Imam Jumeidil, 125120500111019, Ilmu Politik.pdf

  • Uploaded by: syaharuddin
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Imam Jumeidil, 125120500111019, Ilmu Politik.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 13,655
  • Pages: 90
PERAN PEMERINTAH KOTA MALANG DALAM MENYIKAPI KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KEBERADAAN KAMPUNG WARNA-WARNI JODIPAN KOTA MALANG

SKRIPSI Diajukan Kepada Universitas Brawijaya Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik

OLEH IMAM JUMEIDIL NIM. 125120500111019

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

PERAN PEMERINTAH KOTA MALANG DALAM MENYIKAPI KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KEBERADAAN KAMPUNG WARNA-WARNI JODIPAN KOTA MALANG

SKRIPSI

Disusun Oleh: Imam Jumeidil 125120500111019 Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing: Pembimbing Utama

Pembimbing Pendamping

Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si. NIK. 196412301993031002

Faqih Alfian, S.IP., M.IP. NIK. 2014058612161001

ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

PERAN PEMERINTAH KOTA MALANG DALAM MENYIKAPI KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KEBERADAAN KAMPUNG WARNA-WARNI JODIPAN KOTA MALANG SKRIPSI Disusun Oleh: Imam Jumeidil NIM. 125120500111019 Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana pada tanggal 26 September 2018 Ketua Sidang,

Sekretaris Sidang,

Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si.

Faqih Alfian, S.IP., M.IP.

NIK. 196412301993031002

NIK. 2014058612161001

Anggota Sidang,

Anggota Sidang,

Resya Famelasari, S.Sos.,M.Soc.sc NIK. 2016078805112001

Taufik Akbar, S.IP., M.IP. NIK. 2014058511011001

Malang, 26 September 2018 Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya,

Prof. Dr. Unti Ludigdo, S.E., M. Si, AK NIP. 196908141994021001

iii

PERNYATAAN Imam Jumeidil NIM. 125120500111019 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Peran Pemerintah Kota Malang Dalam Menyikapi Kebijakan Lingkungan Hidup Tentang Keberadaan Kampung Warna-Warni Jodipan Kota Malang adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademi berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Malang, Agustus 2018 Yang membuat pernyataan

Imam Jumeidil NIM. 125120500111019

iv

ABSTRAK Imam Jumeidil, Program Sarjana, Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Malang, 2018, Peran Pemerintah Kota Malang Dalam Menyikapi Kebijakan Lingkungan Hidup Tentang Keberadaan Kampung Warna-warni Jodipan Kota Malang, Tim Pembimbing: Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si. dan Faqih Alfian S.IP., M.IP

Kampung warna-warni jodipan yang berada di Kota Malang merupakan salah satu pemukiman kumuh yang menjadi kampung tematik. Walaupun inisiasi awalnya bermula dari ide sekelompok mahasiswa UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) dengan bantuan masyarakan Jodipan. Kemudian yang menjadi permasalahan ialah letak kampung atau pemikman ini yang berada di sepandan Sungai Brantas, yang jika di tinjau dengan PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dan Perda Nomor 4 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2010-2030 dianggap tidak sesuai dengan kebijakan yang ada. Untuk memahami kebijakan publik ini peneliti menggunakan sudut pandang etika lingkungan yakni antroposentrisme dan ekosentrisme. Kedua sudut pandang ini sangatlah berlawanan satu sama lainnya. Antroposentrisme merupakan sebuah pandangan yang menilai manusia sebagai pusat alam semesta, sehingga alam dapat dieskploitasi demi kepentingan manusia, sementara pandangan ekosentrisme melihat alam dan manusia sebagai suatu kesatuan yang harus hidup berdampingan, serta alam juga memiliki hak yang sama di dunia ini. Jika mengaju pada sudut pandang antroposentrisme Pemerintah Kota Malang sudah sangat sejalan dengan pandangan ini karena menjadikan kampung Jodipan sebagai lokasi wisata yang akan mampu menggangkat sosial-ekonomi masyarakat disana serta membantu pemerintah dalam mengatasi masalah pemukiman kumuh di Malang. Akan tetapi disisi lain terdapat sebuah kebijakan yang bisa dikatan sedikit berpandangan ekosentrisme karena mengeksploitasi atau menjadikan bantaran sungai sebagai tempat pemukiman saja sudah bertentangan dengan kebijakan yang ada apalagi menjadikannya sebagia tempat wisata dengan mengesampingkan beberapa potensi benca alam yang mengancam setiap saat. Dalam hal ini Pemerintah Kota Malang masih berada dalam posisi yang dilematis dan belum menentukan sikap yang tegas terkait kondisi KWJ saat ini.

Kata Kunci: Ekosentrisme

Kebijakan Publik, Lingkungan Hidup, Antroposentrisme,

v

ABSTRACT Imam Jumeidil, Bachelor Degree, Department of Political Science, Social and Political Science Faculty, University of Brawijaya Malang, 2018, The Role of Malang City Government in Environment Policy About The Existence of Kampung Warna-warni Jodipan Malang City, Advisory Team: Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si. dan Faqih Alfian S.IP., M.IP

Colorful village of Jodipan (Kampung Warna-warni Jodipan) which is located in Malang City is one of the slums that becomes a thematic village. Although the initial initiation began with the idea coming from a group UMM students (University of Muhammadiyah Malang) with the help of Jodipan community. Then what became the problem is the location of the village where it is located in the Brantas River, which if reviewed with Government Regulation No. 38 of 2011 concerning the River and Regional Regulation No. 4 of 2011 concerning the 20102030 Regional Spatial Planning is deemed not in accordance with the policies enforced. To understand this public policy, the researcher used the point of view of environmental ethics namely anthropocentrism and ecocentricism. These two points of view are very opposite to each other. Anthropocentrism is a view that evaluates humans as the center of the universe, thus nature can be exploited for the benefit of humans, while the view of ecocentrism sees nature and humans as a unity that must coexist, and nature also has the same rights in this world. If you propose at the anthropocentrism point of view, the City Government of Malang is very much in line with this view because it makes Jodipan village as a tourist location that will be able to raise the socio-economic community and help the government in overcoming slums in Malang. But on the other hand there is a policy that can be said to have a view of ecocentricism because exploiting or making the riverbank as a place of settlement alone contradicts existing policies let alone make it as a tourist place by putting aside some potential natural hazards at any time. In this case Malang City Government is still in a dilemma position and has not determined a firm attitude regarding the current KWJ conditions.

Key word: Public Policy, Environment, Anthropocentrism, Ecocentricism

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat rahmat serta petunjuk-Nya Skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu yang telah ditentukan. Laporan penelitian skripsi ini diajukan sebagai tahap akhir dari penyelesaian mata kuliah skripsi, penelitian di Kota Malang kurang lebih tiga bulan dan laporan ini juga merupakan salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa program S1 Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Pelaksanaan penelitian skripsi ini dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati oleh pengelola program dari Universitas Brawijaya. Dengan demikian laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Malang, Masyarakat Kampung Wisata Warna-warni, dan masyarakat Kota Malang. Dalam kesempatan ini juga, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama pelaksanaan kegiatan praktik kerja nyata sampai terselesainya laporan penelitian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti haturkan kepada : 1.

Allah SWT yang telah memberikan umur dan kesempatan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan pelaksanan dan penyelesaian skripsi.

2.

Syaharuddin dan Najma selaku orangtua tercinta yang selalu mendoakan anak-anaknya agar selalu sehat dan sukses.

3.

Khoirul anam dan Shofwan Fikry selaku kakak kandung dan adik kandung peneliti yang tak henti-hentinya memberikan dukungan untuk selalu fokus pada masa perkuliahan.

vii

4.

Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si dan Faqih Alfian, S.IP., M.IP., selaku dosen pembimbing peneliti, yang dengan sabar membimbing, dengan segala kekurangan yang dilimilki oleh peneliti.

5.

Alifia Mayasari yang selalu memberi semangat dan mendukung peneliti untuk segera menyelesaikan tugas akhir.

6.

Kawan-kawan HmI KISIP Brawijaya yang telah membantu penilti dalam berkembang hingga barada pada tahap ini.

7.

Kawan seperjuangan Adhan dan Gembul serta kawan-kawan yang ada di group Jagoan, yang selalu mendampingi peneliti baik suka maupun duka. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini. Dalam penyusunan mata kuliah skripsi ini, peneliti sadar bahwa masih banyak

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu peneliti mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan akhir kata, peneliti ucapkan terima kasih atas semuanya.

Malang, September 2018

Peneliti

viii

DAFTAR ISI

BAB ...................................................................................................... HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... iii PERNYATAAN ..................................................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................................v ABSTRACT............................................................................................................ vi KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii DAFTAR ISI........................................................................................................... ix DAFTAR TABEL................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.2

Latar Belakang ................................................................................... 1

1.3

Rumusan Masalah .............................................................................. 7

1.4

Tujuan Penelitian ............................................................................... 7

1.5

Manfaat Penelitian ............................................................................. 8

1.5.1

Manfaat Teoritis ................................................................................ 8

1.5.2

Manfaat Praktis ................................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9 2.1.

Dasar Teoritis ..................................................................................... 9

2.1.1. Kebijakan Publik ............................................................................... 9 2.1.2. Lingkungan Hidup .......................................................................... 15 2.2.

Penelitian Terdahulu ........................................................................ 18

2.3.

Kerangka Pemikiran ........................................................................ 24

BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 26 3.1.

Jenis Penelitian ................................................................................ 26

3.2.

Lokasi Penelitian .............................................................................. 27 ix

3.3.

Fokus Penelitian ............................................................................... 28

3.4.

Pemilihan Informan ......................................................................... 29

3.5.

Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 30

3.6.

Teknik Analisa Data ........................................................................ 30

BAB IV GAMBARAN UMUM ........................................................................... 33 4.1.

Pemerintah Kota Malang................................................................. 33

4.2.

Kampung Warna-warni Jodipan ..................................................... 46

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 47 5.1.

Kebijankan Pemerintah dan Pemkot Malang Yang Berkaitan Dengan Keberadaan KWJ ............................................................................. 47

5.2.

Perdebatan Implimentasi Kebijakan Relokasi Terhadap KWJ ........ 51

5.3.

Efek Domino KWJ ........................................................................... 55

5.4.

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah Kota Malang Terkait KWJ ................................................................................................. 56

5.5. Solusi Pemkot Malang Terhadap Keberadaan KWJ ........................ 61 5.6. Perspektif Etika Lingkungan Hidup Terhadap Kebijakan Lingkungan Hidup Pemkot Malang di KWJ ........................................................ 63 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 65 6.1.

Kesimpulan ...................................................................................... 65

6.2.

Saran ................................................................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68 LAMPIRAN .......................................................................................................... 70

x

DAFTAR TABEL Tabel 1: Penelitian Terdahulu................................................................................18

xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Tiga Elemen Sistem Kebijakan............................................................11 Gambar 2: Proses Kebijakan Publik Menurut Easton............................................12 Gambar 3: Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson.......................................12 Gambar 4: Proses Kebijakan Publik Menurut Dye................................................13 Gambar 5: Kerangka Pemikiran.............................................................................23

xii

BAB I PENDAHULUAN

1.2

Latar Belakang Saat ini diera pembangunan yang sangat masif faktor lingkungan hidup kerap

kali tidak menjadi prioritas dari setiap pembangunan yang ada. Akibatnya lingkungan pun menjadi tercemari oleh manusia sendiri. Padahal manusia telah banyak mengambil keuntungan dari lingkungan. Sebut saja hutan, sungai, dan udara yang telah hidup berdampingan dengan manusia selama berabad-abad lamanya. Pada dasarnya politik lingkungan hidup memiliki suatu tujuan dimana dalam mengelola lingkungan hidup agar dapat berjalan efektif dan dapat dinikmati oleh manusia baik yang hidup pada saat ini maupun pada generasi selanjutnya. Olehnya itu jika pemanfaatan terhadap lingkungan hidup terlalu berlebihan atau dengan kata lain terjadi pengeksploitasian terhadap lingkungan hidup maka manusia harus siap menanggung konkuensi logisnya yakni berupa benca alam dan lain sebagainya. Barulah pada dekade 60-an dan 70-an isu mengenai lingkungan hidup mulai menjadi isu global, yang awalnya dimulai dari golongan minoritas seperti ilmuan, aktifis lingkungan hidup, dan kelas menengah lainnya hingga kemudian mampu menjadi perhatian masyarakat internasional. Hal tersebut terbukti melalui konferensi lingkungan hidup untuk pertama kalinya diadakan oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia yang membahas mengenai Hukum Internasional Lingkungan.1

1

Apriwan. 2011. Teori Hijau: Alternatif dalam Perkembangan Teori Hubungan Internasional. Multiversa Vol. 02 No. 01 Hal. 35.

