Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
1
PENGENDALIAN MONETER DALAM SISTEM NILAI TUKAR YANG FLEKSIBEL (Konsiderasi kemungkinan penerapan inflation targeting di Indonesia)
Wijoyo Santoso dan Iskandar *) Beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate) ke sistem nilai tukar mengambang penuh (floating exchange rate) memberikan dampak terhadap kebijakan moneter di Indonesia. Nilai tukar yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu nominal anchor dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter tidak berlangsung lama digunakan lagi. Sementara dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia, nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap arus lalu lintas modal internasional yang bergerak sedemikian dinamis. Pasar keuangan yang berkembang pesat sebagai imbas keterbukaan tersebut telah mendorong ketidak stabilan permintaan akan uang sehingga telah mengurangi efektivitas kebijakan moneter dengan pendekatan kuantitas. Ketidakstabilan permintaan uang tersebut antara lain disebabkan pesatnya perkembangan produk-produk keuangan dan terjadinya decoupling antara sektor keuangan dan sektor riil dimana uang bukan hanya sebagai alat transaksi tetapi juga sebagai barang yang diperdagangkan. Pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan Granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targeting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targeting dapat dilakukan dengan menggunakan sukubunga PUAB overnight sebagai kandidat utama sasaran operasional dan MCI sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan MCI sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu, masih kuatnya hubungan langsung antara monetary aggregates dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari quantity targeting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh. Monetary aggregates masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi. *) Wijoyo Santoso : Kepala Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM – BI Iskandar : Peneliti Ekonomi Yunior Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan DKM-BI. Email :
[email protected] Penulis mengucapkan terimakasih kepada M. Firdaus Muttaqin, asisten peneliti ekonomi di bagian APK Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia atas bantuan riset khususnya time series analysis
2
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
I. Pendahuluan
B
eralihnya sistem nilai tukar Rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem yang mengambang penuh memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter di Indonesia. Secara teori, dalam sistem nilai tukar mengambang penuh kebijakan moneter akan semakin efektif khususnya apabila diikuti oleh mobilitas kapital secara internasional semakin sempurna. Setiap terjadi tekanan nilai tukar Rupiah sebagai efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui pengaruh suku bunga terhadap aliran modal dan pengaruh perubahan nilai tukar Rupiah terhadap penawaran ekspor dan permintaan impor. Melalui mekanisme demikian, neraca transaksi berjalan berfungsi sebagai alat mekanisme penyesuaian yang penting sehingga overall Balance of Payment (BOP) selalu dalam ekuilibrium. Dengan demikian, kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel secara teori memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik terhadap aliran modal internasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai tukar Rupiah dengan suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu, nilai tukar Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan tekanan pada harga-harga domestik. Oleh karena suku bunga tampak memegang peranan vital dalam pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, maka pendekatan pengendalian moneter diusulkan untuk menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional dengan inflasi sebagai sasaran tunggal. Suku bunga sebagai sasaran operasional akan diuji transmisinya secara detail mulai dari suku bunga overnight, suku bunga deposito, suku bunga SBI lelang, dan suku bunga kredit. Selain menfokuskan pada variabel suku bunga, juga akan diteliti besarnya excess reserve bank yang optimal dan compatibel dengan sasaran suku bunga. Untuk mencapai sasaran inflasi dengan baik, maka perlu dicari sasaran antara yang dekat hubungannya dengan inflasi. Sasaran antara ini dapat berupa suku bunga jangka panjang seperti suku bunga deposito 3 bulan atau lebih dan nilai tukar Rupiah, baik secara nominal maupun riil, atau kombinasi antara keduanya yang disebut Monetary Condition Index (MCI). Perlu tidaknya digunakan sasaran antara tergantung pada keeratan hubungan antara suku bunga jangka pendek dengan inflasi. Apabila suku bunga jangka pendek dapat langsung mempengaruhi laju inflasi dengan meyakinkan, tidak diperlukan sasaran antara seperti di beberapa negara yang menerapkan inflation targeting yakni Australia, Inggris dan Spanyol. Bank of Japan yang tidak menerapkan inflation targeting juga tidak memiliki sasaran antara. Sedangkan yang memakai MCI sebagai sasaran antara adalah New Zealand, Swedia dan Kanada.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
3
Transmisi perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat melalui dua saluran. Pertama, melemahnya nilai tukar Rupiah akan menaikkan biaya produksi yang memakai barang impor sehingga menaikkan harga. Tekanan harga ini akan diperburuk jika para buruh melakukan desakan kenaikan upah nominal dalam rangka mempertahankan upah riilnya. Kedua, harga non-tradable goods yang relatif lebih murah dibandingkan harga tradable goods akan mendorong permintaan non-tradable goods sehingga meningkatkan harga domestik. Kenaikan harga ini akan dipacu lagi jika suku bunga relatif rendah. Sasaran akhir dari pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel adalah inflasi. Jenis inflasi yang digunakan untuk mengukur efektivitas kebijakan moneter biasanya underlying inflation seperti yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan inflation targeting. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999, yang antara lain mengemukakan bahwa sasaran laju inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia adalah inflasi yang dapat dipengaruhi kebijakan moneter atau secara implisit dapat diartikan sebagai underlying inflation. Pembahasan pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel diatur sebagai berikut. Bab II akan menyajikan landasan teori mengenai kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel dengan berbagai asumsi yang harus dipenuhinya. Dalam bab III akan dibahas mengenai konsep kebijakan moneter dengan inflation targeting dengan mengambil contoh dari beberapa negara yang sudah menerapkan inflation targeting. Bab IV akan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian moneter, baik pada masa sebelum krisis dan pada saat krisis. Sedangkan bab V akan menjelaskan hasil studi empiris mengenai mekanisme pengendalian moneter dalang kerangka inflation targeting Bab VI adalah kesimpulan dan saran untuk perbaikan makalah ini.
II. Landasan Teori 2.1. Kebijakan Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Tetap Dalam sistem nilai tukar tetap kebijakan moneter kurang efektif karena neraca transaksi berjalan tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme penyesuaian karena ekspor dianggap sebagai variabel eksogen sehingga tidak dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar, sedangkan impor sebagai fungsi dari pendapatan. Peranan neraca transaksi berjalan digantikan oleh cadangan devisa yang berfungsi sebagai mekanisme penyesuaian untuk mencapai ekuilibrium overall BOP. Sampai seberapa jauh cadangan devisa dapat melaksanakan fungsinya tergantung pada besar kecilnya cadangan devisa. Menurunnya cadangan devisa inilah yang menyebabkan adanya counter productive bagi kebijakan moneter sehingga turunnya suku bunga akibat ekspansi kebijakan moneter pada akhirnya tidak dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat.
4
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Selain itu, elastisitas suku bunga dalam negeri yang cukup tinggi terhadap aliran modal internasional yang seharusnya dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter, juga tidak dapat efektif karena berkurangnya cadangan devisa. Dalam sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneter tidak efektif baik dalam situasi perfect capital mobility maupun dalam perfect capital immobility. Sebagai ilustrasi, dalam sistem nilai tukar tetap, dampak dari ekspansi moneter dapat dilihat dari dua situasi sebagai berikut.
a. Situasi Perfect Capital Immobility Dalam situasi demikian, kebijakan moneter tidak efektif karena tidak dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Kebijakan moneter yang ekspansif akan menurunkan suku bunga, mendorong investasi dan menaikkan pendapatan riil masyarakat. Namun karena suku bunga tidak elastis sempurna terhadap aliran modal, maka penurunan suku bunga tersebut tidak mengakibatkan aliran modal keluar. Namun meningkatnya pendapatan tersebut dapat mendorong masyarakat untuk membeli barang-barang import sehingga overall BOP mengalami defisit. Sampai seberapa jauh kenaikan pendapatan tersebut akan menyebabkan overall BOP defisit tergantung pada marginal propensity to import (MPI). Semakin besar rasio MPI, semakin besar pula defisit BOP yang akan terjadi. Oleh karena sistem nilai tukar harus dipertahankan, maka defisit overall BOP tersebut harus dibiayai dengan cadangan devisa. Akibatnya, cadangan devisa menurun dan jumlah uang beredar juga menurun yang pada gilirannya mengakibatkan kontraksi pada kegiatan ekonomi. Menurunnya jumlah uang beredar akan mengembalikan suku bunga pada posisi semula sehingga kebijakan moneter tidak efektif. Dalam situasi demikian, kebijakan moneter G rafik 2.1 Kebijakan M oneter dalam Situasi Perfect Capital Imm obility r
BP
LM LM 1
ro
Eo
r1
E1
IS Y Yo
Y1
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
5
kemungkinan masih efektif apabila elastisitas suku bunga terhadap investasi lebih besar dari pada rasio marginal prospensity to impor (MPI).
b. Situasi Perfect Capital Mobility Dalam situasi demikian, kebijakan moneter yang ekspansif akan menurunkan suku bunga dan mendorong investasi sehingga pendapatan riil masyarakat meningkat. Meningkatnya pendapatan akan mendorong impor sehingga menghasilkan deficit overall BOP. Selain itu, dengan asumsi perfect capital mobility, menurunnya suku bunga akan mendorong aliran modal ke luar sehingga menambah defisit overall BOP. Keseimbangan di titik E0 bukanlah merupakan keseimbangan jangka panjang karena pada titik ini overall BOP mengalami defisit. Keseimbangan jangka panjang memerlukan zero balance of overall BOP. Oleh karena nilai tukar harus dipertahankan konstan, maka defisit overall BOP tersebut harus dibiayai dengan cadangan devisa sehingga jumlah uang beredar menurun. Menurunnya jumlah uang beredar akan mendorong suku bunga kembali bergerak pada posisi semula yang lebih tinggi dan mengakibatkan kontraksi kegiatan ekonomi. Ekuilibirum jangka panjang akan terjadi pada titik E1 yang mencerminkan bahwa kebijakan moneter tidak efektif dalam meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Keseimbangan internal dan eksternal kembali pada posisi semula sebelum terjadinya ekspansi kebijakan moneter. Dalam situasi demikian, kebijakan moneter kemungkinan masih efektif apabila elastisitas suku bunga terhadap investasi lebih besar dari pada elastisitas suku bunga terhadap aliran modal internasional.
Grafik 2.2 Kebijakan Moneter dalam Situasi Perfect Capital Mobility r M
I
Eo
ro
LM 1
BP
r1
E1
L
S Y Yo
Y1
6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Kebijakan fiskal dalam sistem nilai tukar tetap dan dalam perfect capital mobility justru efektif karena eskpansifnya pengeluaran Pemerintah akan meningkatkan suku bunga dan investasi sehingga pendapatan riil masyarakat bertambah. Naiknya suku bunga akan mendorong aliran modal masuk dan overall BOP menjadi surplus sehingga cadangan devisa meningkat dan jumlah uang beredar bertambah. Kebijakan fiskal semakin kurang efektif jika elastisitas aliran modal internasional semakin kecil terhadap suku bunga dalam negeri. Dalam keadaan perfect capital immobility, kebijakan fiskal tidak efektif sama sekali karena suku bunga tidak memiliki hubungan dengan aliran modal internasional. Dalam jangka panjang, ekspansi operasi Pemerintah tidak dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat karena overall BOP yang defisit harus diimbangi dengan kontraksi moneter akibat menurunnya cadangan devisa.
2.2. Kebijakan Moneter dalam Nilai Tukar Fleksibel Model Fleming-Mundell dapat dipakai untuk memberikan landasan teori pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel. Teori pengendalian moneter dapat menggunakan pendekatan price targeting maupun quantity targeting. Sasaran akhir dari kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel biasanya merupakan sasaran tunggal yakni inflasi. Hal ini sejalan dengan prinsip satu instrumen satu target. Cara pencapaian sasaran inflasi tersebut dapat melalui pendekatan inflation targeting maupun bukan. Dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, overall BOP selalu ada dalam posisi ekuilibrium artinya neraca transaksi berjalan (CA) akan selalu sama besarnya dengan neraca transaksi modal (KA). Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme sederhana sebagai berikut. a. Apabila overall BOP mengalami surplus, nilai tukar Rupiah akan mengalami apresiasi sehingga mendorong impor dan mengurangi daya saing sehingga ekspor turun. Akibatnya neraca transaki berjalan akan memburuk sampai overall BOP mencapai ekuilibirum. b. Sebaliknya defisit overall BOP akan mendorong nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sehingga impor turun dan daya saing meningkat sehingga nilai ekspor meningkat. Alhasil, neraca transaksi berjalan akan membaik sehingga overall BOP akan ekuilibirum. Dalam model ini, neraca transaksi berjalan memegang peranan penting sebagai mekanisme penyesuaian sehingga cadangan devisa diasumsi konstan. Posisi neraca ini, baik surplus maupun defisit, dianggap akan bertahan dalam jangka panjang. Selain itu, model Flemming-Mundell juga menganggap bahwa gerakan kapital hanya merupakan fungsi dari perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri. Perbedaan suku bunga ini dapat dihitung baik melalui pendekatan uncovered interest parity maupun covered interest parity yang sudah memperhitungkan ekspektasi depresiasi dan premi risiko.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
7
Mekanisme pengaruh suku bunga dalam menjaga keseimbangan overall BOP dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Apresiasi nilai tukar Rupiah akan menyebabkan neraca transaksi berjalan memburuk sehingga diperlukan kenaikan suku bunga dalam negeri dalam rangka menarik aliran modal masuk ke dalam negeri. Akibatnya neraca transaksi modal meningkat dan overall BOP mencapai ekuilibrium. b. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan memperbaiki posisi neraca transaksi berjalan sehingga diperlukan suku bunga yang lebih rendah untuk menghambat aliran modal masuk. Akibatnya, neraca transaksi modal menurun dan overall BOP mencapai keseimbangan. Implikasi bagi kebijakan moneter dari model ini adalah bahwa semakin sempurna mobilitas kapital, kebijakan moneter akan semakin efektif. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut. a. Kebijakan moneter yang kontraktif akan mendorong suku bunga dalam negeri meningkat dan nilai tukar akan cenderung apresiatif. Nilai tukar yang apresiatif akan mendorong impor dan menurunkan ekspor sehingga neraca tranksaksi berjalan akan memburuk. Suku bunga yang tinggi akan mendorong aliran modal masuk sehingga neraca transaksi modal akan membaik. Overall BOP akan mencapai keseimbangan baru dengan tingkat output yang lebih tinggi dan nilai tukar yang menguat. b. Transmisi ke tingkat harga domestik dapat dijelaskan melalui dua saluran sebagai berikut. • Apresiasi nilai tukar Rupiah pada saat yang sama akan menurunkan biaya produksi perusahaan sehingga akan menggeser kurva penawaran agregate ke kanan bawah sehingga harga dalam negeri menurun. • Kenaikan suku bunga akan mengurangi permintaan uang dari masyarakat sehingga kurve permintaan agregat bergeser ke kiri atas dan menyebabkan harga-harga dalam negeri semakin menurun. c. Kebijakan moneter yang ekspansif akan mendorong menurunnya suku bunga dan nilai tukar akan cenderung depresiatif. Nilai tukar yang depresiatif akan menurunkan impor dan menaikkan ekspor sehingga neraca tranksaksi berjalan akan membaik. Suku bunga yang rendah akan menghambat aliran modal masuk sehingga neraca transaksi modal akan memburuk. Overall BOP akan mencapai keseimbangan baru dengan tingkat output yang lebih tinggi dan nilai tukar yang melemah. d. Transmisi ke tingkat harga domestik dapat dijelaskan melalui tiga saluran sebagai berikut. • Depresiai nilai tukar Rupiah pada saat yang sama akan manikkan biaya produksi perusahaan sehingga akan menggeser kurva penawaran agregate ke kiri atas sehingga harga dalam negeri meningkat
8
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
• Penurunan suku bunga akan menambah permintaan uang masyarakat sehingga kurve permintaan agregat bergeser ke kanan bawah dan menyebabkan harga-harga dalam negeri semakin meningkat. • Kenaikan harga-harga dalam negeri akan memacu para buruh untuk menaikkan upah nominalnya sehingga akan menambah biaya produksi dan semakin meningkatkan harga-harga. e. Secara grafis manajemen moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel dapat diterangkan sebagai berikut.
