Isi.docx

  • Uploaded by: Wahyunii
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Isi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,817
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pandangan setiap orang dalam mencapai tujuan hidupnya tidak dapat disamaratakan, karena dalam diri manusia itu sendiri terdapat unsur-unsur Tri Guna dengan kadar yang berbeda-beda. Maka hal ini dapat menjadikan peluang yang sangat besar untuk terjadinya kekacauan. Upaya untuk menanggulanginya telah dilakukan umat Hindu di Desa Pekraman yaitu dengan dibentuknya Pecalang. Pecalang berperan besar dalam menentukan jalannya Desa Pekraman, disamping peranan pihak-pihak lainnya.

Pecalang diperkirakan sudah ada sejak Bali berada di zaman kerajaan. Dahulu pun tugas para pecalang

itu untuk mengatur dan menjaga kegiatan

keagamaan. Pecalang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Hindu Bali. Munculnya institusi adat di Bali bernama Desa Adat, kini bernama Desa Pakraman adalah awal munculnya pecalang. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002:35) kata pecalang berasal dari kata calang (bahasa bali) yang berarti tajam inderanya. Pecalang artinya orang yang tajam inderanya, tajam penglihatannya, tajam pendengarannya, melebihi orang lainnya. Dengan modal dasar seperti itu diharapkan para pecalang dapat mengemban tugasnya dengan baik. Banyak nama lain dari pecalang ini, diantaranya yang pernah dikenal adalah sikep, dolap, sambangan, poleng, dan nama lainnya sesuai daerah masingmasing. Tapi pada setiap zaman, pecalang mempunyai konteks dan dinamikanya

1

masing-masing. Misalkan pada zaman penjajahan kolonial Belanda dikenal istilah prayoda, sebagai satuan pemuda untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa, juga bila diperlukan dapat dimobilisasi atau digerakkan sesuai dengan kepentingan penjajah. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002:360) dalam Lontar Purwadigama disebutkan ada dua jenis pecalang yaitu : pecalang sekala dan pecalang niskala. Pecalang sekala adalah pecalang yang kelihatan secara kasat mata sedangkan pecalang niskala adalah pecalang yang diyakini ada secara kasat mata. Pecalang sekala dapat dikelompokkan menjadi lima macam, yaitu : a) Pecalang Desa Pekraman atau pecalang banjar pekraman dikenal dengan nama Jagabhaya Desa, bertugas mengamankan wilayah Desa Pekraman b) Pecalang Subak disebut Panglima Toya, bertugas mengamankan pengaturan pengairan sawah c) Pecalang Segara disebut Pecalang Bendega, bertugas mengamankan wilayah nelayan/pantai d) Pecalang tabuh rah disebut juga Sawung Tanggur.

Pecalang niskala diyakini sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keharmonisan dunia, yang berbeda dengan Dewata Nawa Sanga. Pecalang niskala antara lain : a) Pecalang Ring Purwa (arah timur) bernama Sang Jogor Manik atau disebut juga Bhagawan Penyarikan b) Pecalang Ring Daksina (arah selatan) bernama Sang Dorakala disebut juga Bhagawan Tembang Pengarah c) Pecalang Ring Pascima (arah barat) bernama Sang Citrangkara disebut juga Bhagawan Anglurah d) Pecalang Ring Utara (arah utara) disebut Bhagawan Wismakarma.

2

Dalam lontar yang sama menurut Suparta (2001:11), disebut bahwa empat jenis pecalang niskala tersebut dilengkapi lagi empat jenis pecalang niskala dalam kawasan diagonal arah mata angin yaitu : a) Ring Ersanya (timur laut) pecalangnya adalah Bhuta Adiraksa b) Ring Gneyan (tenggara) pecalangnya adalah Bhuta Sariraksa c) Ring Neriti (barat daya) pecalangnya adalah Bhuta Astiraksa d) Ring Wayabya (barat laut) pecalangnya adalah Bhuta Paduraksa

