1
UPAYA TERTIB ADMINISTRASI TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN DALAM KARTU KELUARGA (Studi Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil) A. Pendahuluan Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah upaya pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tujuan dilakukannya pembaruan hukum keluarga di dunia Islam, yaitu sebagai upaya unifikasi hukum, mengangkat status perempuan, dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Perkawinan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam Islam. Hal ini dilaksanakan untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus ke dalam perzinaan. Perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Karena perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat maka akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau di aktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.2 Walaupun Al-Qur’an telah menganjurkan pencatatan transaksi
muamalah
dalam
keadaan
tertentu.Telah
begitu
banyak
permasalahan yang muncul ke permukaan akibat tidak terakomodirnya hukum pencatatan nikah dalam fiqh.
1 Lihat dalam Kompilasi Hukum Islam Bab II pasal 2. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, CV Akademika Pressindo, Jakarta, Cetakan Keempat, 2010. 2 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Leiden INIS, Jakarta, 2002, h. 139.
2
Al-Quran dan al-Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinanya.Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.3 Aturan pencatatan perkawinan dilakukan sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat.Pada dasarnya, pencatatan perkawinan tidak diatur di dalam nash, baik al-Qur`an maupun sunnah. Hal ini berbeda dengan transaksi muamalat yang di dalam al-Qur`an diperintahkan untuk mencatatnya. Atas dasar inilah, fiqh tidak menganggap penting terhadap eksistensi pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan alat bukti otentik terhadap sebuah perkawinan menjadi suatu kebutuhan. Untuk itulah, keharusan pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu solusi terhadap kondisi demikian. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara dunia Islam. Lebih lanjut, perkembangan, penerapan serta pengaturan pencatatan perkawinan akan dideskripsikan dalam makalah ini. Permasalahannya adanya regulasi pencatatan perkawinan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri, mengenai dimana ia harus ditempatkan posisinya. Apakah pencatatan perkawinan ini termasuk syarat sah (rukun) ataukah
hanya
sebagai
syarat
administratif
saja.
Kesalahan
dalam
menempatkan posisi hukum pencatatan perkawinan ini akan menimbulkan akibat hukum tersendiri.Oleh karenanya, hemat pemakalah penting untuk mengkaji permasalahan ini. 3
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Sinar Grafika, Jakarta ,2007, h. 26.
3
B. Pengertian Administrasi Administrasi adalah sebuah istilah yang bersifat generik, yang mencakup semua bidang kehidupan. Karena itu, banyak sekali definisi mengenai administrasi. Sekalipun demikian, ada tiga unsur pokok dari administrasi. Tiga unsur ini pula yang merupakan pembeda apakah sesuatu kegiatan merupakan kegiatan administrasi atau tidak. Dari definisi administrasi yang ada, kita dapat mengelompokkan administrasi dalam pengertian proses, tata usaha dan pemerintahan atau administrasi negara. Administrasi juga dapat diartikan sebagai sebuah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Pengertian administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi : catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan ketik-mengetik agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. Administrasi dalam arti luas adalah seluruh proses kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.4 C. Pengertian Pencatatan Perkawinan Pencatatan nikah adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian perkawinan dalam Ensiklopedia Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab dan Qabul.5 Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar atau hajjiyah dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lainlain. Pencatatan perkawinan tidak diatur di dalam nash, baik Al Quràn maupun sunnah. Hal ini berbeda dengan transaksi muamalat yang di dalam Al Quràn diperintahkan untuk mencatatnya. Atas dasar inilah, fiqh tidak menganggap penting terhadap eksistensi pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan
4
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001, h.
58 5
Jurnal Hassan Sadily, et al., Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983.
