Plp_2019_miftahul Qoriah_08171041_kondisi Ekosistem Pesisir Di Kecamatan Blanakan.docx

  • Uploaded by: Miftahul Qoriah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Plp_2019_miftahul Qoriah_08171041_kondisi Ekosistem Pesisir Di Kecamatan Blanakan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,465
  • Pages: 5
Ekosistem Pesisir di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat

Miftahul Qoriah 08171041 Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Kalimantan

Menurut C. J. Krebs (1972) ekologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai interaksi yang menentukan distribusi dan kelimpahan sebuah organisme. Ekologi merupakan istilah dari bahasa Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi atau hubungan timbal balik antara makhluk hidup satu dengan yang lain ataupun antara makhlup hidup dangan lingkungannya. Adapula batasan pokok bahasan atau ruang lingkup ekologi yakni, induvidu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Dengan adanya ilmu ini , manusia dapat mengetahui berbagai mahluk hidup dan hubungannya terhadap tempat tinggalnya. Ekologi dapat membantu manusia mengetahuil perilaku mahluk hidup selain masusia yang memilki manfaat bagi manusia, dampak produk yang di produksi manusia pada lingkungannya, struktur dan skala makanan setiap makhlup hidup, dapat memecahkan masalah pertanian,energi, kesehatan dan masih banyak lagi. Dalam ekologi terdapat istilah ekosistem. Ekosistem merupakan sebuah sistem ekologi yang terbentuk akibat dari hubungan timbal balik antara makhluk hidup (biotik) dengan benda-bendamati di sekitarnya (abiotik). Ekosistem yang alami terbagi menjadi tiga yakni darat, laut, dan pesisir. Ekosistem pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Ekosistem pesisir memilki banyak ekosistem di dalamnya seperti ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, ekosistem terumbu karang, ekosistem estuaria, dan lain-lain. Ekosistem estuaria adalah perairan semi tertutup sebagai tempat terjadinya pertemuan antara air yang bersalinitas rendah (tawar) dari sungai atau daratan dengan air yang bersalinitas relatif tinggi (air asin) yang berasal dari laut. Hal ini dapat mengakibatkan perairan memilki air yang bersalinitas lebih rendah dari laut terbuka dan lebih tinggi dari air di sebuah sungai. Perairan estuaria juga sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan air laut yang bercampur dengan air tawar dari sungai dapat mengendapkan buangan yang dibawahnya. Hal ini membuat proses sifat fluvial dengan Oceanik berinteraksi dan menyebabkan perairan estuaria

dianggap sebagai daerah peralihan antara habitat air

laut/asin dengan habitat air tawar. Sifat fisik yang penting dari perairan Estuaria menurut Kamal (2004), yaitu sirkulasi air, salinitas (kadar garam), pasang surut, substrat, dan penyimpanan zat hara. Sedangkan Estuaria menurut Azis (2007), mempunyai variasi gradien salinitas terutama bergantung pada air laut melalui pasang surut dan masukan air tawar dari

