Islam Dan Pluralisme Di Indonesia Fix!.docx

  • Uploaded by: Abdul Aziz
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Dan Pluralisme Di Indonesia Fix!.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,155
  • Pages: 30
ISLAM DAN PLURALISME DI INDONESIA MAKALAH

Diajukan guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam & Budaya Lokal Disusun Oleh Annisa Amalia 1716030001 Agianti Sugihati 1716030019 Dosen: Ibu Khoiro Ummatin, S.Ag., M.Si. PRODI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2018

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok Makalah ini dengan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya saya tidak dapat menyelesaikan Makalah ini. Sholawat serta salam semoga terlimpah curah kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun tujuan pembuatan makalah dengan judul “Islam dan Pluralisme di Indonesia” adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam & Budaya Lokal dan sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Drs. Malik Ibrahim, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam & Budaya Lokal yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Sebelumnya kami minta maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon saran yang membangun demi perbaikan di masa depan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Yogyakarta, 10 Maret 2018

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1.

Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2.

Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3.

Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3 2.1

Sejarah Pluralisme Agama. ...................................................................... 3

2.2

Konsep Pluralisme .................................................................................... 4

2.3

Pandangan Pluralisme Agama .................................................................. 5

2.4

Pluralisme Agama dalam Perspektif Al Qur’an ....................................... 6

2.3.1.

Pluralisme Menurut Al-Qur’an ......................................................... 6

2.3.2.

Sikap Al-Qur’an Terhadap Pluralisme Agama ............................... 10

2.5

Tokoh-Tokoh Pluralisme Islam .............................................................. 15

2.6

Kaitan Pluralisme di Indonesia dengan Budaya Lokal yang Ada .......... 21

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27

iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Islam dan Pluralisme seakan menjadi dua hal yang saling bertalian dan tidak dapat dipisahkan. Islam sebagai salah satu agama besar didunia ini perlu menganggap bahwa pluralitas agama yang muncul dalam kehidupan bukanlah hal yang harus dihindari namun harus dijadikan iringan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan damai tanpa adanya batas-batas yang mampu membuat Islam dianggap keras dan intoleran. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan ribuan pulau yang ada diwilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang dihuni maupun yang tidak. Indonesia juga merupakan Negara dengan latar belakang yang paling beraneka ragam, dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada dibawah naungannya. Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah tentu setiap masing-masing individu masyarakat mempunyai keinginan yang berbeda-beda, Orang-orang dari daerah yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda, struktur sosial, dan karakter yang berbeda, memiliki pandangan yang berbeda dengan cara berpikir dalam menghadapi hidup dan masalah mereka sendiri. dan hal tersebut kemungkinan besar akan menimbulkan konflik dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi diantara individu masyarakat, apalagi kondisi penduduk Indonesia sangatlah mudah terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji lebih dalam. Untuk itulah diperlukan paham pluralisme untuk mempersatukan suatu bangsa. Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan masyarakat, bukan konflik. Dalam islam, pluralitas, yang dibangun diatas tabi’at asli, kecenderungan individual, dan perbedaan masing-masing pihak masuk dalam kategori fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT bagi seluruh manusia. Fitrah itu dapat saja dibelenggu atau dikekang. Namun ia tetap sebagai sunnah (ketentuan) dari sunnah Allah SWT yang tidak dapat berubah atau tergantikan.