1

Dari sini dapat dilihat bahwa memang ada suatu keseriusan masyarakat internasional untuk membahas mengenai permasalahan lingkungan hidup ini. Karena sudah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa salah satu dampak dari revolusi industri ialah pencemaran lingkungan. Melihat pesatnya pergerakan dari aktivis lingkungan hidup ini menjadi daya tarik tersendiri, terutama dalam ranah politik. Perjuangan-perjuangan akan lingkungan hidup pun mulai menjadi salah satu gerakan politik baru. Hal ini terbukti terdapat upaya secara politik untuk memperjuangkan lingkungan hidup, misalnya mulai dari gerakan green peace pada level internasional hingga advokasi dari walhi pada level nasional. Tekanan-tekanan mengenai politik lingkungan bukan hanya berdampak pada tataran global namun juga pada tataran nasional khususnya di Indonesia sehingga pemerintah pun menganggap bahwa isu terkait lingkungan hidup butuh perhatian lebih. Walaupun pada dasarnya Indonesia sedikit banyak sudah menjadikan lingkukan hidup sebagai salah satu perhatian, itu termaktub pada UUD 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Namun hal tersebut dianggap masih kurang, olehnya itu Deklarasi Stockholm khususnya pada prinsip 17 mengenai lembaga-lembaga nasional yang tepat harus dipercayakan dengan tugas perencanaan, mengelola atau mengendalikan 9 sumber daya lingkungan negara-negara dengan maksud untuk meningkatkan kualitas lingkungan, prinsip 21 mengenai negara-negara telah sesuai dengan Piagam

2

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka sendiri, dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yuridiksi atau kontrol mereka tidak menyebabkan kerusakan untuk lingkungan Negara-negara lainnya atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional, dan prinsip 22 mengenai negara-negara akan bekerja sama untuk mengembangkan lebih lanjut hukum internasional tentang tanggung jawab dan kompensasi untuk korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh kegiatan dalam yuridiksi atau kawasan di luar yuridiksi mereka.Prinsip-prinsip itu sekaligus menjadi nafas atau landasan dalam penyususnan keinstitusian perundangan untuk pelestarian alam.2 Tepatnya sepuluh tahun kemudian pada 11 maret 1982 Indonesia akhirnya menghasilkan suatu produk hukum mengenai pengelolaan lingkungan hidup, dengan nama Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian sering disingkat dengan UUPLH. Undang-undang ini begitu penting karena lahir pada saat negara Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan disegala lini terutama infrastuktur melalui program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) Presiden Soeharto. Walaupun aturan hukumnya telah diinstitusikan lebih dari tiga puluh tahun yang lalu namun hingga kini penerapannya masih sangat minim terutama pada wilayah perkotaan yang padat penduduk. Hal ini kemudian menjadi anomali, 2

Djaius Djamin. 2007. Pengawasan dan Pelaksanaan UU Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 40-41.

3

dimana Indonesia yang ,merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam terbesar didunia seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan isu-isu terkait lingkungan hidup, namun pada akhirnya tidak mampu menerapkan aturannya sendiri terkait lingkungan hidup secara masif dan merata. Hal tersebut terbukti dari hilangnya hutan asli Indonesia yang mencapai angka 72% dan hanya tersisa sebanyak 28% saja sebagaimana data yang di rilis oleh World Research Institute. Padahal hampir 40% hutan tropis dunia berada di Indonesia dan menjadikan Indonesia berada diurutan ke-3 dalam kepemilikan hutan terluas didunia.3 Akan tetapi, data tersebut hanya tinggal data belaka karena pada faktanya negara ini masih sangat kurang dalam menjaga lingkungan hidupnya. Bukan hanya hutan, namun pemukiman penduduk dikota-kota besar yang kemudian menjadikan bantaran sungai sebagai tempat bermukim penduduk, baik penduduk lokal maupun pendatang yang pada akhirnya nanti dapat menimbulkan konsekuensi logis berupa bencana alam yakni banjir dan tanah longsor sehingga dapat mengancam nyawa para penduduk yang tinggal di bantaran sungai tersebut. Sebagaimana kasus banjir yang sering terjadi di kota Jakarta dan sekitarnya. Harusnya menjadi pembelajaran bagi kota-kota yang sedang berkembang untuk lebih

memperhatikan

terkait

penataruangan

kotanya

sehingga

nantinya

wilayahwilayah yang berpotensi menjadi daerah rawan bencana untuk segera direlokasi oleh pemerintah setempat. Jika melihat aturan yang ada terkait sungai sebagaimana yang tercantum pada PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, bahwa daerah yang dapat menjadi

3

Walhi.2010. Hutan Indonesia Makin Kritis. Jakarta: Redaksi Bumi. Hal. 1-3

4

tempat pemukiman penduduk minimal berjarak 10 m dari palung sungai apabila kedalaman sungai kurang atau sama dengan 3 m, berjarak 15 m dari palung sungai apabila kedalaman sungai lebih dari 3m sampai dengan 20 m, dan berjarak 30 m dari palung sungai apabila kedalaman sungai lebih dari 20 m. Kota Malang merupakan kota langganan penerima penghargaan adipura, terakhir kali pada tahun 2016 kemarin, Kota Malang menjadi kota terbaik pada Provinsi Jawa Timur penerima Adipura Kirana dari Kementerian Lingkungan Hidup pada periode 2015-2016. Hal ini membuktikan bahwa Kota Malang salah satu kota yang sangat peduli terhadap lingkungannya. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada kekurangan-kekurangan didalamnya. Masih banyak wilayah-wilayah yang kemudian harus menjadi perhatian Pemerintah Kota Malang. Salah satunya di Kelurahan Jodipan RW 02 atau biasa disebut dengan kampung warna-warni Jodipan. Wilayah terssebut berada pada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Perlu diketahui bersama saat ini Kampung Warna-Warni Jodipan telah resmi menjadi salah satu destinasi wisata alternatif di Kota Malang pada tahun 2016 yang lalu. Pada awalnya kampung ini hanyalah salah satu kampung kumuh yang menjadi objek tugas praktikum oleh mahasiswa FISIP UMM yang memiliki inisiatif untuk memperindah kampung ini, kemudian para mahasiswa tersebut bekerjasama dengan salah satu perusahaan cat yang berada di Kota Malang yakni PT Indana Paint dengan memanfaatkan dana CSR (corporate sosial responsibility). Namun ada hal lain yang perlu diperhatikan jika melihat PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, jarak antar sungai dan pemukiman penduduk itu sangatlah dekat bisa dikatakan tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh

5

pemerintah. Bahkan menurut pandangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono, beliau mengatakan bahwa “hanya memberikan toleransi kepada warga yang tinggal di titik tertinggi di sekitar Daerah Aliran Sungai Brantas.”4 Terkait jarak antar pemukiman penduduk dengan DAS Brantas memang harus menjadi perhatian lebih Pemerintah Kota Malang karena ada beberapa bencana yang mengancam tertutama tanah longsor. Bukan hanya melanggar PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai akan tetapi status kampung jodipan juga melanggar Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2010-2030 Pasal 42 Ayat (3) Pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar sungai atau bangunan di sepanjang sempadan sungai yang tidak memiliki kaitan dengan pelestarian atau pengelolaan sungai dilarang untuk didirikan dan ayat (4) mencegah dan menangkal pembangunan di sepanjang sempadan sungai untuk kebutuhan sosial, ekonomi, dan pembangunan fisik lainnya, kecuali pembangunan yang digunakan untuk maksud dan tujuan perlindungan dan pengelolaan sungai. Hal ini kemudian menjadi anomali karena Wali Kota Malang malah menjadikan kampung jodipan sebagai objek wisata.5 Selain itu, ditetapkannya KWJ sebagai salah satu destinasi wisata menimbulkan efek domino, sehingga menjadikan lokasi-lokasi lainnya yang memiliki kriteria yang sama untuk menjadi kampung wisata juga ataupun menjadi kampung tematik.

4

Eko Widianto. 2016. Kampung Warna-Warni Malang, Dulu Kumuh Sekarang Jadi Tempat Wisata. From: www.bbc.com.Di Akses Pada Tanggal 30 Desember 2016 Pukul 16.00 WIB 5Ibid. Eko Widianto.

6

Namun, disisi lain dengan berubahnya kondisi kampung jodipan saat ini juga mampu memberi dampak positif bagi perilaku dan kondisi perekonomian masyarakat disana. Sehingga hal ini juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dampak positif ini pun akhirnya membuat pemerintah menjadi dilematis dalam mengambil sikap. Olehnya itu, berangkat dari fakta-fakta yang ada terkait permasalahan yang ada pada kampung jodipan maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai PERAN PEMERINTAH KOTA MALANG DALAM MENYIKAPI KEBIJAKAN LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KEBERADAAN KAMPUNG WARNA-WARNI JODIPAN KOTA MALANG. 1.3

Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka

penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1.1.1. Bagaimanakah peran Pemerintah Kota Malang dalam menyikapi kebijakan yang telah ditetapkan, terhadap situasi kampung jodipan? 1.1.2. Bagaimanakah solusi kongkit Pemerintah Kota Malang dalam menangani pemukiman kampung jodipan? 1.4

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini ialah: 1.1.3. Untuk memberikan pemahaman khususnya kepada masyarakat Kampung Jodipan Kota Malang terkait PP Nomor 38 Tahun 2011 dan Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang 2010-2030. 1.1.4. Untuk meperjelas status Kampung Jodipan saat ini agar masyarakat disana memiliki jaminan keberlangsungan hidup kedepannya.

7

1.1.5. Untuk dijadikan sebagai referensi akademis dalam bidang politik khususnya pada pembahasan politik lingkungan 1.5

Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut: 1.5.1 Manfaat Teoritis 1.1.5.1.

Dapat dikaji lebih mendalam mengenai teori politik

lingkungan 1.1.5.2.

Dapat

dijadikan

sebagai

refrensi

kedepannya

untuk

pembahasan yang sama dan lebih mendalam 1.5.2 Manfaat Praktis 1.1.5.3. Menjadi refleksi bagi pemerintah agar menjalankan kebijakan yang telah dibuat. 1.1.5.4. Memberi gambaran kepada masyarakat mengenai politik lingkungan.

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti akan memaparkan teori yang menjadi landasan dalam melakukan sebuah penelitian, mulai dari pembahasn mengenenai dasar teori, penelitian terhadulu hingga kerangka pemikiran yang akan dibangun oleh peneliti untuk melakukan sebuah penelitian. 2.1. Dasar Teoritis 2.1.1. Kebijakan Publik Study kebijakan public berkembang melalui tulisan Harold D. Lasswell tentang Policy Sciences.Konsep kebijakan harus dipahami terlebih dahulu jika ingin membahas lebih dalam mengenai kebijaka public ataupun kebijakan luar negeri.Menurut Solichin Abdul Wahab kebijakan sendiri masih terjadi perbedaan pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Oleh karena itu menurutnyaada beberapa acuan yang harus dipahami untuk memahami istilah kebijakan. 1. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan 2. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi 3. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan 4. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan 5. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai 6. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit 9

7. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu 8. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat intra organisasi 9. Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah 10. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. 5 Berdasarkan acuan tersebut dapat kemudian dipahami bahwa pembahasan mengenai kebijakan sejatinya, melalui proses panjang, melibatkan lembaga/oranisasi, memiliki tujuan/target tertentu,

memiliki

sudut pandang subjektif, serta bentuk dari sikap memilih bertindak atau tidak bertindak sama sekali. Menurut Thomas R Dye yang dikutip Dunn ada tiga elemen kebijakan Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan (Gambar 1) tersebut sebagai kebijakan public/(public policy), pelaku kebijakan/(policy stakeholders), dan lingkungan kebijakan/(policy environment).6

Gambar 1: Tiga Elemen Sistem Kebijakan Pelaku kebijakan

Kebijakan Publik

Lingkungan kebijakan

Solichin Abdul Wahab. 2008. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Hal. 40-50 6 AG. Subarsono. 2011. Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 15. 5

10

Sumber : Dunn Ketiga elemen ini memiliki andil dan saling mempengaruhi. Seperti yang dicontohkan oleh AG Subarsono,jika dalam suatu Negara banyaknya jumlah pengangguran, anggka kriminalitas yang tinggi, krisis ekonomi, gejolak politik di mana-mana akan berdampak nyata pada para pelaku atau actor kebijakan untuk meresponnya kemudian memasukannya kedalam agenda pemerintah kemudian dibuatkan dalam bentuk kebijakan untuk menanggulagi permasalahan yang ada.7 Dalam melihat kebijakan harus disadari bahwa pada dasarnya kebijakan merupakan sebuah system, dimana dalam system terjadi suatu proses. Nugroho menuturkan bahwa teori proses kebijakan yang paling klasik disampaikan oleh David Easton (Gambar 2). Menurutnya “Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara mahluk hidup dan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input, throughput, dan output, seperti digambaran sebagai berikut”8 Gambar 2: Proses Kebijakan Publik Menurut Easton Environment

