Identifikasi_senyawa_golongan_antrakinon.doc

  • Uploaded by: Dwi Trisnawati
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Identifikasi_senyawa_golongan_antrakinon.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 2,336
  • Pages: 13
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON (Ekstrak Rheum officinale L.)

DISUSUN OLEH: FITRIYANAWATI 201410410311091 KELOMPOK V FARMASI A

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2017

I.

II.

TUJUAN Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan antrakinon dalam tanaman. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Tanaman Rheum officinale L. Menurut taksonominya, Rheum officinale L. dikalsifikasikan dalam : Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Polygonales

Famili

: Polygonaceae

Genus

: Rheum

Spesies

: Rheum officinale L.

(Backer & Bakhuizen, 1965) B. Morfologi Tanaman Rheum officinale L. Kelembak termasuk tanaman perdu atau terna, yang tumbuh kadangkadang memanjat, jarang yang berupa pohon, tidak berduri, tanpa getah lateks. Daunnya tersusun spiral, kadang-kadang berhadapan atau melingkar, umumnya ada seludang daun atau upih. Bunganya hermafrodit, jarang berumah 1 atau 2, muncul di ketiak daun atau di ujung ranting; aktinomorf, ada kelopak tetapi tidak ada mahkota. Tepala 4-6, benang sari 4-9. Bakal buahnya menumpang, pipih atau berbentuk segitiga, beruang 1, isi 1 bakal biji. Buahnya kering tidak terbelah dan bijinya tidak bersayap (Sutrisno, 1998). Kelembak mempunyai akar berupa potongan padat, keras, berat, bentuknya hampir silindrik, serupa kerucut atau berbentuk kubus cekung, pipih atau tidak beraturan. Kadang berlubang dengan panjang 5 cm sampai 15 cm, lebarnya 3 cm sampai 10 cm, permukaannya yang terkupas agak tersudut-sudut, umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan terang, bagian dalamnya berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan. Pada pengamatan dengan kaca pembesar terhadap bidang melintang terlihat garis-garis tersebut pada beberapa tempat merupakan bentuk bintang. Patahan melintang tidak rata, berbutir-butir putih kelabu, merah muda sampai coklat merah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). C. Kandungan Kimia pada Tanaman Rheum officinale L.

Kelembak mempunyai kandungan antranoid, khusunya glikosida antrakinon seperti rhein (semosida A dan B), aloe-emodin, physcion. Juga mengandung asam oksalat, tanin yaitu gallotanin, katekin dan prosianidin. Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin, asam fenolat (Newall et al, 1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983). D. Efek Farmakologis pada Tanaman Rheum officinale L. Pada pengujian terhadap tikus, ditemukan bahwa kandungan rhein pada kelembak dengan dosis 100 mg/kg bb per hari, mampu mereduksi lemak pada db/db mencit. Menggunakan diet-induced obese (DIO) C57BL/6 (db/db) mencit, didapatkan hasil bahwa rhein dapat memblok kadar lemak yang tinggi pada hewan uji yang mengalami obesitas, diukur berdasarkan massa lemak dan ukuran dari adiposit putih dan coklat serta penurunan serum kolesterol, LDL kolesterol dan kadar glukosa darah puasa pada mencit. Berdasarkan penggunaan metode analisis ekspresi gen dan reporter assay ditemukan bahwa rhein menginhibisi transaktivitas peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) dan ekspresi dari target gen, menunjukkan bahwa rhein bisa berfungsi sebagai antagonis dari PPARγ (Zhang et al., 2012). E. Senyawa Golongan Antrakinon Golongan ini aglikonnya adalah sekerabat dengan antrasena yang memiliki

gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10) atau hanya C9 (antron) dan Cg ada gugus hidroksil (antranol). Adapun strukturnya adalah sebagai berikut:

(Gambar

1.

