Iptek.docx

  • Uploaded by: ilma sarifah
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Iptek.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,641
  • Pages: 17
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi telah muncul sejak manusia lahir, hal ini dikarenakan manusia diberi akal dan kemampuan berfikir dari Allah SWT. Teknologi dan Ilmu Pengetahuan dapat dibilang sebagai alat pembentuk budaya dalam kehidupan khalayak ramai karena peranan penting yang dimiliki oleh keduanya. Dalam paradigma islam, adanya pemahaman bahwa perkembangan IPTEK berkaitan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Paradigma Islam inilah yang mencetak para cendikiawan yang unggul dalam bidang IPTEK dan soleh sehingga menciptakan kejayaan Islam pada tahun 700 M -1400 M. Pada masa-masa itu, muncul tokoh-tokoh yang sangat terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al Khawarzmi di bidang matematika, Jabir bin Hayyan di bidang Kimia, Al-Battani di bidang astronomi, dan banyak tokoh lainnya. Konsep umum dari munculnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi awal mulanya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia dan untuk menjelaskan fenonema alam yang tadinya tidak dapat dijelaskan sehingga manusia memiliki tingkat pemahaman yang lebih maju sekaligus komplek mengenai alam semesta. Arah Pengembangan Teknologi untuk memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan di dunia sebagai jembatan untuk mencari keridhaan Allah sehingga terwujud kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Peran Islam dalam perkembangan IPTEK adalah menjadikan paradigma Islam sebagai pandangan utama dan menjadikan syariah Islam sebagai dasar dalam penerapan dan pemanfaatan konsep IPTEK. Implementasi dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berada di tangan manusia dan mampu memiliki dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Dalam Islam pun diajarkan untuk menuntut ilmu yang mengindikasikan bahwa selama ilmu tersebut bermanfaat bagi umatnya(dalam konteks positif) maka diwajibkan bagi umatnya untuk mempelajarinya, hal ini juga sebagai wujud syukur akan Allah atas kemampuan akal dan kemampuan berfikir yang diberikan. Pengetahuan dalam pandangan Islam, baik yang diperoleh dengan ilmu pengetahuan maupun yang berasal dari wahyu Illahi melalui agama, keduanya berasal dan bersumber dari Allah s.w.t., pengetahuan apapun yang dimiliki manusia, semua bersal dari karunia Allah s.w.t. hal ini bisa dipahami dari ayat al-Quran yang menjelaskan firman Allah, ketika Allah s.w.t. mengajarkan kepada Adam berbagai macam ilmu pengetahuan dialam semesta (QS. Al-Baqarah, 2:31) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# n?tã’ öNåkyÎz•tä NèO§ .yg¯=ä$ #${uä!$oÿôœF tPyŠ#uä zN¯=tæur ÇÌÊÈ tûüÏ%ω»|¹ .öNçFZä )bÎ ÏäIwàs¯»yd /Ïä!$yJó™r'Î&ÎTqä«Î6/Rr’ tA$s)sù 31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Apabila IPTEK bersumber yang satu yakni Allah s.w.t. tentunya tidak ada pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan, keduanya bersifat komplementeri (saling melengkapi) dan tidak perlu dipertenangkan. Selain itu, Agama Islam juga mewajibkan bagi umatnya untuk mengamalkan ilmu yang mereka peroleh untuk kebaikan di dunia, yang diimplementasikan dalam bentuk teknologi serta pengajaran akan ilmu tersebut. Agama Islam sebagai agama yang sejalan atas wahyu dan akalnya dapat dibuktikan dalam ayat dan tafsir berikut ini: o Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta (QS 3/190192) o Akal dan pikiran merupakan kelebihan dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai bekal untuk hidup di dunia agar manusia dapat memahami dan menyelidiki elemen-elemen yang terdapat di alam serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka (Q.S. Al Isra 70). o Manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka Bumi dengan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya di alam ini (Q.S. Ar Ra’du 2). Alam dengan segala manfaat yang dapat diperoleh darinya harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia. Manusia jangan sampai “ditundukkan” oleh alam melalui nilai-nilai materialistik dan keserakahan karena sesungguhnya hal tersebut melanggar kodrat manusia yang diberikan oleh Allah. Pemanfaatan konsep IPTEK akan menjadi lebih berkah dan bermanfaat dengan didasari dengan keimanan dan ketakwaan. Terhambatnya kemajuan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini disebabkan umat Islam tidak memahami konsep dan mengoptimalkan fungsinya sebagai khalifah di Bumi. Seiring denga berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah diturunkan Allah s.w.t. dari masa nabi Adam hingga sekarang, sudah banyak sekali ilmu pengetahuan yang dapat kita peroleh. Dan denga ilmu pengetahuan tersebut harusnya kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang buruk, serta mana hal yang harus kita lakukan dan mana hal yang harus kita hindarkan. Referensi 1.

http://alshafa.wordpress.com/2011/06/16/konsep-pengembangan-iptek-dalam-islam2/

2. 3.