sungai. Kebanyakan estuaria menurut Kawaroe (2001), didominasi oleh substrat berlumpur yang berupa endapan yang telah dibawa oleh air tawar dan air laut. Estuaria banyak di temukan di Negara Indonesia karena Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang daratannya di pisahkan air laut sehingga membentuk pulau. Hutan mangrove adalah hutan hujan yang dapat ditemukan pada sepanjang garis pantai perairan tropis sampai sub-tropis dan memiliki ciri-ciri tersendiri. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang memilki nilai spesifik lebih jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena mempunyai vegetasi (tumbuhan) yang agak seragam, serta memeliki tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas. Mangrove merupakan suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting yaitu, sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, penghasil sejumlah besar detritus, daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan atau perkawinan (spawning ground) bermacam biota perairan (kerang-kerangan, ikan, dan udang) baik yang hidup di perairan pantai ataupun lepas pantai (Bengen 2004). Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah yang memilki ekosistem estuaria dan mangrove. Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nurafif (2016) air di estuari blanakan memiliki suhu berkisar antara 280C sampai 300C. Dengan suhu tersebut fitoplankton dapat tumbuh dengan baik, hal di kemukakan oleh Effendi (2003) menjelaskan bahwa rentang suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 200C Sampai 300C di perairan. Fitoplankton sendiri merupakan makanan bagi hewan di laut. Kedalaman estuaria di Blanakan sedalam 46 cm sampai 65 cm. Untuk kecerahan estuaria blanakan rata-rata kedalaman kecerahannya 16,58 cm, hal ini di pengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, tingkat kekeruhan air, dan sudut datang cahaya (Effendi, 2003). Perairan estuari blanakan dari hasil penelitian tersebut memiliki warna coklat dan bau yang tidak sedap dikarenakan substrat pada estuaria di blanakan adalah lumpur. Untuk penilaian kualitas air hewan benthos seringkali digunakan, dalam perairan estuari blanakan tidak terdapat benthos. Hal ini juga di pengaruhi substratnya yang berupa lumpur sehingga hewan benthos tertimpa di dalam lumpur tersebut.Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan Nurafif (2016) nilai salinitas pada perairan estuaria Blanakan rata-rata berkisar 19 0/00, salinitas di perairan estuaria ini masih termasuk alami dalam kehidupan biota air. Menurut Effendi (2003), mengatakan bahwa fitoplankton dapat berkembang dengan baik pada salinitas 15 – 320/00. Hal ini mendukung pendapat yang menyatakan tentang fitoplankton tersebut. Salinitas yang didapatkan di Blanakan, Subang tergolong rendah untuk perairan estuari dikarenakan tidak dipengaruhi secara langsung oleh pasang surut air laut. Karakteristik lainnya antara lain organismeorganisme di dalam perairan tersebut, seperti plankton yang didominasi oleh jenis spesies

Pleurosigma sp, perifiton yang di dominasi oleh Rhizosolenia sp, sedangkan benthos tidak ditemukan. Kondisi estuaria di Kecamatan Balanakan mengalami kerusakan akibat perubahan fungsi lahan menjadi permukiman dan tambak. Sehingga terdapat perubahan fungsi, yakni dari fungsi ekologis menjadi fungsi ekonomis dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Bedasarkan hasil penelitian Herwindati (2018), sistem pertanian di Kecamatan Blanakan pada tahun 1960 didominasi padi sawah yang memilki irigasi yang bergantung pada air Sungai Blanakan. Ketika terjadinya intrusi air laut membuat produksi padi menjadi berkurang hanya 1,5 ton/ha dari 4-8 ton/ha. Sehingga, sebagian masyarakat Kecamatan Blanakan mulai mengembangkan tambak yang secara ekonomi memberikan penghasilan lebih tinggi dibandingkan dengan bertani padi. Keberadaan tambak di Kecamatan Blanakan dimulai sejak tahun 1962. Bedasarkan penelitian Soraya (2012), ini menjadi salah satu faktor rusaknya ekosistem mangrove di Kecamatan Blanakan samapai tahun 2012 yakni, perubahan yang trjadi pada garis pantai berkurang sejauh 360,57 meter dalam waktu waktu 15 tahun. Hal ini juga dinyatakan oleh Indrayanti (2015), didalam penelitiannya yang memperlihatkan berkurangnya luasan tutupan mangrove di Kecamatan Blanakan dari tahun 2005 hingga 2012 sebesar 5% atau 700 meter/tahun. Berdasarkan data time series yang di lakukan Herwindati (2018), luas ekosistem mangrove tahun 2018 telah terjadi peningkatan dalam waktu 4 tahun yakni, dari tahun 2014 hingga tahun 2018, seluas 172,71 ha atau sekitar 29,0%. Kondisi ini dapat menjadi indikator peningkatan konservasi mangrove yang cukup signifikan. Peningkatan ini diduga karena munculnya tanah timbul yang ditumbuhi hutan mangrove, dimana sampai tahun 2017 luas tanah timbul di Kecamatan Blanakan mencapai 494 ha. Tanah timbul ini kemudian di akui oleh warga lalu dibuat tambak dengan menebang sebagian pohon mangrove, sehingga 275 ha hutan mangrove dalam kondisi rusak (Data Kecamatan Blanakan, 2017). Tanah timbul terbentuk karena adanya sedimentasi lumpur yang berasal dari sungai dan lumpur hasil abrasi dari tempat lain. Secara ekologis ini sangat

