Ibu Bersalin dengan Ketuban Pecah Dini (KPD) by erma puspita dewi • May 30, 2015 • 0 Comments
1. Teori Medis 2. Persalinan Normal 3. Pengertian
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung selama 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, 2009)
Persalinan adalah proses bayi, plasenta, dan selaput ketuban keluar dari rahim ibu, dimana persalinan dianggap normal bila usia kehamilan ≥ 37 minggu (Marmi, 2011).
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa persalinan normal merupakan proses pengeluaran hasil konsepsi dengan usia kehamilan ≥ 37 minggu, tanpa adanya komplikasi pada ibu maupun janin. 1. Tanda dan Gejala Menjelang Persalinan Ada sejumlah tanda dan gejala bahwa seorang wanita sedang mendekati waktu bersalin. Wanita tersebut akan mengalami beberapa kondisi berikut, mungkin semua atau tidak sama sekali.
Lightening
Lightening mulai dirasakan kira-kira dua minggu sebelum persalinan, yaitu terjadinya penurunan bagian presentasi bayi kedalam pelvis minor.
Perubahan Serviks
Saat mendekati persalinan, serviks semakin “matang” sehingga akan menjadi lebih lunak, mengalami penipisan (effacement), dan sedikit dilatasi. Perubahan serviks diduga terjadi akibat peningkatan intensitas kontraksi braxton hicks.
False Labor (Persalinan Palsu)
Persalinan palsu terdiri dari kontraksi uterus yang sangat nyeri, dan memberi pengaruh signifikan terhadap serviks
Ketuban Pecah
Pada kondisi normal, ketuban pecah pada akhir kala satu persalinan. Ketuban akan pecah dengan sendirinya ketika pembukaan hampir lengkap. Apabila terjadi sebelum persalinan, hal ini disebut ketuban pecah dini (KPD).
Bloody Show
Bloody show adalah pengeluaran lendir disertai darah. bloody show merupakan tanda persalinan yang akan terjadi dalam waktu 24 sampai 48 jam. (Varney, 2008)
1. Kala Persalinan Persalinan dibagi dalam 4 kala, yaitu:
Kala I (kala pembukaan)
1. Fase laten Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan serviks terjadi sangat lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. 1. Fase aktif o
Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm.
o
Fase puncak maksimum. Dalam waktu 2 jam dilatasi berlangsung sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.
o
Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.
(Chunningham,2013). Pada fase ini, lama kontraksi uterus meningkat. Kontraksi dianggap adekuat jika terjadi ≥3x dalam 10 menit dan berlangsung selama ≥40 detik. Selain itu juga terjadi penurunan bagian terbawah janin (Chapman, 2006).
Kala II
Kala II dimulai ketika pembukaan serviks lengkap (10 cm) dan berakhir dengan pelahiran janin (Cunningham,2013). Pada saat ini ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi dan
merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum dan atau vagina. Perineum ibu terlihat menonjol. Vulva-vagina dan spingter ani terlihat membuka serta makin banyaknya pengeluaran lendir darah. Pada primigravida kala II berlangsung rata-rata 1,5 jam dan pada multipara rata-rata 0,5 jam (Wiknjosastro, 2008).
Kala III (kala pelepasan uri)
Kala III dimulai setelah bayi lahir dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban secara lengkap. Pelepasan plasenta dari tempat implantasinya dapat ditandai dengan adanya semburan darah, tali pusat memanjang, uterus menjadi globuler atau kaku dan posisi uterus naik (Chunningham, 2013).