http://mhdimran.blogspot.com/2012/11/islam-dan-perkembangan-iptek-artikel.html DR. KH. Zakky Mubarak, MA. Menjadi Cendikiawan Muslim, Kuliah Islam di Perguruan Tinggi Umum:Yayasan Ukhuah Insaniyah. P os t ed b y Al t i fani R i z k y H a yyu at 21.33 .00 Ki ri m kan Ini l ewat Em ai l Bl ogThi s! B erb agi k e Twi t t er Berb a gi ke Fa cebook Lab el : Is l am

        

KONSEP IPTEK DALAM ISLAM Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para filosuf, ilmuwan dan kebudayaan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi. Sains di Indonesia menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan dalam sudut pandang filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan panca indera, intuisi dan firasat, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi , di organisasi, di sistematisasi , dan di interpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan. Karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai cirri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedang orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam . Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsure budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik, obyektif dan netral, dalam situasi tertentu teknologi tidak netral karena memiliki potensi untuk merusak potensi kekuasaan. Disinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri. Seni adalah hasil ungkapan akal dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan

yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai Ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah. Dalam pemikiran sekuler, perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.

IPTEKS DALAM ISLAM: Antara Konsep dan Realitas A. Pendahuluan Manusia selain diciptakan sebagai ‘abdullah ia juga diutus sebagai khalifatullah yang notabene adalah tujuannya untuk menjadi pemimpin di dunia beserta isinya ini sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, baik itu yang tersurat dalam Al Qur’an dan Al Hadits mupun yang tersirat dalam Sunnatullah (fenomena alam). Dengan kata lain dalam Islam harus ada keserasian antara imtaq yang berorientasi kepada ‘abdullah yaitu zikir dan iptek yang berorientasi kepada khalifatullah yaitu fikir. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Banyak disebutkan dalam Al Qur’an ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk senantiasa mencari ilmu. Allah senantiasa meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana telah dijelaskan dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

)11 :‫يرفع هللا الذين ءامنوا منكم والذين أوتو العلم درجات (المجادلة‬......... Yang terpenting adalah ilmu itu tujuannya tidak boleh keluar dari nilai-nilai islami yang sudah pasti nilai-nilai tersebut membawa kepada kemaslahatan manusia. Seluruh ilmu, baik ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan selama memerankan peranan ini, maka ilmu itu suci.[1] Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konsekuensi dari konsep ilmu dalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa hakikat ilmu itu adalah menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat, artinya penemuan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui orang.[2] Dijelaskan dalam surat al-'alaq

)5 :‫علّم اإلنسان مالم يعلم (العلق‬

Jadi pada hakikatnya umat Islamlah yang paling berkewajiban untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai tanda ketaatannya terhadap Allah SWT. Namun satu fenomena yang paling memilukan yang dialami umat Islam seluruh dunia saat ini adalah ketertinggalan dalam persoalan iptek, padahal untuk kebutuhan kontemporer kehadiran iptek merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar, terlebih-lebih iptek dapat membantu dan mempermudah manusia dalam memahami (mema’rifati) kekuasaan Allah dan melaksanakan tugas kekhalifahan. [3] Realitas tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang hakiki. Untuk itulah sudah saatnya umat Islam bangkit untuk mengejar ketertinggalannya dalam hal iptek, karena sebenarnya dalam sejarah dijelaskan bahwa umat Islam pernah memegang kendali dalam dunia intelektual, jadi sangat mungkin jika saat ini umat Islam bangkit dan meraih kembali kejayaan Islam tersebut. Pada makalah ini akan dipaparkan apa itu ipteks, konsep dan realitasnya dalam Islam. Dan didalamnya juga akan dipaparkan rencana kerja guna memajukan ipteks dalam dunia Islam. B. Pengertian Ipteks

Mengenai kata Ipteks orang berbeda pendapat, ada yang menganggap merupakan singkatan dari dua komponen yaitu “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” dan ada pula yang memasukkan unsur seni di dalamnya sehingga singkatannya menjadi ipteks. Mengenai definisi ilmu pengetahuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai gabungan berbagai pengetahuan yang di susun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan akibat.[4] Lebih

jauh Zalbawi

Soejati mendefinisikan

ilmu

pengetahuan

atau

sains

sebagai sunnatullah artinya adalah ilmu yang mengarah perhatiaannya kepada perilaku alam (bagaimana alam bertingkah laku).[5] Menurut Ali Syariati dalam buku Cakrawala Islam yang ditulis oleh Amin Rais, Ilmu adalah pengetahuan manusia tentang dunia fisik dan fenomenanya. Ilmu merupakan imagi mental manusia mengenai hal yang kongkret. Ia bertugas menemukan hubungan prinsip, kausalitas, karakteistik di dalam diri manusia, alam, dan entitas-entitas lainnya.[6] Sedangkan kata teknologi berasal dari bahasa Yunani "teknikos" berarti "teknik". Apabila ilmu bertujuan untuk berbuat sesuatu, maka teknologi bertujuan untuk membuat sesuatu. Karena itu maka teknologi itu berarti suatu metode penerapan ilmu untuk keperluan kehidupan manusia.[7] Menurut Zalbawi Soejati, teknologi adalah wujud dari upaya manusia yang sistematis dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu pengetahuan / sains sehingga dapat memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi umat manusia.[8] Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan merupakan kumpulan beberapa pengetahuan manusia tentang alam empiris yang disusun secara logis dan sistematis. Sedangkan Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan tersebut, yang tujuan sebenarnya adalah untuk kemaslahatan manusia. Untuk definisi seni, dalam Ensiklopedia Indonesia diartikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).[9] Berbicara mengenai seni, identik dengan istilah estetika yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan keindahan, entah menurut realisasinya entah menurut pandangan subyektif.[10] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seni identik dengan rasa yang timbulnya dari dalam jiwa, namun demikian gejala keindahan yang ditimbulkan oleh seni bisa juga didekati dari sudut sains. Sebuah lukisan misalnya dapat dianalisa menurut pembagian bidang, jadi menurut matematika. Komposisi warna dapat dianalisa secara eksperimental menurut efek psikologis. C. Konsep Ipteks Dalam Islam