Ekspansi moneter dalam kondisi perfect capital mobility. i. Ekspansi moneter akan menurunkan suku bunga dan memberi tekanan depresiasi terhadap nilai tukar Rupiah. Kurva LM akan bergeser dari LM1 ke LM4. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan mendorong penerimaan ekspor dan mengurangi impor sehingga neraca transaksi berjalan akan membaik dan dengan asumsi neraca transaksi modal konstan, overall BOP akan mengalami surplus. Namun suku bunga yang lebih rendah akan menghambat aliran modal masuk dan mendorong aliran modal keluar sehingga neraca transaksi modal akan memburuk dan overall BOP akan kembali ke ekuilibrium. Keadaan ini menggeser kurve IS dari IS1 ke IS4. Dengan asumsi mobilitas kapital yang sempurna, nilai tukar akan kembali pada nilai tukar semula, pendapatan riil akan meningkat dari Y1 ke Y2. ii. Meningkatnya ekspansi moneter akan meningkatkan permintaan domestik dan harga domestik meningkat. Kurva permintaan agregate bergeser dari DD1 ke DD2 dan harga naik dari P1 ke P2. Menimgkatnya harga akan menurunkan stok uang riil sehingga kurva LM bergeser dari LM2 ke LM3. Kenaikan harga tersebut juga menurunkan nilai tukar riil dan daya saing memburuk sehingga ekspor akan menurun. Hal ini menggeser kurva IS dari IS2 ke IS3. Akibatnya pendapatan riil masyarakat menurun dari Y2 ke Y3. iii. Depresiasi yang terjadi akibat ekspansi moneter juga akan memberikan dorongan kenaikan harga lebih lanjut akibat naiknya biaya produksi akibat barang-barang impor. Harga semakin meningkat lagi dari P2 ke P3 sehingga kurva penawaran agregate bergeser dari SS1 ke SS2. Efek lanjutan kenaikan harga ini akan menurunkan lebih lanjut stok uang beredar dan mengurangi daya saing ekspor sehingga kurva LM bergeser dari LM43 ke LM4 dan kurva IS bergeser dari IS3 ke IS4. Alhasil, pendapatan riil masyarakat kembali menurun dari Y3 ke Y4. iv. Efek lanjutan dari kenaikan harga ini tergantung pada tingkat keterbukaan suatu perekonomian dan peranan serikat pekerja dalam memperjuangkan upah riil para anggotanya.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
9
Grafik 2.3. Kebijakan Moneter dalam Nilai Tukar Flek
r
LM 1 LM4 LM3 LM2
r*
BP
IS2 IS1 IS4 IS3
y1 y4 y3
y
y2 SS2
P
SS1 P1 P2 P1 DD2 DD1 y1 y4 y3
y
y2
f.. Semakin sempurna mobilitas kapital, kebijakan fiskal semakin tidak efektif karena kebijakan moneter yang ekspansif akan mendorong suku bunga naik dalam rangka sterilisasi untuk menjaga agar jumlah uang beredar konstan. Naiknya suku bunga akan mendorong aliran modal masuk sehingga nilai tukar Rupiah akan mengalami apresiasi sedemikian rupa sehingga daya saing memburuk dan ekspor menurun sedemikian rupa sehingga seluruhnya meng-offset kebijakan fiskal yang ekspansif. g. Namun demikian, model ini tidak memasukkan unsur ekspektasi. Ekspektasi yang bersifat regresif (apresiasi à depresiasi à apresiasi dan seterusnya) akan memberikan efek yang berbeda dari kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal yang diambil. Selain itu, model ini menggarisbawahi beberapi asumsi sebagai berikut. • Perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri merupakan faktor penting dalam mempengaruhi aliran modal masuk dan keluar. • Suku bunga dan nilai tukar memiliki hubungan yang negatif dan erat.
10
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
• Marshall-Lerner kondisi dipenuhi yakni elastisitas harga dari penawaran ekspor dan permintaan impor harus lebih dari satu.
III. Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting. 3.1. Pengertian dan Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah bank-bank sentral di dunia menggunakan inflation targeting dalam kerangka kebijakan moneter sebagai rasa ketidakpuasan terhadap penggunaan besaran-besaran moneter ataupun exchange rate targeting. Inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang bersifat forward looking dengan memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga atau inflasi yang rendah sebagai sasaran tunggal akhir (Debelle dan Lim, 1998). Umumnya strategi pencapaian tersebut dilakukan melalui transmisi besaran-besaran harga (price targeting), seperti suku bunga dan nilai tukar. Salah satu alasan pertimbangan penggunaan strategi kebijakan moneter ini adalah karena melemahnya hubungan antara besaran-besaran moneter (monetary aggregates), sehingga mempersulit dalam pencapaiaan sasaran akhir. Globalisasi perekonomian dunia, inovasi produk-produk keuangan, sekuritisasi aset serta decoupling antara sektor keuangan dan sektor riil merupakan faktor yang melatar belakangi melemahnya hubungan besaran moneter tersebut. Pertimbangan lainnya adalah karena terdapatnya kesulitan dalam mencapai sasaran akhir ganda (multiple targets) dalam waktu bersamaan karena terdapatnya tradeoff antara masing-masing sasaran ganda tersebut. Pengalaman Indonesia dan beberapa negara yang menggunakan sasaran ganda menunjukkan bahwa banyak kendala ditemukan untuk mencapai semua sasaran akhir tersebut secara optimal pada saat bersamaan, sehubungan dengan adanya sifat kontradiktif diantara sasaran akhir tersebut. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka tindakan tersebut akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap laju inflasi dan keseimbangan neraca pembayaran. Sebaliknya, apabila otoritas moneter ingin mengetatkan kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan laju inflasi maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pengangguran. Tradeoff tersebut merupakan phenomena umum sebagaimana dikemukakan dalam teori Phillips Curve. Pertimbangan lain adalah dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka dapat mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi inflasi. Laju inflasi yang tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
11
makro lainnya, seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Oleh karena itu banyak negara telah menggunakan sasaran akhir tunggal dalam kebijakan moneternya, seperti Selandia Baru, Kanada, Australia, Swedia, Spanyol dan Inggris. Stanley Fischer (1994), Deputy Managing Director IMF, menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi sasaran utama kebijakan moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengkuti pertumbuhan naturalnya (Guitan, 1994). Sementara Bernanke dan Mishkin (1997) dan Masson (1998) mengemukakan beberapa motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara pada akhir-akhir ini menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal, dapat disarikan sebagai berikut: a. Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal anchor dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank sentral akan melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan konsisten. b. Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan bahwa inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dalam jangka panjang. c. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga peningkatan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga, bukan output dan kesempatan kerja. d. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi sumber daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau keduanya. e. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit diprediksikan dan bervariasi pengaruhnya. Pengalaman beberapa negara, seperti Selandia Baru, Canada, Spanyol, Swedia dan Inggris menunjukkan bahwa setelah negara-negara tersebut menetapkan inflasi sebagai sasaran tunggal, laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah. Namun dalam jangka pendek terdapat tradeoff antara penurunan inflasi dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat yang sustainable.
12
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Grafik 4 Perkembangan Inflasi di Negara Inflation Targeting Tahun 1988 s/d 1997 11.0 10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
Inggris (Okt-92) Swedia (Jan-93) Australia (Apr-93) New Zealand (Mar-90) Kanada (Feb-91) 1988 89 90 91 92 93 94 95 Angka dlm kurung = Inflation targeting mulai diterapkan
96
97
Grafik 5. Pertumbuhan GDP di Negara Inflation Targeting Tahun 1988 s/d 1997 10.0 9.0
Inggris (Okt-92)
8.0 7.0 6.0
Swedia (Jan-93)
5.0
Australia (Apr-93)
4.0 3.0
Kanada (Feb-91)
2.0 1.0 0.0
New Zealand (Mar-90) 1988 89 90 91 92 93 94 95 Angka dlm kurung = Inflation targeting mulai diterapkan
i.
96
97
Kerangka Kerja Inflation Targeting
Secara garis besar karakteristik kerangka kerja kebijakan moneter dari negara-negara yang menganut inflation targeting meliputi 3 kegiatan utama, yaitu penetapan target inflasi, melakukan proyeksi inflasi dan menetapkan kebijakan operasional dalam pencapaian sasaran inflasi. • Penetapan target inflasi Sehubungan dengan inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang bersifat forward looking maka dalam penetapan target inflasi terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan, meliputi inflasi yang digunakan, besarnya inflasi, jangka waktu
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
13
pencapaian inflasi dan fleksibilitas dari pencapaian target dalam hal terjadi shock dalam ekonomi (Debelle, 1997 dan Debelle dan Lim, 1998). Pertama, Penentuan inflasi yang digunakan harus menjadi komitmen nasional karena ketidak berhasilan bank sentral dalam mencapai sasaran yang ditetapkan akan mengurangi kredibilitas masyarakat terhadap bank sentral. Beberapa negara yang menganut rezim inflation targeting, seperti Selandia Baru, Australia dan Kanada menggunakan core inflation atau underlying inflation sebagai target. Penggunaan core inflation dikarenakan inflasi yang dalam pengendalian bank sentral hanya yang berasal dari sisi demand, sementara yang berasal dari sisi supply merupakan diluar kendali bank sentral. Dalam negara yang masyarakatnya belum begitu maju, terdapat persepsi bahwa inflasi merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari otoritas moneter dengan tanpa membedakan penyebab dari tekanan inflasi. Negara Israel dan Swedia menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sebagai target sebagai rasa tanggung jawab otoritas moneter terhadap masyarakat. Kedua, Besarnya inflasi yang ditargetkan hendaknya disesuaikan dengan potensi aktivitas ekonomi di masa yang akan datang, sehingga inflasi yang ditargetkan tidak terlalu kecil atau terlalu besar. Penetapan inflasi yang terlalu rendah akan sangat mahal bagi perekonomian karena selain berat bagi otoritas moneter juga menjadi beban bagi sektor riil. Penetapan target dapat dilakukan dengan menetapkan suatu target tertentu maupun dengan menetapkan band. Penetapan band dapat mempengaruhi kredibilitas otoritas moneter, namun hal ini dapat digunakan untuk menampung terjadinya inflasi dari supply shock. Swedia,misalnya, menggunakan band dalam menetapkan target inflasi. Ketiga, Jangka waktu pencapaian inflasi yang ditargetkan berbeda untuk masingmasing negara tergantung dari inflasi awal yang terjadi. Bagi negara yang mempunyai inflasi awal jauh berbeda dengan inflasi yang ditargetkan maka jangka waktu pencapaian inflasi memerlukan waktu yang lama. Bahkan Debelle (1997) menganjurkan jangka waktu sekitar 2 tahun untuk pencapaian target bagi negaranegara yang mempunyai inflasi awal yang sudah tinggi. Penetapan jangka waktu pencapaian inflasi yang cukup panjang tersebut karena terkait dengan struktur ekonomi. Finlandia dan Swedia misalnya sejak menerapkan rezim inflation targeting pada tahun 1993, memerlukan waktu tidak kurang 2 tahun dalam mencapai target inflasi. Keempat, Penerapan inflation targeting hendaknya juga tidak ditetapkan secara kaku. Menurut Mc Donough (1996) ada 3 alasan mengapa fleksibilitas diperlukan dalam menerapkan inflation targeting. Pertama, stabilitas harga adalah sasaran jangka pendek
14
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
dalam penciptaan ekonomi yang lebih stabil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir. Dengan demikian kebijakan moneter disesuaikan dengan siklus kegiatan ekonomi yang terjadi, sehingga inflation targeting tidak dijadikan sebagai rule. Kedua, inflation targeting merupakan strategi moneter ke depan (medium-term-forward-looking) sehingga ketidakpastiannya cukup besar khususnya dari sisi penawaran (supply shock). Oleh karena itu kebijakan moneter yang dilakukan juga harus mampu mengadopsi perubahan yang terjadi. Ketiga, penyimpangan inflasi dari target yang ditetapkan dapat menurunkan kredibilitas bank sentral. Sebaliknya apabila terlalu longgar juga dapat mengurangi keyakinan masyarakat terhadap bank sentral dalam memerangi inflasi. Dengan demikian revisi inflasi dalam jangka pendek dapat dimungkinkan sepanjang terdapat alasan yang jelas untuk melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan terakhir. • Proyeksi Inflasi Tidak seperti target besaran moneter atau nilai tukar yang melihat perkembangan terkini dari target-target tersebut maka inflation target lebih bersifat strategi ke depan. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapatnya kecenderungan mengenai lamanya lag dari perubahan piranti moneter ke inflasi. Sebagai konsekuensinya maka sebelum melaksanakan kebijakan ini, otoritas moneter harus mempunyai model yang mampu dengan akurat memprediksikan inflasi dalam suatu jangka waktu tertentu. Ketidakakuratan dalam memprediksi inflasi ke depan tidak hanya menyangkut kredibilitas otoritas moneter tetapi juga akan dapat menjadi beban yang mahal bagi sektor riil apabila kebijakan moneter yang dilakukan terlalu ketat. Oleh karena itu diperlukan kejelian otoritas moneter untuk memprediksikan inflasi sebelum mengumumkannya kepada masyarakat. • Penetapan Target Operasional Umumnya negara-negara yang menganut rezim inflation targeting menggunakan suku bunga jangka pendek sebagai sasaran operasional. Sementara yang secara eksplisit menggunakan Monetary Condition Index (MCI) sebagai sasaran antara terdapat tiga negara meliputi Selandia Baru, Kanada dan Swedia, sedangkan negara lainnya tidak mempunyai sasaran antara. Rezim ini menggunakan besaran-besaran moneter hanya sebagai indikator, sementara untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi digunakan indikator output gap. Dalam hal suatu negara menggunakan MCI sebagai intermediate target maka perubahan MCI juga merupakan indikator yang digunakan oleh otoritas moneter dalam merubah kebijakan moneternya. Tujuan utama penggunaan Monetary Condition Index (MCI) adalah untuk mengetahui stance kebijakan moneter. Secara empiris, MCI adalah rata-rata tertimbang (weighted
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
15
average) dari perubahan suku bunga dan nilai tukar relatif terhadap periode yang ditentukan (base periode). Bobot dari suku bunga dan nilai tukar mencerminkan perkiraan dampak relatif kedua variabel tersebut terhadap aggregat demand pada suatu periode yang seringkali ditentukan dalam waktu dua tahun. Selain digunakan sebagai indikator kondisi moneter, MCI digunakan pula sebagai target operasional jangka pendek. Dasar pemikiran MCI adalah sebagai berikut : Nilai tukar mempengaruhi permintaan agregat, khususnya pada perekonomian terbuka dengan skala yang kecil. Dengan memfokuskan pada nilai tukar dan suku bunga diharapkan perilaku perekonomian dapat diprediksikan, sehingga kebijakan ekonomi yang tepat dapat dilakukan. Pelopor pertama penggunaan MCI adalah Kanada kemudian diikuti oleh Selandia Baru dan Swedia, sementara negara Italia, Jerman, Perancis dan Inggris telah mempublikasikan MCI. Bank of Canada (BoC) telah menggunakan MCI sejak beberapa tahun lalu sebagai target operasional dalam mengarahkan kebijakan moneter. MCI BoC dihitung berdasarkan jumlah tertimbang perubahan suku bunga nominal surat berharga (commercial paper) berjangka waktu 90 hari (R) dan indeks nilai tukar nominal trade-weighted G-10 bilateral (E). Kedua variabel tersebut dihitung berdasarkan nilai relatif dari waktu dasarnya (base period). Bobot suku bunga dan nilai tukar mencerminkan estimasi dampak relatif terhadap total output Kanada. BoC menggunakan bobot suku bunga terhadap nilai tukar 3 : 1. Artinya, 1 point persentase kenaikan suku bunga akan menyebabkan tiga kali perubahan pada MCI, yang setara dengan 3% apresiasi Canadian Dollar. Untuk mendapatkan rasio 3 : 1 tersebut digunakan persamaan partial dari model permintaan agregat (aggregate demand) dengan menggunakan data kuartalan (Ericsson, 1991), sebagai berikut : Y = F(Y*,Yt-1, RR, Q) dimana : Seluruh variabel dalam bentuk first difference logaritma Y : PDB Kanada Y* : PDB Amerika Serikat Yt-1 : PDB Kanada tahun sebelumnya RR : suku bunga riil yaitu suku bunga nominal surat berharga 90-hari dikurangi dengan perubahan tahunan (annual rate) PDB Deflator Kanada (P) lag 1 kuartal. Q : nilai tukar riil (REER) yaitu hasil perkalian antara nilai tukar nominal AS Canadian $ bilateral dengan rasio antara PDB deflator Kanada dan PDB deflator AS. Sehingga Q = E . (P/P*), dan kenaikan pada Q berarti apresiasi Canadian $. Selanjutnya koefisien suku bunga riil dari persamaan di atas dibagi dengan koefisien nilai tukar riil, sehingga didapat rasio 3 : 1 di atas. Dengan rasio tersebut kemudian
16
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
dihitung MCI dengan menggunakan rumus sebagai berikut : dimana :
MCI t = θR (R t − R 0 ) + θe (e t − e 0 ) t
: indeks waktu, dengan t=0 sebagai waktu dasar
θR
: bobot suku bunga
θe
: bobot nilai tukar
variabel dengan huruf kecil dinyatakan dalam bentuk logaritma. • Kerangka Kebijakan Moneter Secara umum kerangka kebijakan moneter negara-negara yang menerapkan inflation targeting dapat digambarkan sebagai berikut.