Kala IV (kala observasi)
Kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta dan dua jam setelahnya. Pada kala ini perlu dilakukan pemantauan perdarahan dan observasi secara cermat pada tekanan darah, nadi, suhu, kontraksi otot rahim, kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama dan 30 menit 1 jam kedua (Chunningham,2013). 2. Komplikasi Persalinan Komplikasi persalinan adalah kondisi dimana nyawa ibu dan atau janin yang dikandung terancam dan disebabkan oleh gangguan langsung saat persalinan. Beberapa jenis komplikasi persalinan antara lain persalinan macet, sepsis, malposisi dan ketuban pecah dini (Fadlun, 2012). 3. Ketuban Pecah Dini 4. Pengertian Ketuban pecah dini atau ketuban pecah sebelum waktunya adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/ vagina sebelum proses persalinan (Marmi, 2011) Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktu melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten). ( Nugroho, 2010) Dari kedua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa ketuban pecah dini merupakan kondisi keluarnya cairan ketuban pada fase laten atau <4 cm. 1. Etiologi Sebab – sebab ketuban pecah dini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Faktor umum
1. Infeksi STD (Sexually Transmitted Diseases)
2. Faktor sosial : perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi rendah. o
Faktor Keturunan
3. Kelainan genetik 4. Faktor rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum. o
Faktor Obstetrik, antara lain:
5. Overdistensi Uterus o
Kehamilan kembar
o
Hidramnion
6. Faktor obstetrik: o
Serviks inkompeten
o
Serviks konisasi/ menjadi pendek
o
Terdapat sefalopelvik disproporsi.
Grandemultipara
Tidak diketahui sebabnya
Dikemukakan bahwa kejadian ketuban pecah dini sekitar 5–8 %. Lima persen diantaranya segera diikuti oleh persalinan dalam 5 – 6 jam, sekitar 95% diikuti oleh persalinan dalam 72 – 95 jam dan selebihnya memerlukan tindakan konservatif atau aktif dengan menginduksi persalinan atau operatif. ( Manuaba, 2008 ) 1. Patofisiologi Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh (Saifuddin, 2009). Mekanisme ketuban pecah dini adalah terjadi pembukaan prematur serviks dan membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi dan nekrosis serta dapat diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang.
Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan
infeksi yang mengeluarkan enzim (enzim proteolitik, enzim kolagenase). Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin (Manuaba, 2008). 1. Faktor Predisposisi Beberapa faktor-faktor yang menjadi predisposisi antara lain:
Infeksi
Servik yang inkompetensia, kanalis servikalis yang terlalu terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan, curetage).
Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (over distensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amniosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.
Kelainan letak
Faktor lain:
1. Faktor golongan darah 2. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. 3. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. 4. Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C ). (Nugroho, 2010) 1. Faktor Resiko Beberapa faktor risiko dari KPD antara lain:
Seviks inkompeten
Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
Riwayat KPD sebelumnya
Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
Trauma
Serviks yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu
Infeksi pada kehamilan seperti bacterial vaginosis
(Nugroho, 2010) 1. Keluhan Subyektif
Semburan cairan yang banyak diikuti keluarnya cairan yang terus menerus.
Keluarnya sedikit cairan yang terus menerus (jernih, keruh, kuning, atau hijau).
Perasaan basah pada celana dalamnya.
(Varney, 2008)
Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak
(Nugroho, 2010).
1. Tanda Klinis / Laboratories
Tanda Klinis
1. Anamnesis Adanya cairan yang keluar dari jalan lahir secara tiba-tiba dan cairan berbau khas. 1. Inspeksi Pengamatan dengan mata biasa, akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas. 1. Pemeriksaan fisik Lakukan palpasi abdomen untuk menentukan volume cairan amnion. Apabila pecah ketuban telah pasti, terdapat kemungkinan mendeteksi berkurangnya cairan karena terdapat peningkatan molase uterus dan dinding abdomen di sekitar janin dan penurunan kemampuan balotemen dibandingkan temuan pada pemeriksaan sebelum pecah ketuban. 1. Pemeriksaan Inspekulo Akan tampak keluar cairan dari ostium uteri eksternum dan akan terkumpul pada fornik anterior 1. Pemeriksaan Dalam Didalam vagina didapati cairan dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. (Nugroho,2010)