4
perkembangan zaman, keberadaan alat bukti otentik terhadap sebuah perkawinan menjadi suatu kebutuhan. Pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu solusi terhadap kondisi demikian. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum (reformasi hukum) keluarga yang dilakukan oleh negaranegara dunia Islam. Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami-istri. Pencatatan perkawinan merupakan suatu bentuk pembaruan hukum yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam dalam bentuk Lex Humana atau (hukum manusia, human law) yang mengatur hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat (tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan perkawinan di dalam al Quràn dan sunnah. Atas dasar inilah, para ulama fiqh juga tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan perkawinan. Ada beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para ulama pada masa awal Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al Quràn sebagai bentuk pendekatan pemahaman Teologi Normatif terhadap Al-Quran.6 D. Pencatatan Perkawinan Menurut Fiqh Pada dasarnya, konsep pencatatan perkawinan merupakan suatu bentuk pembaruan yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam. Hal ini disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan perkawinan di dalam al Qur`an dan sunnah. Atas dasar inilah, para ulama fiqh klasik juga tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan perkawinan. Walaupun demikian, pada masa awal Islam, sudah ada tradisi i`lanal-nikah (mengumumkan suatu perkawinan di tengah masyarakat setempat). Menurut pendapat yang kuat, i`lan al-nikah merupakan salah satu syarat sahnya aqad
6
Jurnal pengertian pencatatan perkawinan, Analisis atas ketentuan hukum pencatatan perkawinan,https://www.google.com/search?q=goog&ie=utf-8&oe=utf8#q=jurnal+pengertian+pencatatan+perkawinandi akses pada tanggal 25 November 2018.
5
nikah. Artinya, apabila pernikahan tidak diumumkan, maka pernikahan tersebut tidak sah, bahkan menurut pendapat sebagian ulama, yang membedakan antara pernikahan dan perzinaan adalah bahwa pernikahan diumumkan sedangkan perzinaan tidak diumumkan. Praktek i`lan al nikah pada masa awal Islam merupakan salah satu hal yang disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hal ini terbukti dengan adanya hadits yang menyatakan demikian, diantaranya : )أعلنوا النكاح (رواه أحمد: عن عبد هلل ابن الزبير أن رسول هلل ص م قال Artinya :Dari Abdullah Ibn Zubair bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Umumkanlah pernikahan itu". (HR. Ahmad) Salah
satu
bentuk
(resepsipernikahan).
i`lan
Dalam
al-nikah
adalah
sebuahhadits,
walimah
Rasulullah
al
`urusy
memerintahkan
untukmelaksanakannya, walaupun secara sederhana : ) أولم ولو بشاة (رواه البخري: قال رسول هلل ص م Artinya :Rasulullah SAW bersabda : "Adakanlah walimah,walaupun hanya dengan seekor kambing." (HR. Bukhari) Dari beberapa hadits yang telah dikemukakan, terlihat bahwa walaupun pencatatan perkawinan belum dilakukan pada masa itu, namun, spirit dan substansi
yang
ingin
dicapai
dari
pencatatan
perkawinan
telah
dimanifestasikan, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tradisi walimah al-`urs yang merupakan salah satu bentuk i`lan al-nikah dianggap menjadi saksi telah terjadinya suatu perkawinan, di samping adanya saksi syar`i. Pembahasan mengenai pencatatan nikah dalam kitab-kitab fiqh tidak ditemukan tapi hanya ada pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan7. Dalam fiqh disebutkan bahwa fungsi saksi untuk memelihara kehormatan wanita dengan adanya kehati-hatian dalam masalah farji serta menjaga pernikahan dari perbuatan yang tidak bertanggung jawab, serta untuk menjaga status nasab. Mayoritas ulama menyatakan bahwa pernikahan tidak sah tanpa adanya bukti yaitu dengan kehadiran dua orang saksi ketika akad. Pada masa Rasulullah persaksian merupakan hal yang paling utama. 7
Nasution Khairudin,Hukum Perdata (keluarga) Islam Inonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,Yogyakarta, 2009, h. 323.