Pengendalian Moneter dalam Kerangka Inflation Targeting
OMO Settlement Cash
Inter Bank Cash rate
Longer Interest rate
GDP
Discount Rate
Output Gap
Inflation Target
Pengendalian moneter dengan rezim ini diawali dengan pengendalian suku bunga jangka pendek pasar uang (cash rate) dengan menggunakan instrumen moneter melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT). Untuk mengendalikan suku bunga maka keseimbangan likuiditas senantiasa dijaga dengan memperhatikan settlement fund dari bank-bank. Selanjutnya perubahan suku bunga jangka pendek tersebut akan ditransmisikan ke suku bunga yang lebih panjang dan kredit. Perubahan suku bunga tersebut selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan konsumsi dan investasi, sehingga sebagai gilirannya juga akan mempengaruhi aggregate demand. Apabila terjadi output gap (aggragate demand lebih besar dari output potensial) maka inflasi akan meningkat. Dengan demikian dalam rezim ini, pengendalian permintaan agregat merupakan kunci utama keberhasilan pengendalian inflasi.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
17
ii. Prasyarat Penerapan Inflation Targeting Menurut Debelle dan Lim (1998) serta Masson (1998), untuk melaksanakan inflation targeting sebagai strategi kebijakan moneter terdapat dua prasyarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. Kedua, Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya bersamaan dengan penerapan inflafion targeting. • Independensi Bank Sentral Persyaratan utama untuk melaksanakan kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan inflation targeting adalah kemampuan bank sentral untuk mencapai inflasi tanpa ada campur tangan politik dari pemerintah. Dalam pengertian independent disini tidak hanya terbatas dari sisi kelembagaan tetapi juga independen dalam melaksanakan instrumen moneter. Independensi instrumen berarti bahwa pemerintah tidak diperkenankan melakukan kebijakan yang dapat mengganggu dalam pencapaian inflasi. Untuk mencapai kondisi tersebut maka suatu negara dipersyaratkan agar tidak mempunyai kebijakan fiskal yang terlalu dominan atau dengan kata lain kebijakan fiskal jangan sampai mendikte kebijakan moneter. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah tidak diperkenankan untuk meminjam dari bank sentral atau bank-bank komersial di dalam negeri. Jika kondisi ideal tersebut tidak dapat terpenuhi maka paling tidak, jumlah pinjaman tersebut harus ditekan sekecil mungkin. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah hendaknya mempunyai sumber penerimaan yang cukup luas dan menghindarkan penerimaan yang berasal dari seignoirage dari pencetakan uang berlebihan. Sementara dalam hal terdapat pinjaman pemerintah maka pasar uang di dalam negeri harus mampu menyerap seluruh pinjaman pemerintah tersebut maupun pinjaman swasta. Disamping itu juga pinjaman pemerintah harus dikendalikan dalam level tertentu agar tidak mengganggu pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Pemberian independensi dimaksudkan untuk menghindarkan tekanan-tekanan fiskal dari pemerintah akibat adanya slippages dalam kebijakan fiskal. • Menghindarkan penggunaan nominal anchor lainnya Prasyarat kedua untuk megaplikasikan inflation targeting adalah Pemerintah atau otoritas moneter menghindarkan untuk menggunakan nominal anchor lainnya, seperti variabel upah dan nilai tukar nominal. Negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap, kebijakan moneternya terikat untuk mempertahankan nominal nilai tukar pada tingkat tertentu sehingga hal tersebut tidak efektif digunakan bersamaan dengan
18
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
variabel nominal lainnya seperti inflasi. Hal tersebut dapat terjadi karena mempertahankan nilai tukar dapat mengorbankan target inflasi. Dalam hal otoritas moneter tidak dapat mencapai salah satu target tersebut maka hal tersebut dapat mengurangi kredibilitas.
3.2. Pengalaman Beberapa Negara yang Menggunakan Manajemen Moneter dengan Inflation Targeting a. Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) Selandia Baru menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal sejak tahun 1985, dan strategi tersebut merupakan bagian dari reformasi ekonomi secara menyeluruh. Langkah tersebut dilakukan sehubungan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya laju inflasi pada periode tahun 1970an dan 1980an relatif terhadap negara-negara OECD. Dengan beralihnya sistem nilai tukar negara tersebut ke sistem nilai tukar fleksibel, maka RBNZ menggunakan inflasi sebagai nominal anchor di dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Penggunaan inflasi sebagai sasaran akhir tersebut juga didukung dengan pemberian independesi penuh kepada bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Sasaran inflasi yang digunakan adalah underlying inflation atau core inflation sebagaimana dituangkan dalam kesepakatan atau Policy Targets Agreement (PTA) antara Menteri Keuangan dan Gubernur RBNZ. Untuk mencapai sasaran tersebut RBNZ menetapkan sasaran operasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional digunakan Cash Rate, sementara untuk mengendalikan cash rate dilakukan melalui pengendalian likuiditas perbankan (cash settlement). Pengaturan cash settlement tersebut dilakukan melalui OPT dengan menggunakan government bills di pasar uang. Selanjutnya perubahan suku bunga cash rate akan ditransmisikan ke perubahan suku bunga treasury bills 90 hari. Sedangkan sebagai sasaran antara digunakan Monetary Conditions Indicator (MCI) yaitu kombinasi antara suku bunga treasury bill 90 hari dengan nilai tukar (trade weighted index) dengan rasio 1:2 yang secara simultan dapat mempengaruhi aggregate demand. MCI digunakan RBNZ sebagai sasaran antara karena diyakini dalam perekonomian yang terbuka, kebijakan moneter dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan inflasi melalui pengaruh suku bunga dan nilai tukar. Suku bunga treasury bill 90 hari akan ditransmisikan ke sektor riil melalui perubahan aggregate demand yang direfleksikan dalam PDB aktual. Apabila PDB aktual lebih besar dari PDB potensial (output gap), inflasi cenderung meningkat. Sementara perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi inflasi melalui saluran tradable goods dan perubahan permintaan aggregate akibat perubahan harga relatif dalam dan luar negeri.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
19
b. Reserve Bank of Australia (RBA) Semakin melemahnya hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir memaksa RBA untuk beralih dari sasaran besaran moneter ke suku bunga pada tahun 1985. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas dan kredibilitas pengendalian moneter, RBA menggunakan inflasi sebagai sasaran akhir. Inflasi yang digunakan sebagai target adalah underlying inflation dengan target sebesar 2-3% per tahun. Dalam pengendalian moneter, RBA menggunakan suku bunga overnight fund (cash rates) sebagai sasaran operasional. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan target suku bunga cash rate secara harian beserta latar belakang kenaikan dan penurunannya. Pengendalian cash rate dilakukan melalui OPT dengan menggunakan Commonwealth Government Securities dan State Government securities. Perubahan cash rate akan mempengaruhi suku bunga lainnya, seperti suku bunga pinjaman dan suku bunga lainnya yang berjangka waktu lebih panjang. Perubahan suku bunga yang berjangka waktu panjang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi GDP dan inflasi 1.
c. Bank of Canada (BOC) Inflasi yang rendah merupakan tujuan akhir kebijakan moneter di Kanada sejak lama. Dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1982, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dengan menetapkan target besaran moneter M1. Kerangka kebijakan ini diganti pada tahun 1982, ketika disadari bahwa inovasi produk baru keuangan telah memperlemah hubungan antara M1 dengan pengeluaran nominal. Sementara itu, intermediate target tidak secara eksplisit digunakan antara tahun 1982 dan 1991 tetapi penetapan target inflasi yang rendah tetap dipertahankan. Pada Februari 1991, BOC dan Pemerintah Kanada bersama-sama menetapkan target inflasi sejalan dengan usaha menstabilkan harga. Target tersebut dimaksudkan sebagai nominal anchor dalam mempengaruhi ekspetasi masyarakat terhadap inflasi, sehingga masyarakat terdorong untuk melakukan aktivitas ekonominya dengan menggunakan asumsi inflasi yang rendah. Hal ini pada akhirnya akan mempermudah bank sentral dalam mencapai target inflasi yang rendah. Target inflasi didefinisikan sebagai peningkatan CPI dalam 12 bulan dan merupakan inflasi yang paling relevan digunakan di Kanada. Penetapan target tersebut cukup fleksible dimana target ditetapkan dalam suatu band sebesar 1% di atas atau di bawah target 3%
1 Mekanisme kebijakan moneter di Australia dan Selandia Baru secara rinci dapat dilihat pada Perry Warjiyo dan Doddy Zulverdi (1998).
20
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
pada akhir tahun 1992, 2,5% sampai dengan pertengahan tahun 1994 dan 2% sampai dengan akhir tahun 1995. Walaupun target yang dicapai adalah CPI total, tetapi Bank Sentral hanya mempunyai tanggung jawab dalam mencapai target core inflation, yaitu inflasi yang telah mengeluarkan harga-harga kolompok bahan makanan dan energi serta pengaruh pajak tidak langsung. Tetapi apabila dalam pelaksanaan ditemukan perbedaan yang cukup signifikan antara core inflation dan CPI maka tindak lanjut harus dilakukan agar core inflasi sesuai dengan target dalam konteks CPI. Dalam hal terjadi kejadian di luar kendali, seperti bencana alam dan peningkatan harga minyak, target inflasi dapat dipertimbangkan lagi untuk diubah. Strategi kebijakan tersebut bersifat forward looking sehubungan dengan terdapatnya lag dalam transmisi kebijakan moneter. Proyeksi inflasi secara kuartalan yang dilakukan secara intern sejalan dengan target inflasi yang ditetapkan dalam jangka waktu menengah. Proyeksi tersebut dikaji ulang apabila terdapat informasi baru. Dalam melaksanakan kebijakan moneter digunakan MCI sebagai operasional target jangka pendek. MCI adalah kombinasi antara suku bunga surat berharga pasar uang berjangka waktu 90 hari dengan G-10 real effective exchange rate, yang digunakan untuk menangkap efek dari aggregate demand. Rasio yang digunakan pada saat ini adalah satu banding tiga, yang artinya 1% peningkatan surat berharga berjangka waktu 90 hari sama pengaruhnya dengan peningkatan 3% peningkatan REER dari negara-negara G-10 (Lafrance, 1996). Bank Sentral mempengaruhi MCI dengan mempengaruhi suku bunga pasar uang harian. Sejak pertengahan tahun 1994, the Bank of Canada menetapkan band suku bunga pasar uang sebesar 50 basis point dan untuk mempertahankan band tersebut dilakukan melalui fasilitas repo dan sebaliknya. Kemudian sejak 22 Februari 1996, target tersebut ditetapkan 25 basis point di atas suku bunga treasury bill 3 bulan.
d. Bank of England (BOE) Pada akhir tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an, pengendalian moneter yang dilakukan dengan menggunakan broad money (M3) ternyata kurang efektif sehubungan dengan perubahan besar dari velocity of money. Kemudian pada tahun 1987-1988, Bank of England menggunakan nilai tukar sebagai nominal anchor informal ketika otoritas moneter mendapat manfaat dari rendahnya laju inflasi di Jerman. Pada tahun 1990, Inggris bergabung dengan dengan Exchange Rate Mechanism. Namun karena banyaknya tekanan depresiasi nilai tukar, sebagai akibat besarnya kesenjangan ekonomi antara Jerman dan Inggris, BOE Inggris beralih ke sistem nilai tukar fleksibel yang secara eksplisit menetapkan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter pada bulan Oktober 1992. Target inflasi adalah RPIX yakni retail price index (RPI) setelah dikeluarkan mortgage interest rate. Target pertama kali ditetapkan sebesar 1-4% dan pada bulan Juni 1995 dirubah
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
21
menjadi maksimal sebesar 2%. Oleh karena inflation targeting merupakan kebijakan forward looking, maka Bank of England meminta independensi dalam membuat assesment inflasi ke depan dalam laporan inflasi kuartalan sejak Februari 1993. Dalam melaksanakan kebijakan moneter Bank of England menggunakan suku bunga jangka pendek sebagai operating targetnya, dimana struktur suku bunga jangka pendek disesuaikan dengan suku bunga resmi yang ditetapkan dalam pertemuan moneter antara Gubernur BOE dengan Menteri Keuangan. Secara aktif BOE mengendalikan likuiditas harian di pasar uang agar sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu, BOE juga menggunakan OPT secara harian di pasar uang dengan memperkenalkan fasilitas repo 2 bulan dan fasilitas lainnya di pasar repo.
e. The Riksbank of Sweden (ROS) Tekanan-tekanan depresiasi yang cukup besar yang dihadapi Swedish krona pada fall 1992 telah memaksa pemerintah untuk melepas nilai tukar tetap dan beralih ke sistem nilai tukar fleksibel. Untuk mencari alternatif sebagai pengganti nominal anchor maka Dewan Gubernur Riksbank pada bulan Januari 1993 menetapkan inflasi sebagai sasaran kebijakan moneter. Inflasi yang digunakan adalah CPI dan target inflasi pada tahun 1995 adalah 1% dengan kisaran target. Penetapan inflasi sebagai sasaran akhir mempunyai beberapa keuntungan bagi otoritas moneter di Swedia. Pertama, kebijakan tersebut mengurangi ketidakpastian yang ditimbulkan dari transisi sistem nilai tukar fleksibel. Kedua, membantu menyeleraskan ekspetasi inflasi masyarakat sesuai dengan kapasitas ekonomi. Ketiga, strategi tersebut memungkinkan masyarakat untuk mengawasi kinerja otoritas moneter sehingga bank sentral dapat lebih kredibel. Untuk mendorong efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter, Pemerintah memberikan indepedensi kepada ROS dan target inflasi dikukuhkan oleh parlemen. Seperti negara-negara Kanada dan Selandia Baru, the Riksbank (RB) juga menggunakan MCI sebagai sasaran antara dalam kebijakan moneternya. Mekanisme transmisi kebijakan moneter di negara ini juga tidak jauh berbeda dengan kedua negara yang menerapkan MCI tersebut di atas, dimana untuk mengetahui tekanan terhadap inflasi, RB menggunakan indikator output gap (selisih PDB aktual dengan PDB potensial). Dalam pelaksanaan kebijakan moneter, RB menetapkan suku bunga jangka pendek sejalan dengan stance kebijakan moneter yang diinginkan. Suku bunga jangka pendek tersebut digunakan untuk mempengaruhi suku bunga jangka menengah/jangka panjang. Selanjutnya suku bunga jangka panjang tersebut akan mempengaruhi aggregate demand sehingga pada akhirnya output gap dapat dikendalikan. Dengan pengendalian output gap tersebut maka inflasi dapat dikndalikan. Pada bulan May 1994, RB menggunakan suku bunga repo 2
22
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
minggu sebagai instrumen utama operasional, sedangkan sebelumnya menggunakan suku bunga pinjaman overnight atau marginal rate. Pada bulan Juli 1996, RB memperpendek jangka waktu repo tersebut menjadi 1 minggu.