Environment

7

Ibid.AG. Subarsono. Hal 14. Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2008. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elex Media Komputindo. hal. 383 8

11

I n p u t

Demand Support

Decisoins

A Political symstem

Or Policies

Fedback

O u t p u t

Sumber: David Easton dalam Nugroho Model ini merupakan model yang paling sederhana dalam teori system karena input hanya di akumulasikan menjadi tuntutan (demand) dan dukungan (support) yang kemudian banyak dikembangkan oleh para pakar lainnya seperti Anderson, Dye, Dunn, serta Patton dan Savicky. Menurut James A. Anderson. dalam Tilaar dan Nugroho proses kebijakan melalui tahap-tahap/stages sebagai berikut: Gambar 3: Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson Policy Agenda

Policy Formulation

Policy Implimentation

Policy Adoption

Policy Evaluation

Sumber : James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dalam Nugroho Sedangkan menurut Thomas R. Dye proses kebijakan publik adalah sebagai berikut

Gambar 4: Proses Kebijakan Publik Menurut Dye Identific ation of Policy problem

Agenda setting

Policy Legitima tion

Policy Formula tion

12

Policy Impleme ntation

Policy Evaluati on

Sumber : Thomas R. Dye dalam Tilaar dalam Nugroho. Dalam model Dye ini ada sedikit tambahan yaitu adanya identifikasi masalah karena menurut Dye harus ada tahapan pra penentuan agenda (agenda setting) yang terlewatkan. Selanjutnya adalah teori yang diungkapkan William N. Dunn yang menambahkan proses forecasting, recommendation, dan monitoring.Dalam teorinya Dunn menjelaskan analisis yang perlu dilakukan dalam tiap tahapan. Pada tahap agenda setting analisis yang perlu dilakukan adalah dalam hal ini Dunn membuat sintesis dari model Anderson dan Dye yaitu menggabungkan tahapan antara identification of problem dan agenda setting dari Dye dengan tahap policy agenda dari Anderson. Dalam tahap formulasi kebijakan/policy formulation, terdapat langkah analisis yang seharusnya dilakukan yaitu peramalan/forecasting guna untuk mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan. Pada tahap adopsi kebijakan/policy adoption yang merupakan tahap yang dikemukakan Anderson, seharusnya dilakukan analisis rekomendasi kebijakan. Pada tahap implementasi kebijakan, Dunn menyarankan agar dilakukan analisis berupa pemantauan/monitoring. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan, mengidentifikasi hambatan, dan menemukan pihak-pihak yang bertanggungjawab pada tiap tahap kebijakan. 13

Pada tahap evaluasi kebijakan Dunn menyatakan bahwa tahap ini tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah diselesaikan namun juga memberikan klarifikasi sekaligus kritik bagi nilainilai yang mendasari kebijakan, serta membantu penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Dalam hal ini evaluasi juga memberikan feedback bagi perumusan masalah, sehingga model Dunn ini juga mengkompromikan model yang diusulkan pertama kali oleh Easton. Model-model kebijakan dari Easton, Anderson., Dye, Dunn, maupun Patton dan Savicky tersebut di atas memiliki satu kesamaan, yaitu bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Nugroho menyatakan “Ada satu pola yang sama, bahwa model format kebijakan adalah “gagasan kebijakan”, “formalisasi dan legalisasi kebijakan”, “implementasi”, baru kemudian menuju pada kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan yang didapatkan setelah dilakukan evaluasi kinerja kebijakan”9. Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat tiga kata kunci yakni “formulasi, “implementasi”, dan “evaluasi”. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan, langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan kebijakantersebut. Mengenai implementasi kebijakan, Nugroho menyatakan “Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalahmasalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi”10. 9

Ibid. Riant Nugroho Dwidjowijoto.hal. 384 Ibid. Riant Nugroho Dwidjowijoto.hal. 385

10

14

Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang memakan sumber daya/resources paling besar, maka tugas implementasi kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang sumber daya sebagian besar dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya. 2.1.2. Lingkungan Hidup Pembahasan mengenai lingkungan hidup mulai menjadi perhatian masyarakat

global

ketika

pesatnya

perkembangan

teknologi

dan

indusitrialisasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Perlu dipahami bahwa lingkungan hidup merupakan sebuah kesatuan dari manusia itu sendiri karena manusia hidup sangat memerlukan lingkungan hidup yang kondusif, sehingga baik untuk dimanfaatkan misalnya air, udara, dan tanah yang sangat dengat dengan kehidupan manusian dan menjadi kebutuhan pokok manusia. Jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, lingkungan hidup merupakan kesatruan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

15

Pada dasarnya terkait pembahasan lingkungan hidup ini terdapat banyak perdebatan didalamnya terutama jika melihat lingkungan dari sudut pandang etika lingkungan hidup. Dalam teori etika lingkungan hidup ada tiga sudut pandang yakni antroposentrisme, ekosentrisme dan biosentrisme. Untuk lebih jelasnya berikut penjelasan lebih mendalam terkait etika lingkungan hidup tersebut: A.

Teori Antroposentrisme Antroposentrisme merupakan teori lingkungan hidup yang

menilai bahwa manusia murupakan pusat dari sistem alam semesta. Antroposentrisme juga merupakan teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral

hanya berlaku bagi manusia dan

kebutuhan serta kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Menurut teori ini, etika hanya berlaku pada manusia, olehnya itu segala tuntutan mengenai perlunya kewajiaban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan, dan tidak pada tempatnya.11 Pandangan ini pada dasarnya telah hadir pada masa pencerahan abad ke-18. Manusia dianggap memiliki kemampuan rasional sehingga sanggup menjadi mandiri dan bebas dari kungkungan mitos , otoritas tiran, maupun agama.

11

A. Sony Kraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hal. 47

16

Melalui semangat pembaruan itu, terjadi berbagai perubahan besar mulai dari ideologi hingga sturktur sosial. Manusia berasumsi telah manaklukkan alam dan mampu menunjukkan keunggulannya dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Manusia menganngap dirinya telah malampaui era mistis dan mecapai era logos.12 Manusia modern menganggap dirinya spesies tertinggi di alam. Mulai dari abad pertengahan manusia menguasai alam atas validitas kitab suci, hingga abad pencerahan dengan menjadikan rasio sebagai validasinya untuk mengasai alam. Berangkat dari pandangan Descartes yakni Cogito Ergo Sum, manusialah yang mampu menyadari keberadaannya sehingga hanya manusia yang dapat meragukan dirinya. Melalui akal yang dimiliki manusia menyadari dirinya bereksistensi. Kemampauan inilah yang manjadi keistimewaan manusia serta menjadi cikal bakal pandangan antroposentrisme terbentuk.13 B.

Teori Ekosentrisme Pandangan ekosentrisme memandang moral lingkungan jauh

lebih luas lagi yakni, mencakup seluruh lapisan ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak. Pandangan ini semakin diperdalam lagi melalui deep ecology dan ecosophy yang mengubah pandangan

12

Saras Dewi. 2015. Ekofenomenologi: Mengurangi Disekuilibirium Relasi Manusia Dengan Alam. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Hal 21 13 Ibid. Saras Dewi. Hal 21

17

manusia dari yang hanya memperhatikan variabel manusianya saja hingga lebih memperhatikan seluruh komunitas ekologi. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia saja, melainkan berpusat pada keseluruhan kehidupan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.14 Pandangan mengenai deep ecology ini merupakan hasil dari pandangan ArneNaes mengnai ekosofi. Arne Naes menganggap bahwa manusia dan alam tidak dapat didikotomikan, melainkan merupakan suatu kesatuan yang memiliki hak dan posisi yang sama. Pandangan ini sebagai bentuk kritikan terhadap pandangan modern yang memisahkan manusia dengan alam. 2.2. Penelitian Terdahulu No

Nama Penulis

1

Gusti Muhammad Koirul Akbar

Perbedaan Dengan Penelitian Penulis Dampak Kebijakan Terletak pada fokus dan Pariwisata Terhadap lokasi penelitian. Adapun Kelestarian Lingkungan hasil penelitiannya hanya Hidup Dan Kesejahteraan memaparkan dampak dari Masyarakat Petani Di kebijakan pariwiasata yang Kota Batu Jawa Timur tidak pro terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani Judul Penelitian

14

Antonius Atosokhi Gea & Antonina Panca Yuni Wulandari. 2005. Relasi Dengan Dunia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal 58-59

18

2

Ineke Senja Meilia

3

Nabila Firdausiyah

4

Fauzha Faradhita Sando

Terletak pada fokus dan lokasi penelitian. Sedangkan hasil penelitiannya menjelaskan terkait implementasi kebijakan lingkungan Implementasi Kebijakan terkait konservasi sumber Lingkungan Hidup air Sungai Brantasmeliputi: a. Faktor pendorong Dalam Konservasi dan penghambat Sumber Air Sungai Brantas (Studi KLH Kota pengimplementasian kebijakan Baru) b. Prilaku masyarakat yang mendiami kawasan Sungai Brantas c. Dampak dari upaya konservasi. Terletak pada teori yang Sikap Publik Eksternal digunakan yakni dengan tentang program menggunakan teori public Corporate Social relation pada sudut Responsibility PT. pandang komunikasi. Jadi INDANA Kampung penekankannya adalah Warna-Warni Jodipan aspek komunikasi yang terjadi antara PT Indana dan (Studi Pada Local Pemkot Malang pada kondisi Government Kota dan masa depan Malang) KWJ nantinya Terletak pada teori dan fokus penelitinan, dimana peneliti sebelumnya menggunakan teori politik tata ruang, serta fokus Politik Tata Ruang: Studi penelitian yang Tentang Kontestasi menitikberatkan pada Wilayah Bantaran Sungai perubahan ruang terbuka Kampung Jodipan, Kota hijau menjadi area Malang pemukiman. Adapun hasil penelitiannya menjelaskan: a. Bahwa adanya perbedaan pandangan antar pemerintah dan masyarakat

19

5

Syandy Diantrisna Kusuma

Revitalisasi Kawasan Lingkungan Sungai Kampung Batik Lawetan Dengan Pendekatan Edukasi Eco-cultural

dalam melihat daerah sempadan sungai. b. Adanya kontestasi antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal merelokasi bangunan yang barada di daerah bantaran sungai Terletak pada fokus dan teori serta lokasi penelitian. Peneliti sebelumnya menggunakan konsep ecocultural dan berfokus pada revitalisasi kawasan sempadan sungai Kampung Batik Laweyan. Adapun hasil penelitiannya yakni membangun interaksi positif masyarakat dengan lingkungan agar lebih peduli dengan lingkungan melalui pendenkatan ecocultural.

Sumber: Diolah oleh penulis tahun 2018 Melalui

penelitian

mengembangkan

terdahulu

penelitiannya.

peneliti

Pada

konteks

memiliki

refrensi

pembahasan

ini

dalam peneliti

menngunakan setidaknya lima penelitian terdahulu sebagai acuan pada penelitian yang akan digunakan. Pertama, penelitian Gusti Muhammad Khoirul Akbar, pada penelitan Gusti Muhammad lebih fokus kepada dampak dari kebijakan pariwisata Kota Batu terhadap kelestarian lingkugan hidup serta kesejahteraan petani. Dalam penelitian ini kemudian mengambil kesimpulan bahwa kebijakan pariwisata Kota Batu membuat banyaknya lahan pertanian ataupun daerah resapan air beralih fungsi menjadi destinasi wisata dan penginapan. Disamping itu juga membuat para petani khususnya di wilayah Kecamatan Batu dan Kecamatan

20

Junrejo juga beralih profesi karena minimnya lahan pertanian. Perbedaan penelitian peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Gusti Muhammad Khoirul Akbar terletak pada fokus penelitian dimana peneliti lebih fokus pada sikap dan tindakan pemerintah Kota malang terkait situasi Kampung Jodipan saat ini yang sudah beralih fungsi menjadi tempat wisata yang notabenya telah melanggar aturan ataupun kebijakan tentang sungai. Selain itu penelitian ini juga memfokuskan pada benturan kepentingan antara masyarakat di Kampung Jodipan dan pemerintah Kota Malang. Perbedaan penelitian ini dengan penelitiaan yang dilakukan oleh Gusti Muhammad juga terletak pada lokasi penelitian. Kedua, penelitian Ineke Senja Meila yang dalam penelitiannya membahas tentang implementasi kebijakan lingkungan hidup dalam konservasi sumber air sungai brantas di Kota Batu. Penelitian ini menjelaskan bahwa bagaimana pemerintah Kota Batu mejalankan kebijakannya terkait lingkungan hidup khususnya pada konservasi sumber air sungai brantas. Dalam proses pengimplementasian kebijakan terkait konservasi sumber air sungai brantas masih terdapat hambatan dimana masih adanya masyarakat yang melakukan penolakan terkait salah satu program pemerintah. Namun terlepas dari itu masyarakat secara umum menyambut baik program-program pemerintah Kota Batu terkait upaya dalam melakukan konservasi sumber air sungai brantas. Hal tersebut tidak lepas dari bantuan segenap masyarakat serta LSM yang mampu bekerjasama dengan baik. Adapun perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini yakni terkait dengan fokus penelitian peneliti yang meniktik beratkan pada sikap dan