Sudah menjadi pemikiran yang umum bahwasanya agama yang identik dengan kesakralan dan stagnasi tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan ipteks yang notabene selalu berkembang dengan pesat. Namun pemikiran ini tidak berlaku lagi ketika agama tidak hanya dilihat dari ritualitas-ritualitas belaka namun juga melihat nilai-nilai spiritualitas yang hakiki. Menurut Harun Nasution, tidak tepat anggapan yang mengatakan bahwa semua ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. disamping ajaran-ajaran yang bersifat absolut benar dan kekal itu terdapat ajaran-ajaran yang bersifat relatif dan nisbi, yaitu yang dapat berubah dan boleh diubah. Dalam konteks Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, memang terdapat dua kelompok ajaran tersebut, yaitu ajaran dasar dan ajaran dalam bentuk penafsiran dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar itu.[11] Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan karakteristik khusus untu tiap ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, air diciptakan oleh Allah dalam bentuk cair mendidih bila dipanaskan 100 C pada tekanan udara normal dan menjadi es bila didinginkan sampai 0 C. Ciri-ciri seperti itu sudah lekat pada air sejak air itu diciptakan dan manusia secara bertahap memahami ciri-ciri tersebut. Karakteristik yang melekat pada suatu ciptaan itulah yang dinamakan “sunnatullah”. Dari Al Qur’an dapat diketahui banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta, mengkaji dan meneliti ciptaan Allah.[12] Disinilah sesungguhnya hakikat Iptek dari sudut pandang Islam yaitu pengkajian terhadap sunnatullah secara obyektif, memberi kemaslahatan kepada umat manusia, dan yang terpenting adalah harus sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Allah SWT. secara bijaksana telah memberikan isyarat tentang ilmu, baik dalam bentuk uraian maupun dalam bentuk kejadian, seperti kasus mu’jizat para Rasul. Manusia yang berusaha meningkatkan daya keilmuannya mampu menangkap dan mengembangkan potensi itu, sehingga teknologi Ilahiyah yang transenden ditransformasikan menjadi teknologi manusia yang imanen.[13] Studi Al Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa karena dua alasan fundamental, Islam mengakui signifikansi sains: 1.

Peranan sains dalam mengenal Tuhan

2.

Peranan sains dalam stabilitas dan pengembangan masyarakat Islam[14]

Dari sini dapat dilihat bahwa dalam Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah dan juga untuk melaksanakan perintah Allah sebagai khalifatullah fil Ard sehingga sains tersebut harus membawa kemaslahatan kepada umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya. Melihat banyaknya jenis bentuk seni yang ada, maka ulama berbeda pendapat dalam memberi penilaian. Dalam hal menyanyi adan alat musik[15] saja jumhur mengatakan haram namun Abu Mansyur al Baghdadi menyatakan:"Abdullah bin Ja'far berpendapat bahwa

menyanyi dan alat musik itu tidak masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan."[16] Namun menurut Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati menyatakan bahwa seniman dan budayawan bebas melukiskan apa saja selama karyanya tersebut dinilai sebagai bernafaskan Islam.[17] Melihat berkembangnya seni yang ada penulis memandang pendapat Quraish Shihab lebih araif dalam menyikapi perkembangan zaman yang mana kebutuhan masa kini tentu saja lebih komplek sifatnya dibandingkan dengan kebutuhan pada masa awal Islam. D. Fakta Ipteks Dalam Al Qur’an Setelah membahas ipteks dalam Islam secara global, disini akan dipaparkan beberapa fakta ilmiah dalam Al Qur’an. Al Qur’an merupakan satu-satunya mu’jizat yang tak lekang dimakan zaman. Al Qur’an ini bersifat universal untuk seluruh umat manusia. Salah satu sifat asli Al-Qur’an yang membedakannya dari bible adalah bahwa untuk mengilustrasikan penegasan yang berulang-ulang tentang kemahakuasaan Tuhan, kitab tersebut merujuk kepada suatu keragaman gejala alam. [18] Diantara aspek-aspek terpenting dari pemikiran ini, bahwa al-Qur'an berisi informasi tentang fakta-fakta ilmiah yang amat sesuai dengan penemuan manusia, yang diantaranya adalah sebagai berikut :  Bahwa seluruh kehidupan berasal dari air

)30 :‫ي (األنبياء‬ ّ ‫وجعلنا من الماء كل شئ ح‬  Bahwa alam semesta terbentuk dari gumpalan gas (di dalam al-Qur'an disebut dengan adDukhan)

‫ قالتا ائتيا طائعين‬،‫ثم استوى إلى السماء وهي دخان فقال لها ولألرض ائتيا طوعا أو كرها‬ )11 :‫(فصلت‬  Matahari dan bulan mempunyai ukuran dan perhitungan yang sesuai.

