Ilmu Kesehatan Jiwa.docx

  • Uploaded by: Dewi Noviana
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ilmu Kesehatan Jiwa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,451
  • Pages: 15
ILMU KESEHATAN JIWA

Jiwa mempunyai 3 aspek: 1. Kognitif (pikiran) 2. Afektif (perasaan) 3. Konatif (kemauan/psikomotor)

Jiwa yang sehat (skinner): 1. Menerima diri sendiri. Mengetahui dulu bentuk fisiknya dan tubuhnya dan diterima apa adanya yang kita punya. 2. Diterima oleh orang lain. Walaupun keadaan tidak terlalu tidak menarik tapi kita dapat diterima dalam kelompok manapun. 3. Efesien dalam bekerja dan belajar. Dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan kemampuan dan waktu yang singkat. 4. Secara relatif bebas konflik. Konflik adalah keragu-raguan yang tidak dapat mengambil keputusan

STRES Stres adalah gangguan keseimbangan akibat fisik maupun psikologi terhadap tuntutan. Halhal yang menyebabkan stres disebut stresor

Psikologi klinis merupakan cabang dari ilmu psikologi. Klinis sebagai cara penanganan terhadap gangguan dan psikologi adalah ilmu jiwa atau ilmu tingkah laku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa psikologi klinis adalah ilmu yang mempelajari proses mental dan penanganannya yang lebih kepada perilaku manusia itu sendiri dibandingkan dengan periku hewan. Secara umum, pengertian dari psikologi klinis adalah sub area dari ilmu psikologi yang kegiatannya melakukan penelitian terhadap perilaku manusia dan penerapan hasil peneltian tersebut dengan melakukan assessment (pengkuran psikologis), sehingga psikologi klinis merupakan psikologi terapan yang dapat membantu manusia secara langsung.

Psikologi Abnormal Psikologi abnormal adalah cabang dari ilmu psikologi yang mengkhususkan kajian pada perilaku-perilaku yang abnormal. Psikologi abnormal merupakan cabang besar dari ilmu psikologi yang telah ada dan telah dipelajari sejak dulu. Tetapi melihat pada aspek pendefinisian dan sejarahnya, psikologi abnormal dapat dilihat dari beberapa sudut pandang.

Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu perilaku abnormal, antara lain: aliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva. Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dsb. Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius. Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.

Unexpectedness Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.

Violation of norms Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi. Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal. Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal. Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi abnormal.

Personal distress Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu. Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecemasan.

Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik. Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.

Disability Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan. Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability dalam masalah seksual. Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh budaya serta waktu.

Mitos dan fakta tentang perilaku abnormal MITOS FAKTA Perilaku abnormal sangat aneh dan sangat berbeda dengan orang normal Penderita gangguan sukar dibedakan dengan orang normal Gangguan mental akibat adanya kekurangan dalam diri yang tidak teratasi Setiap orang punya potensi dan kesempatan sama untuk terganggu dan bertingkah laku abnormal Gangguan mental dipengaruhi sihir atau magic Banyak orang-orang yang percaya Tuhan terkena gangguan mental dan masyarakat kurang mengetahui pengetahuan ilmiah.

DEFENISI PSIKOLOGI FORENSIK Secara umum psikologi forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi adalah ilmu yang

mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika Serikat, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik? Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum. Sundberg et,al (2007) memberikan defenisi psikologi ferensik sebagai kajian ilmiah psikologi termasuk isu – isu klinis yang diaplikasikan pada beberapa bagian sistem hukum atau sistem peradilan. Committee on ethical guidelines for forensic psychologists (1991), psikologi adalah semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan forensik, dan badan badan adminitratif, judikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas judisial. Layanana psikologi forensik pada Psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).

Gangguan Jiwa dan Penyebabnya Gangguan jiwa merupakan istilah yang merujuk kepada kata “gila” dalam bahasa sehari-hari. Sebenarnya dalam ilmu psikologi, gangguan jiwa lebih dikenal dengan istilah perilaku abnormal atau perilaku maladaptif (maladjustment). Dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2008), abnormal adalah sebah perilaku yang berbeda atau menyimpan dari kenormalan; penulisan mengenai tingkah laku yang menyimpang secara mencolok dari acuan normatif; sehat atau diinginkan sekali secara psikologis, dilihat dari titik pandangan penyesuaian diri. Istilah abnormal sering mangandung konotasi kuat tentang suatu hal yang tidak diinginkan atau yang patologis; tetapi kadang pula dipakai untuk menyatakan suatu supernormalitas atau superioritas ekstrem.