21

tindakan pemerintah Kota Malang dalam melihat kondisi Kampung Jodipan saat ini dimana masyarat hidup berdampingan dengan sungai brantas. Perberdaan juga terletak pada lokasi penelitian. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nabila Firdausiyah salah satu inisiator dari Kampung Warna-Warni Jodipan. Dalam penelitian membahas aspek komunikasi antara pihak swasta dalam hal ini ialah PT Indana dan Pemerintah Kota Malang dalam menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi pada Kampung Warnawarni Jodipan. Pada penelitian ini menjelaskan dan menyimpulkan bahwa Pemerintah Kota malang sebagai pihak eksternal dari PT. Indana terlihat mendukung CSR (Corporate Social Responsibility) mereka, walau juga disatu sisi Pemkot Malang terlihat apatis dalam hal ini tidak mampu memeberi jaminan maupun garansi terkait pengembangan KWJ nantinya dan hal itu terkesan simpang siur. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penelti terletak pada lokasi penelitian dan fokus, yang sama-sama ingin menilai sikap Pemkot Malang namun dari perspektif yang berbeda dimana peneliti sebeelumnya lebih fokus terkait aspek komunikasi yang terbangun antara PT. Indana dan Pemkot Malang. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih fokus kepada aspek kebijakan publik terkait lingkungan hidup. Keempat, penelitian dari Fauzha Faradhita Sando yang berjudul Politik Tata Ruang: Studi Tentang Kontestasi Wilayah Bantaran Sungai Kampung Jodipan,

22

Kota Malang. Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada pengalihfungsian ruang terbuka hijau menjadi area pemukiman. Selain itu teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori politik ruang. Adapun perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada fokus dan juga teori yang digunakan. Peneliti mengunakan konsep kebijakan publik dan teori etika lingkungan sedangkan fokus peneliti ialah sikap Pemkot Malang terkait KWJ saat ini. Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Syandy Diantrisna Kusuma dengan judul Revitalisasi Kawasan Lingkungan Sungai Kampung Batik Lawetan Dengan Pendekatan Edukasi Eco-cultural. Pada penelitian ini lebih mefokuskan kepada revitalisasi dengan pendekatan edukasi eco-cultural. Sementara peneliti lebih memfokuskan kepada sikap dan peran Pemerintah Kota Malang terkait kebijakan lingkungan hidup tentang sungai.

23

2.3. Kerangka Pemikiran PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang sungaidan Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Malang 2010-2030

Antroposentrisme Lingkungan Hidup (Sungai) Ekosentrisme

Kampung Warna-warni Jodipan

Sikap Pemkot Malang

Sumber: Olahan penulis tahun 2018

Pada dasarnya kebijakan publik merupakan acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan setiap program yang dimiliki serta dalam menjalankan roda pemerintahannya. Termasuk dalam hal ini ialah kebijakan mengenai rencana tata ruang wilayah serta kebijakan mengenai sungai dalam konteks ini kebijakan terkait lingkungan hidup. Jika melihat kampung jodipan yang menjadi objek kajian peneliti, ada beberapa hal yang harus di perhatikan kembali seperti kondisi sungai dan kondisi sosial masyarakat disana. Dua aspek tersebut pada hakikatnya telah dijelaskan dalam sudut pandang lingkungan hidup. Dimana aspek sungai sebagai sumber daya alam telah diwakili

24

oleh kelompok ekosentrisme yang meniktikberatkan pada kesetaran antara sumber daya alam dan manusia. Sementara itu aspek masyarakat yang merupakan kumpulan manusia diwakili oleh aliran antroposentrisme dimana pandangan ini beranggapan bahwa manusia merupakan pusat sistem alam semesta artinya manusia boleh melakukan apa saja terhadap alam semesta untuk menunjang kehidupannya. Dari dua pandangan mengenai lingkungan hidup yakni antara ekosentrisme dan antroposentrisme pemerintah Kota Malang mampu menyikapi kebijakan yang ada sehingga mampu mewujudkan suatu keadilan baik dari aspek lingkungan serta masyarakat. Sebagai pertimbangan pemerintah Kota Malang harus melihat proses alam yang terjadi pada sungai Brantas dari masa kemasa disatu sisi serta memperhatikan sejarah dan latar belakang kondisi masyarakat kampung jodipan disisi lainnya. Sehingga sikap yang diambil nantinya bisa dinilai sebagai wujud kebijaksanaan dari pemkot Malang.

25

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan beberapa hal terkait metodologi yang akan digunakan dalam menganalisis temuan-temuan ataupun fenomenologi yang ada di lapangan. Mulai dari pendekatan yang akan digunakan, lokasi penelitian, fokus penelitian, pemilhan informan, teknik pengumpulan data, hingga menganalisa data akan dibahas dengan gamblang pada bab ini. 3.1. Jenis Penelitian Sebagaimana yang telah diketahui dalam sebuah penelitian terdapat dua macam metode penelitian yakni kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang dianggap mampu memaparkan secara rinci hasil penelitian yang akan dialakukan oleh peneliti melalui penjelasan makna data. Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, dengan menjadikan peneliti sebagai instrument kunci, analisis bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian lebih menekankan pada makna daripada generalisasi.15 Penelitian Kualitatif, yaitu sebagai metode untuk menangkap dan memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk mengeksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk memberika penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti (Banister Et Al: 1994). Sementara itu, menurut Moleong (2005), Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang

15

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Hal 9

26

dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya.16

Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orangorang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. 17 Sedangkan metode penelitian menurut Lexy J. Meleong berdasarkan pada pondasi penelitian, paradigma penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, teknik penelitian, kreteria dan teknik pemeriksaan data dan analisis serta penafsiran data.19 Dari berbagai pandangan yang ada mengenai penelitian kualitatif dapat dijustifikasi bahwa pemilhan metode ini sudah sangat relevan dengan permasalahan yang akan diteliti nantinya terkait salah satu fenomena sosial yang ada di Kota Malang. 3.2. Lokasi Penelitian Lokasi yang akan menjadi tempat penelitian peneliti ialah Pemerintah Kota Malang meliputi Barenlitbang (Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan) Kota Malang, DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Kota Malang, Disperkim (Dinas Perumahan danPermukiman) Kota Malang, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Malang, serta KWJ (Kampung Warnawarni Jodipan). Lokasi ini dipilih karena Kota Malang merupakan salah satu

16

Haris Herdiansyah,2011, Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika. Hal 9. 17 Sudarto. 1995. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 62 19 Ibid. Sudarto. Hal 64

27

kota yang menerima penghargaan adipura tahun 2015, akan tetapi menjadikan salah satu wilayahnya sebagai objek wisata yang pada dasarnya melanggar PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dan Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Malang Tahun 2010-2030. 3.3. Fokus Penelitian Dalam mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetapkan fokus. Spradley menyatakan bahwa A focused refer to a single cultural domain or a few related domains.18 Sementara L. Moleong berpendat bahwa fokus penelitian adalah suatu pembatasan terhadap masalah-masalah yang akan dibahas dalam metode penelitian kualitatif.19 Berdasarkan pandangan para ahli mengenai maksud dari fokus penelitian, maka peneliti memfokuskan pada pembahasan sikap dan tindakan Pemerintah Kota Malang terkait kebijakan yang ada yakni PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dan Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010-2030, yang terkesan tidak diterapkan secara optimal dan ketidak tegasan pemerintah dalam mentukan sikap dengan mengambil studi kasus pada kampung jodipan Kota Malang. Selain dari itu peneliti juga memfokuskan kepada solusi-solusi yang akan ditawarkan oleh Pemkot Malang untuk menanganipemukiman yang dianggap melanggar aturan dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Agar lokasi tersebut dapat dilegalkan tanpa ada aturan yang harus dilanggar.

18 19

Ibid.Sugiyono. Hal 208 L. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal 40

28

3.4. Pemilihan Informan Informan merupakan salah satu bagian penting dari sebuah penelitian terutama yang menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pemilihan informan peneliti menggunakan teknik purpossive. Purpossive adalah teknik pemilihan informan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Adapun informan yanga dipilih pada penelitian ini ialah orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dengan situasi dan kondisi kampung jodipan yang kemudian menjadi informan utama. Adapun yang menjadi informan utama peniliti ialah: 1.

Staff Dinas Lingkungan Hidup yakni Ibu Riris, yang menjadi penanggung jawab terhadap kebijakan yang berkaitan dengan sungai.

2.

Staff fungsional penata ruang di bidang infrastruktur dan penataan wilayah

Barenlitbang

(Badan

perencaaan,

penelitian

dan

pengembangan) yakni, Bapak Pandu Zanuar S.T. 3.

Kepala Seksi Pencegahan di BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) yakni, Bapak Indra Gita S.P., M.M.

4.

Ketua RW 02 Kampung Jodipan, yakni Bapak Soni Parin yang merupakan penanggung jawab wilayah Kampung Warna-warni Jodipan.

5.

Kabid Perumahan dan Pemukiman Disperkim (Dinas perumahan dan pemukiman) yakni, Ibu Lilis. Selain dari informan utama, peneliti juga menggumpulkan informasi

dari informan pendukung yakni

29

1. Koordinator Guyspro yakni Nabila Furdausiyah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang selaku inisiator pewarnaan kampung jodipan. 3.5. Teknik Pengumpulan Data 3.5.1. Observasi Lapangan Observasi pada konteks ini diartikan secara sempityakni sebuah pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan indra penglihatan. Melalui observasi ini peneliti dapat melihat langsung suatu benda, keadaan, kegiatan, proses serta prilaku masyarakat. 3.5.2. Wawancara Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data dimana seorang peneliti melakukan wawancara terhadap responden dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara. Dalam wawancara ini seorang peneliti akan mampu menggali lebih dalam terkait fokus masalah yang akan diteliti. Dengan begitu peneliti mampu mendapatkan informasi serta fakta-fakta yang valid untuk digunakan sebagai data primer. 3.6. Teknik Analisa Data Seusuai dengan metode yang digunakan pada penelitian ini yakni metode penelitian kualitatif maka data yang disajikan pada penelitian ini berupa penjelan maupun pemaparan mengenai fakta-fakta yang ada dilapangan. Menurut Bogdan dan Biklen, analisa data ialah proses pancarian dan penyusunan data yang sistematis

30

melalui transkrip wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terharap yang ditemukan.20 Ada berbagai cara dalam mengalisis data, salah satunya menurut pandangan Miles, Huberman dan Saldana yakni kondensasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.21 3.6.1. Kondensasi Data Kondensasi data mengacu pada proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan atau pentransformasian data yang mendekati keseluruhan bagian dari catatan lapangan secara tertulis, transkip wawancara, dokumen-dokumen, dan materi-materi empiris lainnya. Dengan kondensasi, data yang akan diperoleh jauh lebih akurat dari pada menggunakan reduksi data. 3.6.2. Penyajian Data Penyajian data merupakan kumpulan informasi yang tersusun setelah melalui proses reduksi data sehingga dapat memberikan kemungkinan untuk menarik kesimpulan. Dengan melihat penyajian data akan lebih mudah untuk memahami apa yang terjadi berdasarkan pemahaman yang telah didapatkan melalui penyajian tersebut. Penyajian data yang digunakan pada penelitian kualitatif berbentuk teks naratif. Dalam proses reduksi data sebenarnya merupakan proses penyajian data juga, yaitu dengan merancang deretan dan

20

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2014. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 84. 21 Metthew B. Miles, A. Michael Huberman and Jhonny Saldana. 2014. Qualitative Data Analysis, A Methods Sourcebook, Third Edition. Washington DC: Sage Publications, Inc. Hal 12-13

31

kolom-kolom atau yang disebut sebagai matriks. Karena reduksi data dan penyajian data merupakan kegiatan analitik yang tidak dapat dipisahkan. Data yang telah diperoleh kemudian digolongkan dan dimasukkan kedalam kotak matrik. Dengan demikian penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan menentukan apakah dapat menarik kesimpulan atau terus melakukan analisis hingga dapat menjawab fokus permasalahan. 3.6.3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif dilakukan secara induktif mulai dari tahap pengumpulan data, reduksi data dan penyajian data. Penganalisa berusaha memahami arti dibalik realita yang tampak kemudian menjelaskan alur sebab akibat dan proposisi. Peneliti menarik kesimpulan secara longgar meskipun kesimpulan telah disediakan sebelumnya namun kesimpulan tersebut belum jelas kemudian diperjelas, diperinci dan diperkuat sehingga menjadi kesimpulan yang final.