Tabel 2.1. Diagnosis Cairan Vagina
Gejala dan tanda pasti ada
Gejala dan tanda kadang ada
Diagnosis kemungkinan
Ketuban pecah tiba-tiba a) Keluar cairan ketuban
Cairan tampak di introitus
Ketuban pecah dini
Tidak ada his dalam 1 jam Riwayat keluarnya cairan b) Cairan vagina berbau (air ketuban keruh atau berbau)
Uterus nyeri
Demam menggigil (>380C)
Denyut jantung janin cepat
Nyeri perut
Perdarahan pervaginam sedikit
c) Cairan vagina berbau Tidak ada riwayat ketuban pecah
Amnionitis
Gatal Keputihan
Vaginitis/ servisitis
Disuria Nyeri perut
d) Cairan vagina berdarah Gerak janin berkurang
Perdarahan antepartum
Perdarahan banyak e) Cairan berupa lendir dan darah
Pembukaan dan pendataran serviks
Awal persalinan aterm / preterm
Sumber: Saifuddin, 2009
Uji laboratories
1. Uji pakis positif Apus spesimen pada kaca objek mikroskop dan biarkan seluruhnya kering minimal selama 10 menit. Inspeksi kaca objek dibawah mikroskop untuk memeriksa pola daun pakis (Saifuddin, 2009). 1. Uji kertas nitrazin positif
Kertas berwarna mustard – emas yang sensitif terhadap pH ini akan berubah warna menjadi biru gelap jika kontak dengan bahan bersifat basa. Nilai pH vagina normal adalah ≤ 4,5. Selama kehamilan terjadi peningkatan jumlah sekresi vagina akibateksfoliasi epitelium dan bakteri, sebagian besar Lactobacillus, yang menyebabkan pH vagina menjadi lebih asam. Cairan amnion memiliki pH 7,0 sampai 7,5 (Marmi,2011) 1. Spesimen untuk kultur Streptokokus Grup B. Jika wanita antara minggu ke-35 dan ke-37 gestasi, hasil kultur negatif dalam 5 minggu sebelumnya didokumentasikan, set spesimen lainnya untuk kultur tidak diperlukan dan antibiotik profilaksis tidak dianjurkan (Varney, 2008).
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
1. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam cavum uteri. 2. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun, sering terjadi kesalahan pada penderita (Nugroho, 2010) Pemeriksaan laboratorium dan USG ini digunakan sebagai data penunjang dalam menentukan diagnosa dan rencana asuhan yang akan diberikan. Pemeriksaan Laboratorium ini diperlukan pada kasus ketuban pecah dini untuk menentukan apakah cairan yang keluar dari jalan lahir memang cairan ketuban sehingga tidak terdapat kesalahan diagnosis. 1. Prognosis Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen wanita pada semua usia gestasi yang mengalami ketuban pecah dini akan mengalami persalinan dalam 24 jam. Sedangkan 10 % lainnya mengalami persalinan dalam waktu 72 jam. Sementara sisanya, yaitu 5 % wanita akan mengalami periode laten yang lebih lama dari 72 jam. Angka infeksi dalam 24 jam pertama untuk kehamilan minggu ke-37 sampai ke-42 gestasi telah dilaporkan beragam dari 1,6% sampai 29% , bergantung pada ras, faktor sosial ekonomi, asuhan pranatal yang diterima dan usia gestasi. Pada usia kehamilan cukup bulan, terjadi peningkatan insiden intrapartum jika periode laten sejak pecah ketuban sampai awitan persalinan lebih dari 24 jam. Jika periode laten ini lebih dari 72 jam, terdapat peningkatan mortalitas perinatal yang signifikan. Namun, pada kehamilan yang kurang dari minggu ke-37
gestasi, angka itu bervariasi sesuai dengan usia gestasi dan resiko terkait prematuritas lebih besar dari pada risiko infeksi setelah ketuban pecah dini. (Varney, 2008)
Prognosis Ibu
1. Infeksi intra partal (dalam persalinan) 2. Infeksi puerperalis (masa nifas) 3. Partus lama 4. Meningkatkan tindakan operatif obstetrik (khususnya SC) 5. Morbiditas dan mortalitas maternal (Syaifuddin, 2010)
Prognosis Janin
1. Prematuritas 2. Infeksi 3. Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi) akibat dari kompresi tali pusat, prolaps uteri, partus lama. 1. Sindrom deformitas janin yang terjadi akibat dari oligohidramnion. 2. Morbiditas dan mortalitas perinatal. (Syaifuddin, 2010)
1. Penatalaksanaan dan Pengobatan kasus KPD
Penatalaksanaan Konservatif
1. Rawat di Rumah Sakit 2. Berikan antibiotik (Ampisilin 4 x 500 mg atau Eritromisin bila tak tahan Ampisilin) dan Metronidasol 2 x 500 mg selama 7 hari. 3. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada tanda infeksi, tes busa negatif diberikan Deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, kesejahteraan janin, dan terminasi pada usia kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32-37 ada infeksi, diberikan antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi antara lain suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin.