Nama pecalang mencuat ketika diadakan konggres PDI-P di Sanur pada 1998 silam. Keberhasilannya mengamankan kongres pada masa transisi reformasi itu telah membuat nama pecalang melambung sebagai penjaga keamanan tradisional Bali. Keberhasilan ini menjadikan pecalang semakin percaya diri untuk ekspansi ke luar wilayah adat. Wilayah operasionalnya akhirnya meluas. Awalnya hanya sebagai satuan pengamanan untuk desa adat. Tetapi yang terjadi belakangan, pecalang juga memasuki wilayah lain. Katakanlah, mengamankan kejuaraan bola voli, sepak bola, tajen bahkan ikut mengatur arus lalu lintas di beberapa ruas jalan. Untuk merazia penduduk pun pecalang berada di garis terdepan. Tidak heran, para penduduk pendatang di Bali lebih takut dengan razia yang dilakukan oleh pecalang daripada Satpol PP. Berbagai keberhasilan yang pernah diraih membuat pecalang menjadi sedikit arogan. Contohnya, main tutup jalan umum tanpa ada koordinasi dengan aparat kepolisian. Dalam perjalanannya, tahun 2001, eksistensi pecalang makin terasa, manakala pemerintah daerah memasukkan pecalang ke dalam perangkat aturan daerah yakni Perda No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Berikut isi bunyi pasal yang mengatur tentang kepecalangan : BABX Perda No. 3 Tahun 2001 PECALANG Pasal 17

3

(1)

Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman dilaksanakan oleh

pacalang. (2)

Pacalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa

pakraman dalam hubungan pelaksanaan tugas adat dan agama. (3)

Pacalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan

paruman desa.

Keanggotaan pecalang dipilih oleh prajuru desa pakraman, dan mendapat persetujuan paruman desa pakraman, taat pada awig-awig desa pakraman dan sesana pecalang. Kewajiban dari pecalang adalah bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mewujudkan Tri Hita Karana, membantu prajuru mewujudkan Tri Hita Karana, mewujudkan keamanan dan ketertiban desa pakraman demi kelancaran upacara agama, dapat memberi teladan yang baik kepada krama/warga masyarakat, khususnya dalam bidang keamanan dan ketertiban. Untuk memperkuat eksistensi pecalang berbagai seminar sudah dilakukan.

Seminar

di

Gianyar

pada

Juni

2001

menghasilkan

petunjuk tentang sesana pecalang yang dikeluarkan oleh Badan Kesbanglinmas Kabupaten Gianyar yang sudah dimufakati oleh Desa Pekraman diantaranya, pengertian pecalang adalah satgas (satuan tugas) keamanan tradisional masyarakat bali, sedangkan masalah sesana pecalang, yang menjadi tugas pokok adalah mewujudkan keamanan, ketertiban dan ketentraman pelaksanaan Tri Hita Karana, baik didalam maupun diluar desa pekraman yang bersangkutan bersama aparat terkait lainnya. Begitupula ditetapkan gegawan dan pasuwitraan pecalang. Yayasan Tri Hita Karana juga membuat seminar di kawasan Garuda Wisnu Kencana pada Maret 2002. Seminar ini merumuskan antara lain membiarkan pecalang melaksanakan tugas di luar desa adat dengan koordinasi pihak terkait.

4

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada Latar Belakang Masalah diatas, maka untuk mempersempit ruang lingkup pembahasan akan dirumuskan tiga pokok masalah sebagai berikut :

1. Apa sajakah yang menjadi persyaratan untuk menjadi pecalang ? 2. Apa saja yang menjadi atribut (kelengkapan) pecalang pada saat menjalankan tugas? 3. Bagaimana tanggapan masyakat terkait dengan kinerja pecalang ?

1.3. Metode Penulisan

Tugas yang penulis buat menggunakan metode kepustakaan.