1

2

1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Sejarah Pluralisme Agama? 2. Bagaimana Konsep Pluralisme? 3. Bagaimana Pandangan Pluralisme Agama? 4. Bagaimana Pluralisme Agama dalam Perspektif Al Qur’an? 5. Siapa Saja Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama? 6. Bagaimana Kaitan Pluralisme di Indonesia dengan Budaya Lokal yang Ada? 1.3. Tujuan 1. Mengetahui Sejarah Pluralisme Agama. 2. Mengetahui Konsep Pluralisme. 3. Mengetahui Pandangan Pluralisme Agama. 4. Mengetahui Pluralisme Agama dalam Perspektif Al Qur’an 5. Mengetahui Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama. 6. Mengetahui Kaitan Pluralisme di Indonesia dengan Budaya Lokal yang Ada.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Pluralisme Agama. Sejarah mengenai awal pertama kali munculnya pluralisme agama ada beberapa versi. Versi pertama pluralisme agama berawal dari agama kristen yang dimulai setelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yanng mendeklarasikan “keselamatan umum” bahkan untuk agama-agama diluar kristen. Gagasan pluralisme agama ini sebenarnya merupakan upaya-upaya peletakan landasan teologis kristen untuk berinteraksi dan bertoleransi dengan agama-agama lain1. Versi kedua menyebutkan bahwa pluralisme agama berasal dari India. Misalnya Rammohan Ray (1773-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj, ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama (ajaran ini penggabungan antara Hindu-Islam). Serta masih banyak lagi pencetus pluralisme dari India, pada intinya teori pluralisme di India didasari pada penggabungan ajaran agama-agama yang berbeda. Sedangkan dalam dunia Islam sendiri pemikiran pluralisme agama muncul setalah perang dunia kedua. Diantara pencetus pemikiran pluralisme agama dalam Islam yaitu Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.selain kedua orang tersebut juga ada Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Pemikiran-pemikiran Nasr tentang plurlaisme agama tertuang pada tesisnya yang membahas

tentang sophia

perennis atauperennial

wisdom

(al-hikmat

al-

kholidah atau kebenaran abadi) yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali

1

Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan Yang Berserak,

(Bandung : Nuansa, 2005), hlm 23

3

4

kesatuan metefisika yang tersembunyi dalam tiap ajaran-ajaran agama semenjak Nabi Adam as. hingga sekarang.2 2.2 Konsep Pluralisme Puralisme telah menjadi ciri mendasar dari dunia dan masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi sebuah kampung kecil di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Kelompok-kelompok masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu terhadap yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang tadinya mengisolasi kelompokkelompok agama di masyarakat. Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa sesuatu pihak tidak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pluralisme jenis yang sekarag ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan semarcam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta menanggapinya secara baru. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai di manamana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar di mana kita berbelanja. Tapi seseorang dapat dikatakan menyandang sifat tersebut ( aktif ) apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu 2

Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,(Yogyakarta: Tafazza, 2010), hlm 56

5

realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa, hidup secara berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu dari berbagai ajaran agama. Konsep pluralisme di atas apabila hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus bersyarat satu yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis selain dapat berinteraksi dengan ragam agama tap juga harus berkomitmen terhadap agama yang dianutnya. 2.3 Pandangan Pluralisme Agama Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi3. Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya. Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah,

juga

tidak

mungkin

dilawan

atau

diingkari.

Ungkapan

ini

menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah

3

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah, 1994), hlm. 604

6

agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. 2.4 Pluralisme Agama dalam Perspektif Al Qur’an Pandangan Al Qur’an tentang pluralisme agama. Konsep-konsep tersebut adalah : 1.

Mengakui eksistensi agama lain. (S. An-Nahl : 93)

2.

Memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk agama lain. (S. Al-An’am : 198)

3.

Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama lain. (S. Al Hajj : 4)

4.

Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain. (S. Al Baqarah : 229)

5.

Mengakui banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan perintah berlomba-lomba dalam kebajikan. (S. Al Baqarah : 148)

6.

Islam mengakui umat manusia diatas dunia tidak mungkin semuanya sepakat dalam segala hal itu termasuk hal-hal yang menyangkut keyakinan agama. (S. Hud : 18-19)

2.3.1. Pluralisme Menurut Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai kitab suci (kitabun muthahharah) maupun sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan linnas) sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur’an dipandang sebagai sebuah keharusan. Artinya bagaimanapun juga sesuai dengan “sunatullah”, pluralitas pasti ada dan dengan itulah manusia akan diuji oleh Tuhan untuk melihat sejauh mana kepatuhan mereka dan dapat berlomba-lomba dalam mewujudkan kebajikan. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengakui adanya pluralitas sebagai sesuatu yang alamiah bahkan dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri, yaitu: 1. Surat al-Ma’idah: 48:

7

Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,.” 4 Keterangan al-Qur’an di atas jelas merupakan pengakuan terhadap adanya pluralitas dalam agama. Dalam Tafsir Al-Mu’minin, Abdul Wadud Yusuf mengomentari ayat tersebut bahwa memang kehendak Allah-lah