6
Karena persaksian merupakan alat bukti yang paling kuat dan terpercaya pada masa itu, karena masih banyak orang yang adil dan terpercaya yang bisa di pertanggungjawabkan kesaksiannya. Mengenai saksi ini para ulama mengatakan bahwa pernikahan tidak sah apabila tidak ada saksi. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa pernikahan tetap sah meskipun tidak ada saksi. Namun Maliki mewajibkan adanya pengumuman pernikahan. Dengan demikian, jika terjadi akad nikah secara rahasia dan disyaratkan tidak diumumkan maka pernikahan itu menjadi batal, demikian menurut pendapat Maliki.8 Pendapat ini juga didukung oleh golongan syi’ah, Abdurrahman bin mahdi, yazid bin harun, prakteknya Ibnu Umar dan Ibnu Zubair .diriwayatkan juga bahwa Hasan Bin Ali pernah kawin tanpa saksisaksi, tapi kemudian ia umumkan perkawinannya.9 Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fiqh walaupun ada ayat alQu’ran yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah, Pertama,larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan. Kedua kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga tradisi walimat al-‘urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan. Dengan alasan-alasan yang telah disebut diatas, dapatlah di katakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang suatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah 8 Syaikh al allamah Muhammad bin abdurrahmahad-dimasqi, Fiqih empat mazhab, Bandung, 1987,h. 345. 9 Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1986, h. 89.
7
perkawinan.Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagi ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang karena sebab kematian, manusia juga dapat mengalami kelupaan dan kekhilafan. Atas dasar ini di perlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.10 Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus di penuhi. Dikatakan pembaharuan hukum islam karena masalah tersebut tidak di temukan di dalam kitab-kitab fiqh ataupun fatwa-fatwa ulama. Lalu seiring perkembangan zaman yang dikatakan era globalisasi, muncul problematika-problematika perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan atau nikah dibawah tangan (nikah sirri) sehingga memunculkan
kebutuhan
adanya
campur
tangan
pemerintah
dalam
perkawinan berupa pencatatan. E. Pencatatan Perkawinan Berdasarkan UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa fiqh tidak membicarakan pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UU perkawinan yang sebagaimana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974Pasal 2 Ayat 2 dinyatakan bahwa : “Tiaptiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.” Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang di muat di dalam PP No.9 Tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1 yang di dalam penjelasannya di katakana (i) tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan (ii) maksud hukum agama termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku. 10
Amiur Nuruddin,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Prenada Media, Jakarta, Cet Pertama, 2004 h. 120.
8
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan : 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan zakan berlangsung. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah. Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak jelas menyangkut tataara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. Sedangkan KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut: 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus di catat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No 22 tahun 1946 jo. undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan: 1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah. 2. Perkawinan yang dilkukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau
9
lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah : 1. Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954). 2. Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada : 1) Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang peraturan catatan sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia. 2) Stb. 1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849. Nomor 25 yaitu tentang pencatatan sipil Eropa. 3) Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang peraturan pencatatan sipil campuran. 4) Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB dan NTT, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan dikantor catatan sipil berdasarkan ketentuan pasal 3-9 peraturan ini. Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan diwilayah masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan inidapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR.11 Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administrative. Pertama, di dalam pasal 5 ada 11
Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h.14-15.
10
klausul yang menyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam. ketertiban disini menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pasal 6 ayat 2 ada klausul tidak mempunyai kekuatan hukum. Apa makna tidak mempunyai kekuatan hukum ini? Sayang KHI tidak memiliki penjelasan. Penulis lebih setuju jika tidak memiliki kekuatan hukum di terjemahkan dengan tidak sah (layasihhu). Jadi perkawinan yang tidak di catatkan di pandang tidak sah. 12 F. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil dan Keterkaitannya dengan Status Pencatatan Perkawinan dalam Kartu Keluarga Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 dibentuk sebagai upaya peningkatan pelayanan Administrasi Kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib dalam pencapaian pelayanan prima yang menyeluruh. Sebagai standarisasi mengenai Spesifikasi, Formulasi Kalimat, Pengadaan dan Pengendalian terhadap Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.13 Pada Pasal 1 Ayat 3 dijelaskan bahwa: “Kartu Keluarga yang selanjutnya disingkat KK adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.” Selanjutnya pada Pasal 1 Ayat 7 dijelaskan bahwa: “Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.” Selanjutnya pada Pasal 1 Ayat 8 dijelaskan:
12
13
Amiur Nuruddin,Op.Cit., h. 120-124.