5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Syarat-Syarat menjadi pecalang Tidak semua masyarakat dapat menjadi pecalang, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Mungkin ada sedikit perbedaan dalam masing-masing desa pekraman dalam memilih seseorang menjadi pecalang, namun pada umumnya adalah sama, yaitu menurut Dewa Anom Sudira (8 Mei 2004) proses pemilihan anggota pecalang adalah melalui paruman (hasil musyawarah) desa atau banjar pekraman, cakap lahir batin, dan disucikan dengan upacara mejaya-jaya (upacara untuk memohon kemenangan), selanjutnya diberi tugas sebagai pengaman di lingkungan Desa Pekraman. Warga yang berhak menjadi pecalang adalah warga Desa Pekraman tersebut, dengan kata lain tidak boleh warga dari luar Desa Pekraman menjadi pecalang. Cakap mengandung pengertian sudah dewasa, baik dari segi umur maupun mental. Kecakapan ini diperlukan sehubungan dengan tugas yang akan diemban memerlukan tanggung jawab yang berat, karena menyangkut keselamatan masyarakat luas. Kewajiban melaksanakan upacara mejaya-jaya menjadi

penting

untuk

memberikan

kekuatan

spiritual

kepada

yang

bersangkutan. Menjadi pecalang adalah suatu pengabdian kepada masyarakat. Mereka tidak mendapatkan gaji. Tapi sebagai kompensasi mereka dibebaskan dari segala hal yg berkaitan dengan kewajiban warga. Mereka tidak kena iuran di banjar, tidak wajib ikut gotong royong dan lain - lain. Tapi konsekuensinya, mereka

6

harus siap jika sewaktu-waktu harus bertugas pada saat ada suatu kegiatan adat di desa setempat. Pecalang biasanya dipilih oleh warga banjar dengan masa tugas 1 tahun. 2.2. Atribut (kelengkapan) Pecalang Ketika para pecalang melaksanakan tugasnya, sebagai ciri khasnya mereka memakai atribut dan pakaian yang telah ditentukan. Menurut Widnyani dan I Ketut Widia (2002 : 43-44) dalam Lontar Purwadigma dinyatakan bahwa seorang pecalang setidak-tidaknya mengenakan udeng atau destar (ikat kepala) dengan bentuk khusus yang berbeda dengan udeng yang dikenakan patih sebagai pejabat kerajaan, mawastra akancut nyotot pertiwi (memakai kain/kamben dengan ujung kain menusuk tanah), mekampuh poleng (memakai saput poleng), anyungkalit keris (menyelipkan keris di pinggang), dan masumpang waribang (menyelipkan bunga kembang sepatu atau pucuk rejuna yang berwarna merah ditelinganya). Pada kehidupan nyata masyarakat Hindu di Bali, secara umum para pecalang sudah mengikuti yang telah digariskan dalam lontar tersebut, terkadang ditambah lagi beberapa perlengkapan sesuai dengan kemajuan zaman sekarang misalnya dilengkapi peluit/sempritan, pentungan, alat komunikasi radio (handy talky), dan sebagainya. Pemakaian saput poleng yang menjadi ciri khas para pecalang mengandung arti bahwa seorang pecalang seharusnya selalu memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan tujuan agar dapat mengandalkan keamanan sesuai tugas yang telah dibebankan kepadanya. Pecalang semestinya bercermin pada saput poleng yang dikenakannya, mengetahui adanya rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutnya melalui kedewasaan intelektual

7

dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertiban Desa Pekraman dapat diwujudkan. Pecalang sepatutnya mampu nyelem-putihang gumi, dalam arti mampu menjaga dan mengarahkan masyarakat dari kekacauan menuju kedamain seperti yang dicita-citakan bersama. Nyoman Kartikayasa (15 Juni 2004) mengartikan pemakaian saput poleng oleh para pecalang dikatakan bahwa seseorang yang telah memakai saput poleng dan menyatakan diri bersedia mengemban tugas sebagai pecalang, berarti orang itu telah berani mengambil resiko terhadap akibat-akibat yang mungkin timbul dari tugasnya itu. Dengan kata lain seorang pecalang sudah memahami untuk mengamankan suatu keadaan yang kacau, dalam hal ini segala resiko yang sangat berbahaya sudah menghadang didepan mata. Untuk menghadapi bahaya tersebut maka seorang pecalang harus memiliki kekuatan lebih dibandingkan orang-orang disekitarnya. Secara tersembunyi menandakan pecalang yang memakai saput poleng berarti mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Pemakaian saput poleng yang paling umum digunakan adalah saput poleng sudhamala dengan hiasan tepi di bagian bawahnya, atau saput poleng tridatu dengan hiasan tepi dibawahnya. Hiasan tepi tersebut mengandung makna bahwa pecalang adalah seorang manusia biasa yang masih memiliki batas-batas kemampuan tertentu, artinya tepi itu merupakan batas kemampuan manusia. Saput poleng tridatu yang berwarna putih, hitam dan merah merupakan simbolik bahwa manusia masih dipengaruhi oleh tri guna yaitu satwam, rajas dan tamas (Made Wena, 16 Juni 2004). Hiasan tepi saput poleng para pecalang yang paling umum berwarna merah, sejalan dengan warna merah pucuk rejuna yang diselipkan di telinganya. Merah merupakan simbolik keberanian, keperkasaan yang menyiratkan kemampuan lebih.