)5 :‫الشمس والقمر بحسبان (الرحمن‬  Bahwa kandungan oksigen di udara akan semakin berurang di tempat-tempat yang tinggi

)124 :‫(األنعام‬...‫ومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقا حرجا كأنما يصعد في السماء‬... Selain fakta ilmiah yang disebutkan diatas juga tampak dari penamaan surat-surat dalam Al Qur’an antara lain: An-Nahl, An-Naml, Al-Hadid, Ad-Dukhan, An-Najm, Al-Qomar dan masih banyak lagi yang lainnya. Dari beberapa fakta ilmiah tersebut di dalam al-Qur'an, amatlah jelas bahwa al-Qur'an memberikan petunjuk kepada manusia tentang berbagai hal. Untuk mengetahui secara detail dan seksama, maka manusialah yang harus berusaha untuk memecahkan berbagai problematika keilmuan yang didapati dalam kehidupan ini dengan berlandaskan pada ajaran alQur'an. Dengan berlandaskan kepada al-Qur'an, manusia akan mengetahui hasil penelitiannya mengenai alam melalui "pengkomparasian (pencocokan)" dengan al-Qur'an", apakah sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur'an atau sebaliknya[19].

Disamping contoh fakta ilmiah tersebut di atas, terdapat pula ayat yang mengisyaratkan tentang teknologi kepada umat manusia. Al-Qur'an tidak menghidangkan teknologi suatu ilmu yang murni dan lengkap, tetapi hanya menyinggung beberapa aspek penting dari hasil teknologi itu dengan menyebutkan beberapa kasus atau peristiwa teknik. Perlu diingat bahwa al-Qur'an bukan buku teknik sebagaimana juga ia bukan buku sejarah (walaupun banyak juga kisah di dalamnya), buka buku astronomi, fisika dan lain-lain, melainkan kitab suci yang berisi petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Karenanya kalau al-Qur'an menyinggung masalah teknik umpamanya, maka maksudnya tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa al-Qur'an juga memberikan perhatian kepada masalah teknik dan menghimbau agar umat Islam memperhatikan dan mempelajari ilmu ini. Dalam hubungan ini, kita menemukan beberapa ayat yang berkaiatn dengan ilmu teknologi, diantaranya:

)37 : ‫واصنع الفلك بأعيننا ووحينا (هود‬ Dan buatlah bahtera (kapal) dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membuat bahtera agar Nuh bersama dengan orang beriman selamat dari musibah air bah yang segera akan terjadi. Kapal Nabi Nuh boleh jadi kapal yang pertama di dunia, dibuat dengan pengawasan langsung dan petunjuk wahyu Allah. Dengan ayat ini pula al-Qur'an telah mengemukakan dan meminta perhatian umat manusia akan salah satu cabang ilmu teknik yang paling urgen dalam hidup ini, yaitu tekhnik perkapalan. Tidak dapat disangkal, betapa pentingnya masalah perkapalan dalam hidup ini. Ia tidak saja merupakan alat perhubungan atau pelayaran yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya, akan tetapi ia juga sebagai alat pengangkutan yang sangat vital yang dapat mengangkut barang dagangan dalam jumlah yang sangat besar. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa tidak ada perdagangan besar-besaran dan impor-export tanpa jika teknik perkapalan tidak ada[20]. Fakta ilmiah tersebut merupakan bukti bahwa relevansi alQur'an dengan ilmu pengetahuan tekhnologi amatlah besar[21]. Dan masih banyak lagi fakta ilmiah yang terkandung dan tersirat dalam al-Qur'an. Disamping banyak tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, Al-Qur'an juga membahas tentang seni, hal ini dapat dilihat pada firman Allah

)149 :‫وتنحتون من الجبال بيوتا فارهين (الشعراء‬ Ayat di atas menunjukkan seni pahat yang dilakukan oleh kaum nabi Shaleh yaitu memahat gunung untuk dijadikan rumah. Dalam ayat lain Allah berfirman:

)19 :‫ إن أنكر األصوات لصوت الحمير (لقمان‬, ‫واقصد في مشيك واغضض من صوتك‬ Ayat di atas menunjukkan perlunya seni dalam berbicara yaitu dengan nada yang baik dan lemah lembut, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lirih. E. Realitas Ipteks Dalam Islam