Lihat Permendagri Nomor 118 Tahun 2017
11
“Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami dalam kehidupan seseorang meliputi kelahiran, lahir mati, kematian, perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan, pengangkatan, pengakuan dan pengesahan anak, perubahan nama, perubahan status kewarganegaraan dan peristiwa penting lainnya.” Dan pada Pasal 1 Ayat 9 menerangkan: “Peristiwa Penting Lainnya adalah peristiwa mengenai status seseorang yang dikukuhkan melalui penetapan Pengadilan Negeri yang dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota, antara lain perubahan jenis kelamin.” Pada Bab II tentang Blangko Kartu Keluarga Pasal 3 Ayat 4 menjelaskan bahwa mengenai keterangan kolom isian Blangko Kartu Keluarga memuat: a. nomor Kartu Keluarga; b. nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga; c. NIK; d. jenis kelamin; e. alamat; f. tempat lahir; g. tanggal lahir; h. agama; i. pendidikan; j. pekerjaan; k. status perkawinan; l. status hubungan dalam keluarga; m. kewarganegaraan; n. dokumen imigrasi; dan o. nama orang tua. SelanjutnyaKementerian
Dalam
Negeri
melalui
Ditjen
Dukcapil
menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Pelayanan Terpadu Pencatatan Pengesahan Perkawinan di Park Hotel, Jakarta, Senin 23 Juli 2018.14 Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh menyampaikan bahwa berdasarkan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017, terdapat tiga peristiwa yang perlu menjadi perhatian dalam proses pencatatan sipil.Ketiga peritiwa tersebut adalah peristiwa kependudukan, peristiwa penting, dan peristiwa penting lainnya. Prof. Zudan memberi penekanan terhadap peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang terkait dengan perkawinan dan kelahiran. Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 Ayat 8 “Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami dalam kehidupan seseorang meliputi kelahiran, lahir mati,
kematian,
perkawinan,
perceraian,
pembatalanperkawinan,
pengangkatan, pengakuan dan pengesahan anak, perubahan nama, perubahan status kewarganegaraan dan peristiwa penting lainnya”, jelas Zudan.
14 http://dukcapil.kuburayakab.go.id/berita/detail/ditjen-dukcapil-sosialisasikanpencatatan-pengesahan-perkawinan-Di akses pada tanggal 26 November 2018.
