Iman, Islam dan Ihsan
َ أ َم تريدون أ َن ت َّ ض ُ ْ ن قَب َ ِ سئ ل ِ سى َ ْ ن فَقَد َ مو ُ ما ُ سألُوا َر ْ َ ْ َ ُ ِ ُ ْ َ ل الْكُفَْر بِالي َ َل و ُ ل َ َم ك ْ ُ سولَك ِ ما ِ َّ ن يَتَبَد ْ م ْ م َّ سوَاءَ ال ل َ ِ سبِي “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkahlangkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah;108) Ajaran Islam harus diterapkan dalam segala bidang kehidupan manusia. Dijadikan pedoman hidup dan “juru selamat” yang hakiki. Seperti yang telah dicontohkan dalam penyebaran Islam pertama zaman Rasulullah SAW pada abad keVII, kemudian pada zaman pengganti-pengganti beliau dari Khulafaur Rasyidin, menyusul zaman keemasan Islam. Sejarah membuktikan bahwa kedatangan Islam zaman itu benar-benar menjadi kebanggaan yang tiada taranya. Manusia menikmati Islam sebagai karunia Ilahi. Trilogi Yang dimaksud dengan Trilogi disini adalah Islam, Iman dan Ihsan. Marilah kita perhatikan syarah (uraian dan keterangan) Zainab Al-Ghazali tentang Islam, Iman dan Ihsan dalam bukunya “Al-Arba’un An Nabawiyyah”. Sesungguhnya Islam adalah kepasrahan akal dan perbuatan, bahwa dalam alam ini ada Dzat pencipta dan pembentuk. Dzat pembuat dan pengatur. Kepasrahan ini membawa kita pada ikrar dua kalimat syahadat dan siap melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tuntutan-tuntutan-Nya. Selanjutnya melaksanakan hal-hal yang difardhukan, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji jika mampu. Sedangkan Iman adalah kebangkitan rohani yang terjadi di dalam hati, roh dan perasaan, sebuah kebangkitan yang akan menggetarkan seluruh raga manusia. Mungkin sepanjang hidup hanya terjadi satu kali, mungkin juga berkali-kali. Dari sinilah bentuk ibadah akan berubah dari sekedar melaksanakannya dengan jasad dan indra menuju pelaksanaannya dengan jasad dan renungan intelektual secara bersamaan. Sesungguhnya Iman adalah jujurdalam berislam. Islam masuk ke pintupintu kebaikan, sementara Iman yang mengantarkan realisasinya pada kedalaman ruhani. Islam puncaknya adalah lisan dan ucapan, sementara Iman puncaknya adalah hati dan jajaran indra yang jujur terhadap Tuhannya. Inilah titian permulaan menju Ihsan manusia. Jika mampu menyibukkan hati, perasaan dan instinknya dengan ‘zikrullah’, maka ia telah berpindah ke derajat Ihsan, sebuah derajat kesaksian akan cahaya dari Allah SWT. Derajat Ihsan adalah kejujuran secara menyeluruh. Seseorang tidak akan sampai ke derajat Ihsan jika ia tidak melalui dua fase, Islam dan Iman (halaman 19-20) Tribakti “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil Amri diantara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 59) Pertama, Taat kepada Allah SWT Ketaatan kepada Allah SWT dapat terwujud diantaranya dengan enam sikap sebagai berikut; pertama, Berkeyakinan bahwa tidak ada yang patut dan berhak disembah dan dimintai pertolongan kecuali Allah SWT. Kedua, Menjaga dan memelihara diri dari segala bentuk kedzoliman dan kemaksiatan. Ketiga, Bertekat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan dan apa-apa yang dilarang Allah. Keempat, Melaksanakan seluruh perintah Allah dengan ikhlas serta mengerjakan tata cara dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Kelima, Menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai petunjuk pelaksana dalam kehidupan. Keenam, Berakhlak mulia dalam bergaul dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar. Kedua, Taat kepada Rasul-Nya Taat kepada Rasulullah SAW berarti beriman kepadanya, meyakini dan melaksanakan seluruh ajaran yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada beliau serta melaksanakan Sunnahnya. Taat kepada Rasul berarti berupaya mewarisi watak serta karakteristik baku yang telah beliau wariskan kepada seluruh umatnya. Yaitu sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Allah SWT berfirman : “Dan barangsiapa yang menantang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orangorang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu,dan Kami masukkan ia ke dalan jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S An-Nisa’: 115) Ketiga, Taat kepada Ulil Amri Ulil Amri (pemimpin/pemerintah) ialah orang yang memegang amanah kekuasaan untuk melaksanakan urusan dan kemaslahatan umum (orang banyak). Seorang muslim wajib taat kepada ulul amri dan mematuhi perintahnya, baik hal itu menyenangkan dirinya taupun tidak menyenangkan, selama perintah itu bukan berwujud kemaksiatan. Apabila diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan, perintah tersebut tidak boleh ditaati bahkan harus dibantah. Karena hal itu akan mengakibatkan durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah dan Rasul-Nya harus lebih ditaati, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat 59. Seorang ulama terkemuka, DR.Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya “Fiqhul Masuliyyah Fil-Islam” (Fiqih Responsibilitas; Tanggung Jawab Muslim Dalam Islam) mengemukakan tentang beberapa sifat yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin. Sifat-sifat tersebut diantaranya: Pertama, Amanah, sholeh dan bertaqwa. Kedua, Adil, syura dan ihsan. Ketiga, Merasakan kadar responsibilitas (tanggung jawab) dan besarnya masalah itu di hadapan Allah SWT. Keempat, Bersifat lemah lembut terhadap rakyat yang dipimpinnya. Kelima, Tidak korup dan tidak suka kolusi. Keenam, Rendah hati, suka mendenganrkan pendapat orang lain dan menghormatinya. Ketujuh, Menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kedelapan, Melaksanakan dakwah Islamiyyah. Kesembilan, Memperhatikan seluruh fasilitas negara, diantaranya; kesehatan umum, pendidikan dan pengajaran, mewujudkan keamanan masyarakat serta memberikan jaminan keamanan terhadap hakhak-hak kemanusiaan dan kemerdekaan. Kesepuluh, Tidak mendengarkan kata-kata orang munafik. Danmasih banyak lagi. Allahu A’lam Bis As-Shawwab