4

Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Maidah (3) : 48, hal. 168

8

manusia dijadikan menjadi umat yang bermacam-macam. Karena jika seandainya Dia kehendaki manusia akan dijadikan satu umat saja dengan diberikan-Nya satu risalah dan di bawah satu kenabian. Tetapi Allah menghendaki manusia menjadi umat yang banyak (umaman) dan Dia turunkan bagi setiap umat itu satu orang Rasul untuk menguji manusia, siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang ingkar.5 Hal senada juga dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Al-Shawi Al-Maliki dalam Hasyiyah Al-‘Allamah Al-ShawiJuz 1 bahwa, Allah sengaja memecah manusia menjadi beberapa kelompok yang berbeda untuk menguji mereka dengan adanya syari’at yang berbeda-beda (al-syara’I al-mukhtalifah) untuk mengetahui yang taat dan yang membangkang.6 Dalam ayat tersebutjuga disebutkan, bahwa perbedaan tidak dapat diperdebatkan sekarang, yakni pada saat orang tidak sanggup keluar atau melepaskan diri dari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Allah-lah nanti yang akan menentukan mana yang benar. Sikap yang seharusnya diambil adalah membiarkan masing-masing orang berbuat menurut apa yang diyakininya. 2. Surat al-Nahl: 93:

Artinya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” 7

5

Yusuf, Abdul Wadud, Tafsir al-Mu’minin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 62 Al-Maliky,Syaikh Ahmad Al-Shawi, Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir AlJalaluddin, (Surabaya: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), hal. 287 7 Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. An Nahl (16) : 93, hal. 416 6

9

Ayat ini mempunyai substansi yang sama dengan ayat 46 surah alMa’idah tersebut di atas, yaitu mengemukakan kesengajaan Allah menciptakan perbedaan. Bahwa Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Satu dalam pengertian, satu agama (millarun wahidatun) sehingga tidak berselisih faham dan berpecah-pecah seperti diungkapkan dalam tafsir Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an karya Syaikh Hasanain Muhammad Makluf (1994: 277)8

3. Surat al-Baqarah: 148:

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 9 Al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat di atas mengakui bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Dengan keragaman dan perbedaan itu ditekankan perlunya masing-masing berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah pada hari akhir untuk memperoleh keputusan final. Dikatakan oleh Heru Nugroho sebagaimana pernah termuat dalam Harian

Kompas edisi

17

Januari

1997

dan Atas

Nama

Makhluf, Syaikh Hasanain Muhammad, Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an, (Cairo: Darul Basya’ir, 1994) hal. 277 9 Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 148, hal. 38 8

10

Agama bahwa rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah, dan tugas manusia adalah menerima, memahami dan menjalani.10 4. Surat al-Hujaraat: 13:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. 11 Makna substansial surat al-Hujaraat ayat 13 adalah, bahwa umat manusia harus menerima kenyataan kemajemukan budaya. Surah ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis kelamin lakilaki dan perempuan, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersukusuku (etnis), dengantujuan agar mereka saling mengenal dan menghargai. Dari kemajemukan itu yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya. Kemajemukan dalam ayat ini menunjuk pada keanekaragaman budaya seperti; gender, ras, suku, dan bangsa dalam rangka mendatangkan kebaikan dan kediaman di muka bumi. 2.3.2. Sikap Al-Qur’an Terhadap Pluralisme Agama Perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat

10 11

Nugroho, Heru, Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, 1998) hal. 64. Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Hujurat (49) : 13, hal. 847.

11

pengakuan tentang adanya perbedaan. Perbedaan agama, keyakinan, budaya, dan pola berfikir. Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan untuk rahmat bagi semesta alam

pada

dasarnya

sangat

demokratis,

sangat

mengerti

dan

memperhatikan keadaan suatu kaum. Al-Qur’an mengakui adanya kenyataan beragamnya agama sebagai suatu bentuk perbedaan interpretasi terhadap teks-teks Tuhan yang ada dalam kitab-kitab suci. Namun alQur’an tidak mengakui adanya pluralisme agama sebagai bentuk keyakinan yang berbeda tentang ke-Esaan Tuhan. Artinya bahwa alQur’an akan menolak mentah-mentah segala ajaran yang mengandung unsur syirik di dalamnya. Untuk itu Allah menegaskan:

Artinya: “Dan barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima dan akhirat dia termasuk kaum yang merugi”. 12 Adapun tafsirnya adalah : Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekalikali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi. Namun demikian al-Qur’an yang mengakui adanya pluralisme agama sebagai sebuah fenomena, menganjurkan umat Islam untuk dapat menjaga hubungan baik dengan umat beragama lain. Di antara sikap alQur’an tersebut adalah tercermin sebagai berikut: 1. Ajakan berbuat damai