(Saifuddin, 2010).
Penatalaksanaan Aktif
1. Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan Misoprostol 50 μg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali (Saifuddin, 2010). 2. Bila ada tanda – tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri: Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam (Saifuddin, 2010).
Tabel 2.2. Skor Pelvis Menurut Bishop TABEL SKOR BISHOP Skor Bishop
0
1
3
Pembukaan
0
Pendataran
0-30%
40-50%
60-70%
Konsistensi
Keras
sedang
lunak
Stasion
-3
-2
-1
+1, +2
Posisi serviks
Posterior Central
Anterior
Anterior
Bila skor total
1-2
2
Kemungkinan :
3-4
5-6 80%
Berhasil
Gagal
0-4
50-60%
40-50%
5-9
90%
10%
10-13
100%
0%
Sumber : Norwitz, 2008 1. Pada keadaan CPD dan letak lintang dialakukan seksio sesaria (Nugroho, 2010)
Penatalaksanaan Bidan dalam Penanganan KPD
1. Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke rumah sakit dan melahirkan bayi yang berumur >37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk meminimalkan risiko infeksi intrauterin (Fadlun, 2012). 2. Tindakan konservatif dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan diantaranya dalam pemberian antibiotik Penisilin atau Ampisilin (Syaifuddin, 2009). 3. Batasi periksa dalam secara ketat untuk mengurangi insidens korioamnionitis, terutama pada pasien yang memilih penatalaksanaan konservatif. Melibatkan pasien dalam proses pengambilan keputusan yaitu penatalaksanaan konservatif atau penatalaksanaan aktif. 4. Induksi Persalinan 5. Pengertian
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medicinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan (Wiknjosastro, 2007).
Induksi persalinan adalah merangsang uterus untuk memulai terjadinya persalinan (Saifuddin, 2007).
1. Indikasi
Indikasi dari ibu
1. Penyakit yang diderita o
Penyakit ginjal
o
Penyakit jantung
o
Penyakit hipertensi
o
Diabetus Melitus
o
Keganasan payudara dan porsio
(Norwitz, 2008) 1. Komplikasi kehamilan o
Preeklamsia
o
Eklamsia
2. Kondisi fisik o
Penyempitan panggul
o
Kelainan bentuk panggul
o
Kelainan bentuk tulang belakang
(Manuaba, 2007)
Indikasi janin 1. Kehamilan lewat waktu 2. Plasenta previa 3. Solusio plasenta 4. Kematian intra uteri 5. Kematian berulang dalam rahim 6. Kelainan kongenital 7. Ketuban pecah dini
(Manuaba, 2007) 1. Kontra Indikasi o
Terdapat distosia persalinan
2. Panggul sempit atau sefalopelvis dispropotion 3. Kelainan posisi kepala janin 4. Terdapat kelainan letak janin dalam rahim 5. Kesempitan panggul absolut (Conjugata Diagonalis < 5,5 cm) 6. Perkiraan bahwa berat janin >4.000 gram o
Terdapat kedudukan ganda
7. Tangan bersama kepala 8. Kaki bersama kepala 9. Tali pusat menumbung terkemuka o
Terdapat anamnesis:perdarahan antepartum
o
Pada grandemultipara atau kehamilan >5 kali
o
Terdapat tanda – tanda atau gejala intra uterin fetal distress
(Manuaba, 2007)
Terdapat overdistensi rahim
1. Kehamilan ganda 2. Kehamilan dengan hidramnion (Wiknjosastro, 2007)
Terdapat bekas operasi pada otot rahim
1. Bekas sectio caesarea
2. Bekas operasi mioma uteri (Oxorn,2010) 1. Syarat induksi
Janin mendekati aterm
Tidak terdapat kesempitan panggul atau sefalopelvik disproportion
Memungkinkan untuk lahir pervaginam
Janin dalam presentasi belakang kepala
Kepala janin harus sudah masuk panggul
(Oxorn, 2010) 1. Faktor – faktor yang memengaruhi induksi persalinan
Kedudukan bagian terendah
Semakin rendah kedudukan bagian terendah janin kemungkinan keberhasilan induksi akan semakin besar karena dapat menekan Pleksus Frankenhauser.