8

Berbeda dengan halnya saput poleng yang dikenakan pada pelinggih sebagai simbolik pecalang niskala, kain ini tidak memiliki hiasan tepi. Artinya pecalang niskala diyakini memiliki kemampuan yang tanpa tepi, tanpa batas. Saput poleng yang umum dikenakan pada pelinggih pecalang niskala adalah saput poleng rwabhineda dan saput poleng sudhamala. Saput poleng rwabhineda merupakan simbolik bahwa pecalang niskala memiliki kemampuan membedakan buruk dan baik kemudian memilih yang terbaik. Saput poleng sudhamala mengandung arti simbolik bahwa pecalang niskala memiliki kemampuan untuk menjembatani atau mengharmoniskan antara yang buruk dengan yang baik, kemudian dapat mengarahkannya pada kegiatan yang baik, sedangkan saput poleng tridatu sebaiknya tidak digunakan. Alasannya adalah bahwa manifestasi Tuhan sebagai pecalang niskala tidak terkena pengaruh tri guna, karena itulah saput poleng tridatu tidak dijadikan ciri khas pelinggih pecalang niskala. Saput poleng merupakan lambang untuk melakukan komunikasi dalam masyarakat bali dan arti yang terkandung didalamnya telah disepakati bersama. Hal ini bisa diperhatikan dari tanggapan masyarakat terhadap orang yang memakai saput poleng, udeng khusus, menyelipkan keris, menyelipkan bunga kembang sepatu merah (pucuk rejuna) di telinganya, dan mengenakan kain mekancut nyotot pertiwi. Apabila masyarakat melihat orang mengenakan pakaian seperti itu, paling tidak dugaan pertama yang tertuju pada orang itu adalah seorang pecalang. Sepanjang pengamatan dan dari informasi yang diperoleh, ternyata hanya kaum laki-laki yang menjadi pecalang, sedangkan wanita belum pernah ada. Walaupun budaya Hindu tidak mengenal diskriminasi antara laki-laki dan wanita, namun pecalang wanita tidak akan mudah dibentuk karena sangat terkait tata pergaulan sosial kemasyarakatan umat hindu di Bali yang sepertinya telah