menguntungkan, karena dengan adanya

pembentukan tanah tersebut kemudian akan ditumbuhi mangrove secara alami, sehingga terjadi reboisasi setiap saat. Rata-rata luas pembentukan tanah timbul di Pesisir Kecamatan Blanakan mencapai 31,5 ha/tahun (Meriana, 2016). Dampak dari hal ini adalah meningkatnya perekonomian di Kecamatan Blanakan. Meningkatnya perekonomian Kecamatan Blanakan disebabkan oleh aktivitas nelayan tangkap, terutama dukungan KUD Blanakan dengan adanya Tempat Pelelangan Ikan Mina Fajar Sidik sebagai tempat kegiatan ekonomi perikanan baru. Hal ini, juga memiliki sisi negatif dimana banyaknya nelayan pendatang dibandingkan nelayan lokal yang melakukan aktivitas tersebut sehingga, pendapatan mereka tidak cukup tinggi. Rizal (2004) menyatakan bahwa sebanyak 89,6% dari nilai perikanan tangkap di Blanakan kebanyakan di hasilkan oleh

nelayan pendatang dan hanya 10,4% dihasilkan oleh nelayan lokal. Hal ini, disebabkan karena penggunaan peralatan yang tradisional oleh nelayan blanakan sehingga, kemampuan melautnya masih terbatas dibandingkan nelayan yang menggunakan peralatan modern.

Daftar Pustaka Azis MF. 2007. Tipe Estuari Binuangeun (Banten) berdasrkan distribusi suhu dan salinitas perairan. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. (1)33: 97–110). Bengen, D. G. 2001. Sinopsis ekosistem sumberdaya alam pesisir dan laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Data Desa Blanakan (2017). Potensi sumberdaya alam Desa Blanakan. Kelurahan Blanakan. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta [ID] : Kanisius Herwindati, Yuni Tri . 2018. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan: Studi Kasus Desa Blanakan, Subang, Jawa Barat. Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka Indrayanti, M. D., Fachrudin, A., & Setiobudiandi, I. (2015). Penilaian jasa ekosistem mangrove di Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pengetahuan Indonesia (JIPI), 20 (2), 91-96. Kamal E, Suardi ML. 2004. Potensi Estuaria Kabupaten Pasaman Barat Sumatera Barat. Mangrove dan Pesisir. 4(3): 42-46. Kawaroe M. 2001. Kontribusi ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Lautan. 3(3): 12-25. Meriana, G. 2016. Monitoring perkembangan tanah timbul dan pemanfaatannya di Pesisir Blanakan Kabupaten Subang (Thesis). Universitas Pendidikan Indonesia. Nurafif, Rudi Asa, dkk. 2016. Karakteristik Ekosistem Estuari Studi Kasus Blanakan. IPB; Bogor Rizal, A. 2004. Analisis strategi pengembangan unit usaha tempat pelelangan ikan KUD Mandiri Inti Mina Fajar Sidik, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang (Skripsi). Program Ekstensi Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, IPB. Soraya, D., Suhara. O., & Taofiqurohman, A. (2012). Perubahan garis pantai akibat kerusakan mangrove di Kecamatan Blanakan Legonkulon, Kabupaten Subang. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3 (4).

Related Documents


More Documents from "bione technofarm"

Kependudukan.docx
April 2020 17
Lembar Feedback.docx
April 2020 16
Peta.docx
May 2020 7