Berbicara mengenai ipteks dalam Islam sebenarnya telah diajarkan oleh Allah masamasa awal mula manusia. Hal ini dapat dilihat dari realitas yang ada pada masa Nabi Nuh dengan dibuatnya kapal yang pertama di dunia atas petunjuk Allah langsung, bahkan sejak Nabi Adampun telah ada ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat ketika Adam menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekelilingnya. Namun pada makalah ini, realitas ipteks dalam Islam akan dimulai pembahasannya pada masa Rasulullah SAW. Pengembangan Ilmu Pengetahuan pada masa Rasulullah SAW. dimulai dengan membuat tradisi baru yaitu mencatat dan menulis. Dan ini dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin dengan adanya inovasi-inovasi dalam berbagai bidang. Misalnya pada masa Umar bin Khattab dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan terjadilah dua gerakan yaitu gerakan perpindahan manusia, orang arab muslim keluar jazirah arab orang ajam dating kejazirah arab.[22] Gerakan pengembangan ilmu ini semakin berkembang pada masa Umayyah Khalid Ibnu Yazid ibnu Muawiyah dilaporkan telah menggunakan jasa dari Istiphan al-Qadim dan lainnya untuk menerjemahkan karya-karya ilmu kedokteran dan boleh jadi ilmu kimia, farmatikal dan Matematika ke dalam Bahasa Arab. Penguasa lain yang menunjukkan perhatiannya dalam penerjemahannya terhadap beberapa ilmu pengetahuan di Alexandria dan Antioch adalah Umar Ibnu Abdul Aziz.[23] Pada masa Abbasiyah pengembangan ilmu semakin pesat perkembangannya. Gelombang penerjemahan pada tahun 750-900 [24]yang dipelopori oleh khalifah al Manshur yang kemudian menjadi "air bah" pada masa khalifah al Ma'mun. Pada masa al Ma'mun berdirilah al Hikmah yang meupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Menurut Abdel Hamid Sabra, pakar sejarah sains dari universitas Harvard,[25] gerakan penerjemahan tersebut diatas mewakili fase pertama dari Islamisasi sains. Ia menyebutnya sebagai fase peralihan atau akuisisi, dimana sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagi penjajah (an invading force), melainkan sebagi tamu yang diundang (an invited guest). Proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut dengan fase assimilasi atau naturalisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Fase selanjutnya yaitu fase kematangan yang berlangsung kurang lebih 500 tahun lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Adapun sebab-sebab kemajuan umat Islam pada masa itu Ali Kettani [26]menengarai lantaran didukung oleh semangat sebagai berikut: 1. Universalism. Universalisme artinya pengembangan iptek mengatasi sekat-sekat kesukuan, kebangsaan, bahkan keagamaan.

2. Tolerance. Toleransi artinya sikap tenggangrasa dalam pengembangan iptek dimaksudkan untuk membuka cakrawala di kalangan para ilmuan, sehingga perbedaan pendapat dipandang sebagai pemacu kea rah kemajuan, bukan sebagai pengahalang. 3. International character of the market. Pemasaran terhadap hasil-hasil iptek merupakan suatu wahana untuk menjamin kontinyuitas aktivitas ilmiah itu sendiri, karena itu pasar yang bersift internasional sangatlah dibutuhkan. 4. Respect for science and scientist. Penghargaan yang tinggi dalam arti, setiap temuan dihargai secra layak dan memadai sebagai hasil jerih-payah atau usaha seseorang atau kelompok orang. 5. The Islamic nature of both the ends and means of science. Sarana dan tujuan iptek haruslah terkait dengan nilai-nilai agama artinya, setiap kegiatan ilmiah tidak boleh bebas nilai, apalagi nilai agama. Sedangkan menurut Syamsuddin Arif, jika dikaji dan di telusuri dengan teliti, faktor-faktor yang telah memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam pada saat itu (masa keemasan) antara lain sebagai berikut: [27] a. Kemurnian dan keteguhan dalam mengimani, memahami dan mengamalkan ajaran Islam (firm adherence to, understanding and practicing of true Islamic faith and teachings). Keimanan yang teguh, pemahamn yang memadai, dan kesungguhan dalam mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnah itu telah berhasil melahirkan individuindividu ‘siap tempur’ yang unggul secara mental maupun moralnya, dan pada gilirannya membentuk masyarakat madani yang Islami. b. Adanya motivasi agama. Sebagaimana kita ketahui Kitab Suci Al Qur’an banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (iqra’), melakukan observasi (a-fala yarawna), eksplorasi (a-fala yanzuruna), dan ekspedisi (siru fi l-ardi), melakukan ‘inference to the best explanation’ dalam istilah falsafah sains kontemporer serta berfikir ilmih rasional (li-qawmin ya’qilun, yatafakkarun). c. Adanya faktor sosial politik. Tumbuh dan berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain jika bukan terutama oleh kondisi masyarakat Islam yang meskipun terdiri dari bermacam-macam etnis (arab, parsi koptik, berber, turki dan lain-lain), dengan latar belakang bahasa dan budaya maing-masing, namun berhasil diikat oleh tali akidah Islam. Setelah dunia Islam telah merasakan masa keemasannya, sampailah pada masa kemunduran.