9

menetapkan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan terutama dalam kegiatan adat dan upacara-upacara keagamaan umat Hindu. 2.3. Tanggapan Masyarakat Terkait Kinerja Pecalang Belakangan ini sebagian masyarakat beranggapan pecalang mulai melenceng fungsi dan tugasnya, disamping itu pecalang pun kerap kali membuat rasa tidak nyaman dan perasaan marah bagi yang menyaksikan dan berhadapan langsung dengannya. Berikut adalah beberapa kejadian yang dapat mewakili kejadian-kejadian lainnya, antara lain : 1. Pada saat acara pernikahan salah satu artis ibu kota yang kebetulan dilaksanakan di Bali, di daerah Uluwatu. Waktu itu pecalang berperan aktif mengamankan prosesi upacara pernikahan mereka, bahkan menjaga jalan akses ke tempat upacara. Ironisnya upacara pernikahan yang berlangsung bukan upacara pernikahan adat Bali, ataupun kegiatan upacara umat Hindu yang menjadi daerah “kekuasaan” pecalang, dan dapat dipastikan keamanan desa adat tidak akan terancam hanya karena upacara ini. Yang lebih disayangkan, menurut isu yang beredar, pecalang setempat telah menerima sejumlah uang untuk mengamankan upacara tersebut. Jika itu kegiatan upacara adat, sah saja jika pecalang turut serta ambil bagian dalam kegiatan tersebut, sesuai dengan tugasnya, yaitu menjaga keamanan dan kelancaran kegiatan yang berlangsung di wilayah desa adatnya. Dalam kasus diatas sepertinya desa adat tidak terancam keamanannya. ( I Wayan Ardika ) 2. Kejadiannya tepat Hari Manis Galungan (sehari setelah upacara puncak Galungan), salah satu desa mengadakan upacara ”Ngenteg Linggih” di salah satu pura, pada saat itu bertepatan dengan kegiatan ”melasti” kepantai, para pengendara kendaraan bermotor dan mobil kebetulan berpapasan dengan rombongan ini, para pengendara sudah mengerti dan memahami akan

10

kegiatan ini, karena mereka langsung berhenti ditepi jalan. Pecalang yang berada didepan rombongan berteriak dengan lantangnya menyuruh para pengendara menepi, padahal sudah jelas-jelas para pengguna jalan tersebut berada ditepi jalan paling pinggir, yang disebelah kirinya ada sungai kecil. Disitulah letak kejengkelan kepada para pecalang yang tidak dapat melihat situasi dan tidak bisa berbicara lebih halus. ( I Wayan Ardika ) 3. Made Kerta menggerutu setelah dibentak seorang pecalang saat melintas di salah satu ruas jalan di wilayah Badung. Ketika itu, jalan ditutup karena pada salah satu pura di jalan tersebut sedang melaksanakan pujawali (upacara hari kelahiran pura). Made Kerta diminta untuk berbalik arah mencari jalan yang lain tanpa diberikan jalan alternatif, tanpa ada penjelasan atau keterangan kepada pengguna jalan, mereka harus lewat jalan mana. Padahal ada beberapa diantara mereka yang mungkin akan pulang kerumah dan hanya tinggal sedikit lagi jarak kerumahnya, terpaksa memutar mencari jalan lain Namun, pecalang tersebut menyuruh dengan nada suara tinggi, membentak-bentak. Sejatinya, banyak orang yang pernah kena bentak pecalang. Entah apa yang menyebabkan, setiap kali menutup jalan, pecalang susah sekali menunjukkan senyum, bersikap ramah. Cepat sekali sang pecalang itu marah, garang dan main bentak. 4. Ada yang cukup menggelitik pandangan gubernur Bali, Made Mangku Pastika menjelang pemberian penghargaan kepada para seniman lingsir atas pengabdiannya terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas daerah Bali dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-34 di gedung Ksirarnawa, Art Centre Bali, Denpasar, Senin (18/6) lalu. Pasalnya, gubernur Bali merasa terenyuh dengan sentilan kritis yang menyoroti fenomena pecalang desa pekraman dalam goresan seni kartun yang disajikan di sudut paling kiri bawah pada stan pameran Bog-Bog Magazine di lantai dasar dekat tangga menuju lantai

dua

gedung

Ksirarnawa,

Art

Centre

Bali,

Denpasar.

11

Bahkan, gubernur sempat berdiskusi dengan bupati Gianyar, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang akrab disapa Cok Ace terkait pemaknaan dari konstruksi fenomena pecalang desa pekraman dibalik goresan seni kartun tersebut. Gubernur secara tegas menyentil pecalang sekarang bukanlah