32

BAB IV GAMBARAN UMUM

Pada gambaran umum ini peneliti akan memaparkan dan mengeksplor subjek maupun objek penelitian yang akan diteliti dari berbagai sisi sehingga mampu menghasil pandangan yang komprehensif pada penelitian ini. 4.1. Pemerintah Kota Malang Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan Pemerintah Kota Malang sebagai subjek penelitian yang nantinya menjadikan beberapa Organisasi Perangkat Daerah atau OPD sebagai representatif dari Pemerintah Kota Malang. Berikut adalah beberapa OPD yang kemudian menjadi subjek penelitian: A.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang (DLH) Dinas Lingkungan Hidup ialah salah satu OPD yang bergerak dibidang

lingkungan. Berikut aedalah tugas pokok dan fungsi dari DLH Kota Malang Tugas Pokok Dinas Lingkungan Hidup mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam.22 Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Dinas Lingkungan Hidup memiliki fungsi sebagai berikut: 1.

perumusan kebijakan teknis di bidang lingkungan hidup;

22

Anonim. 2017. Tugas Pokok. From: https://dlh.malangkota.go.id/tugas-pokok/. Diakses pada 24 maret 2018 pukul 09.40 WIB.

33

2.

penyusunan dan pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) di bidang lingkungan hidup;

3.

pengkoordinasian dalam penyusunan dan evaluasi program di bidang pengendalian dampak lingkungan dan konservasi sumber daya alam;

4.

pengkoordinasian dan penyelenggaraan pengawasan serta pemantauan di bidang pengendalian dampak lingkungan dan konservasi sumber daya alam;

5.

pelaksanaan kegiatan bidang pemungutan retribusi;

6.

pemberian pertimbangan teknis perijinan di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam;

7.

pemberian dan pencabutan perijinan di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam;

8.

pelaksanaan pengkajian dampak lingkungan;

9.

pemberdayaan kapasitas kelembagaan di bidang lingkungan hidup;

10.

pengembangan kesadaran masyarakat di bidang pengendalian lingkungan hidup;

11.

pengembangan sistem informasi lingkungan hidup;

12.

pelaksanaan penyidikan tindak pidana pelanggaran lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

13.

pengelolaan administrasi umum meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, kehumasan, kepustakaan dan kearsipan;

14.

pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM);

34

15.

penyusunan dan pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP);

16.

pelaksanaan fasilitasi pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dan/atau pelaksanaan pengumpulan pendapat pelanggan secara periodik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas layanan;

17.

pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam;

18.

penyampaian data hasil pembangunan dan informasi lainnya terkait layanan publik secara berkala melalui web site Pemerintah Daerah;

19.

penyelenggaraan UPT dan jabatan fungsional;

20.

pemberdayaan dan pembinaan jabatan fungsional;

21.

pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi25

B.

Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kota Malang (Barenlitbang) Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kota malang atau

Barenlitbang dulunya adalah Badan Perencaan Pembangunan Daerah atau Bappeda berubah untuk menyesuaikan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Barenlitbang sendiri beralamat di Jalan Tugu No. 1 Kota Malang. Berikut adalah Tujuan dari Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kota yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugastugasnya.

Loc.cit

35

25

Tujuan 1.

Menyediakan rencana pembangunan yang memadai.

2.

Penataan dan pengendalian ruang Kota

3.

Peningkatan Perekonomian Daerah.

4.

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5.

Menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan dan tata ruang Kota serta dokumen pendukung lainnya.

6.

Mengembangkan laporan hasil pembangunan kota.

7.

Mewujudkan pelayanan administrasi.23 Selain dari tujuan Barenlitbang Kota Malang juga memiliki tugas

pokok dan fungsi sebagaimana yang tercantum pada website resminya yakni https://barenlitbang.malangkota.go.id. Berikut adalah Tugas pokok dan fungsi dari Barenlitbang; Tugas Pokok BARENLITBANG mempunyai tugas pelaksanaan pemerintahan di bidang perencanaan, penelitian, dan pengembangan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.27 Fungsi

23

Anonim. 2017. Profil Barenlitbang. From:https://barenlitbang.malangkota.go.id. Diakses pada 23 Maret 2018 pukul 20.00 wib. Loc.cit

36

1.

Penyusunan perencanaan strategis dan rencana kerja tahunan badan perencanaan, penelitian dan pengembangan.

27

2.

Penyusunan

perencanaan

program

dan

anggaran

peencanaan

pembangunan daerah, penelitian dan pengembangan. 3.

Pelakasanaan perencanaan pembangunan daerah, penelitian, dan pengembangan.

4.

Penyusunan kebijakan umum APBD (KU-APBD), penyusunan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS), serta ku-perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD

5.

Penyusunan RPJPD, RPJMD, RKPD berikut perubahannya

6.

Monitoring, evaluasi, dan pengendalian perencanaan pembangunan daerah.

7.

Koordinasi, singkronisasi, pelaksanaan program monitoring, evaluasi dan pelaporan di bidang perencanaan, penelitian dan pengembangan.

8.

Pengendalian pelaksanaan program di bidang perencanaan, penelitian, dan pengembangan

9.

Pengelolaan administrasi umum

10.

Pemberdayaan dan pembinaan jabatan fungsional

11.

Penyelenggaraan UPT.28

Loc.cit

37

C.

Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Malang Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Malang (Disperkim)

merupakan sebuah dinas yang baru dibentuk pada tahun 2017 berdasrkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Disperkim merupakan perpaduan dari

28

Loc.cit

38

beberapa dinas yakni Dinas Perkebunan dan Pertanaman, Dinas Pekerjaan Umum serta Badan Lingkungan Hidup. Disperkim Kota Malang beralamat di Jl. Bingkil No.1, Ciptomulyo, Sukun, Kota Malang. Berikut adalah visi-misi Disperkim Kota Malang dalam mejalankan kewajibannya sebagai bagian dari OPD Kota Malang. Visi Terwujudnya Peningkatan Kualitas Dan Kuantitas Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Yang Layak, Asri, Dan Menarik Yang Berbasis Pada Ketertiban Pertanahan Misi 1.

Meningkatkan kualitas hunian perkotaan dan pemanfaatan tanah yang mendukung tertib tata ruang.

2.

Menciptakan taman aktif dan tematik sebagai wahana masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas masyarakat untuk bermain, berolahraga dan mengasah kreatifitas masyarakat.

3.

Meningkatkan kualitas, kuantitas dan ketersediaan daya dukung Ruang

4.

Terbuka Hijau (RTH) dan dekorasi kota pada taman kota, hutan kota, dan pemakaman.

5.

Meningkatkan kualitas pelayanan dan pemerataan penerangan jalan untuk mempercantik kota sekaligus mendukung penguatan karakter kota Malang sebagai Kota pendidikan, Kota Industridan Kota

6.

Pariwisata yang metropolitan. Meningkatkan kualitas, pemerataan pelayanan pemakaman, dan mengoptimalkan pemeliharaannya serta mewujudkan kondisi

39

pemakaman yang tertata. Selain visi dan misi Disperkim juga memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, pada Pasal 3 ayat (4) huruf d, yang menegaskan bahwa Disperkim bertipe B, menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman, dan bidang pertanahan. Maka, tugas pokok dan fungsi Disperkim adalah sebagai berikut: Disperkim mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman, dan bidang pertanahan. Untuk menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud di atas, maka Disperkim Kota Malang memiliki fungsi sebagai berikut: 1.

Perumusan kebijakan daerah di bidang Perumahan dan Pertanahan, bidang Pertamanan dan bidang Penerangan Jalan;

2.

Pelaksanaan kebijakan daerah di bidang Perumahan dan Pertanahan, bidang Pertamanan dan bidang Penerangan Jalan;

3.

Koordinasi pelaksanaan program, monitoring, evaluasi dan pelaporan di bidang Perumahan dan Pertanahan, bidang Pertamanan dan bidang Penerangan Jalan;

4.

Pengendalian pelaksanaan program di bidang Perumahan dan Pertanahan, bidang Pertamanan dan bidang Penerangan Jalan;

5. 6.

Pengelolaan administrasi Dinas; dan Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota terkait dengan bidang Perumahan dan Pertanahan, bidang Pertamanan dan bidang

40

Penerangan Jalan. D.

Badan Penanggulangan Bencana Kota Malang Badan Penanngulangan Bencana Daerah atau BPBD Kota Malang

adalah salah satu badan yang bertugas untuk mengantisipasi berbagai bencana yang akan atau sudah terjadi di Kota Malang. BPBD berada di alamat Jalan Danau Raya No. 1A, Sawojajar, Kota malang, yang dipimpin oleh Drs. Hartono. Berikut adalah visi dan misi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Malang: Visi “Terwujudnya Kota Malang yang tanggap, tanggas, dan tangguh menghadapi bencana”. Misi 1.

Melindungi masyarakat Kota Malang dari risiko bencan amelalui mitigasi bencana;

2.

Mengembangkan manajemen kebencanaan yang terencana, terpadu dan terkoordinir untuk meningkatkan kemampuan pemerintah,masyarakat dan dunia usaha dalam penanggulangan bencana

3.

Menjamin kualitas hidup masyarakat dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang adil, terukur, dan akuntabel.24

24

Anonim. 2017. Visi dan Misi BPPD. From: https://bpbd.malangkota.go.id/visi-misi/. Diakses pada 25 Maret 2018 pukul 14.07 WIB.

41

Selain visi dan misi di atas peneliti akan memaparkan tugas pokok dan fungsi dari BPBD Kota Malang. Berikut adalah tugas pokok dan fungsi BPBD Kota Malang: Tugas Pokok 1.

Menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, rekonstruksi secara adil dan setara;

2.

Menetapkan

standarisasi

penanggulangan

serta

bencana

kebutuhan

berdasarkan

penyelenggaraan

ketentuan

peraturan

perundangundangan; 3.

Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;

4.

Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;

5.

Melaporkan

penyelenggaraan

penanggulangan

bencana

kepada

Walikota setiap bulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; 6.

Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;

7.

Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

8.

Pelaksanaan tugas pemerintahan umum lainnya yang diberikan oleh Walikota

sesuai

dengan

prosedur

perundangundangan. Fungsi

42

dan

ketentuan

peraturan

1.

Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efesien;

2.

Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh;

3.

Pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka perencanaan di bidang penanggulangan bencana;

4.

Pelaksanaan

peningkatan

kesiapsiagaan masyarakat

dalam

penanggulangan bencana; 5.

Pengkajian, komunikasi, konsultasi, pengembangan dan bimbingan dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana;

6.

Pelaksanaan pencarian dan penyelamatan korban bencana;

7.

Pelaksanaan koordinasi dengan perangkat daerah/instansi lain dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana;

8.

Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA);

9.

Pelaksanaan Standar Pelayanan (SP) dan Standar Operasional Prosedur (SOP);

10. 11.

Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern (SPI); Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM);

12.

Pelaksanaan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM);

13.

Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan tugas dan fungsi; dan

14.

Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota sesuai tugasnya. 30

43

E.

Kelurahan Jodipan Kota Malang Kelurahan Jodipan merupakan salah satu kelurahan yang berada di

Kota Malang Kelurahan Blimbing. Kelurahan Jodipan juga memeiliki beberapa wilyah yang termasuk pemukinaman kumuh. Namun sebelum membahas lebih jauh lagi, berikut adalah Visi-Misi serta tugas pokok dan fungsi dari Kelurahan Jodipan. Visi “Menjadikan kota malang bermartabat berdasarkan tribina cita kota malang yang diidamkan”31 Misi 1.

Meningkatkan kualitas dan pelayanan publik yang terukur dan akuntabel

2.

Meningkatkan kualitas dan pelayanan pendidikan masyarakat Kota Malang sehingga bisa bersaing dalam era global yang kompetitif

30

Anonim. 2017. Tugas Pokok dan Fungsi BPPD. From: https://bpbd.malangkota.go.id/tugas-danfungsi/. Diakses pada 25 Maret 2018 pukul 14.07 WIB. 31 Anonim. 2017. Visi-Misi. From: https://keljodipan.malangkota.go.id/profil/visi-misi/. Diakses pada 24 Maret 2018 pukul 09.50 WIB.

3.

Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Kota Malang baik fisik, mental maupun spiritual untuk menjadi masyarakat yang produktif

4.

Membuat blue print dan membangun Kota Malang untuk menjadi kota tujuan wisata yang aman, nyaman, berbudaya dan kondusif

44

5.

Menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Daerah yang potensial untuk digerakkan dan digerakkan secara masif dan sistematis

6.