IV. Evaluasi Manajemen Moneter Indonesia 4.1. Manajemen Moneter Sebelum Krisis i. Sasaran Akhir Sasaran akhir kebijakan moneter selama masa pra krisis diarahkan pada pencapaian inflasi yang rendah, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan keseimbangan neraca pembayaran. Dengan multiple target tersebut, fungsi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tidak terfokus karena diantara ketiga tugas pokok tersebut terdapat kemungkinan yang tidak sejalan. Tidak jarang terdapat trade off antara pencapaian inflasi yang rendah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sehubungan hal tersebut, dalam melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia menghadapi pilihan yang sulit karena memilih salah satu sasaran berarti mengorbankan sasaran lainnya. Pilihan lainnya adalah semua sasaran diusahakan bersamaan dicapai, tetapi dengan konsekuensi tidak ada satu sasaran akhir yang dicapai secara optimal, misalnya mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan laju inflasi yang tinggi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari pencapaian kinerja ekonomi Indonesia dalam 5 tahun terakhir, dimana target pertumbuhan ekonomi umumnya dapat dicapai, namun sebagai implikasinya laju inflasi dikorbankan dan umumnya selalu di atas target yang ditetapkan. Tabel Realisasi dan Target Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Inflasi Target Repelita Realisasi - Fiskal - Kalender Pertumbuhan PDB Target Repelita Realisasi - Fiskal - Kalender
1992/93
1993/94
1994/95
1995/96
1996/97
5.00
5.00
6.70
6.70
6.70
10.03 4.94
7.04 9.77
8.57 9.24
8.86 8.64
5.17 6.47
5.00
5.00
7.10
7.10
7.10
7.37 7.22
7.68 7.25
7.35 7.54
7.76 8.22
8.49 7.98
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
23
ii. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Sementara itu, penggunaan besaran-besaran moneter (monetary aggregates) dalam mekanisme kebijakan moneter juga tidak kalah peliknya. Dalam manajemen moneter dengan pendekatan kuantitas ini, Bank Indonesia berupaya semaksimal mungkin menyeimbangkan antara besarnya penawaran uang (money supply) dengan permintaan uang (money demand) karena ketidakseimbangan dari kedua komponen tersebut dapat mengganggu terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Mekanisme transmisi pengendalian moneter dengan quantity targeting ini diawali dengan pengendalian uang primer. Perubahan uang primer akan mendorong bank merubah fortofolio asetnya dalam bentuk kredit dalam suatu nisbah tertentu sehingga likuiditas perekonomian (M1/M2) akan meningkat. Perubahan fortofolio aset bank tersebut akan tergambar dari angka pengganda uang (APU/money multiplier). Dengan mengasumsikan APU stabil dan dapat diprediksikan maka likuiditas perekonomian dapat dikendalikan. Selanjutnya dengan asumsi velocity of money konstan maka Bank Indonesia dapat mengendalikan uang beredar sehingga pada akhirnya mempengaruhi laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun dengan cepatnya perkembangan sektor keuangan dan sistem pembayaran, keefektifan manajemen moneter dengan pendekatan kuantitas tersebut banyak diperdebatkan. Inovasi produk-produk baru keuangan telah mengaburkan pengertian uang yang tidak hanya terbatas pada uang kertas dan uang logam (fiat money) tetapi juga telah meluas menjadi credit money. Perubahan tersebut mengakibatkan aktivitas penciptaan uang oleh sistem keuangan menjadi berlifat ganda dan melampaui penciptaan uang oleh bank sentral (Sarwono, 1997). Gejala tersebut lebih terasa lagi sejak pemerintah melakukan deregulasi sektor keuangan komprehensif pada Oktober 1988. Pesatnya perkembangan sektor keuangan Indonesia tersebut memberikan implikasi negatif bagi pengendalian moneter, karena kuantitas uang beredar tidak dapat lagi sepenuhnya dikendalikan karena lebih banyak dipengaruhi sisi permintaan. Penelitian yang dilakukan oleh Solikin (1998) dengan menggunakan data dari tahun 1971 hingga tahun 1996 menunjukkan bahwa fungsi permintaan uang di Indonesia tidak stabil dalam jangka pendek. Sementara berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarwono (1997) menunjukkan bahwa angka pengganda uang tidak stabil Dengan demikian penentuan uang primer sebagai sasaran operasional menjadi semakin lemah efektivitasnya. Disisi lain juga menunjukkan bahwa proses transmisi monetary aggregates ke sasaran akhir menunjukkan hubungan yang semakin lemah, sebagai akibat tidak stabilnya dan tidak dapat diprediksinya velocity of money. Berdasarkan hasil penelitian Solikin dkk (1997) dan Iskandar (1998) menunjukkan bahwa uang beredar baik M1 dan M2 bersifat netral sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Sementara tingkat harga masih
24
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Velocity of M1 and M2 M2
M1 10.0
2.2
9.5
2.1
Vm2
VM1
2.0
9.0
1.9
8.5
1.8
8.0
1.7
7.5
1.6 1.5
7.0 I
II 1996
III
IV
I
II
III
IV
1997
I
II
III
IV
1998
dipengaruhi oleh M1 dan M2 (Iskandar, 1998), sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja peranannya dalam mempengaruhi inflasi. Melemahnya hubungan monetary aggregates tersebut mendorong dilakukannya penelitian mengenai kemungkinan penggunaan besaran harga atau suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Penelitian yang dilakukan oleh Sarwono dkk (1997) dan Warjiyo dkk (1998) menunjukkan hasil yang konklusif tentang kemungkinan penggunaan suku bunga dalam kerangka kebijakan moneter di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Boediono (1996) yang mengemukakan bahwa semakin besar peran pasar, maka transmisi melalui harga uang atau suku bunga menjadi penting dibandingkan dengan transmisi melalui kuantitas uang seperti paradigma yang dilakukan selama ini. Peranan besaran harga tersebut menjadi lebih penting lagi seiring dengan beralihnya sistem nilai tukar Indonesia ke sistem nilai tukar fleksibel.
4.2. Manajemen Moneter dalam Masa Krisis Tujuan pokok kebijakan moneter dalam masa krisis difokuskan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dan mengendalikan inflasi. Bahaya hiper-inflasi dan tajamnya fluktuasi nilai tukar Rupiah merupakan tantangan terbesar sehingga tidak ada pilihan lain bagi kebijakan moneter selain untuk menanggulangi dua masalah tersebut. Dengan stabilnya nilai tukar Rupiah dan menurunnya laju inflasi diharapkan dapat menyediakan platform bagi pertumbuhan ekonomi yang sustainable dalam jangka panjang. Untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia (BI) menggunakan pendekatan kuantitas yakni jumlah uang beredar, bukan suku bunga.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
25
Dalam masa krisis pengendalian moneter menggunakan level base money (BM), bukan pertumbuhannya, sebagai sasaran operasional dan sejak bulan April 1998 target tersebut diumumkan ke publik. Dalam kaitannya dengan pinjaman IMF, terdapat 3 sasaran operasional lainnya yang harus diperhatikan dalam mencapai sasaran BM yakni Net Domestic Assets (NDA), Net International Reserves (NIR), dan liquidity support di mana NDA = BM- NIR. Besarnya pemberian BLBI akibat krisis kepercayaan terhadap perbankan merupakan salah satu faktor utama yang melatarbelakangi pembatasan level BM. Pemberian BLBI dalam bentuk saldo debet, fasilitas diksonto dan dana talangan akan meningkatkan BM (menambah saldo giro bank) dan menambah NDA berupa tagihan kepada bank. Peningkatan likuiditas tersebut dapat menimbulkan tekanan terhadap harga dan nilai tukar rupiah Untuk mencapai target BM selain melalui OPT juga dibantu melalui intervensi BI di pasar valas khususnya dalam rangka menyedot ekspansi kebijakan fiskal akibat defisit keuangan Pemerintah yang dalam tahun 1998/99 diperkirakan mencapai 4% dari PDB. Dalam hal ini BI sebagai fiscal agent melakukan intervensi valas untuk membantu OPT dan sekaligus untuk menambah supply dolar di pasar valas. Dalam hal ini dana valas yang dipakai untuk intervensi berasal dari pinjaman Bank Dunia dan ADB sedangkan dana dari IMF untuk memperkuat cadangan devisa. Kebijakan moneter tersebut telah berhasil secara bertahap menurunkan laju inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah, seperti terlihat dari evaluasi di bawah ini. 1. Dalam masa krisis hubungan antara perubahan BM (moving average atau MA 23 hari) dengan laju inflasi lag 1 bulan sangat positif dan signifikan, khususnya sejak
Grafik 6. Perkembangan Inflasi Bulanan dan Perubahan Base Money (MA 23 Hari) ( Base Money )
( Inflasi )
10
5 Inflasi Bulanan
9
Changes BM
4
8 7
3
6
2
5 1
4 3
0
2
-1
1 -2
0
-3
-1 5 1998
6
7
8
9
10
11
12
1 1999
26
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
bulan April 1998. Artinya, penurunan BM sekarang akan menurunkan inflasi pada bulan depan. Korelasi antara kedua variabel ini dengan lead 1 bulan untuk inflasi cukup tinggi yakni 0,87. Hal ini mencerminkan bahwa sasaran BM sebagai operasi kebijakan moneter cukup tepat dalam mengendalikan inflasi (grafik 6). 2. Hubungan antara perubahan BM dengan perubahan nilai tukar Rupiah (keduanya MA 23 hari) juga positif dan signifikan. Dalam periode April-September 1998 menurunnya perubahan BM (kenaikan suku bunga) diikuti oleh menguatnya nilai tukar Rupiah. Dalam periode Oktober-Desember II 1998 kenaikan perubahan BM diikuti oleh apresiasi rupiah yang semakin kecil. Namun demikian, sejak Desember II 1998 kenaikan perubahan BM diikuti oleh melemahnya nilai tukar Rupiah. Melemahnya nilai tukar akhir-akhir ini nampaknya bukan akibat penurunan suku bunga namun karena faktor-faktor non ekonomi dalam negeri seperti kerusuhan di Ambon, isu demonstrasi dan faktor eksternal seperti devaluasi mata uang Brazil dan isu devaluasi mata uang China (grafik 7).
V.
Hasil Studi Empiris Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Pengujian proses transmisi kebijakan moneter di Indonesia akan dilakukan dengan pendekatan time series analysis, yaitu berupa test hubungan kausalitas (Causality test) dan vector autoregression (VAR). Test hubungan kausalitas menggunakan test hubungan kausalitas Granger versi Hisao. Penggunaan metode Hsiao dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari Granger-kausalitas khususnya yang berkaitan dengan masalah tidak terdapatnya prosedur yang jelas dalam penentuan jumlah lag independent dan dependent variable. Tanpa lag yang optimal berarti setiap variabel diperkenankan untuk mempengaruhi
Grafik 7. Perubahan Base Money dan Kurs (MA23 hari)
Kurs (R p/USD )
Base Money (triliun Rp)
6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3
Changes BM Changes Ex-rate
5 1998
6
7
8
9
10
11
12
1 1999
5000 4000 3000 2000 1000 0 -1000 -2000 -3000
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
27
variabel lain dengan distribusi jumlah lag yang sama. Dengan tanpa pembatasan berarti jumlah parameter akan bertambah sebesar kuadrat dari jumlah variabel dan akan mengurangi derajad kebebasan (degree of freedom) secara cepat (Hsiao, 1981). Metode ini, pada prinsipnya menggunakan nilai final prediction error dari outoregresi dalam menentukan optimal lag dependent dan independent variable (metode rinci, lihat lampiran). Sementara proses transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga dilakukan dengan melihat tiga bagian sebagai berikut : a. Transmisi dari suku bunga jangka pendek melalui permintaan agregat ke inflasi. b. Transmisi dari suku bunga ke nilai tukar c. Transmisi dari nilai tukar ke inflasi Pengujian hubungan kausalitas Granger metode Hsiao dilakukan dengan mengacu kepada ketiga proses transmisi kebijakan moneter tersebut, dengan hasil-hasil sebagai berikut:
a. Transmisi dari Suku Bunga Jangka Pendek melalui permintaan agregat ke Inflasi i.
Transmisi tersebut dilakukan dengan order Excess Reserve ⇒ Suku Bunga Jangka Pendek ⇒ Suku Bunga Lebih Panjang ⇒ Permintaan Agregat ⇒ Inflasi.
ii. Tidak terdapat hubungan kausalitas bidirectional antara suku bunga PUAB over night, hubungan yang terjadi hanya hubungan satu arah dari excess reserve ke suku bunga PUAB overnight, dengan optimal lag 1 series data. Hasil ini memberikan indikasi perubahan yang terjadi dalam excess reserve dengan cepat ditransmisikan ke perubahan suku bunga PUAB overnight. iii. Suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight secara signifikan mempunyai hubungan kausalitas satu arah dengan suku bunga dengan jangka waktu yang lebih panjang di bawah ini • Suku bunga deposito 1 bulan • Suku bunga SBI 1 bulan • Suku bunga Jibor 1 bulan Dengan demikian perubahan suku bunga PUAB overnight dapat memberikan signal kuat ke pasar, seperti terlihat dari respon perbankan merubah suku bunga yang lebih panjang sebagai akibat perubahan dari suku bunga overnight. iv. Ketiga suku bunga tersebut di atas mempengaruhi secara positif suku bunga jangka panjang lainnya seperti suku bunga deposito 3,6,12,24 bulan dan suku bunga kredit. Perubahan suku bunga tersebut mempengaruhi perilaku konsumsi dan investasi serta selanjutnya permintaan agregat sebagaimana terlihat dari peningkatan PDB riil.
28
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
v. Perubahan permintaan agregat atau pendapatan nasional mempunyai hubungan kausalitas yang searah dengan inflasi. Perubahan output ini belum mencerminkan output gap, namun indikasi adanya tekanan output gap dapat direfleksikan dengan perubahan output dan pada akhirnya mempengaruhi inflasi. Tabel 2 HASIL TES KAUSALITAS GRANGER (Metode Hsiao ) Hypothesis X t => Y t Ekses Reserve Ekses Reserve PUAB O/N PUAB O/N
REER PUAB SBI 1 bl Deposito 1 bulan Deposito 3 bulan Deposito 12 bulan Deposito 24 bulan
=> => => => => => => => => => => => => => => => => => => => => =>
PDB
=> CPI
SBI 7 hari SBI 1bulan
Dep 1 Nilai Tukar Nilai Tukar
PUAB O/N Nilai Tukar Ekses Reserve SBI 7 Hari SBI 1 bulan Deposito 1 bulan SBI 1 bulan Deposito 1 bulan Deposito 3 bulan Kredit Modal Kerja Kredit Investasi Nilai Tukar Dep 1 CPI CPI (Core) CPI CPI CPI CPI CPI CPI CPI
Lag Optimum (Y t-m , X t-n ) (2 , (2 , (2 , (1 , (1 , (1 , (1 , (1 , (1 , (1 , (2 , (2 , (1 , (1 , (1 , (1 , (1 , (1 , (2 , (2 , (2 , (2 ,
1) 2) 2) 6) 1) 2) 1) 3) 3) 1) 2) 2) 2) 1) 1) 1) 6) 4) 2) 2) 2) 2)
(2 , 1)
F-statistik (p-value) 11.17 (0,00) 1.25 (0,30) 2.39 (0,10) 0,13 (0,87) 25.92 (0.00) 14,44 (0,00) 44.12 (0,00) 24.53 (0,00) 38.29 (0,00) 14.67 (0,00) 2.26 (0,18) 0.59 (0,56) 36.71 (0,00) 10.61 (0,00) 8.39 (0,00) 9.97 (0,00) 89.83 (0.00) 164.83 (0.00) 59.23 (0.00) 1.26 (0,29) 0.02 (0,98) 0.08 (0,92) 43.21
Keterangan
Signifikan Tidak Signifikan Signifikan pada 10% berpengaruh terbalik Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
(0.00) Signifikan
Catatan : Test menggunakan data bulanan dari tahun 19990-1998, setelah terlebih dahulu men-stasionerkan seluruh data.