pecalang

sesungguhnya,

melainkan

premanisme

berbusana

pecalang desa pekraman. 5. Acara pameran pembangunan pun tidak luput dari pengawasan pecalang, bahkan pameran industri yang diselenggarakan pihak event organizer pun turut diamankan pecalang setempat. Konser-konser artis yang diselenggarakan di Bali juga banyak melibatkan pecalang. Dan anehnya mereka disamping mengamankan, juga memungut biaya parkir para pengunjung pameran, bahkan dengan nominal yang tidak biasa. 6. Banyak tajen (sabung ayam) memakai jasa pecalang untuk mengamankan acaranya. Padahal menurut Prasasti Bali Kuno (Batuan), pihak yang mengurusi tajen adalah sawung tanggur (petugas khusus pengamanan tajen) dan bukan oleh pecalang. 7. Fakta menunjukkan bahwa pecalang juga melakukan tugas mengamankan kegiatan di luar kegiatan adat dan agama. Misalnya : kegiatan waspada teroris, perayaan Natal, Idul Fitri dan kegiatan nasional lainnya. Pecalang sebagai salah satu pengayah di desa, sejatinya ikut ngeyasayang (mendoakan) agar pelaksanaan yadnya sukses, lancar, dan penuh berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seyogyanya, pecalang juga ikut mabrata (mengendalikan diri). Tidak boleh cepat marah atau pun garang. Yang juga penting untuk diperhatikan mengenai masalah penutupan jalan. Patut diwaspadai agar pecalang tidak merasa bangga bisa menutup jalan. Dalam menjaga keamanan jalannya upacara adat yang berlangsung di lingkungan desa, apabila harus menutup jalan, setidaknya bisa memberikan jalan alternatif kepada pengguna jalan yang lain, dan mampu memberikan penjelasan kepada mereka

12

bahwa ada penutupan jalan dengan sikap yang ramah. Karena itu, ketika hendak menutup jalan, pecalang semestinya berkoordinasi dulu dengan pihak kepolisian. Pasalnya, pihak kepolisianlah yang memegang tanggung jawab keamanan umum. Jalan merupakan fasilitas umum, milik publik, banyak yang menggunakan sehingga juga menjadi tanggung jawab pihak kepolisian. Benar memang, pecalang sebagai pengaman desa adat agar suasana desa menjadi aman, nyaman dan tenteram. Namun, tugas dan tanggung jawabnya lebih kepada pelaksanaan yadnya adat serta agama. Jika pun pecalang juga diberikan kesempatan untuk turut berpartisipasi menjaga keamanan umum, tetap harus dalam koordinasi pihak kepolisian. "Tugas utama pecalang memang sebagai polisi adat dan agama. Itu saja," kata peneliti adat Bali, Wayan P. Windia dalam buku Pecalang: Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali. Penyimpangan sesana (etika) pecalang bermula dari proses perekrutan. Kini, perekrutan pecalang lebih dititik beratkan pada otot, rambut gondrong, suara menyeramkan dan memiliki kumis tebal sehingga terkesan angker. Padahal yang lebih dibutuhkan adalah keluwesan berpikir, kedewasaan bersikap dan menjunjung tinggi etika serta sopan santun. Saat ini pecalang sangat identik dengan sikap arogansi, sok jagoan, dan sok berani. Kesan masyarakat seperti itu bisa saja akibat tidak ada proses seleksi yang baik. Seleksi yang dimaksud tidak harus seleksi secara formal tetapi cukup dengan seleksi informal, cukup memperhatikan masyarakat yang kira-kira memiliki budi pekerti berupa mental yang baik dan mampu melayani masyarakat, sehingga pecalang dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat sekitar, dan mampu berkomunikasi dengan baik dan ramah kepada masyarakat lain, sehingga secara tidak langsung kita mempertahankan kesan masyarakat Bali yang ramah di tingkat internasional. Fenomena pecalang semakin menarik manakala semakin luasnya kewenangan yang dimilikinya. Adanya keterbatasan personel polisi untuk