12

Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali ‘Imran (3) : 85, hal. 90

12

Artinya: “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benarbenar maha kuat lagi maha perkasa” (Q.S. Al-Hajj 22: 40). 13 Tafsirnya adalah : Katakanlah hai wahai ahli kitab marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan bahwa tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah. Al-Qur’an, seperti yang termaktub dalam ayat di atas jelas tidak menghendaki adanya perseteruan antar agama (clash). Dengan adanya agama sebagai pedoman hidup hendaknya menjadikan seseorang sebagai sosok yang gandrung dengan kedamaian dan cinta kasih. Bukan sebaliknya sebagai jiwa perusak, seperti fenomena umat beragama saat ini yang gemar melakukan perusakan tempat ibadah umat beragama lain. 13

Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al-Hajj (22) : 40, hlm. 518

13

2. Larangan adanya unsur paksaan Al-Qur’an tidak pernah membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama karena itu berkaitan erat dengan hak-hak manusia yang perlu mendapatkan penghargaan setelah disampaikan pesan-pesan (message) al-Qur’an yang sesungguhnya. Ayat al-Qur’an, surah alBaqarah ayat 256 menyebutkan:

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.” 14

Ketiadaan adanya paksaan dalam beragama ini menurut Syaikh Nawawi seperti terdapat dalam Tafsir Marah Labid jilid 1, karena pada dasarnya seseorang sudah diberi potensi untuk membedakan barang yang haq dan bathil, keimanan dan kekufuran, petunjuk dan kesesatan (melalui banyaknyapetunjuk-petunjuk yang telah ada (al-dalaa’il) melalui ayatayat Qouliyahmaupun kauniyah).15 3. Konsep Ukhuwah Islamiyyah Ukhuwah sering diartikan sebagai sebuah bentuk atau hubungan persaudaraan antara seseorang dengan orang lainnya. Yang paling besar gaungnya 14 15

adalah

tentang ukhuwah

islamiyah. Ukhuwahyang

Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 256, hal. 63. Tafsir Marah Labid, Jilid I, 82.

biasa

14

diartikan

sebagai

“persaudaraan”,

menurut

M.

Quraish

Shihab

dalam Wawasan Al-Qur’an, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Maka asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.16 Dalam Wawasan Al-Qur’an konsep tentang “ukhuwah islamiyah” dibahas secara panjang lebar oleh M. Quraish Shihab. Menurutnya, istilah “ukhuwah islamiyah” ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan tentang “ukhuwah” tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan katan “Islamiyah” dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”, atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama muslim”, sehingga dengan demikian, kata “Islamiyah” dijadikan pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini kurang tepat. Kata “islamiyah” yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai “adjektifa”, sehingga “ukhuwah islamiyah” berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam”. (1996: 486-487). Paling tidak, ada dua alasan untuk mendukung

pendapat

memperkenalkan

ini. Pertama,

bermacam-macam

al-Qur’an persaudaraan

dan seperti;

al-Hadits saudara

kandung (QS Al-Nisa [4]: 23), saudara dalam arti sebangsa (QS al-A’raf [7]: 65), saudara semasyarakat, walaupum berselisih faham (QS Shaad [38]: 23), persaudaraan seagama (QS Al-Hujurat [49s]: 10), dan saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga (QS Thaha [20]: 29-30). Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefintif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat jelas pada saat kita berkata Ukhuwah Islamiyah dan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah”.

16

Shihab, M. Quraish, Wawasan …. , hal. 486.

15

Berkaitan dengan ukhuwah islamiyah, Al-Qur’an memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan: Ukhuwah di al-‘ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan.

Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS 6: 38) 17

Persamaan ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah (Al-Baqarah [2]: 28). Ukhuwah fi al-insaniyah, dalam arti keseluruhan umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Ayat

al-Hujurat

12

menjelaskan

tentang

hal ini.rasul saw.