Sedangkan perilaku maladaptif (maladjustment) adalah sebuah perilaku yang menyimpang terlihat dari ketidakmampuan individu untuk mengembangkan pola-pola tingkah laku agar ia sukses ditengah-tengah lingkungannya. Atau biasa juga disebut gangguan mental. Banyak penyebab timbulnya sebuah gangguan jiwa pada manusia. Penyebab itu bisa karena faktor genetic (bawaaan), didapat dari lingkungan, ataupun gangguan jiwa yang dipelajari. Gangguan jiwa yang merupakan bawaan dalam bentuk genetic, adalah gangguan yang diwariskan dalam bentuk gen, kepada keturunan. Biasanya gen yang diturunkan bisa bersifat dominan ataupun resesif. Jika gen tersebut dominan, maka akan memperlihatkan gejala gangguan jiwa pada orang tersebut. Tetapi jika gen tersebut resesif, maka individu bersangkutan merupakan pembawa (carrier), yang bisa diturunkan pada keturunan selanjutnya, walaupun pada dirinya sendiri tidak menunjukkan adanya gangguan perilaku. Gangguan jiwa yang didapat dari lingkungan adalah jenis gangguan yang merupakan efek tekanan dari lingkungan. Tekanan dari lingkungan yang berat dapat membuat seseorang menjadi terkenan (stress) sehingga orang tersebut lepas kendali (kehilangan realita). Seseorang yang tidak bisa menerima kejadian yang menekan, merasa ingin lari dari masalah tersebut. Dalam istilah psikologi disebut dengan defend mechanism (mekanisme pertahanan diri). Seseorang yang terlalu sering melalukan defend mechanism, dikhawatirkan adalah pribadi-pribadi yang dapat mengembangkan perilaku yang maladaptif. Selanjutnya, jenis gangguan jiwa yang dipelajari. Biasanya gangguan jiwa yang dipelajari ini adalah jenis gangguan yang “disengaja” oleh individu tersebut. Individu tersebut dengan sadar mempelajari sebuah perilaku yang maldaptif. Biasanya, gangguan jiwa yang dipelajari ini, akan terdeteksi menjadi sebuah gangguan dengan menggunakan filter/alat ukur kebiasaan/budaya. Seorang perokok misalnya, jika budaya tidak menerima perilaku tersebut, maka merokok adalah sebuah gangguan, demikian juga sebaliknya, jika merokok dalam sebuah budaya adalah sebuah perilaku yang normal, maka merokok adalah sebuah perilaku yang adaptif.

Pendekatan Medis pada Gangguan Mental Sejak 2 abad terakhir, konsep gangguan mental sebagai penyakit yang disebabkan oleh faktor natural dan dapat dijelaskan secara ilmiah merupakan pandangan yang cukup dominan. Para dokter berusaha menjelaskan bentuk dan jenis penyakit mental, menemukan penyebabnya, ciri-cirinya dan mengembangkan metode treatment yang tepat. Anggapan dokter adalah bahwa setiap terjadi perilaku yang patologis merupakan penyakit susunan saraf. Penelitian dalam hal ini sudah banyak dilakukan. Tradisi psikiatri medis paling terwakili oleh Emil Kraepelin (1855 – 1926). Ia mencoba mendaftar gejala-gejala yang tampak dari disfungsi mental, kemudian mengklasifikasikan pasien berdasarkan pola simtom dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan penyakit mental. Kraepelin melabel 2 penyakit mental parah yang paling umum yakni dementia praecox (sekarang lebih dikenal dengan sebutan skizofrenia, dari istilah Eugen Bleuler) dan manicdepressive psychosis.