Kehancuran

Islam

dari

panggung

kemajuan

diakhiri

dengan

tumbangnya Baghdad abad ke-13 M di tangan Mongolia dengan dihancurkannya hamper seluruh khazanah kebudayaan dan keilmuan. Pusat studi Islam dihancurkan, buku-buku dibakar dan sebagian disita. [28] Para pakar banyak mengemukakan sebab-sebab kemunduran sains di dunia Islam. Diantaranya menurut Profesor Sabra, fase ini merupakan kelanjutan dari tiga fase yang telah

disebutkan diatas. Proses ini disebutnya sebagai "appropriasi". Pada tahap ini aktifitas saintifik mengalami reduksi karena lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis.[29] Sedangkan menurut David C. Lindberg [30] (1) oposisi kaum konservatif (2) krisis ekonomi dan politik (3) keterasingan dan keterpinggiran sebagai tiga faktor utama yang bertanggung jawab atas kemunduran sains di dunia Islam. Lain pula dengan apa yang diungkapkan oleh Parvez Hoodbhoy,[31] menurutnya teologi Ash ariyyah sebagai salah satu penyebab kemundura sains. Menurutnya doktrin teologi ini membuat kaum Muslim menjadi fatalistik, tidak berfikir rasional dan cenderung bersikap pasif dalam menyikapi fenomena dan realitas. Lebih jauh lagi Hoodbhoy menuduh imam al-Ghazali sebagai orang yang bertanggung jawab menghancurkan bangunan sains di dunia Islam. Namun pendapat Hoodbhay tersebut tidak bisa dibenarkan karena aliran Ash 'ariyyah tidak bias disamakan dengan fatalistik, karena dalam ajarannya rasio juga mendapatkan porsi walaupun kedudukan wahyu tetap diutamakan. Selain itu tuduhannya terhadap al Ghazali juga tidak bisa kita telan begitu saja, karena sebenarnya yang dikritik oleh al Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah adalah sikap para ilmuan yang saat itu terlalu mendewakan sains bukan sains itu sendiri. Ini dapat dilihat dari nama kitabnya yaitu Tahafut al-Falasifah bukan Tahafut alFalsafah. Disamping

itu

menurut Cemil

Agdogan[32] Al

Ghazali,

untuk

pertama

kalinya

menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sana menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi metafisika untuk sains modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga konstruktif. Pada masa kemunduran ini telah terjadi kejumudan dalam dunia intelektual Islam. Taqlid menjadi suatu tradisi yang sangat berkembang saat itu. Umat Islam tidak mampu mempertahankan kegemilangan yang telah diraihnya pada masa keemasannya, mereka hanya sekedar menirukan pendapat-pendapat pendahulunya tanpa mampu menelaah dengan kritis. Namun perlu diketahui bahwasanya pada masa ini telah lahir beberapa ilmuan muslim antara lain: Ibnu Majah (1138), Ibnu Thufail (abad ke-12 M), Ibnu Rusd (lahir 1128 M).[33] Namun pemikiran mereka tidak mampu mengalahkan tradisi taqlid yang sudah mengakar. Ditengah-tengah kejumudan yang terjadi di dunia Islam, muncullah upaya-upaya untuk memperbaharui cara berfikir umat Islam menuju paradigma purifikasi (pemurnian) praktekpraktek keagamaan yang menyimpang. Usaha ini dipelopori oleh Ibnu Taimiyah di penghujung abad ke-13 dan awal abad ke-14 M.[34]Diparuh abad ke-19 hingga awal abad ke-20 umat Islam mengenal modernisasi yang dari sini melahirkan ilmuan-ilmuan Muslim seperti Jamaluddin al Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal dan masih banyak yang lainnya. Gerakan ini terus berlanjut ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan duni modern. Ada tiga respon umat Islam terhadap modernisasi yang terjadi. Pertama, golongan yang menolak dengan keras modernisasi. Kedua, golongan yang menelan mentah-mentah

modernisasi. Ketiga, golongan yang menerima modernisasi dengan memfilter terlebih dahulu hal-hal yang tidak sejalan dengan pinsip-prinsip Islam. Sebagaimana ilmu pengetahuan, seni dalam realitas dunia Islam juga sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, Al-Qur'an sendiri jika dilihat dari kacamata seni merupakan sebuah karya seni yang maha agung, yang nilai satranya tidak ada yang mampu menandingi. Khilafah Islam terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni suara dan musik. Mereka dibiarkan mendirikan sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat musik. Perhatian ke arah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa Daulah Umawiyah, yang kemudian dilanjutkan pada masa kekhalifahan Abbasiyah sehingga di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan berbagai tingkat pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai tingkat perguruan tinggi.[35] Catatan tentang kesenian umat Islam banyak disebut orang. Para penemu dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul sejak pertengahan abad kedua hijriah, misalnya Yunus al-khatib yang meninggal tahun 135 H, Khalil bin Ahmad (170 H), Ibnu An-Nadiem Al-Naushili (235 H), Hunain Ibnu Ishak (264 H), dan lain-lain.[36] F. Analisa Hingga saat ini para pakar-pakar Islam sedang berusaha keras merebut kembali kejayaan Islam yang pernah dirasakan oleh umat Islam pada masa silam. Sebagai analisa disini penulis melihat perlu adanya rencana kerja yang harus dilakukan oleh umat Islam pada umumnya dan pakar-pakar Islam pada khususnya. Setelah penulis melakukan berbagai pembacaan, maka dapat penulis rumuskan beberapa langkah konkrit yang harus ditempuh oleh imat Islam, antara lain: 1. Sebagai langkah awal umat Islam tidak boleh menutup mata dari produk ipteks barat. Artinya selama ipteks itu mendatangkan maslahat bagi umat manusia maka harus dipelajari. Baik itu datangnya dari barat ataupun ilmu yang dilahirkan dari dunia Islam sendiri. 2. Ilmu dalam Islam tidak bebas nilai. Artinya ipteks haruslah mempunyai nilai-nilai moral dan terutama nilai-nilai religi. 3. Pengembangan ipteks tersebut haruslah menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Konsep yang diajukan diatas diperkuat oleh beberapa pakar Islam. Antara lain: Menurut Mahdi Ghulsyani dalam bukunya Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, mengajukan usulan-usulan berikut ini: 1.