Kuatnya transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga tersebut di atas juga ditunjang dengan hasil impulse response (VAR) dengan menggunakan data bulanan dari tahun 1990-1998 -data telah di-stasionerkan terlebih dahulu. Hasil uji tersebut menyimpulkan shock yang terjadi di excess reserve mempengaruhi terhadap perilaku suku bunga PUAB overnight. Selanjutnya shock yang terjadi di suku bunga jangka pendek ditransmisikan ke
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
29
suku bunga yang berjangka lebih panjang dan suku bunga kredit. Perubahan suku bunga selanjutnya mempengaruhi pola konsumsi dan investasi -melalui jalur kredit. Perubahan kedua variabel pada tahap berikutnya akan mempengaruhi permintaan agregat. Pada akhirnya perubahan permintaan agregat akan mempengaruhi inflasi -secara teoritis tekanan inflasi dapat dilihat dari output gap, namun karena ketidaksediaan data digunakan proxy PDB riil. Hal tersebut dapat dilakukan mengingat kapasitas produksi pada periode analisis cukup tinggi kecuali tahun 1998. Response of D(PUAB) to One S.D. D(EXRES) Innovati Response of D(SBI1BL) to One S.D. D(PUAB) Innovatio ponse of D(DEP3) to One S.D. D(SBI1BL) Innova 4
3
1.2 1.0
2
2
0.8 1
0.6
0
0.4
0
0.2
-2
-1
0.0 -2
-4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-0.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of D(INFMONTH) to One S.D. D(NTUS) Inno Response of D(INFMONTH) to One S.D. D(GAP) Innov Response of D(SKI) to One S.D. D(DEP3) Innovation 0.5
0.4
1.5
0.4
0.2
1.0
0.0
0.5
-0.2
0.0
-0.4
-0.5
0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1 1
-1.0
-0.6 2
3
4
5
6
7
8
9
10
5
10
15
20
25
30
2
4
6
8
10
12
14
b. Transmisi suku bunga ke nilai tukar Sementara transmisi pengaruh suku bunga ke nilai tukar Rupiah dapat dijelaskan melalui dua jalur sebagai berikut. i. Semakin tinggi suku bunga semakin sedikit permintaan uang untuk spekulasi sehingga nilai tukar Rupiah akan mengalami apresiasi. ii. Semakin tinggi suku bunga akan menarik aliran modal masuk sehingga menambah persedian valas dalam negeri. Hasilnya, nilai tukar Rupiah menguat. Hasil uji kausalitas Granger-Hsiao menunjukkan bahwa suku bunga tidak mempengaruhi nilai tukar rupiah (tabel 1). Hal tersebut dapat terjadi mengingat data yang digunakan adalah Januari 1990 sampai dengan Oktober 1998, dimana pada periode tersebut
30
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
nilai tukar lebih ditentukan Pemerintah daripada mekanisme pasar. Namun berdasarkan data pasca krisis hubungan tersebut cukup erat. Mekanisme transmisi suku bunga tersebut ke nilai tukar terjadi melalui aliran modal asing, sebagaimana terlihat dari hubungan yang erat antara suku bunga dengan aliran modal masuk keluar khususnya sejak terjadinya krisis moneter bulan Juni 1997. Dengan menggunakan perubahan NFA sebagai proxy aliran modal, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. Perubahan deposito 1 bulan memiliki korelasi yang erat dengan perubahan NFA valas. Dengan demikian aliran modal yang cukup besar sejak krisis merupakan salah satu faktor utama melemahnya nilai tukar rupiah. Sedangkan, perubahan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri juga memiliki kaitan erat dengan perubahan NFA valas. Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi depresiasi dan premi risiko sangat mempengaruhi gerakan aliran modal internasional pada akhirnya juga mempengaruhi nilai tukar rupiah. 3000
20
2000
15
1000 10 0 5 -1000 0
-2000 -3000
-5 97:07
97:09
97:11
98:01
D(NFA$)
98:03
98:05
98:07
98:09
D(RDIF)
c. Transmisi dari Nilai Tukar ke Inflasi Transmisi mekanisme perubahan nilai tukar Rupiah ke inflasi dapat diterangkan seperti berikut ini. i. Melemahnya nilai tukar Rupiah akan meningkatkan harga tradable goods dalam mata uang domestik. Akibatnya, harga-harga dalam negeri juga akan meningkat melalui exchange rate pass through. Hal ini dapat dilihat dari tradable goods inflation. ii. Depresiasi nilai tukar Rupiah akan mempengaruhi relative price effects yaitu meningkatnya harga tradable goods relatif terhadap harga non-tradable goods, akan memberikan efek psikologis bagi sektor non-tradable goods untuk menaikkan harga.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
31
Hasil uji Granger kausalitas test juga menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah mempengaruhi inflasi baik terhadap inflasi IHK maupun underlying (core) inflation. Hasil ini mengindikasikan bahwa pass through nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia cukup dominan, sehingga pengendalian nilai tukar merupakan salah faktor penting dalam mengendalikan inflasi. Piranti yang dapat digunakan untuk mengendalikan nilai tukar tersebut dapat dilakukaan melalui suku bunga.
Penelitian Kemungkinan Penggunaan MCI sebagai Sasaran Antara Berdasarkan hasil studi sebelumnya, suku bunga PUAB mempunyai hubungan kuat dengan suku bunga lebih panjang, nilai tukar rupiah dan inflasi. Dengan demikian terdapat evidence yang cukup kuat untuk menggunakan MCI sebagai proxy sasaran antara kebijakan moneter. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, MCI adalah indeks yang digunakan untuk melihat pengaruh kombinasi dari suku bunga dan nilai tukar terhadap permintaan aggregate yang diwakili oleh Produk Domestik Bruto. Pengaruh kombinasi dari suku bunga dan nilai tukar tersebut dilakukan dengan cara membentuk regresi sederhana antara PDB riil dengan suku bunga riil dan nilai tukar riil dan kemudian membandingkan kedua koefisien variabel tersebut. Rasio antara nilai tukar dan suku bunga dalam MCI dapat diperoleh melalui penaksiran model permintaan agregat yang mengacu pada model yang digunakan Bank of Canada dan RBNZ, sebagai berikut. LogPDBRAR = t-statistik
C + D1RMA + NTUSGA 5,75 -0,009 0,046 126,03 -3,415 3,906
+ TOTMAGA 0,014 10,638
F-test = 43,56 Adjusted R-squared = 0,66 Keterangan PDBRAR = PDB Riil D1RMA = Suku Bunga Deposito Riil 1 bulan (Moving Average 12 bl) NTUSGA = Pertumbuhan Nilai Tukar Rupiah/USD TOTMAGA = Pertumbuhan Term of Trade (moving average 12 bl) Dengan menggunakan model estimasi di atas, diperoleh hasil perbandingan 1: 4 artinya setiap depresiasi nilai tukar rupiah riil sebesar 1% memerlukan kenaikan suku bunga riil sebesar 4% agar permintaan agregate tidak berubah. Rasio ini juga menunjukkan semakin pentingnya peranan nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan agregat relatif pengaruh suku bunga.
32
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Dengan menggunakan koefisien tersebut dapat disusun MCI nominal dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut. MCI dapat dihitung secara nominal maupun riil. Dalam perhitungan selanjutnya akan digunakan MCI riil untuk mengetahui kondisi moneter secara riil terlepas dari pengaruh fluktuasi harga. MCI nominal = ((rt - rb ) + 4* (log TWIt- log TWIb )*100))*100+100 MCI Riil = ((rt riil - rb riil ) + 4* (logn (TWIt riil) - log TWIb)*100))*100 + 100, dimana rt = suku bunga nominal periode t, rb = suku bunga nominal periode tahun dasar, TWIt = trade weighted index nilai tukar nominal periode t, TWIb = trade weighted index nilai tukar nominal periode tahun dasar. Variabel TWI diperoleh dengan mengalikan indeks kurs US$ terhadap rupiah dikalikan dengan rasio antara CPI dalam negeri dengan CPI Amerika Serikat. Tahun dasar yang dipilih adalah tahun 1994 dengan pertimbangan suku bunga dan nilai tukar riil pada tahun tersebut cukup rendah dan stabil. Dengan menggunakan tahun 1994 sebagai tahun dasar MCI Indonesia dapat disusun seperti tampak dalam grafik di bawah. Perkembangan MCI sebelum Masa Krisis (1990 s/d Juni 1997)
106 105 104 103 102 101 100 99 98
1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 1990 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1991
Perkembangan MCI dalam Masa Krisis (Juli 1997 s/d Desember 1998) 105 95 85 75 65 55 45 35 7
8
9 10 11 12 1997
1
2
3
4
5
6
7 8 1998
9
10 11 12
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
33
Dari grafik di atas, dapat dijelaskan periodesisasi kondisi moneter Indonesia sebagai berikut. a. Sejak tahun 1990 hingga awal tahun 1992 kebijakan moneter cenderung ketat yang diperlihatkan dengan meningkatnya MCI, khususnya sejak diberlakukannya Paket Januari 1990. b. Mulai tahun 1992 hingga 1993 kondisi moneter cenderung mengendor yang ditunjukkan oleh menurunnya MCI. Sejak tahun 1994 kebijakan moneter kembali mengalami pengetatan yang ditandai dengan meningkatnya MCI dan meningkatnya suku bunga deposito serta menguatnya nilai tukar Rupiah riil. Kondisi demikian berlangsung hingga bulan Juni1997. c. Sejak krisis moneter bulan Juni 1997 dan sejak dilepaskannya band nilai tukar pada bulan Agustus 1997, MCI mulai berada di bawah 100 karena tingginya tingkat depresiasi nilai tukar riil Rupiah. Penurunan suku bunga sejak bulan September 1998 sampai dengan bulan Desember 1997 dan terus melemahnya nilai tukar Rupiah pada periode yang sama, MCI terus mengalami penurunan sampai mencapai titik terendah pada bulan Juni 1998. d. Sejalan dengan kembali dinaikannya suku bunga SBI sejak bulan Januari sampai dengan April 1998 dan kecenderungan menguatnya nilai tukar Rupiah, MCI mulai menunjukkan peningkatan secara berarti. Namun kemudian menurun tajam pada bulan Mei dan Juni 1998 akibat kerusuhan sosial. e. MCI pasca kerusuhan terus menjukkan kenaikan sejalan dengan menguatnya nilai tukar Rupiah dan menurunnya laju inflasi. Penurunan suku bunga sejak bulan September tidak menurunkan MCI secara berarti. Dari pengalaman di atas, dapat disimpulkan bahwa MCI merupakan variabel yang cukup akurat untuk memberikan gambaran terhadap kondisi moneter yang terjadi. Dengan demikian, MCI dapat dipakai sebagai approximate intrmediate target dalam mekanisme pengendalian moneter di mana inflasi sebagai sasaran akhir.
V. Kemungkinan Penerapan Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting Di Indonesia 5.1. Prasyarat Umum Secara kelembagaan, sesuai dengan Undang-undang No. 23 tahun 1999, kebijakan moneter dalam kerangka inflation targeting telah memenuhi persyaratan untuk dilaksanakan di Indonesia. Perumusan tujuan Bank Indonesia yang jelas untuk mencapai dan memelihara kestabilan rupiah dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran tunggal inflasi mengingat kestabilan nilai tukar rupiah adalah resultante dari inflasi yang rendah. Dengan terfokusnya
34
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
pelaksanaan kebijakan moneter pada pencapaian inflasi maka dapat dihindarkan conflict of interest terhadap pencapaian tujuan-tujuan lainnya yang dapat mengganggu kestabilan harga. Pemberian independensi sebagai prasyarat utama dalam inflation targeting juga telah dapat dipenuhi dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut di atas. Pemberian independensi diberikan tidak terbatas pada independensi dari aspek kelembagaan tetapi juga independen dari aspek instrumen dan tujuan kebijakan moneter. Pemberian status independen memberikan dasar hukum yang kuat terhadap konsistensi kelembagaan Bank Indonesia serta menghindarkan campur tangan pemerintah dan pihak lain dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Selain itu, kebijakan fiskal di Indonesia tidak menunjukkan keadaan yang lebih dominan dari kebijakan moneter. Prinsip penyusunan APBN yang menghindarkan penggunaan pembiayaan budget defisit yang berasal dari dalam negeri khususnya Bank Indonesia merupakan prasyarat yang telah dipenuhi. Selama ini budget defisit pemerintah selalu dibiayai dengan pinjaman luar negeri pemerintah, sehingga hal tersebut dapat menghindarkan tekanan-tekanan inflasi yang berasal dari kegiatan mencetak uang yang berlebihan. Isu berikutnya sebelum menerapkan inflation targeting adalah karakteristik inflasi di suatu negara. Pada umumnya, pada saat pertama kali menerapkan inflation targeting, karakteristik inflasi di negara-negara tersebut relatif rendah--kecuali Israel. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, laju inflasi di Indonesia relatif tinggi dan banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga pada kelompok makanan. Namun dengan perkembangan laju inflasi yang rendah sepanjang tahun 1999, permasalahan inflasi bukan merupakan suatu hambatan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan kebijakan moneter dalam kerangka inflation targeting.
5.2. Transmisi Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting Hasil uji empiris menunjukkan evidence bahwa dalam sistem nilai tukar mengambang, transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga cukup efektif dalam pengendalian inflasi sebagai sasaran akhir. Dalam pengendalian moneter dengan inflation targeting tersebut digunakan suku bunga PUAB overnight sebagai sasaran operasional. Transmisi kebijakan moneter ini diawali dengan pengendalian suku bunga PUAB melalui pengendalian keseimbangan likuiditas pasar uang. Indikator moneter utama yang dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan likuiditas adalah jumlah excess reserve bank-bank di Bank Indonesia. Kuatnya hubungan antara excess reseve dengan suku bunga antar bank merupakan salah satu pertimbangan untuk menggunakan excess reserve tersebut. Dengan demikian dalam pengendalian suku bunga jangka pendek, proyeksi perhitungan kebutuhan likuiditas di pasar uang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan, disamping faktor utama
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
35
sistem keuangan yang sehat. Piranti moneter yang dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan likuiditas tersebut, antara lain dapat berupa intervensi rupiah overnight baik yang bersifat ekspansi maupun kontraksi. Sementara dengan segera dijualnya obligasi pemerintah di pasar sekunder, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga pemerintah tersebut sebagai salah piranti moneter dalam mengendalikan likuiditas bank-bank. Perubahan suku bunga overnight akan mempengaruhi ekspetasi pasar akan terjadinya perubahan arah kebijakan moneter, sehingga bank-bank akan merespon dengan merubah suku bunga berjangka pendek. Selanjutnya perubahan suku bunga tersebut akan mempengaruhi perbankan untuk merubah suku bunga yang berjangka waktu lebih panjang. Pada tahap berikutnya perubahan suku bunga akan mempengaruhi perilaku konsumsi dan investasi, serta kesemua tersebut bermuara ke peningkatan permintaan agregat. Apabila terjadi peningkatan permintaan agregat yang melampaui output potensial -tercermin dari penurunan output gap-, inflasi akan cenderung meningkat. Dengan kerangka kebijakan moneter ini keberhasilan dalam mengendalikan inflasi sangat tergantung keberhasilan otoritas moneter dalam mengendalikan permintaan agregat. Ke depan dengan diberlakukannya undang-undang BI yang baru, penggunaan reference rate fasilitas diskonto sebagai operasional target akan dapat memberikan signal kuat dalam mempengaruhi suku bunga perbankan. Pemberian fasilitas diskonto disini bukan dalam
Kerangka Kerja Inflation Targeting
1. OPERASI PASAR TERBUKA : SBI SBPU OBLIGASI PEMER. 2. FASILITAS DISKONTO 3. STATUTORY RESERVE 4. MORAL SUASION
Sasaran Operasional
Perkiraan Sasaran Antara
Sasaran Akhir
MCI SUKU BUNGA Ekses Reserve Bank
Indikator Variabel: - NDA, NIR, Base Money - M1 / M2 - LII / LIE
(Deposito 1 bulan) PUAB O/N
Suku Bunga Jangka Panjang
Output GAP Barang Tradable
NILAI TUKAR (TWI)
- Survey Kegiatan Usaha - Survey Konsumen
PDB
Perubahan harga relatif melalui Agregat Demand
INFLATION TARGET
Instrumen Moneter
36
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
arti memberikan pinjaman likuiditas kepada bank-bank tidak sehat melainkan untuk menjalankan fungsi BI sebagai lender of the last resort akibat missmatch pendanaan. Sehingga tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan suku bunga perbankan dan menjadi reference rate terhadap suku bunga pasar. Pendekatan seperti ini juga dilakukan Federal Reserve Bank AS dengan menetapkan fed fund rate dalam rangka mengendalikan suku bunga perbankan dan memperjelas arah kebijakan moneter. Perubahan suku bunga PUAB overnight tidak hanya mempengaruhi permintaan agregat tetapi juga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah. Dengan asumsi tidak terdapat perubahan yang menonjol faktor-faktor di dalam negeri, peningkatan suku bunga membuat aset di dalam negeri menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset luar negeri sehingga mendorong aliran modal. Peningkatan arus modal masuk mendorong apresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Sebaliknya dengan transmisi yang sama penurunan suku bunga dapat mendorong terjadinya depresiasi Rupiah. Sementara dari sisi investor dalam negeri, peningkatan suku bunga akan mengurangi permintaan uang untuk pembelian valuta asing dan pada akhirnya memberikan pengaruh yang sama dapat memperkuat nilai tukar rupiah. Sebaliknya penurunan suku bunga dapat memperlemah Rupiah. Hasil studi memberikan indikasi kuat bekerjanya transmisi tersebut khususnya pada saat kondisi di dalam negeri dalam keadaan normal. Selanjutnya, terkendalinya nilai tukar rupiah akan memberikan pengaruh positif terhadap pengendalian inflasi sebagai sasaran akhir. Depresiasi nilai tukar rupiah dapat mendorong peningkatan harga-harga di dalam negeri melalui 2 jalur. Pertama melalui kenaikan harga-harga barang impor (imported inflation). Kedua melalui expenditure switching karena harga relatif barang-barang impor lebih mahal dibandingkan dengan harga barang impor. Peningkatan permintaan terhadap barang-barang di dalam negeri akan cenderung meningkatkan harga-harga tersebut. Sementara apresiasi nilai tukar dapat menekan menurunnya laju inflasi di dalam negeri. Secara umum, hasil studi memperlihatkan bahwa suku bunga PUAB overnight dapat mempengaruhi suku bunga yang lebih panjang dan nilai tukar. Kondisi ini memberikan indikasi bekerjanya mekanisme Mundell-Fleming teori dalam sistem nilai tukar fleksibel. Sehubungan dengan hal tersebut, MCI dapat digunakan otoritas moneter sebagai proxy sasaran antara kebijakan moneter. Pengalaman pada masa sistem nilai tukar mengambang menunjukkan bahwa MCI mempunyai hubungan yang sejalan dengan kebijakan moneter Indonesia. Namun demikian, MCI jangan diterapkan secara kaku dalam menetapkan kebijakan moneter (policy rules) melainkan hendaknya dapat dimungkinkan terjadinya discretionary policy. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penetapan band MCI dan melihat sifat shock yang terjadi terhadap nilai tukar dan inflasi. Sepanjang
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
37
shock yang terjadi bersifat sementara dan masih dalam band MCI, tidak perlu dilakukan kebijakan moneter yang over reactive. Selain itu, mengingat masih besarnya penggunaan uang kartal dalam transaksi ekonomi Indonesia, seperti terlihat kuatnya pengaruh base money terhadap inflasi pada masa krisis, maka monetary aggregates masih diperlukan sebagai indikator dalam melihat tekanan terhadap inflasi. Indikator yang tidak kalah pentingnya untuk melihat tekanan inflasi antara lain adalah Leading Indikator Inflasi (LII), Leading Indikator Ekonomi (LIE) dan hasil-hasil survey ekonomi dan konsumen. Keseluruhan indikator ini diperlukan untuk menetapkan kebijakan moneter yang akan ditempuh dalam mengendalikan inflasi sebagai sasaran akhir.