Juga

menekankannya dalam sabda beliau: “Kuunuu ‘ibadallah ikhwanaa al‘ibad kulluhumikhwat”. Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh ayat wa ila ‘ad akhahum hud, dan lain-lain. Ukhuwah fi din al-Islam. Persaudaraan antar sesama muslim, seperti bunyi surah al-Ahzab 5. demikian juga dalam sabda Rasulullah saw.: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah [wafat]-ku”. 2.5 Tokoh-Tokoh Pluralisme Islam 1. 17

Dr. Nurcholish Madjid

Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al An’am (6) : 38, hal. 192

16

Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau populer dipanggil Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Dia adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, katanya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.” Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen

Paramadina

(Cak

Nur),

masih

banyak

kalangan

yang

menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama (membatasi agama). Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad. 2. Kyai Haji Abdurrahman Wahid Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid

17

Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya

di

Universitas

Baghdad

tahun

1970.

Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali

ke

Indonesia

pada

1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa dirinya tidak setuju terhadap seorang muslim yang menyatakan agama orang lain adalah benar sebagaimana kebenaran agamanya. Dia lebih suka mengatakan, “Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran”. Dari kedua pendapat tersebut, dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial (yang pokok) dalam beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan kebenaran yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut dia, setiap orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri di hadapan Tuhan. Di sini Gus Dur memberi contoh kepada para tokoh muslim maupun nonmuslim, bagaimana harus bersikap dengan pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa kehilangan identitas. Dia membedakan secara jelas mana wilayah privat dan mana wilayah publik.

18

Melalui pandangan dan sikap tersebut, konsep pluralisme yang dijalani oleh Gus Dur tampak berbeda dengan konsep pluralisme yang digunakan sebagai dasar MUI dalam menetapkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep pluralisme yang dijalani Gus Dur bukan pluralisme dalam pengertian suatu paham yang mengakui semua agama-agama benar. 3. Abdul Mukti Ali Mukti Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23 Agustus 1923 ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Timur. Balun Sudagaran merupakan desa para saudagar. Mukti Ali meluncurkan konsepsi pemikiran Pluralisme yang terangkum dalam lima poin utama : Pertama, dengan jalan sinkretisme (perpaduan dari beberapa paham). Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Kedua, dengan jalan rekonsepsi (reconception). Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka interaksinya dengan agama-agama lain. Ketiga, dengan jalan sintesis. Yakni menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama-agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis (campuran) tadi. Dengan jalan ini, orang menduga bahwa toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama akan tercipta dan terbina. Keempat, dengan jalan penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa agamanya sendirilah yang benar, sedang agama-agama lain adalah

19

salah, seraya berupaya keras agar para pengikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan agama yang dia peluk. Dengan jalan ini, ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama dapat dicipta dan dikembangkan. Kelima, dengan jalan atau pendekatan setuju dalam perbedaan (agree in disagreement). Gagasan ini menekankan bahwa agama yang dia peluk, itulah yang paling baik. Walaupun demikian, ia mengakui, di antara agama yang satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaanperbedaan juga terdapat persamaan-persamaan. Pengakuan seperti ini akan membawa kepada suatu pengertian yang baik yang dapat menimbulkan adanya saling menghargai dan sikap saling menghormati antara kelompok pemeluk agama-agama yang satu dengan yang lain. 4. Ahmad Wahib Ahmad Wahib adalah seorang budayawan, dan pemikir Islam yang lahir pada tanggal 9 November 1942 di Sampang Madura. Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan

(absolute

entity)

tanpa

menghubung-hubungkan

dari

kelompok mana saya serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian Ahmad Wahib 9 Oktober 1969).[8] Wahib adalah orang yang berada pada posisi terbuka untuk menerima banyak gaya hidup dan etos kepesantrenan, untuk mempelajari kotroversi keagamaan, dan untuk mengumpulkan gagasan-gagasan yang akan dikembangkannya sendiri kemudian.