Mendorong dan menstimulir pelaku ekonomi sektor informal agar lebih produktif dan kompetitif.25 Tugas Pokok Kelurahan :

1.

Lurah

melaksanakan tugas pokok penyelenggaraan

urusan

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 2.

Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lurah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota.26 Fungsi Kelurahan :

1.

penyusunan dan pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja);

2.

pelaksanaan kegiatan pemerintahan Kelurahan;

3.

penyelenggaraan kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat;

4.

pengkoordinasian kegiatan pembangunan;

5.

pemberdayaan masyarakat;

6.

pelayanan masyarakat;

7.

penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;

8.

pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan umum;

9.

pembinaan lembaga kemasyarakatan;

25

Loc.cit Anonim. 2018. Tupoksi. From: https://keljodipan.malangkota.go.id/profil/tupoksi/. Diakses pada 24 maret 2018 pukul 12.35 WIB. 26

45

10.

pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di Kelurahan;

11.

pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM);

12.

penyusunan dan pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP);

13.

pelaksanaan fasilitasi pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dan/atau pelaksanaan pengumpulan pendapat pelanggan secara periodik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas layanan;

14.

pengelolaan pengaduan masyarakat;

15.

pengelolaan administrasi umum meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, kehumasan, kepustakaan dan kearsipan;

16.

penyampaian data hasil pembangunan dan informasi lainnya terkait layanan publik secara berkala melalui web site Pemerintah Daerah;

17.

pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi;

18.

pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai tugas dan fungsinya.27

4.2. Kampung Warna-warni Jodipan Kampung warna-warni Jodipan merupakan salah satu lokasi pemukiman padatyang berada di RW 02 Kelurahan Jodipan Kota Malang. Dulunya wilayah pemukiman ini diidentikan dengan wilayah yang kumuh dan jauh dari kata kebersihan karena posisinya berada dibantaran Sungai Brantas.

27

Loc.cit

46

Pada tahun 2016 wilayah pemukiman ini mengalami perubahan total yang diinisaiasi oleh Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadikan kampung jodipan ini sebagai lokasi praktikumnya. Perubahan yang dimaksudkan ialah dari segi perwarnaan rumah yang berada diwilayah RW 02 yang awalnya berwarna kusam kemudian dicat dengan warna-warna yang cerah seperti kuning, biru, merah, hijau, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, beberapa dinding-dinding kosong kemudian diberikan sentuhan artistik berupa gambar-gambar tiga dimensi sehingga terlihat lebih hidup. Setelah beberapa waktu, ternyata kampung jodipan perlahan terkenal menjadi salah satu lokasi pengambilan gambar yang bagus karena warna-warninya, dan juga adanya gambar-gambar tiga dimensi yang menjadi perhatian dikalangan anak muda maupun mahasiswa. Dari hal itu, kemudian masyarakat disana berinisiatif untuk mengelola kampung mereka lebih profesional, mulai dari mengenakan biaya masuk hingga memfasilitasi dalam pengaturan lokasi parkir walaupun masih seadanya. Dengan bantuan sosial media lokasi ini menjadi salah satu tempat wisata alternatif yang mudah dijangkau dengan harga yang terjangkau. Karena euforia tersebut Pemerintah Kota Malang pun meresmikannya sebagai lokasi wisata alternatif di Kota Malang pada bulan November tahun 2016.

47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini peneliti akan memaparkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan peneliti serta menghubungkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu peneliti akan menyampaikan argumen-argumen yang dianggap mampu menjelaskan lebih dalam dari hasil penelitian peneliti selama ini. 5.1. Kebijankan Pemerintah dan Pemkot Malang Yang Berkaitan Dengan Keberadaan KWJ Pada dasarnya pengertian sederhana dari kebijakan public ialah apapun yang menjadi tindakan pemerintah baik itu merupakan keputusan ataupun penolakan terhadap sesuatu. Jika melihat pengertian sederhana ini dalam konteks KWJ saat ini terjadi suatu kontradiksi dari kebijakan yang diambil oleh pemkot Malang. Dimana di satu sisi mereka sepakat terhadap PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dan Perda Nomor 4 Tahun 2011 Tentang RTRW 2010-2030 yang intinya penolakan terhadap adanya pemukiman dan bangunan di sempadan sungai, sementara di sisi lain mereka meresmikan KWJ sebagai salah satu destinasi wisata Kota Malang. Kedua-duanya merupakan kebijakan yang diambil oleh pemkot malang. Namun dengan kontradiksi ini menurut hemat peneliti terjadi karena kurangnya penelitian dan pengamatan yang lebih mendalam oleh Pemkot Malang. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh momentum yang berawal dari terjadinya suatu perubahan situasi KWJ yang awal terkesan kumuh kemudian di perindah oleh kolaborasi dari masyarakat sipil dan pihak swasta sehingga mampu menarik perhatian dan mengundang wisatawan.

48

Dari momentum yang terjadi pemerintah kemudian berusaha merespon dengan baik melalui penyetujuan untuk meresmikan KWJ sebagai lokasi wisata yang berada di kota malang yang diwakili langsung oleh Wali Kota Malang. Namun disisi lain respon tersebut tidak diperkuat oleh aturan hukum yang jelas. Sehingga membuat status lokasi tersebut bermasalah, walaupun memang dari awal lokasi tersebut sudah bermasalah akan tetapi masyarakat merasa wilayahnya sudah diresmikan oleh pemkot Malang sebagai lokasi wisata maka status sebelumnya tidak berlaku lagi. Bahkan dari pihak pemkot pun merasa berada di posisi yang dilematis karena tidak mungkin mereka membuat suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang berada di atasnya. Sehingga status KWJ dibiarkan begitu saja seolah-olah sudah menjadi lokasi yang resmi dan tidak menyalahi aturan, karena merupakan lokasi wisata dan sudah di resmikan. Sebenarnya jika melaksanakan sesuai dengan tahapan kebijakan public menurut Thomas R. Dye seharusnya pemerintah melakukan beberapa tahapan sebelum mengambil tindakan atau kebijakan yaknidengan mengidentifikasi permaslahan yang ada, melakukan agenda setting, memformulasikan kebijakan, melegitimasi, pengimplementasian, lalu melakukan evaluasi dari kebijakan. Dari tahapan awal saja sudah telihat bahwa pengidentifikasian yang dilakukan oleh pemkot kurang mendalam bahkan terkesan mengabaikan aturan demi untuk memanfaatkan momentum.Hal tersebut terlihat jelas dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dimana beberapa OPD terkait bahkan tidak mampu memberi ketegasan dari jawaban-jawaban mereka.

49

Contohnya saja dari pihak DLH yang seharusnya memiliki peran penting karena lokasi tersebut berada dibantaran sungai yang dimana mereka juga memiliki bidang pengendalian lingkungan hidup tidak mampu memberi jawaban yang sesuai dengan konteks. Mereka hanya menjawab bahwa DLH memiliki tugas dalam menangani sampah yang ada di lokasi KWJ seolah-olah hanya itu tugas mereka. Hal ini terjadi karena mereka tidak dilibatkan lebih jauh ataupun karena mereka tidak memahami tupoksi mereka. Begitupun dengan disperkim yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki data-data bangunan legal yang berada disana. Dari pernyataan ini peneliti berasumsi bahwa disperkim pun tidak melakukan penkajian mendalam terkait KWJ. Dari beberapa kasus tersebut asumsi peneliti sangatlah kuat bahwa memang indentifikasi permaslahan yang dilakukan oleh pemkot malang belumlah mendalam, mereka hanya memperhatikan profit yang akan dihasil oleh KWJ dengan mengesampingkan permaslahan lainya misalnya potensi bencana yang bisa terjadi dilokasi tersebut. Karena tahapan pengindentifikasian masalah yang kurang mendalam sehingga membuat tahap selanjutnya juga bermasalah. Seharusnya pada tahapan ini pemerintah yang memiliki kuasa untuk melakukan agenda setting kepada masyarakat, demi menjustifikasi kebijakan mereka nantinya. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi karena kebijakan mengenai KWJ ini diambil dengan merespon momentum ataupun inisiatif dari masyarakat sehingga pemerintah sepenuhnya mengikuti kemauan masyarakat.

50

Akhirnya pada tahapan selanjutnya pemerintah terjebak dengan kebijakannya sendiri yakni penglegitimasian kebijakan tidak mampu diwujudkan karena sudah ada kebijakan sebelumnya yang menyatakan bahwa lokasi tersebut bermasalah jika mengacu pada PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai. Karena tidak adanya kebijakan yang melindungi KWJ secara spesifik maka dapat dikatan bahwa lokasi tersebut illegal. Namun demi menjaga peran mereka, akhirnya lokasi tersebut dipasrahkan kepada pihak swasta untuk dikelola dan dibina. Untuk tahapan selanjutnya yakni pengimplementasian akhirnya tidak dapat diwujudkan seutuhnya dalam hal ini Pemkot Malang sebagai pihak pelaksana. Karena secara tidak adanya egitimasi yang jelas dari Pemkot Malang dan secara tidak langsung pengelolaan lokasi tersebut diserahkan kepada masyarakat dan pihak swasta. Sehingga pemerintah seolah-olah hadir hanya sebagai pengawas. Akhirnya pada tahapan akhir, Pemkot Malang hanya mampu melakukan evaluasi dengan memberi rekomendasi tanpa mampu berbuat apa-apa karena KWJ murni dikeloka oleh masyarakat dan pihak swasta. Olehnya itu, ketika nanti terjadi sesuatu disana misalnya bencana alam pemerintah memiliki alibi yang kuat untuk lepas dari tanggung jawab mereka. Karena tahapan-tahapan kebijakan tidak dilalui dengan benar maka nantinya Pemkot Malang akan terjebak dengan sendirinya. Memang merespon momentum ataupun inisitif masyarakat itu sangat diperlukan akan tetapi harus tetap memperhatikan aspek-aspek yang lebih penting dan juga tidak mengesampingkan peraturan yang ada.

51

Melihat kenyataan tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa ini merupakan suatu kekurangan dalam suatu pemerintahan yang lebih mengedepankan profit dibandingkan keselamatan. Lebih mengutamakan hasil yang terlihat daripada memperhatikan detail proses sehingga melewatkan beberapa aspek-aspek yang lebih penting baik disengaja maupun tidak disengaja. 5.2. Perdebatan Implimentasi Kebijakan Relokasi Terhadap KWJ Pengertian relokasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemindahan tempat atau pemindahan suatu lokasi ke lokasi yang lain.28 Pengertian ini jika dihubungkan dengan konteks pemukiman maka memiliki makna yakni pemindahan pemukiman saat ini kepemukiman yang baru. Menurut pendapat Hudohusodo relokasi dilakukan terhadap lokasi pemukiman yang tidak diperuntukkan bagi perumahan atau loaksi pemukiman yang rawan terhadap bencana atau bahkan terkena bencana.29 Relokasi ialah salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang menempati lokasi atau lahan ilegal, pemukiman kumuh serta bermukim dilokasi yang rawan bencana untuk menata kembali dan melanjutkan hidupnya dilokasi yang baru yang dianggap layak. Berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai yang meyatakan bahwa daerah yang dapat menjadi tempat pemukiman penduduk minimal berjarak

28

Kamus Besar Bahasa Indonesia. From:https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/relokasi diakses pada 11 april 2018 pukul 20.05 WIB. 29 Zaini Mustofo. 2011. Evaluasi Pelaksanaan Program Relokasi Pemukiman Kumuh. (Studi Kasus: Program Relokasi Pemukiman Di Kelurahan Puncangsawit Kecamatan Jebres Kota Surakarta). From: https://eprints.uns.ac.id/2723/1/187461511201103031.pdf diakses pada 12 April 2018 pukul 01.00 WIB.

52

sepuluh meter dari palung sungai apabila kedalaman sungai kurang atau sama dengan tiga meter, berjarak 15 meter dari palung sungai apabila kedalaman sungai lebih dari tiga meter sampai dua puluh meter, dan berjarak tiga puluh meter dari palung sungai apabila kedalaman sungai lebih dari dua puluh meter.30 Artinya beberapa bangunan yang berada pada KWJ seharusnya direlokasi berdasarkan peraturan tersebut. Namun hingga kini KWJ telah resmi menjadi tempat wisata belum ada upaya dari pemkot untuk melakukan relokasi. Dengan menjadinya KWJ sebagai lokasi wisata maka akan sulit untuk melakukan relokasi disana karena melihat masyarakat mulai dinyamankan dengan kondisi mereka saat ini, terutama mereka mendapatkan tambahan pemasukkan sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat di sana. Pemkot beralasan bahwa proses pemindahan masyarakat yang dulunya tinggal diwilayah kumuh sudah pernah dicoba untuk pindah ke salah satu rumah susun akan tetapi tidak sesuai harapan karena setelah dipindahkan masih banyak masyarakat yang kembali ketempat sebelumnya. Atas dasar ini mereka berasumsi bahwa pemindahan masyarakat di kampung Jodipan akan lebih sulit dengan melihat kondisi kampung jodipan saat ini yang perlahan namun pasti mampu meningkatkan penghasilan masyarakat setempat berkat berubahnya kampung ini menjadi kampung wisata yang memiliki letak yang sangat strategis. Selain itu, masyarakat dianggap telah berubah perilakukanya secara tidak langsung semenjak kampungnya menjadi tempat wisata. Hal ini kemudian

30

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai.