VI. Kesimpulan dan Saran 1. Pengujian empiris menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan kerangka inflation targeting dapat dilaksanakan di Indonesia. Pengendalian moneter dilakukan melalui pendekatan suku bunga dengan inflasi sebagai sasaran tunggal. Mengacu pada penelitian yang sudah ada dan Undang-undang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, inflasi yang relevan dengan kebijakan moneter adalah underlying inflation. 2. Sasaran operasional yang paling dekat dengan suku bunga jangka panjang lainnya adalah suku bunga overnight yang dalam hal ini diwakili oleh PUAB overnight. Suku bunga ini dapat memberikan transmisi yang kuat terhadap suku bunga lainnya seperti SBI, deposito, dan kredit. Agar suku bunga overnight tersebut lebih controllable, Bank Indonesia melakukan pengendalian keseimbangan likuiditas di pasar uang melalui pengendalian excess reserve. Bank Indonesia dapat menggunakan Intervensi rupiah overnight untuk keperluan kontraksi dan ekspansi moneter. Kedepan dengan diberlakukannya Undang-Undang BI yang baru, penggunaan reference rate fasilitas diskonto dapat dijadikan sebagai sasaran operasional dalam memberikan signal yang kuat ke pasar mengenai perubahan arah kebijakan moneter. Hal tersebut juga dilakukan Federal Reserve Bank AS dan pada pelaksanaannya cukup efektif dalam memberikan arah kebijakan moneter dan mestabilkan suku bunga. 3. Mengingat suku bunga jangka pendek memiliki hubungan kuat dengan nilai tukar dan inflasi, maka pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar fleksibel dapat dilakukan melalui semacam aproximate intermediate target yaitu MCI riil. Hasil empiris menerangkan bahwa MCI memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sasaran akhir inflasi. Namun penggunaan piranti ini jangan dijadikan rules tetapi dimungkinkan discretion melalui penetapan band dan melihat sifat shock yang terjadi pada nilai tukar dan inflasi. Policy reaction dilakukan apabila terdapat tekanan yang berasal dari sisi permintaan.
38
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
4. Penerapan inflation targeting hendaknya tetap memperhatikan kondisi dan prasyarat penerapan inflation targeting di beberapa negara yang sudah menerapkannya. Untuk mempersiapkan ini, Bank Indonesia perlu memperdalam dan memperkaya model-model proyeksi inflasi dan perhitungan output gap. Untuk membantu pengendalian suku bunga dalam kerangka kebijakan moneter inflation targeting, Pemerintah perlu segera menerbitkan surat berharga baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang seperti yang diterapkan di negara Jepang, misalnya. Salah satu alternatif adalah penggunaan obligasi pemerintah sebagai instrumen moneter yang saat ini telah di rintis.
Daftar Pustaka A Cabrero, J L. Escriva and E Ortega, "Monetary Policy Execution in Spain: Key features and Assesment", Conference Papers, BIS, Basle, March, 1997. Abel, Andrew B, and Ben S. Bernanke, "Macroeconomics", Addi Son Wesley, Publishing Company, 1995. Artis, M. J, and Mervyn Lewis, "Money in Britain ; Monetary Policy Inovation in Europe", Philip Alan, 1991. Artis, M. J, "Macroeconomics", Oxford University Press, New York, 1984. Caves, Richard E, Jeprey A Frankel, and Ronald W Jones, "World Trade and Payments an Introduction", Seventh-Edition, Harver Collins College Publisher, 1996. Dornbusch Rudiger, "Exchange Rates and Inflation", The MIT Press, USA, 1995. Eltis, W. A, and P. J. N Sinclair, "The Money Supply and the Exchange Rate", Oxford University Press, 1981. Enders, Walter, "Applied Econometric Time Series", John Wiley $ Sons, 1995. Erricson, Neil R. ,Eilev S. Jansen, Neva A. Kerbershian and Ragnar Nymoen, "Interpreting a Monetary Conditions Index in Economic Policy". Granger, C.W.J. "Investigating Causal Relations by Econometric Mode1s and Cross Spectral Methods", Econometrica, Vol. 37, No. 3 (July1969), pp. 424-438. Granger, C.W.J. "Some Recent Developments in a Concept of Casuality, "Journal of Econometrics, No. 39 (1988), pp. 2 13-234. Gujarati, N Damodar, "Basic Econometric", Third Edition, Mc Graw Hill, 1995. Guy Debelle, "Inflation Targeting in Practice", Working Paper, IMIF, March 1997.
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
39
Iskandar, "The Causal Relationship Among Money, Prices, and Output in Indonesia", Thesis-MA in Economics, Nasville-Tennessee, January, 1998. Lafrance Robert, "An Overview of the Monetary Frameworks of Four Infaltion Targeting Countires", 1997. Pindyck, Robert , and Danield L. Rubinfeld, "Econometric Models and Economic Forecast", Mc Graw-Hill Inc, 1991. Sarwono, Hartadi A, "Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter: Suatu kemungkinan penerapannya", Makalah SESPIBI-Angkatan XII, Jakarta, November 1996. Solikin, "The Stability of Income Velocity Demand For Money, and Money Multiplier in Indonesia, 1971-1996", Working Paper, Department Economics, The University of Michigan, 1998. Stebbing, Peter, "Monetary Management in Australia: Moving to a Market-based System of Monetary Control ", Reserve Bank Australia, October, 1993. Warjiyo, Perry dan Doddy Zulverdi, "Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia" Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Bank Indonesia, Jakarta Juli 1998.
40
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran
Granger Causality Test Versi Hsiao Hubungan kausalitas (Causality) adalah hubungan jangka pendek antara kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum, khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum (Granger, 1969). Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut. Pertama, jika X mempengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas (explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan X, karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain, katakan Z, yang mempengaruhi X dan Y (Granger, 1969). Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara 2 variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas 3 kategori, hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan timbal balik. Prinsip kerja dari Granger-Kausalitas test didasarkan atas vector autoregression sebagaimana diuraikan sebagai berikut : k
k
Yt = ∑ αj Yt-j + ∑ βj Xt-j + ∈t j=1
j=1
k
k
Xt = ∑ δj Xt-j + ∑ γj Yt-j + ut j=1
j=1
Dalam model VAR ini dipersyaratkan bahwa error terms (faktor pengganggu) Ît dan ut tidak mempunyai hubungan satu sama dengan lainnya atau white-noise series, sedangkan k adalah jumlah lag. Oleh karena itu sebelum melakukan uji hubungan kausalitas tersebut seluruh data harus bersifat stasioner. Jika variabel yang akan diuji bersifat tidak stasioner maka standar VAR model akan misspecified jika digunakan uji kausalitas (Granger, 1988). Hal tersebut dapat terjadi karena jika suatu data bersifat non stasioner maka varian akan meningkat sejalan dengan waktu, sehingga varian akan tidak terhingga jika tidak ada batasan waktu dan pada saat tersebut tidak terdapat nilai tengah (mean) dalam jangka panjang dimana data series kembali. X mempengaruhi Y atau hubungan causalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien βj tidak sama dengan nol (0). Hal yang sama juga Y mempengaruhi X atau terdapat hubungan
Pengendalian Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar yang Fleksibel
41
kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien γj tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y. Kelemahan dari Granger-Kausalitas test adalah penentuan jumlah lag yang dipergunakan dari variabel X dan Y, dimana tidak ada prosedur untuk menentukan jangka waktu lag. Sebagai akibatnya, setiap variabel diperkenankan untuk mempengaruhi variabel lain dengan distribusi jumlah lag yang sama. Dengan tanpa pembatasan berarti jumlah parameter akan bertambah sebesar kuadrat dari jumlah variabel dan akan mengurangi derajad kebebasan (degree of freedoms) secara cepat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Hsiao (1981) mengembangkan uji kausalitas Granger dengan menggunakan pendekatan nilai final prediction error dari autoregresi. Prosedur dari uji kausalitas Hsiao-Granger tersebut adalah sebagai berikut. 1. Tentukan jumlah optimum lag dari regresi satu dimensi (one-dimensional regression), misal Y, di bawah ini. k
Yt = ∑ αj Yt-j i=1
2. Hitung nilai final prediction error (FPE), dengan menggunakan formula FPE = T + K x RSS T-K T Dimana RSS adalah jumlah kuadrad residual, T adalah jumlah observasi dan K adalah jumlah parameter estimasi dari regresi. 3. Ulangi proses 1 dan 2 dengan menggunakan nilai k dari 1 sampai dengan n hingga jumlah maksimum lags ditetapkan. Cari optimum lags dengan melihat nilai paling kecil (minimum) FPE. 4. Dengan menggunakan optimum lag Y, gunakan Y sebagai dependent variable dan tambahkan nilai X sebagai independent variable dari regresi dua dimensional yang berguna untuk mengontol hasil Y, seperti ditunjukkan dalam autoregresi di bawah ini. k
m
Yt = ∑ αj Yt-j+ ∑ βj Xt-j + ut i=1
i=1
42
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
5. Hitung nilai FPE dan tentukan optimum lag dengan melihat nilai minimum FPE. 6. Bandingkan nilai FPE pada butir 2 dengan nilai FPE pada butir 5. Jika nilai FPE pada butir 2 lebih kecil dari FPE pada butir 5 maka dapat disimpulkan X mempengaruhi Y. Sementara model yang optimal yang digunakan untuk memprediksikan Yt adalah menggunakan optimum lag Y dan X. 7. Untuk mengetahui hubungan balik (feedback direction) dari Y ke X lakukan prosedur 1 sampai dengan 6, dengan jalan menukar X sebagai dependent variable dan Y sebagai Independent Variable. Prosedur uji kausalitas di atas didasarkan pada tingkat keakuratan penjelas regresi (fitting of the regression), sehingga belum menunjukkan kekuatan controll variable dalam mempengaruhi dependent variable. Oleh karena itu, untuk mendukung hasil tersebut digunakan F-test dengan menggunakan regresi dengan optimal lags dari masing-masing variabel. Formula F-test atau Wald test yang digunakan adalah sebagai berikut : F = RSSr - RSSur/r RSSur/(T-k) Dimana RSSr adalah jumlah kuadrad residual dari persamaan yang diretriksi, RSSur adalah jumlah kuadrad residual dari persamaan yang tidak diretriksi, r adalah jumlah variabel yang diretriksi, T jumlah observasi dan k adalah jumlah parameter estimasi dari regresi yang tidak diretriksi.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
43
PERILAKU NILAI TUKAR RUPIAH DAN ALTERNATIF PERHITUNGAN NILAI TUKAR RIIL KESEIMBANGAN Yati Kurniati dan A.V. Hardiyanto *) I. Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang
D
alam dua dekade terakhir, Bank Indonesia telah melakukan beberapa kali perubahan sistem nilai tukar (exchange rate arrangement). Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 1978 sistem nilai tukar Indonesia bergerak semakin fleksibel dengan kisaran intervensi yang semakin diperlebar hingga akhirnya dihapuskan pada bulan Agustus 1997. Proses pelebaran kisaran intervensi secara bertahap sampai dengan dihapuskannya kisaran tersebut berpengaruh pada prilaku nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, khususnya mata uang mitra dagang utama Indonesia. Semakin fleksibel suatu nilai tukar1 akan semakin sulit memprediksi pergerakan nilai tukar. Hal ini dimungkinkan karena pergerakan nilai tukar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar juga dipengaruhi oleh perubahan ekspektasi pasar yang pembentukannya tergantung pada berbagai variabel ekonomi maupun non-ekonomi. Gejolak nilai tukar dalam sistem nilai tukar yang semakin fleksibel tidak dapat dihindari. Sebagai otoritas moneter, yang perlu dilakukan adalah upaya untuk meredam gejolak nilai tukar yang berlebihan agar tidak membahayakan stabilitas perekonomian. Untuk mendukung upaya tersebut otoritas moneter perlu mengestimasi nilai tukar keseimbangan dengan baik dalam arti sesuai dengan faktor-faktor fundamental perekonomian yang juga mencakup unsur ekspektasi pasar. Hal ini menjadi penting karena apabila suatu negara mempertahankan nilai tukar riilnya pada tingkat yang “tidak tepat” akan memberikan signal yang keliru kepada pelaku ekonomi yang pada akhirnya memperbesar kemungkinan munculnya ketidakstabilan ekonomi. Dengan mengetahui nilai tukar keseimbangan maka misalignment nilai tukar dapat diukur dengan membandingkan nilai tukar riil aktual dari nilai tukar riil keseimbangannya.
*)Yati Kurniati
: Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, email :
[email protected] A.V. Hardiyanto : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, email :
[email protected]
1 Fleksibel nilai tukar rupiah yang dimaksud adalah perkembangan nilai tukar rupiah yang terjadi dipasar di pasar valuta asing dalam negeri, yang mencerminkan suatu pola pergerakan nilai tukar yang lebih bebas dan acak.
44
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Misalignment nilai tukar riil merupakan komponen penting yang dapat menciptakan ekspektasi nilai tukar di pasar. Dengan demikian, apabila misalignment nilai tukar dapat terukur dengan baik, maka otoritas moneter akan dapat memprediksi perubahan ekspektasi pasar terhadap nilai tukar sehingga pelaksanaan manajemen nilai tukar dapat lebih produktif. Dengan latar belakang tersebut, secara ringkas penelitian ini bertujuan untuk: a.
membangun keterkaitan antara prilaku nilai tukar riil dan variabel ekonomi yang relevan,
b.
mengukur tingkat keseimbangan nilai tukar riil jangka panjang dan jangka pendek yang sesuai dengan fundamental perekonomian, sehingga selanjutnya dapat diketahui besar misalignment,
c.
memproyeksikan kisaran nilai tukar yang wajar untuk beberapa bulan kedepan.
1.2.
Metodologi Penelitian
Terdapat beberapa pendekatan pengukuran nilai tukar keseimbangan yang sebelumnya telah digunakan dalam penelitian di Bank Indonesia, antara lain dengan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), Macro Balance (Fundamental Equilibrium Exchange Rate/FEER) dan Natural Exchange Rate (NATREX). Sampai saat ini yang secara kontinyu dilakukan perhitungannya adalah pengukuran dengan PPP. Penelitian berikut ini memberikan alternatif perhitungan nilai tukar keseimbangan, yaitu dengan pendekatan Behavioral Exchange Rate (BEER) yang merupakan perluasan dari model NATREX2 . BEER membangun keterkaitan antara perilaku nilai tukar riil efektif rupiah dengan variabel-variabel ekonomi yang relevan dengan mempertimbangkan unsur-unsur ekonomi yang dapat mempengaruhi ekspektasi pasar. Penelitian dilakukan dengan dengan analisa time series “Johansen’s Cointegration Test” dan Error-Correction Model dengan periode estimasi bulanan dari September 1992 sampai dengan Agustus 1998. Penentuan periode observasi ini dimaksudkan agar mencakup periode sejak kisaran intervensi nilai tukar mulai diperlebar sampai akhirnya kisaran tersebut dihapuskan pada bulan Agustus 1997 serta mencakup pula periode setelah nilai tukar mengambang.