13

menjaga sebuah wilayah membuat pengamanan swakarsa menjadi diperlukan. Sehingga, dalam kondisi tertentu kehadiran pecalang justru dibutuhkan. Tetapi harus diberi pemahaman bahwa adanya pembatasan mengenai kewenangan pecalang. Misalnya, hanya mengatur hal-hal yang menyangkut upacara keagamaan. Sebenarnya, persoalan mengapa pecalang turun tangan menangani masalah sosial lebih disebabkan kelemahan dari aparat negara itu sendiri. Pada awal era reformasi terjadi perubahan drastis dimana turunya kepercayaan masyarkat terhadap aparat keamanan pemerintah. Dari sini pecalang seperti mendapat ruang. Dengan bekal otonomi dan kekuatan desa adat, pecalang mulai bergerak ke wilayah sosial. Tetapi, dalam beberapa kasus, eksistensi pecalang justru menuai persoalan. Pecalang tiba-tiba menjaga kompleks pelacuran, ikut memungut retribusi parkir dan arogan terhadap penduduk pendatang. Pasca peristiwa Bom Bali I, ada pandangan bahwa penduduk pendatang bagi masyarakat lokal, terutama pecalang adalah pembawa bencana. Jika ditambah dengan pelaku Bom Bali I yang bukan penduduk lokal maka antipati terhadap kehadiran penduduk pendatang menjadi lebih besar. Menghindari adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan serta pertanyaan seputar pecalang yang sering bertindak arogan, dipandang perlu untuk menyusun sebuah kode etik pecalang. Ketiadaan ketegasan mengenai fungsi, wewenang dan kedudukan pecalang di samping memunculkan tindakan arogan dan tumpang tindih juga membuatnya mudah dimanfaatkan untuk kepentingan yang sesungguhnya berada di luar fungsi dan tugas pecalang. Dengan adanya kode etik profesional pecalang, koordinasi atas kewenangan dan fungsi pecalang akan bisa lebih ditegaskan. Selama ini persyaratan untuk menjadi pecalang misalnya tidak terlalu jelas dan hal ini tentunya perlu diatur dalam ketentuan hukum.

14

Diakui bahwa keberadaan pecalang selama ini sudah memiliki dasar hukum. Misalnya Perda No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman pasal 17. Demikian juga dengan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa fungsi kepolisian dibantu oleh salah satunya bentuk pengamanan swakarsa. Hanya dari pasal-pasal dalam peraturan hukum di atas belum tegas menentukan kewenangan pecalang. Masih memerlukan penafsiran-penafsiran karena memang pecalang termasuk dalam salah satu bentuk-bentuk pengamanan swakarsa di luar hansip ataupun satpam. Secara hakekat pecalang dan kepolisian sesungguhnya sama-sama pengemban fungsi kepolisian. Perbedaannya, pecalang pengemban fungsi kepolisian dalam konteks desa adat, sedangkan kepolisian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara formal hubungan yang terjadi antara kepolisian dan pecalang adalah hubungan kelembagaan dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, di mana pecalang berstatus membantu kepolisian dalam

mengemban

fungsi

kepolisian.

Sejalan

dengan

itu,

kepolisian

berkewajiban membina pecalang. Dalam berbagai diskusi akademik, Wayan P. Windia, seorang ahli hukum adat di Bali memang merasakan dampak negatif dari keberadaan pecalang desa

pekraman

pecalang

telah

dalam

era

menjelma

globalisasi menjadi

saat

ini.

premanisme

Pasalnya, yang

kehadiran

identik

dengan

kekerasan melawan hukum terhadap harmoni kehidupan masyarakat seperti carut-marutnya beragam kasus kesepekang di Bali selama ini. Ironisnya, pecalang dengan semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih dalam menjaga eksistensi desa pekraman bahkan ditunggangi kepentingan sekelompok masyarakat

tertentu

(profit)

Demi

belaka.

(kekayaan),

kekuasaan,

yang kepuasan

berorientasi “hawa

seksualitas,

nafsu”

seperti

ketenaran

keuntungan kebendaaan (popularitas),

15

kecantikan,

kebugaran,

upaya untuk keselahan,

keindahan

dan

kesenangan

belaka.