Struktur dasar antrakinon) F. Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Golongan Antrakinon Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning sampai merah sindur (orange), larut dalam air panas atau alkohol encer. Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium

bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna kuning pucat, tidak menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya, yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan berpendar (berf1uoresensi) kuat. Oksantron merupakan zantara (intermediate) antara antrakinon dan antranof. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn, yaitu dengan menambahkan hidrogen peroksida akan menujuk-kan reaksi positif. Senyawa ml terdapat dalam Frangulae cortex. Diantron adalah senyawa dimer tunggal atau campuran dan molekul antron, hasil oksidasi antron (misalnya larutan dalam aseton yang diaerasi dengan udara). Diantron merupakan aglikon penting dalam Cassia, Rheum, dan Rhamnus; dalam golongan ini misalnya senidin, aglikon senosida. Reidin A, B, dan C yang terdapat dalam sena dan kelembak merupakan heterodiantron. G. Efek Farmakologi pada Senyawa Golongan Antrakinon Glikosida antrakinon adalah stimulan katartika dengan meningkatkan tekanan otot polos pada dinding usus besar, aksinya akan terasa sekitar 6 jam kemudian atau Iebih lama. Adapun mekanisme belum jelas, namun diduga antrakinon dan antranol dan turunannya berpengaruh terhadap tranpor ion dalam sel colon dengan menghambat kanal ion C1. Untuk antron dan antranol mengeluarkan kegiatan lebih drastik (itulah sebabnya ada beberapa simplisia yang boleh digunakan setelah disimpan selama satu tahun, untuk mengubah senyawa tersebut menjadi antrakinon), bHa jumlahnya Iebih besar dan pada antrakinon akan mengakibatkan mulas dan rasa tidak enak. H. Kegunaan Golongan Senyawa Antrakinon Sebagai katartika, pewarna, dan antibakteri. I. Cara Mengidentifikasi Senyawa Golongan Antrakinon 1. Reaksi warna a) Uji Borntrager  Ekstak sebanyak 0,3 gram di ekstraksi dengan 10 ml aquadest, saring, lalu filtrat diekstraksi dengan toluene dalam corong pisah.  Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. Kemudian fase toluena

dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, disebut sebagai larutan VA dan VB.  Larutan VA sebagai blanko, larutan VB ditambahkan ammonia pekat 1 ml dan dikocok.  Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon. b) Uji modifikasi Borntrager

 Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambahkan dengan 5 ml KOH 0,5 N dan 1 ml H2O2 encer.  Dipanaskan selama 5 menit dan disaring, fltrat ditambah asam asetat glacial, kemudian diekstraksi dengan 5 ml toluena.  Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua bagian sebagai larutan VIA dan VIB.  Larutan VIA sebagai blanko, larutan VIB ditambahkan ammonia pekat 1 ml. Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanya antrakinon. 2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)  Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini



menggunakan: Fase Diam Fase Gerak Penampak noda Timbulnya noda

: Kiesel Gel 254 : toluena - etil asetat - asam asetat glacial (75 : 24 : 1) : Larutan KOH 10% dalam methanol. berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau hijau

ungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon. J. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT adalah kromatografi serapan, dimana sebagai fasa tetap (diam) berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak adalah zat cair yang disebut larutan pengembang (Gritter, 1991). Kromatografi Lapis Tipis Dalam kromatografi lapis tipis (KLT), adsorben diletakkan tepat pada satu sisi plat atau kaca atau saluran plastik ataupun aluminium. Adsorben yang paling sering digunakan adalah silika gel dan alumina. Beberapa mikroliter larutan sampel yang akan dianalisa ditotolkan pada plat sebagai titik kecil yang tunggal dengan menggunakan pipa mikrokapilaritas. Plat dikembangkan

dengan

meletakkannya

didalam

botol

ataupun

chamber

pengembang yang berisi sejumlah kecil pelarut. Pelarut akan menaiki plat dengan adanya gaya kapilar, dan membawa senyawa dari sampel dengan itu. Senyawa yang berbeda dipisahkan dari dasarnya pada saat interaksi mereka dengan lapisan adsorben. Plat KLT yang biasa digunakan adalah plat dengan ukuran pori silika 60 Å dan ketebalan lapisan 25 µm dalam penyangga poliester atau aluminium, beberapa dengan menggunakan atau tanpa menggunakan indikator fluorosensi yang sesuai untuk analisa cepat dari ekstrak kasar tanaman dan digunakan sebagai dasar dari langkah preparatif. Plat biasa dapat digunting dengan menggunakan gunting atau kertas cutter untuk mengambil ukuran yang diinginkan. Deteksi noda