II. Perilaku Nilai Tukar Rupiah 2.1. Perilaku Nilai Tukar Rupiah Yang Semakin Fleksibel (1992.09-1998.08) Berbagai studi mengenai business cycles dalam perekonomian terbuka menunjukkan bahwa perubahan regim nilai tukar suatu negara mempengaruhi perilaku nilai tukar riil 2 Pendekatan NATREX mengukur keseimbangan nilai tukar yang mencerminkan keseimbangan eksternal dan internal tanpa memperhitungkan faktor-faktor siklikal, spekulasi aliran modal dan pergerakan cadangan devisa.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
45
negara tersebut3 . Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, studi mengenai volatilitas jangka pendek yang dilakukan terhadap nilai tukar negara-negara Eropa sejak periode regim nilai tukar tetap Bretton Woods sampai dengan tahun tahun 1997 mengungkapkan bahwa perilaku nilai tukar riil adalah regimedependent,4 yaitu tergantung pada pada sistem nilai tukar yang berlaku. Dengan demikian , the nonnetrality hypotesis of exchange rate arrangement semakin kuat. Studi-studi tersebut membuktikan bahwa volatilitas nilai tukar riil dalam regim nilai tukar tetap. Hasil studi di atas bertentangan dengan pendapat Friedman (1953) dan Sohmen (1961) yang menyatakan bahwa dalam regim nilai tukar mengambang nilai tukar riil akan lebih stabil karena fleksibilitas nilai tukar nominal akan meng-offset dampak dari perbedaan laju inflasi terhadap daya saing internasional suatu negara. Bagaimana dengan perilaku nilai tukar riil Rupiah? Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda dalam periode tiga dekade terakhir5 Periode
Sistem Nilai Tukar
1960-an
multiple exchange system
Agustus 1971 – November 1978
nilai tukar tetap (fixed exchange rate system)
November 1978 – September 1992 mengambang terkendali (managed floating system) September 1992 – Agustus 1997
managed floating dengan crawling band system
Agustus 1997 – kini
sistem mengambang bebas (floating/flexible system)
Perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya didasarkan pada kebutuhan agar sistem nilai tukar sesuai dengan perekonomian yang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi yang pesat (sebelum periode krisis juli 1997). Perubahan sistem nilai tukar ini sangat berpengaruh pada perilaku nilai tukar rupiah, khususnya setelah sistem nilai tukar beralih kepada sistem nilai tukar baik mengambang terkendali maupun mengambang bebas. Perubahan perilaku nilai tukar dalam regim nilai tukar yang berbeda juga berlakudi Indonesia sebagaimana tercermin dalam grafik 2.1.
3 Flood dan Rose (1986), Gartner (1993) dan Roger (1995) 4 Hong Liang (1998) 5 Lihat Paul Soetopo Tjokronegoro (1996) dan Doddy Budi Waluyo dan Benny Siswanto (1998)
46
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Grafik 2.1. Volatilitas Nilai Tukar Rupiah 1d. Nilai Tukar Riil Rp/US$ (% perubahan bulanan)
1a. Nilai Tukar Nominal Rp/US$ (% perubahan bulanan) 4
3 stdev. periode s.d. Sep92 = 0,22
stdev. periode Okt’92-Jul’97 = 0,58
3
stdev. periode Okt’92-Jul’97
stdev. periode s.d. Sep’92=0,38
2 1
2 0 1 -1 0
-2
-1 88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
-3 88
90
91
92
93
94
95
96
97
1e. Volatilitas Nilai Tukar Riil Rp/US$ (Conditional Standard Deviation)
1b. Volatilitas Nilai Tukar Nominal Rp/US$ (Conditional Standard Deviation) 2.0
89
3.0
2.5
1.5
2.0 1.0 1.5 0.5
1.0
0.0
0.5 88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
1c. Volatilitas Nilai Tukar Nominal Rupiah/US Dolar dalam Periode Krisis 100
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
1f. Volatilitas Nilai Tukar Riil Rupiah/US Dollar Dalam Periode Krisis 100
90,97
80
80
60
60
40
79,95
40 24,44
20
21,91
20 0.75
0 97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09
0,59 0 97:07 97:09 97:11 98:01 98:03 98:05 98:07 98:09
Dalam periode nilai tukar tetap (sampai dengan tahun 1978) dan periode managed floating sampai dengan Agustus 1992 saat dimana kurs pasar dipatokdengan spread hanya 0.25 persen dari batas atas dan batas bawah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, fluktuasi nilai tukar di pasar sangat tidak berarti. Grafik 1a dan 1b serta tabel 1 menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar nominal di pasar makin meningkat sejalan dengan dilebarkannya
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
47
kisaran intervensi (intervention band) secara bertahap sampai akhirnya kisaran tersebut dihapuskan pada tanggal 14 Agustus 1997. Demikian pula halnya dengan pergerakan nilai tukar riil. Dalam periode sampai dengan September 1992, standar deviasi persentase perubahan bulanan nilai tukar riil adalah sebesar 0,38, sedangkan periode Oktober 1992 – Juli 1997 sebesar 0,60. Sejalan dengan hal tersebut volatilitas nilai tukar riil Rupiah terhadap US dollar juga menunjukkan kecenderungan meningkat pada saat kisaran intervensi diperlebar secara signifikan. Sementara itu, periode pada saat free floating diterapkan terjadi bersamaan dengan periode krisis nilai tukar, sehingga volatilitas nilai tukar riil meningkat pesat dari sekitar 20% hingga maksimun mencapai 80%.6 Tabel 2.1. Volatilitas Nilai Tukar Nominal Rupiah/US dollar Dalam Berbagai Kisaran Nilai Tukar
Periode
Kisaran Kurs*)
Standard Deviasi dr Perubahan Bulanan Kurs Antar Bank Nominal Riil
01 Jan.88 - 15 Sep.92
Rp
6
(0,25%)
0,22
0,38
16 Sep.92 - 31 Des.93
Rp
10
(0,50%)
0,31
0,47
03 Jan.94 - 31 Agt.94
Rp
20
(1,00%)
0,49
0,45
02 Sep.94 - 29 Mei 95
Rp
30
(1,10%)
0,44
0,47
30 Mei 95 - 28 Des.95
Rp
44
(2,00%)
0,62
0,46
29 Des.95 - 12 Jun.96
Rp
66
(3,00%)
0,50
0,86
13 Jun.96 - 10 Sep.96
Rp
118 (5,00%)
0,49
0,33
11 Sep.96 - 10 Jul.97
Rp
192 (8,00%)
0,50
0,73
11 Jul.97 - 13 Agt.97
Rp
304 (12,0%)
0,95
0,70
14 Agt.97 – Okt.98
tidak ada band
22,60
20,0
*) Periode Jan’88 s.d. 12 Jun ’96 menggunakan kisaran kurs konversi, sedangkan periode 12 Jun. ’96 s.d. 13 Agt. ’97 menggunakan kisaran kurs intervensi
6 Namun karena masa penerpan free floating yang dicakup disini bersamaan dengan periode krisis (kondisi tidak normal), volatilitas yang sangat tinggi dalam periode ini tidak dapat dijadikan penilaian umum
48
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Fenomena ini mengindikasikan bahwa dengan semakin besarnya keleluasaan kekuatan pasar dalam penentuan nilai tukar, maka perilaku pasar menjadi lebih sulit untuk diprediksi secara langsung. Nilai tukar di pasar tidak semata mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran valuta asing untuk memenuhi underlying transactions, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi ekspektasi masyarakat yang erat berkaitan dengan unsur ketidakpastian. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dilakukan pendekatan ekonometri untuk menangkap perubahan-perubahan perilaku nilai tukar dipasar yang berkaitan dengan perubahan-perubahan fundamental perekonomian dan perubahan ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian Indonesia hingga dapat diperoleh estimasi nilai tukar keseimbangan.
2.2. Fragilitas Sistem Nilai Tukar Terhadap Krisis Mata Uang Dalam menghadapi krisis mata uang yang melanda kawasan Asia periode 1997-1998 beberapa negara yang terkena krisis mengubah sistem nilai tukarnya menjadi lebih fleksibel (kecuali Malaysia). Tabel 2.2. Perubahan Sistem Nilai Tukar Negara
Sebelum krisis
Periode Krisis
Thailand Korea Indonesia Malaysia
Pegged terhadap US$ Managed Floating system Managed Floating Managed Floating
Managed Floating system (per 2 Jul. ’97) Free Floating system (per 16 Des. ’97) Free Floating system (per 14 Agt. ’97) Fixed system (per 2 Sep. ’98)
Kecenderungan perubahan sistem nilai tukar ini menimbulkan pertanyaan apakah sistem nilai tukar yang lebih fleksibel lebih rentan terhadap terjadinya krisis mata uang, atau bahkan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi krisis? Salah satu pertimbangan utama dari keputusan pemerintah Thailand, Korea dan Indonesia dalam mengubah nilai tukarnya menjadi lebih fleksibel adalah untuk menghindari terkurasnya cadangan devisa yang semakin menipis akibat kebutuhan untuk mempertahankan nilai tukar mata uang domestik terhadap US dolar yang makin merosot akibat serangan spekulatif pada periode awal krisis. Sebaliknya, Malaysia memberlakukan kebijakan nilai tukar tetap dengan mempeg-kan nilai ringgit terhadap terhadap US dolar pada tingkat 3,8 RM/USD dengan maksud menghilangkan resiko nilai tukar bagi para investor. Kebijakan nilai tukar Malaysia ini menyertai pemberlakuan kontrol devisa secara selektif yng ditujukan untuk melindungi perekonomian domestik dari volatilitas pasar uang
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
49
dunia, serta meminimumkan kegiatan-kegiatan spekulatif yang dapat menekan nilai ringgit. Studi dilakukan terhadap sistem nilai tukar negara-negara di Asia yang relatif tidak terkena krisis mata uang yaitu Singapura dan Hongkong (lihat lampiran 1). Kedua negara ini mempunyai karakteristik yang sama yaitu merupakan perekonomian yang terbuka (small open economies) dan menganut sistem ekonomi pasar bebas. Namun kedua negara ini menganut sistem nilai tukar yang berbeda yaitu Hongkong menganut Currensy Board System (CBS) sedangkan Singapura menganut sistem managed floating dengan bank yang tidak diumumkan. Hongkong Hongkong menganut CBS sejak tahun 1983 untuk mengatasi serangan spekulatif terhadap mata uangnya. Sistem ini terbukti telah mampu menahan serangan terhadap dollar Hongkong yang terjadi beberapa kali termasuk dalam periode krisis Asia tahun 1997-98. Hongkong dengan CBSnya mampu bertahan dari krisis mata uang Asia karena: -
Cadangan devisa yang sangat besar, terbesar ketiga didunia setelah Jepang dan RRC. Pada awal krisis Asia (Juli 1997) Hongkong bahkan mendapat limpahan aliran modal dari negara Asia lain yang mengalami krisis hingga cadangan devisa meningkat tajam dari USD 67,6 miliar (Juni 1997) menjadi USD 81,6 miliar (Juli 1997) dan mencapai puncaknya sebesar USD 98 miliar per Januari 1998. Dolar Hongkong mulai digoyang spekulasi terutama pada semester kedua 1998, hingga cadangan devisanya menurun menjadi USD 88,5 miliar per November 1998. Namun sejak Desember 1998 cadangan devisa cenderung meningkat kembali.
-
Kebijkan fiskal yang berhati-hati dan kredibel, dengan skala pemerintahan yang kecil dan tanpa hutang luar negeri Hongkong memiliki struktur pajak yang sederhana dan murah, serta pengeluaran publik yang hanya berjumlah 14 persen dari GDP (1996-1998).
-
Sistem keuangan yang sehat dan solvent. Dunia perbankan Hongkong sehat dan kuat, sehuingga naik turunnya tingkat bunga secara ekstrim yang sering terjadi dalam CBS tidak melumpuhkan kegiatan disektor ini. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan Hongkong sebesar 18 persen, dan debt rationya hanya hanya 3,7 persen. Fungsi supervisi perbankannya juga amat prudent.
-
Fleksibilitas serta kepekaan perekonomian Hongkong amat baik. Perekonomian Hongkong berjalan dalam azas pasar bebas, sehingga shock adjustment internal maupun eksternal yang terjadi dapat ditanggapi secara fleksibel oleh perekonomiannya. Sebagai contoh, gejolak naik turunnya tingkat bunga beberapa waktu lalu tidak menlumpuhkan perekonomiannya.7
7 Yam, Joseph, 23 November 1998
50
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Singapura Singapura dengan sistem nilai tukar managed floating juga mampu mengelola mata uangnya secara kredibel sehingga terhindar dari krisis mata uang yang berat. Nilai mata uangnya selalu dapat dipertahankan dalam target band yang secara berhati-hati dapat diperlebar sesuai dengan kebutuhan. Band nilai tukar hanya diketahui oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) yang bertugas mengelola manajemen nilai tukar dolar Singapura. Kehandalan sistem nilai tukar mengambang terkendali Singapura dapat terwujud dengan ditunjang oleh: -
Cadangan devisa yang amat kuat. Sebelum krisis ekonomi Asia, cadangan devisa Singapura mencapai USD 77,0 miliar (akhir 1996) dan dalam periode krisis menurun menjadi USD 71,7 miliar (Akhir 1997), namun pada akhir 1998 telah meningkat kembali menjadi USD 75,0 miliar
-
Lembaga keuangan yang maju dan sehat
-
Kebijaksanaan ekonomi makro yang diimbangi oleh kebijaksanaan mikro yang berorientasi pada pasar. Pemerintah hanya mengintervensi pasar domestik dalam bidangbidang: pendidikan, perumahan, dan kesehatan dasar masyarakat.
-
Fundamental ekonomi yang sudah kuat. Pemerintah tidak memiliki pinjaman luar negeri. External shock yang melanda Singapura dapat diserap oleh perekonomian dengan adjustment yang tidak menyakitkan, misalnya tanpa menyebabkan meningkatnya pengangguran.
-
Pemerintahan yang kredibel dan relatif bersih.
Studi terhadap kedua negara tersebut menunjukkan bahwa kredibilitas manajemen nilai tukar suatu negara tidak semata bergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh negara tersebut namun sangat ditentukan oleh kekuatan faktor-faktor fundamental , termasuk memiliki cadangan devisa yang besar, dan faktor-faktor kelembagaan seperti sistem keuangan yang sehat, good governance pada perusahaan dan pemerintahan, sektor riil yang kompetitif dan efisien sehingga perekonomiannga tidak vulnerable terhadap gangguan-gangguan eksternal.