53

dijadikan sebagai salah satu alasan bahwa dengan begitu masyarakat mulai peduli dengan lingkungan seperti tidak membuang sampah sembarangan dan mencemari sungai. Walapun begitu, beberapa bangunan di KWJ telah melanggar aturan dan efek kedepannya bisa jauh lebih buruk. Sebelum membahas lebih jauh mengenai alasan KWJ belum direlokasi, alangkah baiknya terlebih dahulu memahami sejarah peradaban manusia terutama di Indoneisa. Indonesia merupakan negara maritim artinya sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Hal ini kemudian menjadi salah satu alasan bahwa sangatlah wajar ketika terdapat bangunan-bangun disekitar bantaran sungai. Sungai pada masa kerajaan merupakan jalur transportasi, sehingga sangat lah wajar ketika di Indonesia yang dulunya pernah berdiri kerajaan maritim yang besar seperti Majapahit memiliki bangunan-bangunan yang berada dipinggiran sungai. Sebagai jalur transportasi sudah sewajarnya bangunanan-bangunan dulu menghadap ke arah sungai dan masyarakat disekitarnya bergantung kepada sungai. Jika menggunakan alasan tersebut, maka KWJ bukanlah wilayah yang menjadikan sungai sebagai sarana transportasi, karena jika dilihat dari lokasinya saat ini serta kedalaman yang dimiliki sangatlah tidak memungkinkan untuk dijadikan jalur transportasi. Jadi alasan tersebut tidaklah cukup kuat untuk kemudian menjadikan beberapa rumah disekitar bantaran Sungai Brantas tidak direlokasi. Perlu dipahami bahwa sebagian besar penduduk yang berada di KWJ merupakan pendatang. Mereka pendatang dari berbagai kota, KWJ memang

54

merupakan lokasi yang strategis karena berdekatan dengan pasar terbesar di Kota Malang. Sehingga menjadi lokasi yang menarik untuk ditempati. Selain itu juga, pengalaman melakukan relokasi sudah pernah dilakukan pada lokasi kumuh lainnya. Tetapi hasilnya jauh dari ekspektasi, karena sebagian besar ke rumah awal bahkan ada yang disewakan kepada oarang lain. Pola pikir masyarakat yang belum terbentuk, terutama ketika mendengar kata relokasi masyarakat kecil pada umumnya akan reaktif. Mereka akan berpikir bahwa hajat hidupnya akan dihilangkan melaluli relokasi, padahal hal itu bertujuan untuk kebaikan mereka sendiri. Tapi sangat dimaklumi ketika masyarakat berpikir seperti itu karena yang namanya relokasi bukan hanya tentang pemindahan tempat tinggal melainkan pemindahan seluruh hajat hidup mereka terutama terkait kondisi sosial ekonomi. Selain karena faktor sosial juga karena faktor ekonomi, sehingga proses pemindahaan ataupun relokasi akan sangat sulit untuk dilakukan di sana. Jika berdasarkan situasi saat ini masyarat mulai memiliki pemasukan tambahan melalui pengelolaan KWJ sebagai tempat wisata juga melalui perdagangan karena ramenya pengunjung yang datang tiap harinya. Sehingga mereka sudah merasa nyaman dengan kondisi sekarang dan akan lebih sulit untuk dipindahkan. Secara umum terdapat perubahan pola pengentasan pemukiman kumuh yang awalnya melakukan relokasi sebagai salah satu solusi untuk mengentaskan pemukiman kumuh yang efektif, kemudian menjadikan pemukiman kumuh berubah bentuk dan tampilannya agar lebih menarik dan terawat sehingga mampu menjadi kampung wisata. Akhirnya sejak tahun 2016, berawal dari KWJ yang

55

dianggap sukses dalam merubah wajah pemukiman kumuh kemudian merambah kekampung kumuh lainnya yang berada disekitar KWJ. 5.3. Efek Domino KWJ Tidak dapat dipungkiri bahwa KWJ menimbulkan efek domino, dimana salah satu cara dalam mengentaskan pemukiman kumuh daerah bantaran sungai ialah denga mempercantik wilayahnya. Berawal dari KWJ kemudian muncul Kampung Tridi yang berada diseberang KWJ yang memiliki kondisi yang sama. Solusi tersebut menjadi sebuah mindset bagi Pemkot Malang, sehingga beberapa lokasi kumuh yang memiliki kreteria seperti KWJ akan hanya dipercantik tanpa ada solusi kedepannya. Akhirnya munculah beberapa kampung lain seperti Kampung Biru dan Kampung Putih. Efek domino ini bisa jadi tidak akan berhenti pada kampung-kampung tersebut. Karena sudah dianggap sebagai solusi terbaik dalam mengentaskan wilayah kumuh oleh Pemkot Malang, yang pada dasarnya solusi tersebut bukanlah solusi terbaik karena seperti kasus yang terjadi pada KWJ yang jika dilihat berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2011 dan Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang RTRW terdapat aturan-aturan yang telah dilanggar. Bukan hanya itu apabila stastusnya juga berubah menjadi lokasi wisata seperti KWJ dan Kampung Tridi maka mereka menggundang wisatawan ke lokasi yang memiliki potensi bencana. 5.4. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah Kota Malang Terkait

56

KWJ Pada dasarnya pemerintah tetap menganggap bahwa PP Nomor 38 Tahun 2011 maupun Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 merupakan suatu ketetapan yang baik untuk kebaikan masyarakat tentunya. Namun untuk melakukan penyadaran terkait suatu aturan yang ada memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Walupun sudah terdapat aturan yang mengikat Pemerintah Kota Malang dalam hal ini Barenlitbang dan Disperkim belum mampu untuk bertindak keras dan berani, karena sekali lagi mereka menyesuaikan dengan kebijakan dari Wali Kota Malang yang dianggap memiliki visi misi yang populer dan pro rakyat. Jika melihat teori yang ada, kebijakan Pemkot Malang bisa diasumsikan lebih cenderung kepada etika lingkungan antroposentrisme. Berdasarkan sudut pandang ini melihat bahwa lingkungan hanyalah sekedar objek yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia. Walaupun Pemkot Malang masih menjunjung tinggi aturan yang ada akan tetapi mereka belum berani mengambil tindakan sesuai peraturan yang ada. Disisi lain Kampung Warna-warni Jodipan secara resmi telah disahkan oleh Wali Kota Malang menjadi salah satu destinasi wisata. Jika menggunakan sudut pandang kebijakan publik secara tidak langsung Pemkot Malang yang diwakili oleh walikota telah merestui dan mengakui bahwa kampung ini legal dan menjadi bagian dari agenda pemkot kedepannya. Namun, beberapa OPD mengelak dalam hal ini mengenai legalitas beberapa bangunan di sana serta payung hukum yang melindungi. Mereka seoalah lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada pihak swasta dalam hal ini PT.Indana

57

melalui program CSR mereka. Beberapa OPD tersebut yakni Disperkim dan Barenlitbang, mereka melihat bahwa KWJ tidak menjadi tanggung jawab mereka karena tidak adanya APBD yang masuk dalam proses pembentukan KWJ. Alasan selanjutnya, wilayah tersebut legalitasnya masih samar-samar jika berdasar PP nomo 38 Tentang sungai yang dalam pasalnya menjelaskan bahwa jarak antara bangunan dan sepandan sungai yang kedalamannya dibawah 3 meter, rumah ataupun bangunan minimal berjarak 10 meter dari sepandan sungai. Dari sini sangat jelas bahwa beberapa bangunan disana melanggar aturan tersebut. Sebenarnya baik dari Disperkim maupun Barenlitbang menyadari bahwa wilayah KWJ merupakan salah satu wilayah kumuh yang membutuhkan perhatian lebih dari pemkot. Namun sejauh ini proses pengentasan wilayah kumuh belum berjalan dengan efektif dan mereka menilai dengan adanya inisiatif mahasiswa dan masyarakat serta kerjasama dengan pihak swasta terkait KWJ merupakan salah satu proses dalam pengentasan wilayah kumuh yang terbilang cukup efektif terutama dalam perubahan perilaku masyarakatnya. Dalam beberapa hal Pemkot Malang sepakat bahwa dengan KWJ menjadi lokasi wisata akan merubah prilaku masyarakat setempat terutama dalam hal merawat lingkungan minimal tidak membuang sampah sembarangan disungai. Selaian itu aspek ekonomi juga menjadi salah satu kelebihan dengan KWJ menjadi lokasi wisata sehingga masyarakat setempat mendapat penghasilan lebih baik dari pengelolaan lokasi wisata, hasil dari penjualan dagangan disana hingga hasil dari penarikan biaya parkir.

58

Namun sekali lagi, pemkot tidak mampu melindungi ataupun memberikan payung hukum yang jelas bagi masyarakat disana. Karenapada hakikatnya mereka tidak mampu membuat aturan hukum yang bertentangan dengan aturan hukum di atasnya kecuali terdapat perubahan langsung dari pusat. Dinas Lingkungan Hidup harusnya mampu mengambil peran terutama dalam kasus KWJ ini. Namun berdasarkan pandangan dari salah satu informan yang mengatakan bahwa sejauh ini DLH hanya fokus pada pengeloaan dan penegndalian sampah. Mereka tidak tahu banyak bahkan terkesan tidak memiliki informasi terkait situasi ataupun pelanggaran yang terjadi pada KWJ. Menurut hemat peneliti, seharusnya DLH mampu mejalankan tugasnya minimal melakukan sosialisasi terkait aturan tentang PP nomor 38 tahun 2011 tentang sungai kepada masyarakat disana. Sehingga hal ini bukan hanya menjadi kewajiban dari Disperkim dan Berenlitbang saja. Peneliti

juga

sudah

berusaha

untuk

mengkonfirmasi

terkait

bangunanbangunan legal yang ada di sepantaran Sungai Brasntas, akan tetapi Disperkim dalam hal ini sebagai penanggung jawab mengenai permasalahan perumahan dan pemukiman di Kota Malang tidak memiliki data tersebut. Hal ini membuktikan bahwa wilayah tersebut memang secara legalitas masih kurang jelas. Baik disperkim maupun Barenlitbang sendiri

secara tidak langsung

menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KWJ kepada PT. Indana dalam program CSR meraka selain itu juga dari Barenlitabang sendiri telah berkomunikasi dengan pihak UMM yang menyatakan ketersedian untuk pendampingan kedepannya terkait masa depan KWJ.

59

Dilematisnya sikap yang diambil Pemkot Malang membuat peneliti terjebak, di satu sisi mereka ingin menegakkan aturan yang ada akan tetapi disisi lain mereka juga tidak menindak atupun menerapkan aturan tersebut atas dasar kemanusiaan serta alasan-alasan sebelumnya yang telah peneliti paparkan. Dalam hemat peneliti alasan-alasan tersebut menjustifkasi bahwa Pemkot Malang sebenarnya tidak serius dan jeli dalam melihat situasi pada KWJ saat ini. Alasan pertama, Barenlitbang menyatakan bahwa mereka menyesuaikan dengan visi-misi Wali Kota Malang yang pro rakyat. Alasan ini sangatlah politis, artinya jika seperti ini berarti aturan hanya sebatas pengingat saja bukan menjadi suatu kewajiban, karena sekali lagi dikembalikan kepada kepala daerah yang menjabat saat itu. Walapun bisa dipahami karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari berdemokrasi akan tetapi seharusnya tetap menjaga aturan yang berlaku sebagai dasar acuan dari berdemokrasi itu sendiri. Karena jika melihat dari jangka panjang bahwa aturan dibuat untuk perbaikan kedepan begitupun dangan PP Nomor 38 tahun 2011 tentang sungai sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Jadi alasan tersebut secara tidak langsung menjadi bumerang bagi kepala daerah maupun pemerintah kota jika ternyata ketakutan-ketakutan terkait bencana yang mengancam benar-benar terjadi. Sehingga alasan tersebut masih sangat lemah untuk dijadikan sebagai alasan utama. Alasan kedua, karena menggunakan anggaran dari CSR PT. Indana sehingga pemkot tidak harus bertanggung jawab atau dalam hal ini dianggap tidak melanggar

60

aturan karena tidak menggunakan APBD. Alasan ini terkesan seperti pepatah lempar batu sembunyi tangan, dimana pemkot seolah-olah menggugurkan kewajibannya untuk bertanggungjawab terhadap wilayah KWJ karena proses pengecatannya menggunakan dana CSR. Sangatlah wajar ketika hal ini menjadi sebagai suatu alasan karena lagi-lagi suatu pemerintah mamapu bergerak jika mendapat anggaran yang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Tetapi bukan berarti mengugurkan tanggung jawab moral mereka sebagai pemerintah yang melayani masyarakatnya. Ada yang salah dari logika pemerintahan dan aparatur negara yang terjadi di Indonesia, karena semua bergerak dan bekerja menggunakan logika anggaran bukan menggunakan logika sebagai pelayan masyarakat yang seharusnya bertanggungjawab. Sehingga alasan inipun terkesan sebagai alasan yang sangat tidak bertanggungjawab. Alasan ketiga, yakni karena memerhatikan aspek sosial-ekonomi masyarakat KWJ yang sudah mulai mengalami perubahan semenjak menjadi destinasi wisata. Karena semenjak menjadi tempat wisata perilaku masyarakat pun mulai mengalami perubahan serta mereka pun mendapatkan penghasilan tambahan. Alasan ini yang paling masuk akal jika dibandingkan dengan alasan-alasan sebelumnya. Akan tetapi jaminan keselamatan jauh lebih penting dibandingkan itu semua. Bahwa sudah menjadi rahasia umum potensi bencana yang ada di daerah sempadan sungai sangatlah nyata. Sehingga sudah menajdi kewajiban dari pemerintah untuk melakukan pencegahan sebelum terjadinya bencana yang tidak diinginkan.

