak tahu diri, penantian yang melelahkan. Indonesia bukan Amerika yang melahirkan Washington, presiden yang merasa cukup menjabat cuma sekali demi kepentingan berdemokrasi. Maka yang kita butuhkan bukan lagi anjuran tapi peraturan, bukan lagi sekadar kritik tapi hukuman. Lupakan bahwa pelajaran budi pekerti pernah digalakkan di negeri ini karena ia toh belum sanggup mencegah wabah lupa diri. Maka benar kata Presiden Megawati, tak ada lagi jalan naik, yang ada cuma jalan turun. Karena jalan naik itu sesungguhnya adalah jalan turun juga. Kenaikan seseorang justru sering cuma jadi alat agar bisa membanting dia lebih keras. (03) (PrieGS/)