Sehingga,

penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan

dan

pencerahan

spiritual

dan

rohani

masyarakat

publik

menjadi terabaikan dan tergadaikan. Maka itulah, sudah semestinya pemerintah meningkatkan penguatan aturan hukum yang mengawasi dan sekaligus mengatur perilaku dan tata nilai serta

etika

lebih

spesifik.

rekrutmen

sosial

atau

dari

pecalang

Sehingga,

tugas

pengangkatan

desa dan

pekraman

tanggung

pecalang lebih

di

Bali

secara

jawab

serta

proses

selektif

dan

betul-betul

mengedepankan nilai moralitas serta etika sosial dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Melihat fenomena para pecalang masa kini, pemikiran kritis Gubernur Bali mendadak tergelitik hingga berjanji untuk merancang kajian secara lebih spesifik terhadap keberadaan pecalang desa pekraman ke depannya dengan melibatkan para pakar dari berbagai instansi terkait di bidangnya. Guna menjaga keutuhan tata nilai adi luhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali dari perilaku masyarakat yang tidak berbudaya dan

bermartabat,

serta

berkeadaban

dalam

berbangsa

dan

bernegara,

serta bermasyarakat dengan berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila yang dilembari semangat persatuan dan kesatuan Bhinneka Tunggal Ika di tengah kehidupan dunia yang pluralistik dan multikulturalisme. Kita ketahui bersama bahwa Hukum Adat yang berlaku di Desa Pakraman di Bali adalah bersumber dari Hukum Agama Hindu, karena itu pecalang dalam berfikir, berkata dan bertindak tentulah tidak boleh bertentangan dengan Hukum Adat yang mengaturnya (Hukum Agama Hindu) dan juga Hukum Nasional yang mampu memberi kenyamanan, keamanan dan keadilan masyarakat.

16

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan , yaitu : 1. Syarat menjadi pecalang : a. proses pemilihan anggota pecalang adalah melalui paruman (hasil musyawarah), desa atau banjar pekraman b. cakap lahir batin c. disucikan dengan upacara mejaya-jaya (upacara untuk memohon kemenangan) d. merupakan warga desa pekraman tersebut

2. Atribut yang dikenakan pecalang adalah Dalam Lontar Purwadigma dinyatakan bahwa seorang pecalang setidak-tidaknya mengenakan udeng atau destar (ikat kepala) dengan bentuk khusus yang berbeda dengan udeng yang dikenakan patih sebagai pejabat kerajaan, mawastra akancut nyotot pertiwi (memakai kain/kamben dengan ujung kain menusuk tanah), mekampuh poleng (memakai saput poleng), anyungkalit keris (menyelipkan keris di pinggang), dan masumpang waribang (menyelipkan bunga kembang sepatu atau pucuk rejuna yang berwarna merah ditelinganya).

3. Tanggapan masyarakat terkait kinerja pecalang yakni belakangan ini sebagaian masyarakat beranggapan pecalang mulai melenceng fungsi dan tugasnya dan sering bersikap kurang sopan.

17

3.2. Saran

Berdasarkan permasalahan yang terjadi, penulis memberikan saran :

1. Apabila ada penutupan jalan, setidaknya pecalang bisa memberikan jalan alternatif kepada pengguna jalan yang lain, dan mampu memberikan penjelasan kepada mereka bahwa ada penutupan jalan dengan sikap yang ramah. 2. Pecalang seharusnya fokus kepada pengamanan desa pekramannya masingmasing agar berjalan lebih optimal tanpa mengurusi hal-hal lainnya yang tidak berkaitan dengan kepentingan desa pekramannya. 3. Dibuat kode etik pecalang agar semakin jelas mengenai syarat, kedudukan dan fungsi dari pecalang.

18

DAFTAR PUSTAKA

http://www.antaranews.com/20 Maret 2013, http://www.balipost.co.id/29 Mei 2003/ 9 Maret 2005, http://www.balisaja.com/10 April 2004, http://www.indonesiabicara.com/4Juni 2011, http://www.iwb.denpasar.wordpress.com http://www.surabayatribunnews.com/26 Juni 2009 LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI, NOMOR : 29, TAHUN : 2001, SERI : D NO. 29, GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROPINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2001, TENTANG DESA PAKRAMAN.

Widia, I Ketut. Nyoman Widnyani. 2002. Pecalang : Benteng Terakhir Bali. Surabaya : Paramita Surabaya

19

More Documents from "Wahyunii"