Pendekatan Psikologis pada Gangguan Mental Psikopatologi tidak hanya mengetengahkan konsep penyakit psychological functioning, tapi juga mengetengahkan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor psikologis. Orientasi psikogenik muncul pada studi tentang histeria, yaitu suatu kondisi neurotis yang sering ditandai dengan gejala fisik seperti, mati rasa, kebutaan dan juga gejala behavioral seperti kehilangan memori, kepribadian atau kondisi emosi yang tidak menentu. Pada abad 18 dan 19, di Eropa banyak dijumpai subjek yang mengalami simtom histeria tersebut. Untuk menjelaskan terjadinya histeria tersebut, muncul beberapa pandangan yang berorientasi psikogenik. Salah satunya adalah dokter Austria, Franz Anton Mesmer (1734 – 1815). Studi tentang histeria ini menggunakan metode hipnotis. Di bawah kondisi hipnotis, pasien dengan histeria dapat memunculkan kembali simtom histeria yang biasanya muncul. Hipnotis kemudian menjadi suatu metode yang penting dalam treatment psikologis, terutama psikoanalisa yang biasa menggunakan asosiasi bebas dan interpretasi mimpi untuk mengeksplorasi alam bawah sadar. Selain hipnotis, metode lain yang digunakan untuk melakukan terapi pada gangguan mental adalah katarsis yang dikenalkan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud. Katarsis adalah suatu metode terapeutik dimana pasien diminta untuk mengingat kembali dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengalami kembali ketegangan dan ketidakbahagiaannya dengan tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional. Mesmer, Charcot, Breuer dan Freud mengembangkan metode hipnotis dan katarsis. Hal itu menunjukkan adanya orientasi psikogenik terhadap gangguan mental.

KONSEP DASAR KESEHATAN JIWA

A. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia dewasa ini semakin sulit dan komplek. Kondisi tersebut diperparah dengan bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat modern yang cenderung sekuler. Hal tersebut menyebabkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-tekanan hidup yang dialami. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas penyakit mental-emosional manusia

Kondisi diatas dapat menimbulkan gangguan jiwa dalam tingkat ringan amaupun berat yang memerlukan penanganan di rumah sakit, baik itu di rumahs akit jiwa atau di unit pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum dan unit pelayanan lainnya.

Pelayanan di rumah sakit tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa adanya pelayanan keperawatan. Pelayanan Keperawatan sangat diperlukan karena merupakan bagian integral dari proses penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Untuk merawat klien/pasien dengan baik seorang perawat harus mengetahui konsep dasar keperawatan dan juga harus memahami serta mengaplikasikan proses keperawatan.

B. KONSEP DASAR KESEHATAN DAN KEPERAWATAN JIWA 1. Pengertian Sehat a.

Menurut WHO (Notosoedirjo,2005):

“Keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun social, tidak hanya terbebas dari penyakit/cacat” Pengertian sehat menurut WHO tersebut merupakan kondisi ideal dari sisi biologis, psikologis dan social. Apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial? Memang sulit untuk mendapatkan seseorang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna, namun yang mendekati pada kondisi ideal dapat didapatkan.

b.

UU. No 23, 1992 tentang kesehatan

Sehat: keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yg memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Sehubungan dengan pentingnya dimensi agama dalam kesehatan, maka pada tahun 1984, WHO menambahkan dimensi agama sebagai salah satu pilar kesehatan. Sehingga menjadi 4

pilar kesehatan yaitu: 1) sehat sevara jasmani/fisik (biologis); 2) sehat secara kejiwaan (psikologis/psikiatric); 3) sehat secara social dan 4) sehat secara spiritual (agama). Yang digambarkan dalam sebuah skema (Hawari, 1992)

Agama/

Organo-

Spiritual

biologic

ANAK (MANUSIA)

Psiko-

Sosial-

edukatif

Budaya

Skema 4 Dimensi Sehat (Hawari, 1993)

Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa manusia, hidup dalam 4 dimensi: a. Agama/spiritual Fitrah manusia, kebutuhan dasar manusia yang mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Seorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama. b. Organo-Biologik Fisik/tubuh/jasmani, termasuk perkembangan susunan saraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi dan seterusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut. c.