61

Jika melihat alasan-alasan tersebut, peneliti melihat adanya pembiaran yang dilakukan oleh Pemkot Malang terkait kondisi KWJ saat ini, mereka terkesan menutup mata dan telinga terhadap situasi KWJ kedepannya. 5.5. Solusi Pemkot Malang Terhadap Keberadaan KWJ Sejauh ini pemkot menganggap dirinya terlibat dalam proses kampung jodipan sebagai kampung wisata. Pemerintah terlibat dalam pemberian arahan tentang pola bisnis yang dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat seperti pemeliharaan kebersihan. Selain itu, pemerintah memiliki program “Kelurahan Tangguh” untuk menjadikan Jodipan sebagai salah satu kelurahan yang tanggap bencana. Melalui program ini, masyarakat disana akan mendapatkan training mengenai apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana atau cara pencegahannya, early warning system, dan pembuatan jalur evakuasi. Namun hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena ini berkaitan dengan pola pikir yang harus dibangun di masyarakat. Sejuah ini menurut pandangan peneliti dari pihak pemerintah sendiri belum bertindak sama sekali terkait situasi KWJ saat ini, mungkin mereka memiliki konsep akan tetapi mereka tidak mempertimbangkan aspek-aspek dari lingkungan sama sekali. Mengenai kelurahan tangguh cuman hanya sekedar wacana yang belum mampu di terapkan bahkan belum d sosialisaikan sama sekali padahal hal tersebut sangatlah penting untuk diterapkan disana. Dari pihak masyarakat sendiri menurut keterangan dari ketua RW 02, pihak pemerintah belum pernah sama sekali turun ke lokasi tersebut untuk memberikan aranhan maupun masukan tekait kondisi lingkungan disana. Sejauh ini peran

62

pemerintah lebih terlihat pada sosialisai terkait kampung wisata dimana hal tersebut dilakukan oleh dinas pariwisata. Mengenai pengelolaan KWJ menurut keterangan ketua RW murni di kelola oleh masyarkat disana mulai dari penarikan tiket masuk perawatan gambar dan warna, kebersihan serta lahan parkir. Kemandirian masyarakat disana sangatlah baik akan tetapi dengan menimnya peran pemerintah membuat mereka seolah-olah tidak menganmbil peran sama sekali terkait pengkondisisan lingkungan di sana khusunya penangan bangunan yang melanggar aturan. Berdasarkan keterangan ketua RW kurang lebih sekitar 500 orang pengunjung tiap weekday dan bahkan bisa mencapai 1000 orang ketika weekend dan hari libur. Dengan jumlah pengunjung sebanyak itu dan lokasi yang rawan akan bencana harusnya pengawasan dan pengawalan dari pemkot harus dioptimalkan. Bukan malah diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Sinergitas antara pemkot dan masyarakat sangat dibutuhkan disini terutama dalam menjamin keselamatan pengunjung jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan menjadikan jodipan sebagai kelurahan tangguh tadi sebagaimana yang telah dipaparkan oleh pihak barenlitbang itu direalisasikan sehingga mampu menjadi salah satu pilihan untuk meminimalisir potensi korban jika terjadi bencana. Namun, sekali lagi pertanyaan itu muncul apakah pemkot mau mengalokasikan anggarannya ketempat tersebut melihat KWJ merupakan lokasi yang keabsahannya masih dipertanyakan bahkan oleh pihak disperkim sendiri. 5.6. Perspektif Etika Lingkungan Hidup Terhadap Kebijakan Lingkungan

63

Hidup Pemkot Malang di KWJ Melihat apa yang terjadi pada KWJ sudah dapat disimpulkan bahwa Pemkot Malang menerapkan ataupun lebih cendrung dengan etika lingkungan hidup antroposentrisme. Pada dasarnya Pemerintah Indonesia pun secara umum lebih cendrung dengan etika antroposentrisme. Adapun usaha untuk melindungi lingkungan hidup juga bertujuan untuk dimanfaatkan dikemudian harinya seperti misalnya konservasi. Jadi menyalahkan Pemkot Malang seutuhnya dalam hal ini sangatlah kurang etis karena mereka hanya mengikuti dan terjebak dengan pola pikir tentang pengendalian lingkungan berdasarkan undang-undang yang pada dasarnya sudah pro terhadap etika lingkungan antroposentrisme. Hal tersebut sangat jelas terlihat pada UUD 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam redaksinya sangat kental akan unsur antroposentrisme. Beberapa ahli yang mendukung etika antroposentrisme sangat memahami itu karena menurutnya etika hanya melakat pada manusia, dan hanya manusialah pemberi nilai akan sesuatu yang ada di alam semesta ini. Pandangan yang seprti itu sangatlah di tentang oleh pemikir-pemikir yang pro akan ekosentrisme. Mereka menilai bahwa alam semestapun beretika, mereka juga kan bereaksi ketika mendapatkan aksi. Mereka juga akan mempertahankan dirinya secara tidak langsung bila diserang.

64

Peneliti berusaha memgahadirkan sudut pandang ekosentrisme dalam kasus ini agar Pemkot Malang memiliki pertimbangan lainnya. Bukan hanya memperhatikan aspek-aspek antroposentrime tetapi juga melihat apakah ada etika ekosentrisme yang dilanggar. Karena jika benar ada alam tidak akan diam menurut paham ekosentrisme mereka akan bereaksi cepat ataupun lambat dan dampak dari reaksi alam mampu mendatangkan sebuah bencana kepada manusia khususnya yang berada di wilayah KWJ. Masyarakat disana akan terus terbanyangi potensi-pontesi dari reaksi alam ini. Sebaiknya Pemkot Malang harus lebih peka untuk mengantisipas dari reaksi alam untuk meminimalisir potensi korban nantinya. Pemerintah harus mampu memberi atau bahkan memahami alam kita ini harusnya diapakan agar manusia dan alam dapat hidup salaing berdampingan di Indonesia bewawal dari Kota Malang.

65

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan Sesuai dengan hasil dan pembahasan dari proses penelitian yang dilakukan peneliti, maka peneliti menyimpulkan beberapan hal sebai berikut: 1.

Sejauh ini sikap Pemkot Malang bertolak belakang dengan PP Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai serta Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang RTRW 2010-2030, beberapa bangunan diwilayah tersebut illegal. Artinya harus ditertibkan melalui relokasi. Karena lokasi tersebut merupakan daerah rawan bencana. Akan tetapi pemerintah beralasan lebih memperhatikan aspek sosial-ekonomi masyarakat disana hingga saat ini lokasi tersebut masih dibiarkan. Karena alasan ini pula sehingga nantinya masyarakat disana pun akan lebih sulit untuk direlokasi. Karena mereka merasa ternyamankan dengan situasi saat ini. Sikap pemerintah yang seperti ini kedepannya akan menjadi beban, karena dalam proses pengambilan keputusan yang belum jelas serta alur kebejikan yang tidak sesuai sehingga nantinya akan menimbulkan permasalahan baru. Karena belum adanya aturan maupun kebijakan yang melindungi masyarakat disana sehingga potensi untuk kemudian ditinggalkan oleh pemerintah kedepannya jauh lebih

besar.

Kemudian

terkait

pertanggungjawaban

nantinya

pemerintah akan berdalih, karena di sana tidak ada APBD yang

66

dimasukan. Semuanya dikelola masyarakat yang bekerja sama dengan pihak swasta. 2.

Saat ini belum ada solusi kongkrit yang ditawarkan, untuk

mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi disana, apalagi setiap harinya ada ratusan wisatawan yang datang ke KWJ. Adapun solusi yang ditawarkan belum dimasukan menjadi agenda, hanya sebatas usulan dari salah satu pengawai Barenlitbang secara pribadi yakni dengan merekomendasikan agar KWJ dijadikan sebagai salah satu lokasi kelurahan tangguh dimana disana akan diberikan petunjukpetunjuk mengenai cara-cara untuk mengantisipasi ataupun cara-cara untuk terhindar dari bercana yang berpotensi terjadi di KWJ. Selain dari itu tidak ada lagi solusi yang nyata yang mampu diberikan. Masingmasing dari OPD terkait tidak terlalu peduli karena status KWJ yang belum dilindungi oleh aturan yang kuat. 6.2. Saran Adapun saran-saran yang direkomendasikan peneliti untuk dijadikan bahan pertimbangan ialah: 1.

Sebaiknya pemerintah Kota Malang mengambil sikap yang tegas terkait KWJ saat ini karena masyarakat disana pun butuh payung hukum yang kuat untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka disana kedepannya.

2.

Atau pemerintah melakukan sosialisasi terkait kebijakan yang telah ada guna memberikan pemahaman kepada masyarakat KWJ bahwa lokasi

67

yang mereka tempati sebenarnya melanggar aturan yang telah ditetapkan. 3.

Jika pun ingin mebuat suatu kebijakan yang baru harus melalui dan meperhatikan proses dan tahanpan yang ada bukan malah mengabaikan demi profit dan popularitas.

4.

Mengkaji lebih dalam lagi terkait posisi KWJ saat ini yang telah menjadi salah satu destinasi wisata apakah merupakan solusi yang tepat dalam mengentaskan kampung kumuh atau tidak.

5.

Walaupun dalam proses KWJ menjadi lokasi wisata tidak ada APBD yang cair disana, akan tetapi tetap menjadi tanggung jawab Pemkot Malang.

68

DAFTAR PUSTAKA

Buku Dewi, Saras. 2015. Ekofenomenologi: Mengurangi Disekuilibirium Relasi Manusia Dengan Alam. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Djamin, Djaius. 2007. Pengawasan dan Pelaksanaan UU Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2008. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elex Media Komputindo. Gea, Antonius Atosokhi & Antonina Panca Yuni Wulandari. 2005. Relasi Dengan Dunia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Herdiansyah, Haris. 2011. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Kraf, A. Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Moleong, L.. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Subarsono, AG.. 2011. Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudarto. 1995. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2014. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wahab, Solichin Abdul. 2008. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Walhi. 2010. Hutan Indonesia Makin Kritis. Jakarta: Redaksi Bumi.

69

Peraturan Dan Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011

Jurnal Apriwan. 2011. Teori Hijau: Alternatif dalam Perkembangan Teori Hubungan Internasional. Multiversa Vol. 02 No. 01

Website Eko Widianto. 2016. Kampung Warna-Warni Malang, Dulu Kumuh Sekarang Jadi Tempat Wisata. From: www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/10/161016_majalah_kampung_warn a_warni_malang. Di akses pada 30 Desember 2016

70

LAMPIRAN

Lampiran 1: Peta Wilayah Kelurahan Jodipan

Lampiran 2: Denah KWJ dan Kampung Tridi Sumber: Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, 2018

71

Keterangan gambar: : Sungai Brantas

: Bangunan : RTH : Kawasan Permukiman : Garis Sempadan Sungai Brantas

Lampiran 3: Tabel Analisa Identifikasi dan Klasifikasi Permukiman Kumuh di Kelurahan Jodipan

72

73

Lampiran 4: Proses Wawancara Dengan Ketua RW 02

74

Lampiran 5: Surat Penelitian

75

76

77

78

Related Documents

Imam
May 2020 43
Imam
April 2020 52
Imam
June 2020 32
Ilmu-ilmu
August 2019 66

More Documents from ""