Seperti para ulama dan ilmuan abad-abad pertama zaman Islam, kita harus

mempelajari seluruh ilmu yang berguna dari orang lain. 2.

Bentuk gabungan yang ada diantara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kealaman

selama hari-hari puncak Islam harus dibangun kembali, karena sebagaimana telah ditunjukkan bahwa antara titik akhir agama dan ilmu-ilmu kealaman tidak ada konflik.

3.

Untuk mencapai kemerdekaan penuh umat Islam, negara-negara muslim perlu

mengambil langkah-langkah untuk melatih para spesialis didalam segala bidang keilmuan dan industri yang penting. 4.

Penyelidikan ilmiah harus dipikirkan sebagai sebuah pencarian penting dan

mendasar, dan bukanlah pencarianyang sekedarnya. 5. Harus ada kerjasama antarnegara Muslim dalam masalah riset teknologi dan keilmuan.[37] Sedangkan Isma’il Raji al Faruqi dengan konsep Islamisasi pengetahuan mengajukan rencana kerja sebagai berikut: 1.

Penguasaan disiplin ilmu modern.

2.

Penguasaan khasanah Islam.

3.

Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern.

4.

Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern.

5. Pengarahan aliran-aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.[38] Beberapa usulan yang ditawarkan oleh Mahdi Ghulsyani dan Isma’il Raji al Faruqi pada dasarnya merupakan tawaran yang konkrit dan sebenarnya intinya sama namun al Faruqi lebih ditekankan pada ilmu pengetahuannya sedangkan Ghulsyani aspek teknologi juga diperhatikan sehingga adanya kerjasama antar Negara-negara muslim adalah suatu keniscayaan. G. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpilan sebagai berikut: 1.

ilmu pengetahuan merupakan kumpulan beberapa pengetahuan manusia

tentang alam empiris yang disusun secara logis dan sistematis. Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan tersebut, yang tujuan sebenarnya adalah untuk kemaslahatan manusia. Seni merupakan penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera. 2.

Ipteks dalam Islam tidak boleh lepas dari nilai-nilai religi dan yang pasti

tujuannya adalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. 3.

Sebenarnya antara agama dalam hal ini Islam tidak ada pertentangan sama

sekali, bahkan di Al Qur’an banyak disinggung ayat-ayat yang berbicara tentang ipteks. 4.

Dalam realitas sejarah, dunia intelektual Islam pernah menikmati masa

keemasannya, demikian juga dengan seni. 5.

Untuk meraih kembali masa kegemilangan tersebut maka diperlukan langkah-

langkah kongkrit antara lain dengan mempelajari iptek yang tujuannya untuk

kemaslahatan manusia, dan yang utama adalah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah sehingga ipteks tidak bebas nilai. DAFTAR PUSTAKA

Agdogan, Cemil. Islamia: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam. INSISTS. Jakarta. Thn I No 4, Januari-Maret 2005. Al Faruqi, Isma’il Raji. Islamisasi Pengetahuan. Pustaka. Bandung. 1984 Al Baghdadi, abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik & Tari. Gema Insani Press. Jakarta. 1991 Amsari, Fuad. Islam Kaaffah: Tantangan Sosial Dan Aplikasinya Di Indonesia. Gema Insani Press. Jakarta. 1995.

Arif, Syamsuddin. Islamia: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam. INSISTS. Jakarta. Thn I No 6, Juli September 2005. Bucaille, Maurice. Asal Usul Manusia: Menurut Bibel AL-Quran Sain. Mizan Bandung. 1998.

Butt, Nasim. Sains dan Masyarakat Islam. Pustaka Hidayah. Bandung. 2001. Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur'an di Indonesia. Mizan. Bandung. 1996. Gani, Bustami A & Umam, Chatibul (ed). Beberapa Aspek Ilmiah tentang Qur'an, PTIQ, Jakarta, 1986.

Al-

Ghuslsyani, Mahdi. Filsafat-Sains Menurut AL-Quran. Mizan. Bandung. 1998. Hartoko, Dick. Manusia Dan Seni. Kanisius. Yogyakarta. 1993

Komaruddin. Kamus Riset. Angkasa. Bandung. 1987. Muntasyir, Rizal & Munir, Misnal. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001 Mushoffa Imam, & Musbikin, Aziz. Kloning Manusia Abad XXI ; Antara Harapan, Tantangan Dan Pertentangan.Forum Studi Himanda.Yogyakarta. 2001.