12
Berdasarkan Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, pemerintah memberikan kepastian hukum terkait kebenaran data kelahiran dan kebenaran pasangan suami istri melalui Surat penyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Kebenaran data kelahiran dituangkan melalui SPTJM Kebenaran Data Kelahiran, sementara kebenaran pasangan suami istri dituangkan dalam SPTJM Kebenaran Pasangan Suami Istri. Pengaturan keduanya diakui Prof. Zudan dilalui dengan perjuangan selama dua tahun. “Selama dua tahun kami sudah mempersiapkannya dan bukan secara tibatiba. Bagaimana kami mendesain yang akhirnya bisa kami formulasikan kepada pelayanan kepada masyarakat,” kata Prof. Zudan. Selanjutnya, sambung Zudan, dari tahun 2017 dengan persiapan yang cukup panjang lahirlah Permendagri Nomor 118 tahun 2017 Tentang Tentang Blangko
Kartu
Keluarga,
Register
dan
Kutipan
Akta
Pencatatan
Sipil.Lahirnya Permendagri 118 Tahun 2017 menurut Prof. Zudan sebagai upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat serta mewujudkan data kependudukan yang lebih akurat. Sementara itu, Sosialisasi Pelayanan Terpadu Pencatatan Pengesahan Perkawinan dilaksanakan secara maraton sebanyak 5 angkatan. Angkatan pertama berlangsung pada tanggal 23 sampai 25 Juli 2018, dilanjutkan angkkatan kedua pada 25 sampai 27 Juli 2018.Selanjutnya angkatan ketiga tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus 2018, angkatan keempat tanggal 1 sampai 3 Agustus 2018, dan angkatan terakhir, angkatan kelima tanggal 6 sampai 8 Agustus 2018. 15 Dalam Blangko Kartu Keluarga berdasarkan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 Pasal 1 Ayat 8 memuat peristiwa penting dan salah satu diantaranya adalah mengenai Status Perkawinan yang dalam hal ini status tercatat atau tidaknya suatu perkawinan dan juga memuat Tanggal Perkawinan.Atas dasar ini terdapat upaya dalam hal ini upaya Pemerintah dalam Negeri dalam mensosialisasikan pencatatan pengesahan perkawinan sebagai upaya tertib administrasi dalam hal Pencatatan Perkawinan dalam Kartu Keluarga. Yakni sebagai salah satu Bukti Autentik sebagai Warga 15
Ibid
13
Negara Indonesia yang telah melangsungkan perkawinan yang sahberdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga Pada dasarnya pencatatan perkawinan untuk menjamin seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain, sebab salah satu bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen ini berguna apabila terjadi perkara di pengadilan ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang berhubungan dengan akibat dari pernikahan, seperti warisan, masalah anak dan sebagainya. G. Maslahah Mursalah Maslahah dalam bahasa Arab (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari kata manfaat. Menurut al-Khawarizmi dalam al-Syaukani, yang dimaksud dngan maslahah adalah memelihara tujuan hukum Islam dngan menolak bencana atau kerusakan yang meragukan dari mahluk manusia.16 Menurut ‘Izz ad-Din bin Abdul Salam Maslahah dan mafsadah sering dimaksudkan dengan baik dan buruk, manfaat dan madharat, bagus dan jelek. Sedangkan mafsadah itu semuanya buruk, membahayakan dan tidak baik untuk manusia.17 Berkaitan dengan hal tersebut, etiap aturan hukum yang dimaksudkan untuk memelihara kelima tujuan syara’, yakni hifz ad-din (perlindungan terhadap agama), hifz an nafs (perlindungan terhadap nyawa), hifz an nash atau al ‘Ardh (perlindungan terhadap keturunan/kehormatan), hifz al aql (perlindungan terhadap akal), hifzal maal (perlindungan terhadap harta) dengan menghindarkan dari hal-hal yang dapat merusak atau membahayakan disebut maslahah.18Pada saat ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, maslahah itu juga disebut dengan munasib atau keserasian maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dengan pengertian munasib ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:19 Al-Syaukani, Irsyad Al Fuhul Illa Tahqiq Al Eal Min ‘Ilm Al Ushul, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, Tt,h. 242 17 ‘Izz Ad-Din Bin Abdul Salam, Qawa’id Al-Ahkam Fi Masalih Al Anam,Juz 1, AlKuliyat Al-Azhariyah, Cairo, 1994,h. 5. 18 Jurnalis Udin Et.Al, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi, Univ. Yarsi, Jakarta, 2007, h. 144. 19 Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,Angkasa Raya, Padang, 1993, h. 331-332. 16
14
1. Maslahah al mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syara’, maksudnya pada maslahah ini ada petunjuk dari syara’ baik secara langsung maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alas an dalam menetapkan hokum. 2. Maslahah al mulghah, yaitu disebut juga dengan maslahah yang ditolak, yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Disini akal menganggapnya baik dan sejala dengan apa yang dituntut oleh maslahah itu. 3. Maslahah Mursalah atau juga disebut dengan istishlah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejala dengan tujuan hukum syara’ dalam menetapkan
hukum,
tetapi
tidak
ada
petunjuk
syara’
yang