yang dihasilkan dapat menggunakan lampu ultraviolet ataupun dengan menyemprot dengan menggunakan reagen yang sesuai (Cseke et al, 2006). Fasa diam dalam KLT berupa silika gel (biasanya berupa plat silika gel F254 yang mampu mengikat senyawa yang akan dipisahkan. Sedangkan fasa geraknya berupa berbagai macam pelarut atau campuran pelarut. Proses pengembangan atau elusi ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan fase diam. Jarak hasil pemisahan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan atau harga Rf. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan cara analisis cepat yang memerlukan bahan yang sedikit. Untuk penelitian kandungan flavonoid suatu ekstrak umumnya pengembang beralkohol. Larutan pengembang pertama pada KLT misalnya butanol-asam asetat-air (BAA) (Markham, 1998). Pemisahan flavonoid dengan KLT dapat menggunakan penyemprot amoniak/uap amoniak yang memberikan warna biru kehijauan, hijau kekuningan, lembayung dan kuning kecoklatan (Halimah, 2010). Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya.Penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsi dan partisi (Gandjar & Rohman, 2007). Pada uji ini digunakan fase diam lapisan tipis selulosa (Kiesel Gel 254), fase gerak kloroform : etil asetat : asam formiat (0,5 : 9 : 1) tetes, dan penampak noda yang digunakan yaitu pereaksi FeCl3. Adanya polifenol ditunjukkan dengan adanya noda berwarna hitam. K. Fase Gerak Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson, 1991). Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari fase gerak yang digunakan dalam semua mode KLT, tetapi ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak. Fase gerak harus:  Murni; tidak ada pencemar/kontaminan  Tidak bereaksi dengan pengemas  Sesuai dengan detektor

   

Melarutkan cuplikan Mempunyai viskositas rendah Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas

Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah yang paling penting. Gelembung udara (degassing) yang ada harus dihilangkan dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson, 1991). Elusi Gradien dan Isokratik Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak tetap selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubah – ubah selama elusi). Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas (Rohman, 2007).

L. Indeks Polaritas Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub bermuatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya polaritas dari suatu pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997). Menurut Stahl (1985), konstanta dielektrik (ε) merupakan salah satu ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut untuk menyaring daya tarik elektrostatik antara isi yang berbeda.

Ekstraksi berkesinambungan dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar (misalnya n-heksan atau kloroform) dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat atau dietil eter) kemudian dilanjutkan dengan pelarut polar

(metanol atau etanol). Pada proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturutturut senyawa nonpolar, semipolar, dan polar (Hostettmann et al. 1997). III.

ALAT DAN BAHAN

a. Alat  Pipet tetes  Corong pisah  Tisu dan kain lap  Sudip  Label  Penjepit kayu  Aluminium foil  Pinset  Vial 10ml  Kertas saring  KLT  Plat Kaca  Tabung reaksi

b. Bahan  Ekstrak Rheum officinale L.  KOH 0,5 N  Ammonia pekat  H2O2 encer  KOH 10% dalam metanol  Aquadest  Kiesel gel 254  Toluena  Etil asetat  Asam asetat glasial

   

IV.