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat : Diskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Risalah Gusti. Surabaya. 1996. Nasution, Harun. Islam Rasional. Mizan. Bandung. 1995.

Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam. UMM Press. Malang. 2004. Rais, M.Amin. Cakrawala Islam : Antara Cita Dan Fakta. Mizan. Bandung. 1999. Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: kisah Hikmah Dan Kehidupan. Mizan. Bandung. 1999. Soejoeti, Zalbawi, et.al.. Al-Islam & Iptek, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Kencana. Jakarta Timur. 2003. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Dep Dik Bud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka .Jalarta 1999. Tim Penyusun ensiklopedia indonesia. Ensiklopedia Indonesia. PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. jilid V [1] Mahdi Ghulsyani,. Filsafat-Sains Menurut AL-Quran. Mizan. Bandung. 1998. h: 57 [2] Imam Mushoffa, Aziz.Musbikin. Kloning Manusia Abad XXI; Antara Harapan, Tantangan Dan Pertentangan. Forum Studi Himanda.Yogyakarta. 2001. h: XII [3] Zalbawi Soejoeti,. et.al.. Al-Islam & Iptek, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998. h: XIII

[4] Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka .Jalarta 1999. h:371 [5] Zalbawi Soejoeti, Op.Cit., h: 148 [6] M.Amin Rais. Cakrawala Islam : Antara Cita Dan Fakta. Mizan. Bandung. 1999. h: 108

[7] Komaruddin. Kamus Riset. Angkasa. Bandung. 1987. h: 275-276. [8]Zalbawi Soejoeti, et.al.. Op.Cit., h: 150

[9] Tim Penyusun ensiklopedia indonesia, Ensiklopedia Indonesia, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, jilid V,. h: 3080-3081 [10] Dick Hartoko, Manusia Dan Seni, Kanisius, Yogyakarta, 1993. h: 16 [11] Harun Nasution. Islam Rasional. Mizan. Bandung. 1995. h: 292 [12]Fuad Amsari. Islam Kaaffah: Tantangan Sosial Dan Aplikasinya Di Indonesia. Gema Insani Press. Jakarta. 1995. h:70 [13] Imam Mushoffa, Aziz.Musbikin. Loc.Cit.

[14]Mahdi Ghulsyani. Op.Cit., h: 62 [15] Untuk penjelasan lebih lengkap lihat buku Abdurrahman Al-Baghdadi. Seni Dalam Islam: Seni Vokal, Musik & Tari. Gema Insani Press. Jakarta. 1991 [16] Abdurrahman Al-Baghdadi. Seni Dalam Islam: Seni Vokal, Musik & Tari. Gema Insani Press. Jakarta. 1991. h: 21 [17] M. Quraish Shihab. Lentera Hati: kisah Hikmah Dan Kehidupan. Mizan. Bandung. 1999. h: 371 [18] Maurice Bucaille. Asal Usul Manusia: Menurut Bibel AL-Quran Sain. Mizan Bandung. 1998. h: 195

[19] Nasim Butt. Sains dan Masyarakat Islam. Pustaka Hidayah. Bandung. 2001. h: 60. [20] Bustami A Gani & Chatibul Umam (ed). Beberapa Aspek Ilmiah tentang alQur'an, PTIQ, Jakarta, 1986. h : 162. [21] Howard M. Federspiel. Kajian Al-Qur'an di Indonesia. Mizan. Bandung. 1996. h: 233. [22] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Kencana. Jakarta Timur. 2003. h: 29. [23]Mehdi Nakosteen. Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat : Diskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Risalah Gusti. Surabaya. 1996. h:208 [24] Musyrifah Sunanto. Op.Cit., h: 79 [25] A.E. Sabra dalam Syamsuddin Arif. Islamia: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam. INSISTS. Jakarta. Thn I No 6, Juli September 2005. h: 88 [26] Ali Kettani. 1984. h: 85 dalam Rizal Muntasyir & Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001 h:129 [27] Syamsuddin Arif. Op.Cit., h: 89 [28] Moh Nurhakim. Metodologi Studi Islam. UMM Press. Malang. 2004. h: 160. [29]Syamsuddin Arif. Op.Cit., h: 91 [30] David C. Lindberg dalam Ibid. [31] Parvez Hoodbhoy dalam Ibid, h: 93 [32] Cemil Agdogan. Islamia: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam. INSISTS. Jakarta. Thn I No 4, Januari-Maret 2005. h: 95 [33] Moh Nurhakim. Op.Cit., h: 162. [34] Moh Nurhakim. Ibid, h: 163. [35] Abdurrahman Al-Baghdadi. Op.Cit. h: 97 [36] Ibid. h: 97-98 [37] Mahdi Ghuslsyani. Op.Cit., h:60-61

[38] Isma’il Raji al Faruqi. Islamisasi Pengetahuan. Pustaka. Bandung. 1984. h: 98

More Documents from "ilma sarifah"