Psiko-edukatif

Pendidikan yang diberikan prangtua termasuk pendidikan agama. Orangtua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orangtuanya> Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti pada usia 18 tahun

d. Sosial-Budaya Kepribadian manusia juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan social, dimana manusia dibesarkan

2.

Pengertian Kesehatan Jiwa

Menurut UU No.. 3, 1966: “Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yg optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain” Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan orang lain (social)

Kesehatan jiwa : Kemampuan menyesuaikan diri dg diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa dan sanggup menghadapi problema yang biasa terjadi dan merasa bahagia dan mampu diri

Gangguan Jiwa: Sindroma atau pola perilaku atau psikologik seseorang yg secara klinis cukup bermakna dan scr khas berkaitan dg suatu gejala “penderitaan” (distress) dan atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi manusia

3. Ciri Sehat Jiwa

a. Ciri Sehat Jiwa Menurut WHO (Hawari, 2002) 1) Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya 2)

Memeperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya

3)

Merasa lebih puas memberi daripada menerima

4)

Secara relative bebas dari rasa tegang (stress)

5)

Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan

6)

Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari

7)

Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif

8)

Mempunyai rasa kasih sayang yang besar

Bila dicermati secara seksama masing-masing butir kriteria sehat tersebut diatas bernuansa pesan-pesan moral etik-religius.

b. Ciri Sehat Jiwa Menurut Maslow-Mittlemenn (Notosoedirdjo, 2005): 1)

Rasa aman yang memadai

perasaan aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, social dan keluarganya 2)

Kemampuan menilai diri sendiri yang memadai

yang mencakup:1) harga diri yang memadai, ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya; 2) memiliki perasaan yang berguna; 3)

Memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai dengan orang lain

seperti hubungan persahabatan, cinta, berekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan control, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa

4)

Mempunyai kontak yang efisien dengan realitas

sedikitnya mencakup 3 aspek: fisik, social dan diri sendiri/internal. Ditandai dengan: 1) tiadanya fantasi yang belebihan; b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas: 3) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi 5)

Keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya

ditandai dengan: 1) sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani: 2) kemampuan meperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan: 3) kehidupan seksual yang wajar: 4) kemampuan bekerja: 5) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan. 6)

Mempunyai pengetahuan yang wajar

termasuk didalamnya: 1) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, perasaan rendah diri: 2) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekuarangan; 7)

Kepribadian yang utuh dan konsisten

maknanya: 1) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam berbagai aktifitas; 2) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak berbeda dengan pandangan kelompok;3) mampu berkonsentrasi: 4) tidak ada konflik besar dalam kepribadiannya 8)

Memiliki tujuan hidup yang wajar

Hal ini berarti: 1) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; 2) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; 3) tujuan bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

9)

Kemampuan untuk belajar dari pengalaman

Tidak hanya mengumpulkan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan, tetapi juga kemauan menerima hal baru yang baik 10) Kemampuan memuaskan tuntutan kelompik Individu harus: 1) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain; 2) terinformasi secara memadai, menerima cara yang berlaku dikelompoknya; 3) kemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya. 11. Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya Hal ini mencakup: 1) kemampuan menganggap sesuatu itu baik dan yang lain jelek; 2) dalam beberapa hal tergantung dari pandangan kelompok; 3) menghargai perbedaan budaya

c. Ciri Sehat menurut JAHODA: 1)

Sikap positif terhadap diri:

a) Menerima diri

b) Sadar diri c) Obyektif d) Merasa berarti 2)

Tumbuh kembang dan aktualisasi

a) Berfungsi optimal b) Adaptif 3)

Integrasi ;

a) Ekspresi dan represi b) Ego yang kuat (stres dan koping) c) Luar dan dalam (konflik dan dorongan) 4)

Otonomi

a) Tergantung dan mandiri seimbang b) Tanggungjawab terhadap diri sendiri c) Menghargai otonomi orang lain 5)

Persepsi realitas

a) Mau berubah sesuai pengetahuan baru b) Empati dan menghargai sikap dan perasaan orang lain 6)

Environmental mastery (menguasai lingkungan)

a) Sukses b) Adaptif terhadap lingkungan c) Dapat mengatasi : kesepian, agresif, frustasi