Rak kayu Timbangan gram balance Corong Water bath/ penangas air

PROSEDUR KERJA a. Reaksi warna 1. Uji Borntrager 1) Ekstak sebanyak 0,3 gram di ekstraksi dengan 10 ml aquadest, saring, lalu filtrat diekstraksi dengan toluene dalam corong pisah. 2) Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. Kemudian fase toluena dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, disebut sebagai larutan VA dan VB. 3) Larutan VA sebagai blanko, larutan VB ditambahkan ammonia pekat 1 ml dan dikocok. 4) Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon. 2. Uji modifikasi Borntrager 1) Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambahkan dengan 5 ml KOH 0,5 N dan 1 ml H2O2 encer. 2) Dipanaskan selama 5 menit dan disaring, fltrat ditambah asam asetat glasial, kemudian diekstraksi dengan 5 ml toluena. 3) Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua bagian sebagai larutan VIA dan VIB. 4) Larutan VIA sebagai blanko, larutan VIB ditambahkan ammonia pekat 1 ml. Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanya antrakinon. b. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

1. Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan: Fase Diam : Kiesel Gel 254 Fase Gerak : toluena - etil asetat - asam asetat glasial (75 : 24 : 1) Penampak noda: Larutan KOH 10% dalam methanol. 2. Timbulnya noda berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau hijau ungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon

V.

PROSEUR KERJA A. Reaksi Warna a) Reaksi Warna 1. Uji Borntrager

Ekstrak 0,3 gram

Ekstraksi dilakukan 2x

VA BLANKO

di ekstraksi dengan 10ml aquadest, saring,

Fase Toluena Dikumpulkan

VB + Amonia Pekat 1 ml dan dikocok

Filtrat, di ekstraksi dengan 5 ml Toluena dalam cororng pisah

dibagi menjadi dua bagian. VA dan VB Timbulnya Senyawa merah menunjukan adanya senyawa Antrakinon

2. Uji Modifikasi Borntrager

Ekstrak 0,3 gram

+ 5ml KOH 0,5N dan 1ml H2O2 encer

Filtrat + Asam asetat glasial kemudaian diekstraksi dengan 5ml Toluena

Dipanaskan 5 menit dan disaring

Fase Toluena diambil dan dibagi menjadi 2 bagian VIA dan VIB

VIA BLANKO

VIB + Amonia pekat 1ml

timbulnya warna merah atau merah muda menunjukan adanya ANTRAKINON

b) Kromatografi Lapis Tipis 1.

Sampel

ditotolkan pada Fase Diam

2. Pemeriksaan KLT Fase Diam Kiesel Gel 254

Fase gerak : - Toluena 75 - Etil Asetat 24 - Asam asetat glasial 1 dieluasi

amati plat KLT pada sinar UV 254

Semprotkan penampak Noda Larutan KOH 10% dalam etanol amati plat KLT pada sinar UV 254 dan 365 3. jika timbul warna KUNING, KUNING COKLAT, MERAH UNGU atau HIJAU UNGU menunjukan adanya senyawa ANTRAKINON pada sampel

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta : Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta : Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Sarker, S.D, Latif, Z. and Gray, A, I. 2006. Natural Products Isolation Second Edition. Humana Press, New Jersey. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28697/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal 22 Februari 2017) http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53776/2/BAB%20II%20Tinjauan %20Pustaka.pdf (diakses pada tanggal 22 Februari 2017) https://www.google.co.id/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjt1b3vr 5vTAhUjSo8KHZbyClAQFghKMAc&url=http%3A%2F%2Fetd.ugm.ac.id %2Fdownloadfile%2F69884%2Fpotongan%2FS1-2014-280562chapter1.pdf&usg=AFQjCNGahhIujvXAsrpAHusQG3yBAbCJgQ&sig2=pAF9IE7sX5 ve66qLVaZZag&bvm=bv.152180690,d.c2I (diakses pada tanggal 11 April 2017) https://www.google.co.id/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=13&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwikqan fyJvTAhVEO48KHTxnADI4ChAWCCQwAg&url=http%3A%2F%2Felisa.ugm.ac.id %2Fuser%2Farchive%2Fdownload %2F28072%2F128673dedf9a6ba15b0c79e16658dd9b&usg=AFQjCNFhBNClJid2ucX ZdRDEAJsSs9JJXg&sig2=XdnTMcHNjwpXXKDyir7wGg&bvm=bv.152180690,d.c2I (diakses pada tanggal 11 April 2017) http://zollavs.com/2016/05/antrakuinon-dan-xanthon.html (diakses pada tanggal 11 April 2017)

More Documents from "Dwi Trisnawati"