Penempatan (Presentasi)
1. Letak kepala lebih berhasil dibandingkan kedudukan bokong 2. Kepala lebih membantu pembukaan dibandingkan dengan bokong
Kondisi servik
1. Servik yang kaku menjurus ke belakang sulit berhasil dengan induksi persalinan 2. Servik lunak lurus atau kedepan lebih berhasil dalam induksi
Paritas
Dibandingkan dengan primigravida, induksi pada multipara akan lebih berhasil karena sudah terdapat pembukaan.
Umur kehamilan
1. Ibu dengan umur yang relatif tua (diatas 30 – 35 tahun) dan umur anak terakhir yang lebih dari 5 tahun kurang berhasil. 2. Kekakuan serviks menghalangi pembukaan sehingga lebih banyak dikerjaan tindakan operasi.
3. Pada kehamilan yang semakin mendekati aterm induksi persalinan pervaginam akan semakin berhasil. Pertimbangan tersebut ditetapkan oleh Bishop dalam bentuk penilaian. (Manuaba, 2007)
1. Metode Induksi Persalinan Salah satu yang merupakan metode induksi persalinan adalah metode drip / infus oksitosin.
Pengertian
Metode infus oksitosin merupakan metode yang paling lazim dilakukan. Menurut See-Saw Theory, Prof. I. Scapo dari Universitas Washington menyatakan bahwa: 1. Prostaglandin banyak dijumpai dalam jaringan tubuh. 2. Progesteron menghalangi kerja prostaglandin sehingga tidak terdapat kontraksi otot rahim. 3. Oksitosin dianggap merangsang pengeluaran prostaglandin sehingga terjadi kontraksi otot rahim. 4. Pemberian prostaglandin secara langsung dapat meningkatkan kontraksi otot rahim
Metode drip oksitosin dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Dipasang infus Dekstros 5% atau ringer laktat dengan 5 unit oksitosin. 2. Tetesan pertama antara 8 – 12 tetes permenit dengan perhitungan setiap tetesan mengandung 0,0005 unit sehingga dengan pemberian 12 tetes/menit sebanyak oksitosin sebanyak 0,006 unit/menit. 3. Setiap 15 menit dilakukan penilaian, jika tidak terdapat his yang adekuat, jumlah tetesan ditambah 4 tetes, sampai maksimal mencapai 40 tetes permenit atau 0,02 unit oksitosin/menit. 4. Tetesan maksimal dipertahankan dalam 2 kali pemberian 500 cc Dekstros 5%. 5. Jika sebelum tetesan ke-40, sudah timbul kontraksi otot rahim yang adekuat, tetesan terakhir dipertahankan, sampai persalinan berlangsung.
6. Dalam literatur dikemukakan juga, bahwa pemberian oksitosin maksimal setiap menit adalah sekitar 30-40m IU atau tetesan sebanyak 40 tetes permenit dengan oksitosin sebanyak 10 IU.
Komplikasi pada induksi persalinan dengan oksitosin : 1. Pecahnya vasa previa dengan tanda perdarahan dan diikuti fetal distress, darah merah segar. 2. Prolapsus bagian kecil janin terutama tali pusat. 3. Gejala terjadinya ruptur uteri immenens atau ruptur uteri. 4. Terjadinya fetal distress karena gangguan sirkulasi retro-plasenta pada tetani uteri atau solusio plasenta.
(Manuaba, 2007)