20

Keragaman etnis ribuan mahasiswa, kehadiran berbagai tradisi keagamaan, dan tingkat toleransi keagamaan yang luar biasa, yang menjadi ciri orang-orang Jawa Tengah, semuanya telah memunculkan sikap keterbukaan antara berbagai tradisi keagamaan dan pergaulan sosial antara orang-orang dengan latar belakang yang bervariasi. Ini semua sangat mengesankan Wahib. 5. Djohan Effendi Djohan Effendi lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan pada tanggal 1 Oktober 1939.Ia adalah menteri sekretariat negara Kabinet Persatuan Nasional

era

Presiden

Abdurrahman

Wahid.Pemikiran

Islam,

nama Djohan Effendi, bukan nama asing. Ia sudah malang-melintang sebagai pemikir Islam Inklusif yang sangat Liberal dan sangat mendukung JIL(Jaringan Islam Liberal). Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan: “Pada setiap agama terdapat kebenaran yang bisa diambil.” Karena itu, ia sangat prihatin pada segala bentuk pertetangan yang mengatasnamakan agama. 6. Harun Nasution Prof Dr Harun Nasution lahir pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar Sumatera Utara. Harun Nasution berpendapat bahwa; Perbedaan pendapat dan perbedaan penilaian adalah suatu hal yang lumrah dan direstui dalam sejarah Islam. Hadits Nabi bahkan menyatakan bahwa perbedaan pendapat dikalangan umat beliau adalah rahmat dari Tuhan. Ia juga berpendapat bahwa; Ijtihad terbatas pada bidang hukum saja, tetapi meliputi semua bidang pemikiran dalam Islam ini berbeda dengan anggapan umum yang berkembang selama ini bahwa jihad itu seolah-olah di bidang hukum Islam

21

saja. Baginya , ijtihad merupakan satu unsur terpenting dalam ajaran Islam. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang tak ada penyelesaiannya dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat dipecahkan oleh para ulama. Dengan ijtihad pujaan Islam berkembang pada zaman keemasannya sebagaiamana diketahui bahwa dari abad ke-8 samapai ke-13 M Islam merupakan agama yang mempunyai ajaran dan kebudayaan yang yang tiada tara (LSAF : 137). Dengan begitu , kata Nasution , pada hakikatnya ijtihad adalah yang menjadikan dinamika Islam Sejarah membuktikan bahwa sejak pintu ijtihad dianggap tertutup oleh para ulama pada pertengahan abad ke-4 H, pemikiran Islam mengalami kemandekan. Baik ajaran maupun kebudayaan Islam. Dengan mengemukakan argument itu, Nasution yakin bahwa ijtihad itu tidak terbatas di bidang hukum saja. Karena itu, ijtihad yang diperlukan sekarang harus meliputi semua bidang pemikiran. 7. Dawam Raharjo Muhammad Dawam Raharjo terkenal sebagai tokoh ekonom dan tokoh agama.Ia dilahirkan di Solo pada tanggal 20 April 1942.Selama masa

kecilnya,

ia

banyak

belajar

mengenai

ilmu-ilmu

agama

sepertimengaji, menghafal surat, dan juga dasar-dasar pendidikan agama seperti bahasa Arab, tafsir, fiqih, dan hadis. Menurut Dawam Raharjo, umat Islam perlu menganut paham pluralisme, yaitu paham yang didasarkan pada kenyataan tentang pluralitas yang sudah menjadi kenyataan di dunia modern. Pluralisme menghormati perbedaan dan karena itu harus ada saling menghormati. Jika tidak maka yang lahir adalah konflik yang mendorong kepada tindakan kekerasan. Tanpa filsafat pluralisme, kebebsan beragama akan terancam. 2.6 Kaitan Pluralisme di Indonesia dengan Budaya Lokal yang Ada Pluralitas merupakan "hukum ilahi dan "sunnah" ilahiyah yang abadi disemua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama semua makhluk Allah bahkan manusia, macamnya, afliasinya,

22

dan tingkat prestasi (performance) dalam melaksanakan kewajibannya . Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat: 13:

ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم ِمن ذَك َٖر َوأُنث َ َٰى َو َج َع ۡل َٰنَ ُك ۡم‬ َّ ‫ارفُ َٰٓو ْۚا ِإ َّن أ َ ۡك َر َم ُك ۡم ِعندَ ٱ ََّّللِ أَ ۡتقَ َٰى ُك ْۡۚم ِإ َّن‬ ‫ٱَّللَ َع ِلي ٌم‬ ُ َّ‫َٰ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلن‬ َ ‫شعُوبا َو َقبَآَٰئِ َل ِلت َ َع‬ ‫َخ ِبير‬ “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal." 18 Keragaman ini seperti ditunjukkan oleh Indonesia yang merupakan negara-bangsa yang terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa. Keragaman ini perlu dikelola secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu bentuk tatanan nilai yang dapat dibagi bersama. Fenomena itu menunjukkan betapa perlunya membangun kesadaran saling menghormati dan saling menghargai eksistensi kebudayaan dalam kerangka multikulturalisme. Multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Melihat istilah ini, multikulturalisme berarti ingin menumbuhkan sikap ragu-ragu atau skeptis, sehingga yang ada hanya relatif. Kemudian juga Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A dalam pengantar buku Pendidikan Multikultural mengatakan: “setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada pada posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi

18

Fitriani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Jurnal Al- Ulum Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011, hal 332-333

23

atau dianggap tinggi (superior) dari kebudayaan lain.Ungkapan seperti inilah yang harus disikapi dengan arif dan bijak.” Ungkapan tersebut bisa diartikan bahwa semua kebudayaan adalah sama tak ada yang lebih tinggi. Jika hal ini yang dimaksud berarti istilah baik dan buruk adalah memiliki makna yang sama. Sebab semua dipukul rata. Tidak ada yang lebih unggul. Padahal dalam ajaran Islam suatu kebaikan adalah lebih tinggi derajatnya dari sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang benar lebih mendapatkan tempat dari pada kesalahan. Islam juga sangat jelas membendakan haq dan bathil, muslim dan musyrik. Dari kedua konsep tentang pluralisme dan multikulturalisme di atas dapat dipahami bahwa keduanya berorientasi pada tidak membeda-bedakan antara masing-masing komunitas untuk kontinuitas keharmonisan, tetapi keduanya juga mempunyai titik tekan yang berbeda, pluralisme lebih pada nilai-nilai agama, sedangkan multikulturalisme pada nilai-nilai budaya.19 Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Menurut Nurcholis Majid, agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia merupakan sub-ordinat dari agama. Komunikasi agama dan budaya merupakan suatu keniscayaan. Pada kondisi tertentu agama dengan kekuatan magis dan berbagai ritualnya akan mempengaruhi kebudayaan dari sebuah masyarakat. Sehingga agama pada tataran tertentu bisa dikatakan memiliki superioritas atas budaya. Namun demikian, adakalanya juga budaya memberi pengaruh pada proses keberagamaan manusia. Hal ini terkait dengan sifat kodrati manusia yang tidak bisa terlepas dari dimensi 19

M. Syaiful Rahman, Islam Dan Pluralisme, 2014, STAIN Pamekasan, Jurnal, hal. 406.

24

sosial. Sehingga penganut agama yang sama di lingkungan masyarakat yang berbeda, akan melahirkan tipologi keberagaman yang berbeda.20 Umat Islam melakukan interaksi dengan budaya lain, sudah berlangsung sejak awal Islam diajarkan. Dalam proses interaksi dan akulturasi, penghormatan terhadap budaya lokal benar-benar diwujudkan. Islam tidak saja menonjolkan dari aspek tahrim (melarang) ketika berhadapan dengan budaya masyarakat. Diluar tahrim, dengan model Tamil (menerima dan menyempurnakan budaya lokal dengan ajaran Islam) dan taghyir (mengubah tata cara pemberlakuan suatu budaya) ketika Islam juga dilakukan Islam terhadap budaya lokal, sehingga interaksi model ini tidak sulit ditemukan oleh umat Islam.21 Islam yang keberadaannya harus disebarkan dan disampaikan kepada orang-orang yang belum memeluk agama Islam. Para pemeluknya juga diperintahkan untuk melaksanakan penyebaran Islam. Ketika proses Islamisasi berlangsung, maka dapat dipastikan Islam bertemu dengan agama, kepercayaan, budaya dan tradisi masyarakat. Kedatangan Islam tidak semena-mena melakukan penghapusan dan pelarangan terhadap agama, kepercayaan, kebudayaan, dan tradisi masyarakat. Di Indonesia, dilihat dari sisi kepercayaan dan keagamaan, sebelum islam datang mereka sudah memiliki kepercayaan “animisme dan dinamisme” dan mereka juga sudah memeluk agama-agama besar “Hindu, Budha, dan Kristen” yang banyak memiliki pengaruh dalam kehidupan keseharian masyarakat. Selain masyarakat Indonesia sudah memiliki kepercayaan dan agama, mereka juga memiliki budaya dan tradisi yang kuat, bahkan keberadaannya hampir menyamai posisi agama, sehingga budaya dan tradisi tersebut harus diadaptasikan dengan