memperhitungkannya dan tidak ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan maslahah murasalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan syara’dan tujuan syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu dari dalil syara’ yang membenarkan atau menggugurkan. Dan dengan ditetapkan hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari manusia.20 Dalam konsep Maslahah Mursalah menghendaki perlindungan jiwa, perlindungan terhadap harta pasangan suami isteri. Sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi resiko dalam perkawinan, perlindungan jiwa dan perlindungan terhadap pasangan pasangan suami isteri.Dalam menggunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum, yaitu pertama maslahah mursalah hendaknya kemaslahatan yang memang tidak terdapat dalil yang menolak. Kedua, maslahah mursalah itu hendaklah maslahah mursalah yang dapat dipastikan bukan hal yang samar-samar. Ketiga, maslahah itu hendaklah bersifat umum. Zaky ad-Din Sya’ban mengemukakan, jika mempergunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum, maka syarat yang diperlukan antara lain:21
20
Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islam, Dar Al-Fikr A Muasir, Beirut, 1986, h. 757. Zaky Ad-Din Sya’ban, Ushul Fiqh Al Islami, Mathbah Dar Al-Ta’lif, Mesir, tt., h. 173.
21
15
1. Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum dalam arti dapat diterima oleh akal sehat dan betul0betul mendatangkan manfaat bagi manusia. 2. betul-betul sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. 3. Betul-betul sejalan dengan tujuan hukum syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada baik dalam bentuk nasionalitas Al-Qur’an dan Sunnah maupun Ijma’ ulama terdahulu. 4. Maslahah Mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan. Imam Al-Haramain al-Juwaini dalam Abd al-Malik Ibn Yusufal- Ma’ali al-juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama Ushul Fiqh). Pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqashid Syri’ah. Secara tegas beliau mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam. Sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-laranganNya.22 H. Analis Berdasarkan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil. Yang dalam hal ini pada Blangko Kartu Keluarga memuat peristiwa penting dan salah satu diantaranya adalah mengenai Status Perkawinan yakni status tercatat atau tidaknya suatu perkawinan dan juga memuat Tanggal Perkawinan. Maka atas dasar ini terdapat upaya dalam hal ini upaya Pemerintah dalam Negeri dalam mensosialisasikan pencatatan pengesahan perkawinan sebagai upaya tertib administrasi dalam hal Pencatatan Perkawinan dalam Kartu Keluarga. Yakni sebagai salah satu Bukti Autentik sebagai Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan yang sah berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan begitu segala hak-hak seseorang sebagai Warga Negara Indonesia yang telah melakukan pernikahan secara sah
Abd Al-Malik Ibn Yusuf Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini, Al-Burhan Fi Ushul Al-Fiqh (1), Dar Al-Anshar, Kairo, 1400 H., h..295. 22
16
berdasarkan hukum negara bisa terpenuhi. Dan dapat mempermudah dalam segala hal urusan administratif. Selain sebagai upaya tertib administrasi dalam hal kependudukan dan catatan sipil. Dalam hal pemerintah dalam negeri membuat Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 ini sebagai upaya memberikan beban moril bagi pelaku nikah sirri agar dapat mencatatkan perkawinannya di KUA sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan pencatatan perkawinan bagi umat Islam di Indonesia. Sehingga apabila Persyaratan administrasi ini terpenuhi dapat memberikan kemaslahatan bagi pasangan suami dan isteri agar tidak terjadi pemalsuan data terkait dengan pasangan dan dapat
menjamin
keabsahan nikah agar sesuai dengan syariat agama Islam dan terpenuhinya hak serta kewajiban suami isteri sebagaimana perkawinan yang sejalan dengan tujuan syara’. Melihat situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa dikatakan termasuk kategori dururiyah, karena terdapat mudarat yang besar jika tidak melaksanakan pencatatan. Maka, Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatn Sipil yang mana materinya memiliki keterkaitan dengan upaya tertib administrasi tentang pencatatan perkawinan dalam Kartu Keluarga sejalan dengan konsep maslahah mursalah karena telah memenuhi tiga syarat sebagaimana yang ditetapkan ulama Malikiyah dan Hanabilahyaitu: a. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum. b. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudharatan. c. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.23 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 ini sudah melangkah lebih jauh tidak hanya bicara masalah administratif. Melainkan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Ketertiban di sini 23
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, Cet. Ke- 2, h. 122
17
menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.Yang pada dasarnya pencatatan perkawinan untuk menjamin seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain, sebab salah satu bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen ini berguna apabila terjadi perkara di pengadilan ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang berhubungan dengan akibat dari pernikahan, seperti warisan, masalah anak dan
sebagainya.
