Isi Farmakologi Ca Cerviks.docx

  • Uploaded by: nawrah afri
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Isi Farmakologi Ca Cerviks.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,218
  • Pages: 22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini, kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status social ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis penderita. Kanker mulut rahim adalah kanker terbanyak kelima pada wanita di seluruh dunia. Penyakit ini banyak terdapat pada wanita Amerika Latin, Afrika, dan negara-negara berkembang lainnya di Asia, termasuk Indonesia. Pada wanita-wanita Suriname keturanan Jawa, terdapat insidensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan etnis lainnya. Kanker mulut rahim di negara-negara maju menempati urutan keempat setelah kanker payudara, kolorektum, dan endometrium. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang menempati urutan pertama. Di negara Amerika Serikat, kanker mulut rahim memiliki Age Specific Incidence Rate (ASR) yang khas, kurang lebih 20 kasus per 100.000 penduduk wanita per tahun. Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006. Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di

1

Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus. Relative survivalpada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%. Relative 1 dan 5 years survival masing-masing sebesar 88% dan 73%. Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita. B. Tujuan Penulisan a) Pengertian kanker serviks dan penyebabnya b) Faktor resiko kanker leher rahim c) Klasifikasi stadium kanker serviks d) Jenis histopatologis pada kanker serviks e) Patofisiologi kanker serviks f) Gejala klinis kanker serviks g) Diagnosis kanker serviks h) Pencegahan kanker serviks i) Pengobatan kanker serviks j) Prognosis kanker serviks

2

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kanker Serviks dan Penyebabnya Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35- 55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa

yang melapisi serviks dan 10% sisanya

berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah i nfeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada

umumnya hanya

HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalu i hubungan seksual adalah tipe 7, 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino saja. 3

Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV - 16 dan infeksi HPV -18 baik secara sendiri - sendiri maupun bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik HPV - 18 lebih tinggi daripada HPV - 16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV- 18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV - 16. Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV- 18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV - 16 berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks sedangkan HPV- 18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan merokok, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV - 2 (Hacker, 2000). B. Faktor Resiko Kanker Leher Rahim Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu : 

Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan

4

bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. 

Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk

melakukan hubungan seksual dan

berisiko terkena kanker leher rahim 10 - 12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar - benar matang.

Ukuran

kematangan bukan hanya di lihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel - sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel - sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel - sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel- sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat- zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel- sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel - sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. 

Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi dan sering berganti- ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV) . Virus ini akan mengubah sel- sel di permukaan mukosa hingga

5

membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker. 

Penggunaan antiseptik.

Kebiasaan pencucian vagina dengan

menggunakan obat- obatan antiseptik maupun deodoran akan mengaki batkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. 

Wanita yang merokok.

Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih

besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok.

Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita

perokok mengandung nikotin dan zat - zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat - zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping

meropakan

ko-karsinogen

infeksi

virus.

Nikotin,

mempermudah semua selaput lendir sel- sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru - paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim. 

Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.



Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan

6

memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim. 

Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5 - 2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p > 0,05.

C. Klasifiasi Stadium Kanker Serviks Penentuan tahapan klinis pe nting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis rencana tindakan, dan memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of Gynecologi And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan – tahapan tersebut yaitu : a. Karsinoma pre invasive b. Karsinoma in- situ, karsinoma intraepitel c. Kasinoma invasive

7

D. Jenis Histopatologis pada Kanker Serviks Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90% merupakan karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel- sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari sel -sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat serta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel - sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus (Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya : 1. Skuamous carcinoma  Keratinizing  Large cell non keratinizing  Small cell non keratinizing  Verrucous 2. Adeno carcinoma  Endocervical  Endometroid (adenocanthoma)  Clear cell - paramesonephric  Clear cell - mesonephric  Serous  Intestinal 3. Mixed carcinoma  Adenosquamous  Mucoepidermoid  Glossy cell

8

 Ade noid cystic 4. Undifferentiated carcinoma 5. Carcinoma tumor 6. Malignant melanoma 7. Maliganant non- epithelial tumors  Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma  Lymphoma E. Patofisiologi Kanker Serviks Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak

semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi

preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan - lahan menjadi progresif. Displasia ini

9

dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas

ke forniks, jaringan pada serviks,

parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta

kontrol

pertumbuhan

sel

normal

sehingga

terjadi

keganasan

(Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi

ekspresi E1 dan E2 yang

menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ±50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 10

wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53 - E6 atau mutasi p53. Kompleks p53 - E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20 - 30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa control oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53 - E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks.

Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke

pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru - paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997). F. Gejala Klinis Kanker Serviks Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra kanker ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai perdara han kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala- gejala khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau 11

perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid. Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak ada tanda - tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel - sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru - baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala- gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro, 1997). G. Diagnosis Kanker Serviks Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X -ray untuk paru - paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan 12

biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) : 1) Pemeriksaan pap smear Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999): a. Normal b.Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas) c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas) d.Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar) e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya) 13

2. Pemeriksaan DNA HPV Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama - sama dengan Pap smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindi kasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahunMkarena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks. 3. Biopsi Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997). 4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)

14

Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997). 5. Tes Schiller Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen (Prayetni, 1997). 6. Radiologi a. Pelvik

limphangiografi,

yang

dapat

menunjukkan

adanya

gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe. b. Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen/pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999). H. Pencegahan Kanker Serviks Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor - faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004) : 1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada usia muda, dan berganti - ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta sering 15

berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi.Namun hal ini tak menutup kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja. 2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear adalah cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Bila dua kali tes Pap berturut -turut menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII). 3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim. 4. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker mulut rahim. 5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan 16

menangkap virus sebelum memasuki sel- sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks, vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%. I. Pengobatan Kanker Serviks Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi), pembedahan laser untuk menghancurkan sel - sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi (Wiknjosastro, 1997). 1. Pembedahan Pada karsinoma insitu (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak 17

memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan

penyebabnya

sehingga

manifestasi

klinik

yang

ditimbulkan dapat dihilangkan, Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar. 2. Terapi penyinaran (radioterapi) Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel - sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu 18

sinar berasal dari sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5- 6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal yaitu zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1- 3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1- 2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette, 2000). 3. Kemoterapi Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau utamanya

untuk

intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan

membunuh

sel

kanker

dan

menghambat

perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain – lain (Prayetni, 1997).

19

J. Prognosis Kanker Serviks Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85- 90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyog a, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60 - 80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30% (Geene, 1998; Kenneth, 2000). 1. Stadium 0 : 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh. 2. Stadium 1 :Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semu a wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka. 3. Stadium 2 : Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang

terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years

survival rate sebesar 70- 90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 6 0 sampai 65%. 4. Stadium 3 : Pada stadium ini 5- years survival rate - nya sebesar 30 -50%. 5. Stadium 4 : Pada stadium ini 5- years survival rate - nya sebesar 20 -30%. 6. Stadium 5 : Pada stadium ini 5- years survival rate - nya sebesar 5-10%.

20

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki. Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah menegakkan diagnosis sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif sekaligus prediksi prognosisnya. Membuat diagnosa karsinoma serviks uterus yang sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang menjadi masalah ialah, bagaimana mendiagnosis dalam tingkat yang sangat awal, misalnya pada tingkat pra-invasif, lebih baik jika dapat menangkapnya dalam tingkat pra-maligna. Sayang , hingga kini program skrining belum lagi memasyarakat di negara berkembang, hingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks masih tetap tinggi. Hingga saat ini pilihan terapi masih terbatas pada operasi, radiasi dan kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa modalitas terapi ini. Terapi yang lebih mendasar atau imunoterapi masih dalam tahap penelitian. Saat ini pilihan terapi sangat tergantung pada luasnya penyebaran penyakit secara anatomis dan senantiasa berubah seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran. Pengobatan kanker serviks yang dapat dilakukan, yiatu : Pembedahan, Terapi penyinaran, Kemoterapi, dan Terapi biologis. Sedangkan beberapa cara praktis yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencegah kanker serviks, yaitu : miliki pola makan sehat, yang kaya dengan sayuran, buah dan sereal untuk merangsang sistem kekebalan tubuh, hindari merokok, hindari seks sebelum menikah atau di usia sangat 21

muda atau belasan tahun, pemberian vaksin atau vaksinasi HPV untuk mencegah terinfeksi HPV, melakukan pembersihan organ intim atau dikenal dengan istilah vagina toilet, hindari berhubungan seks dengan banyak partner, secara rutin menjalani tes Pap smear secara teratur, dan sebagainya. B. SARAN Untuk pencegahan kanker serviks diharapkan untuk melakukan deteksi dini, dan apabila timbul gejala-gejala maka segera menindak lanjuti, agar kanker serviks dapat diatasi cepat oleh petugas kesehatan. Selain itu diharapkan untuk membiasakan diri dengan pola hidup sehat dan bersih dan menghindari faktor-faktor resiko pemicu kanker serviks. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.Dalam

pembuatan

makalah

ini

kami

tidak

luput

dari

kesalahan.Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.Amin.

22

Related Documents


More Documents from "Silvia"