4. Upaya Kesehatan Jiwa (Dir. Bina Pelayanan Keperawatan Depkes RI)

1. Ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa 2. Terdiri atas peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial 3. Menjadi tanggungjawab bersama pemerintah dan masyarakat 4. Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang optimal dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa

5. Pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

5. Keperawatan Jiwa

Keperawatan sebagai bentuk pelayanan professional merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Hal ini ditekankan dalam Undang-Undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan yang dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. Pelayanan keperawatan yang diberikan adalah upaya mencapai derajad kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan dalam bidang promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitative dengan menggunakan proses keperawatan.

Penerapan asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa memang sedikit berbeda dengan RSU. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penderita yang dilayani yaitu pasien di RSJ merupakan orang yang sedang mengalami gangguan jiwa. Proses pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu yang lama, disamping itu asuhan keperawatan yang dilakukan sangat menetukan keberhasilan pengobatan (Keliat, 1998)

Hasil evaluasi terhadap dokumentasi di 2 RSJ yang besar, ditemukan kurang dari 40% pelaksanaan asuhan keperawatan belum memenuhi kriteria sesuai standar asuhan yang baik. Kondisi ini tentunya tidak boleh memupuskan motivasi dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa (Keliat, 1998).

Motivasi untuk merawat klien dengan masalah kesehatan jiwa adalah: 1. Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian dan perilaku manusia 2. Perilaku manusia selalu dapat diarahkan pada respon yang baru 3. Perilaku manusia selalu dipengaruhi faktor yang menimbulkan tekanan sosial, dikuatkan atau dilemahkan

6. Peran Perawat dalam Kesehatan Jiwa

1. Mekanisme utama yang mendorong sistem social (Parson, 1951, dalam The Bride to Profesional Nursing Practice, Cresia, 2001) 2. Set perilaku unik menggambarkan posisi yang merefleksikan domain personal, social ayau okupasi

3. Pola perilaku tersebut dimanifestasikan ke dalam penampilan melaksanakan tugas dan kewajiban 4. Pembentukan peran perawat dipengaruhi oleh karakteristik organisasi, individu perawat dan interaksi perawat dengan yang terlibat dalam set peran tersebut 5. Peran professional unik karena dipengaruhi oleh kode etik yang membantu memperlihatkan secara tajam perilaku professional dan sebagai kerangka dari harapan peran tersebut.

Semua peran perawat tersebut dapat dilaksanakan dalam memberikan pelayanan keperawatan jiwa, baik pada institusi sarana kesehatan RS, Puskesmas maupun praktik mandiri/swasta. Untuk melaksanakan perasn tersebut dipersiapkan perawat yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melaksanakannya (registrasi, sertifikasi dan lisensi).

C. Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Diri Sendiri

1. Solitude (nyepi) ü Perlu waktu utk diri sendiri utk memahami apa yang terjadi waktu bersama orang lain ü Bukan fisikal, sama dengan “time out” ü Menghindari dituntut dan menuntut orang lain

2. Kesehatan diri sendiri (Personal Physical Health) ü Makanan yang sehat ü Istirahat yang cukup ü Olahraga

3. Solitude (nyepi) ü Perlu waktu utk diri sendiri utk memahami apa yang terjadi waktu bersama orang lain ü Bukan fisikal, sama dengan “time out” ü Menghindari dituntut dan menuntut orang lain

4. Kesehatan diri sendiri (Personal Physical Health)

ü Makanan yang sehat ü Istirahat yang cukup ü Olahraga

5. Merawat dengan memperhatikan tanda-tanda stres internal (ettending to internal stress signals) ü Setiap orang pernah marah, karena hal yang kecil ü Penting bagi perawat untuk mengenal dan berespon pada tanda-tanda stresnya

BUKU SUMBER:

Hawari, 2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi, FKUI Jakarta Notosoedirdjo, M, 2005. Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. UMM Press, Malang Yosep, 2011. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama, Bandung

ditambah dengan: Materi Konas Keperawatan Kesehatan Jiwa IV, Bandu

Related Documents


More Documents from "pipit"