20

Ach. Shodiqil Hafl, Komunikasi Agama Dan Budaya (Studi atas Budaya Kompolan Sabellesen Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Bluto Sumenep Madura) Desember 2016, hal 162-163, Jurnal BalaghVol. 1, No. 2, Juli 21 Khoiro Ummatin, Sejarah Islam & Budaya Lokal, (2017: Kalimedia Yogyakarta), hal 195

25

ajaran Islam. Langkah ini untuk mengantisipasi, agar budaya dan tradisi lokal tidak keluar dari kaidah-kaidah tauhid. Implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.22 Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Islam bukan agama anti pluralisme dan Islam menyadari bukan sebagai pemegang otoritas tunggal dalam beragama, meski Islam secara langsung mendeklarasikan sebagai agama paling akhir dan paling sempurna. Islam mengenal keragaman, seperti yang tertulis dalam QS. Al-Hujurat:13, dan bisa membangun hidup toleransi ditengah masyarakat, sebagai wujud implementasi masyarakat pluralis. Dengan menerapkan model akulturasi Islam dalam bentuk tamil, taghyir, dan, tahrim ketika bersinggungan dengan budaya dan tradisi masyarakat, ini menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi diri dan menjaga jarak dengan budaya, sehingga Islam tidak mengalami keterputusan dengan masa lalu. Tradisitradisi yang sudah berlaku di masyarakat hendaknya dilihat secara cermat dan hati-hati. Selama dalam tradisi tidak ada yang bertentangan dengan ajaran islam dan pelaksanaannya tidak menimbulkan bahaya baik secara fisik maupun keyakinan, maka tidak salah kalau dilakukan proses akulturasi, sampai menemukan titik temu dan bisa berjalan tanpa adanya pelanggaran secara tauhid, sosial

22

dan,

budaya.23

Iwan Adi Kusuma, Tradisi Nyadranan Masyarakat Jawa (2017), busurnews.com/2017/07/tradisinyadran-masyarakat-jawa (ddiakses 20 Maret 2018) 23 Op. Cit Ummatin hal. 195

BAB III KESIMPULAN Pluralisme beragama sangat diperlukan, agar tidak ada klaim pembenaran masing-masing agama dan tidak adanya konflik antar agama. Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Sebenaranya semua agama itu sama, sama-sama mempercayai tuhan yang satu, adanya berbagai agama dikarenakan untuk menguji umat manusia, bagaimana kontribusinya terhadap agama lain, dan keberagaman agama memang suatu kenyataan yang tidak bias dipungkiri, namun intinya semua agama itu kembali kepada Allah, adalah tugas dan wewenang tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Berbagai pandangan tentang pluralisme pun bermunculan. Sesungguhnya, fenomena agama dan beragama telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus berlanjut sampai akhir kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam tentang pluralisme, kita harus menelaahnya dari

Muhammad

saw.

dan

Islam

26

dalam

kehidupan

umat

manusia.

DAFTAR PUSTAKA Al-Maliky, dan Ahmad Al-Shawi. Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir AlJalaluddin. Surabaya: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, 1994. Fitriani. Pluralisme Agama-Budaya dalam Prespektif Islam. Ambon: IAIN Ambon, 2011. Hafl, Ach Shodiqil. Komunikasi Agama Dan Budaya (Studi atas Budaya Kompolan Sabellesen Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Bluto Sumenep Madura). Madura, 2012. Kusuma, Iwan Adi. Tradisi Nyadranan Masyarakat Jawa. Juli 2017. busurnewa.com/2017/07/tradisi-nyadran-masyarakat-jawa (diakses Maret 20, 2018). Makhluf, dan Syaikh Hasanain Muhammad. Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an. Kairo: Darul Basya’ir, 1994. Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Tafazza, 2010. Nugroho, Heru. Atas Nama Agama. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Partanto, Pius A, dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Ar Kolah, 1994. Rahman, M Syaiful. Islam dan Pluralisme. STAN Pamekasan: Pamekasan, 2014. Sururin. Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan Yang Berserak. Bandung: Nuansa, 2005. Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam & Budaya Lokal. Yogyakarta: Kalimedia Yogyakarta, 2017. Yusuf, dan Abdul Wadud. Tafsir al-Mu’minin. Beirut: Dar al-Fik, 1997.

27

Related Documents


More Documents from "Inayatul Karima"