Sehingga
dapat
melakukan
upaya
hukum
untuk
mempertahankan hak-hak masing-masing. I. Penutup Melihat situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa dikatakan termasuk kategori dururiyah, karena terdapat mudarat yang besar jika tidak melaksanakan pencatatan. Maka, Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatn Sipil yang mana materinya memiliki keterkaitan dengan upaya tertib administrasi tentang pencatatan perkawinan dalam Kartu Keluarga sejalan dengan konsep maslahah mursalah. Yakni upaya tertib administrasi ini memberikan kemaslahatan bagi pasangan suami dan isteri agar tidak terjadi pemalsuan data terkait dengan pasangan dan dapat menjamin keabsahan nikah agar sesuai dengan syariat agama Islam dan terpenuhinya hak serta kewajiban suami isteri sebagaimana perkawinan yang sejalan dengan tujuan syara’.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Malik Ibn Yusuf Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini, Al-Burhan Fi Ushul Al-Fiqh (1), Dar Al-Anshar, Kairo, 1400 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, CV Akademika Pressindo, Jakarta, Cetakan Keempat, 2010. Ali, Zainuddin,Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Al-Syaukani, Irsyad Al Fuhul Illa Tahqiq Al Eal Min ‘Ilm Al Ushul, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, Tt. Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,Angkasa Raya, Padang, 1993. Haroen,Nasrun,Ushul Fiqih, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Ke- 2, 1997. http://dukcapil.kuburayakab.go.id/berita/detail/ditjen-dukcapil-sosialisasikanpencatatan-pengesahan-perkawinan- Di akses pada tanggal 26 November 2018. Izz Ad-Din Bin Abdul Salam, Qawa’id Al-Ahkam Fi Masalih Al Anam,Juz 1, AlKuliyat Al-Azhariyah, Cairo, 1994. Jurnalis Udin Et.Al, Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi, Univ. Yarsi, Jakarta, 2007. Kartini, Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. Nasution Khairudin,Hukum Perdata (keluarga) Islam Inonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,Yogyakarta, 2009. Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Leiden INIS, Jakarta, 2002. Nuruddin, Amir, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Prenada Media, Jakarta, Cet Pertama, 2004. pengertian pencatatan perkawinan, Analisis atas ketentuan hukum pencatatan perkawinan, https://www.google.com/search?q=goog&ie=utf-
19
8&oe=utf-8#q=jurnal+pengertian+pencatatan+perkawinandi akses pada tanggal 25 November 2018. Sadily,Hassan, et al., Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983. Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1986. Syaikh Al Allamah Muhammad Bin Abdurrahmahad-Dimasqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung, 1987. Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islam, Dar Al-Fikr A Muasir, Beirut, 1986. Zaky Ad-Din Sya’ban, Ushul Fiqh Al Islami, Mathbah Dar Al-Ta’lif, Mesir, tt.