III. Pengukuran Keseimbangan Nilai Tukar Rupiah dan Misalignment Nilai Tukar 3.1. Tinjauan Teoritis Perilaku nilai tukar yang bergejolak secara berlebihan akan membahayakan stabilitas perekonomian. Mengingat pentingnya pengaruh nilai tukar bagi stabilitas perekonomian, berbagai pendekatan ekonomi telah banyak digunakan dalam studi-studi untuk memprediksi nilai tukar riil keseimbangan.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
51
Dalam mengestimasi keseimbangan nilai tukar riil jangka panjang pada awalnya dibutuhkan pengukuran nilai tukar riil (RER atau REER) aktual. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa alternatif definisi nilai tukar riil yaitu eksternal RER dan internal RER. “External” RER diukur sebagai nilai tukar nominal yang disesuaikan dengan perbedaan tingkat harga luar negeri terhadap dalam negeri. Pengukuran external RER dapat berupa PPP-based RER berdasarkan CPI, the Mundell-Flemming atau aggregate production cost RER, maupun the traded goods RER yang berdasarkan relative unit labor cost industri manufaktur, WPI, atau export unit values. Sedangkan “internal” RER didefinisikan sebagai sebagai harga relatif dari traded goods terhadap nontraded goods, atau didefinisikan sebagai harga relatif dari exportable and inportable goods in term of nontraded goods. Pengukuran PPP-Based RER berdasarkan CPI secara luas dipergunakan salam studi-studi empiris karena umumnya data indeks harga konsumen mudah tersedia di bernagai negara sehingga memungkinkan perhitungan REER dengan mitra negara. Nilai tukar kesimbangan menurut Nurkes 8 adal;ah suatu nilai tukar yang menghasilkan keseimbangan internal dan eksternal secara simultan, dengan tiga persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: tidak ada restriksi perdagangan, tidak ada inseftip khusus untuk capital inflow dan outflow, dan tingkat pengangguran yang wajar. Secara konseptual dapat dibedakan antara RER aktual dan keseimbangan RER jangka pendek (SRER) dan keseimbangan RER jangka panjang (LRER). Nilai RER aktual dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mungkin bersifat transitory, termasuk faktor speculative bubble, transitory movements pada kebijakan dan variabel eksogen. SRER merupakan nilai RER yang telah bersih dari faktor-faktor yang bersifat spekulatif. Sedangkan LRER merupakan fungsi dari predeterminant variabel yang bersifat stationer dan kebijakan dan variabel eksogen yang permanent. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengestimasi LRER a. Pendekatan relative PPP Salah satu teknik estimasi LRER adalah pendekatan Relative Purchasing Power Parity (PPP). Teknik yang digunakan dalam pendekatan PPP sangat sederhana dimana nilai tukar menurut PPPadalah yang menyamakan nilai produk dalam negeri bila ditukarkan dengan produk luar negeri. Pdom = RER x Pln PPP juga didasarkan pada asumsi yang sederhana yaitu (i) jenis dan mutu barang yang dipetukarkan sama, (ii) tidak ada biaya transport dan restriksi perdagangan internasional, (iii) struktur ekonomi, teknologi dan permintaan masyarakat tidak berubah.
8 Nurkse, Condition
52
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Pengukuran nilai tukar keseimbangan dengan pendekatan ini pada dasarnya untuk memperoleh nilai tukar yang bersih dari pengaruh gangguan-gangguan yang bersifat transitory. Pada prakteknya, upaya memperoleh nilai tukar keseimbangan yang bebas dari transitory shocks diperoleh dengan mengidentifikasi-kan dan memilih tahun dasar yang dianggap shocknya dapat diabaikan (negligible). Penentuan tahun dasar dalam pendekatan ini menjadi sangat penting karena nilai tukar riil aktual dalam periode tahun dasar dianggap sebagai nilai tukar keseimbangan riil estimasi, sedangkan nilai tukar nominalnya dapat diperoleh setelah disesuaikan dengan perbedaan laju inflasi dalam dan luar negeri.9 Permasalahan yang mungkin timbul dari pendekatan ini adalah pemilihan tahun dasar seringkali didasarkan pada penilaian yang subyektif dalam menentukan bahwa RER pda tahun dasar mendekati LRER. Disamping itu pendekatan ini memiliki kelemahan karena menganggap bahwa LRER konstan. b. Pendekatan structural : Macro-economic balance Pendekatan structural general-equilibrium dikenal dengan pendekatan Macroeconomic Balance (MEB) atau Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER) yang mendefinisikan keseimbangan jangka panjang nilai tukar riil sebagai nilai tukar yang berlaku ketika perekonomian berada dalam keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dicapai bila aktual output mencapai potential output (full employment). Kondisi ini ditandai dengan laju inflasi yang tidak terlalu tinggi dan konsisten dengan penyerapan tenaga kerja yang mendekati natural full employment. Keseimbangan eksternal dicapai bila savinginvestment gap berada pada tingkat yang normal. Kondisi ini dapat diartikan adanya defisit transaksi berjalan yang dapat ditoleransi dimana ketidakseimbangan transaksi berjalan dapat dibiayai oleh arus modal yang sustainable. Perhitungan FEER menurut pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan model makro. Keunggulan dari pendekatan ini adalah memungkinkan interaksi dinamis yang luas dari berbagai variabel dalam perekonomian sehingga dapat menghasilkan nilai tukar riil keseimbangan yang lebih realistis. Adapun keterbatasan operasional dari pendekatan ini adalah hasil estimasi sangat bergantung pada spesifikasi dari model makro dalam arti sangat tergantung pada realistis tidaknya parameter hubungan antar variabel yang digunakan dalam model struktural. c.
Pendekatan reduced form: NATREX, Behavioral Equilibrium Approach
Akhir-akhir ini studi empiris banyak dikembangkan untuk mengestimasi nilai tukar ekuilibrium dengan metode single equation reduced form (Elbadawi (1994), Elbadawi dan Soto 9 Ahlers and Hinkle
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
53
(1994, 1995), Baffes et al (1997)). Estimasi LRER dengan pendekatan ini dilakukan dalam persamaan kointegrasi. Daya tarik dari pendekatan reduced form dibandingkan dengan pendekatan struktural adalah pendekatan ini lebih sederhana dalam menggunakan latar belakang teori dan data. Pendekatan ini juga memperhatikan perilaku nilai tukar riil efektif untuk memperoleh nilai tukar keseimbangan yang mencerminkan kondisi fundamental perekonomian. Fundamental determinants dari keseimbangan nilai tukar riil merupakan variabel-variabel yang sangat berpengaruh terhadap keseimbangan eksternal dan internal suatu negara. Metode ini memerlukan spesifikasi hubungan jangka panjang yang tepat tanpa harus mengestimasi karakteristik struktural dari perekonomian. Adapun faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi keseimbangan nilai tukar riil jangka panjang dalam penelitian Elbadawi (1994) dan Baffes et al (1997) antara lain mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi posisi perdagangan antara home country dengan pasar dunia (terms of trade, trade opensess sebagai proteksi kebijakan perdagangan), faktor produktivitas sektor tradable dan non-tardable, arus modal, dan komposisi domestic absorption (pangsa investasi dalam PDB). Penelitian yang dilakukan oleh Faruqee (1995) tidak membahas masalah keseimbangan internal dan eksternal melainkan mengestimasi persamaan nili tukar riil dengan menggunakan productivity growth differentials, harga relatif non-traded goods, dan terms of trade sebagai variabel yang menetukan neraca berjalan (variabel X), dan memperlakukan stok NFA sebagai variabel eksogen. Nilai estimasi nilai tukar riil diperlakukan sebagai nilai trend, bukan sebagai nilai keseimbangan. Sementara itu, Stein (1995) dengan formulasi NATREX (natural real exchange rate) menjelaskan gerakan nilai tukar jangka menengah dan panjang yang terkait dengan efisiensi dan produktivitas variabel fundamental riil, dengan asumsi nilai tukar riil melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan. Penyimpangan dari kesimbangan eksternal dan internal dianggap sebagai disequilibrium terms dalam persamaan reduced form. Penimpangan dari keseimbangan internal diproyeksi dengan deviasi capacity utilization dari rata-ratanya, sedangkan penyimpangan dari keseimbangan eksternal diasumsikan sebagai fungsi dari deviasi US real long term rate dari rata-rata tertimbang comparable interest rate negara G7 lainnya. Dalam mengestimasi misalignment, Stein menghitung nilai estimasi dari hubungan jangka panjang dimana nilai tukar hanya merupakan fungsi dari variabel-variabel fundamental. Terdapat perbedan yang sangat besar antara nilai aktual dan nilai estimasi antara tahun 1977 dan 1982 serta antara 1983 dan 1986. Model juga tidak mencakup apresiasi besar yang terjadi pada dollar antara tahun 1980-1985. Pendekatan reduced form general equilibrium berkembang lebih lanjut dengan penyempurnaan-penyempurnaan antara lain memasukkan unsur-unsur ekonomi yang dapat
54
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
mempengaruhi ekspektasi pasar kedalam persamaan. Pendekatan ini dikenal dengan Behavioral Equilibrium Exchange Rate (BEER).
3.2. Spesifikasi Model BEER Model nilai tukar jangka panjang BEER1 0 membentuk persamaan reduced form yang diderivasikan dari kondisi risk-adjusted interest parity: Et[∆St+k] = - (it – it*) + πt
…………………………. (1)
Dimana St = nilai tukar nominal mata uang luar negeri per mata uang domestik it = suku bunga nominal it* = suku bunga dalam negeri πt = risk premium Persamaan (1) dikonversikan ke dalam bentuk riil (dikurangi dengan perbedaan ekspektasi inflasi: Et(∆Pt - ∆Pt*) sehingga menjadi: qt = Et[qt] + (rt – rt*) - πt
………………………………(2)
dimana qt = nilai tukar riil rt = it – Et [∆Pt] = tingkat bunga riil Persamaan kedua menunjukkan bahwa current equilibrium nilai tukar ditentukan oleh tiga komponen yaitu ekspektasi nilai tukar pada periode t, perbedaan suku bunga riil dengan jangka waktu t dan risk premium. Risk premium bertanda negatif menunjukkan bahwa peningkatan risk premium akan mendorong terjadinya depresiasi nilai tukar riil. Agar persamaan (2) dapat diaplikasikan, diasumsikan bahwa ekspektasi nilai tukar, Et[∆qt+k] dipengaruhi oleh fundamental ekonomi jangka panjang, Zt, sehingga keseimbangan nilai tukar jangka panjang menjadi: qt = Et[∆qt] = E[β’1Z1t] = β’ 1 Z1t
………………………………… (3)
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan variabilitas sistemik pada q telah banyak dibahas pada penelitian-penelitian sebelumnya, antara lain Faruqee (1994) dan macDonald (1997). Faktor fundamental tersebut antara lain terms of trade (tot), harga relatif traded goods terhadap non-traded goods (tnt ® Balassa-Samuelson effect) dan aktiva luar negeri bersih (nfa). + + + qt = f( tott, tntt,nfat )
…………………………………(4)
10 Peter B. Clark and Ronald MacDonald, IMF Working Paper 98/67
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
55
Dari persamaan (1) – (4) dapat dihasilkan persamaan umum sebagai berikut: BEER = f(tot, tnt, nfa, r-r*, π) ………………………. (5) a. Term of trade (tot) Terms of trade didefinisikan sebagai perbandingan harga ekspor (unit value of export) terhadap harga impor (unit value of import). Terms of trade berdampak positif terhadap prilaku nilai tukar riil. Perbaikan terms of trade akan mendorong perbaikan posisi transaksi berjalan yang selanjutnya akan cenderung berdampak pada menguatnya nilai tukar domestik. b. Produktivitas (tnt) Dari sisi penawaran, determinan nilai tukar riil diwakili oleh relatif faktor produktivitas yang dikenal dengan “the Balassa-Samuelson effect” yang menunjukkan bahwa setiap proses yang menyebabkan pertumbuhan produktivitas sektor tradable lebih cepat dari pada sektor nontradable (dibandingkan dengan luar negeri) akan mendorong apresiasi nilai tukar riil. Dengan asumsi bahwa teknologi constant-resturn-to scale baik pada sektor tradable maupun nontradable dan berlakunya the law of one price pada tradable goods, maka peningkatan produktivitas pada produksi tradable goods cenderung akan meningkatkan marginal produktivity of labor sektor tersebut yang tercermin pada kenaikan upah pada sektor tradable. Adapun perfect mobility of labor antar sektor, hal ini pada gilirannya akan meningkatkan harga nontradable, mendorong apresiasi nilai tukar riil. c. Aktiva luar negeri bersih (nfa) Jumlah aktiva luar negeri bersih mencerminkan ketersediaan devisa untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dengan pihak luar negeri. Makin besar jumlah cadangan devisa yang dimiliki maka kepercayaan luar negeri atas kemampuan negara kita untuk mengatasi external shock akan meningkat, sehingga dapat menekan berspekulasi atas mata uang domestik dan nilai tukar riil cenderung akan menguat. d. Resiko (risk) Country risk suatu negara mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian negara yang bersangkutan, yang tercermin dari keputusan-keputusan investasi yang akan dilakukan di negara tersebut. Makin tinggi risk premium suatu negara maka akan semakin mahal untuk melakukan investasi di negara tersebut. Tingginya resiko juga menurunkan suku kepercayaan investor asing dan menimbulkan tekanan depresiatif terhadap nilai tukar riil. e. Perbedaan suku bunga riil dalam negeri dan luar negeri (ridf) Perbedaan suku bunga riil dapat menjadi daya tarik bagi investor untuk mendapatkan return yang lebih tinggi bagi investasinya. Jika perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri makin membesar diperkirakan akan mampu menarik arus modal masuk sehingga nilai tukar riil menguat.
56 3.3. a.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Hasil Estimasi Estimasi Keseimbangan Nilai Tukar Riil
Estimasi kointegrasi dijalankan dengan menggunakan teknik multivariate maximum likelihood estimation (MLE) dari Johansen (1988). Sebelum mengestimasi parameter kointegrasi, perlu dilakukan pengujian unit root untuk menguji apakah variabel-variabel dalam sistem bersifat stationary atau difference-stationary. Metode kointegrasi mensyaratkan bahwa vaeriabelvariabel yang digunakan dalam sistem harus non-stationary1 1 . Hasil pengujian unit root dengan menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller (ADF) terhadap masing-masing variabel dalam sistem persamaan menunjukkan bahwa pada suku level, semua variabel tersebut bersifat non-stationer namun dalam bentuk first difference bersifat stationer. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel dalam sistem mempunyai sifat integrated of order one, I (1). Konsep kointegrasi menyatakan bahwa jika satu atau lebih variabel yang tidak stationer terkointegrasi maka kombinasi linier antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stationer sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil. Dengan demikian, selanjutnya dapat dilakukan pengujian kointegrasi untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara variabel nilai tukar riil efektif dengan variabel-variabel fundamental. Tabel 3.1 Hasil Unit Root Test Variabel
ADF
Integration
LREER ∆LREER
0,13 -5,41*
I(1)
LTOT ∆LTOT
-1,20 -6,24*
I(1)
LTNT ∆ΤΝΤ
0,11 −5,47∗
I(1)
LNFA ∆LNFA
-1,97 -4,15*
I(1)
LRISK ∆LRISK
-0,34 -3,10**
I(1)
RIDF ∆RIDF
-1,42 -5,03*
I(1)
11 Untuk pemahaman mendalam mengenai cointegration test lihat Enders W, Applied Econometric Time Series, 1995.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
57
Catatan : Ho = unit root (non-stationer) Ha = stationer Mc Kinnon Critical value yang digunakan dalam test ADF untuk significant level 1% = 3,52 dan untuk signifikant level 5% = -2,90 * Ho ditolak pada siginifikan level 1% ** Ho ditolak pada siginifikan level 5% Setelah seluruh varibel memenuhi persyaratan untuk proses integrasi, pengujian kointegrasi dapat dilakukan untuk membentuk hubungan jangka panjang antara nilai tukar riil dengan faktor-faktor fundamentalnya. Tabel 3.2 menunjukkan hasil test Johansen’s likelihood ratio untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi di dalam sistem. Pengujian dilakukan beberapa kali dengan menggunakan lag yang berbeda-beda untuk sistem VARnya agar mendapatkan residual yang white noise.1 2 Dengan menggunakan panjang lag 2 diperoleh hasil yang memenuhi kriteria white noise. Perbandingan hasil estimasi likelihood ratio terhadap nilai kritisnya (critical values dengan suku signifikansi 1% dan 5% diketahui bahwa terdapat 3 vektor kointegrasi. Tabel 3.2. Test Johansen’s Likelihood Ratio
Ho : r
Ho = 0 Ho £ 1 Ho £ 2 Ho £ 3 Ho £ 4 Ho £ 5 Catatan
:
Eigenvalue
0.45 0.37 0.29 0.20 0.11 0.00
Likelihood Ratio 125.27 * 82.26 * 48.69** 24.05 8.07 0.04
Critical Value 1% 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
* signifikan pada tingkat 1% ** signifikan pada tingkat 5%
Adapun persamaan koointegrasi (unresticted)1 3 setelah dinormalisasi menghasilkan parameter jangka panjang sebagai berikut (Lampiran 2):
12 Residual yang white noise adalah residual yang mempunyai distribusi normal dan tidak memiliki serial correlation. Pengujian normality dilakukan dengan Jacque-Bera test, sedangkan pengujian serial correlation dilakukan dengan Godfrey LM test. 13 Dipilih vector kointegrasi yang memiliki eigenvalue maksimum yang berarti memiliki dominan long run reltionship.
58
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
lreer = 0,52 ltot + 2,00 ltnt + 0,37 lnfa + 0,82 lrisk - 0,04 ridf - 11,43 (3,84) (7,98) (8,00) (34,12) (3,21)
(6)
(angka dalam kurung menunjukkan t statistik)
Seluruh variabel signifikan secara statistik. Kecuali variabel perbedaan suku bunga, seluruh parameter memiliki arah yang sesuai dengan hipotesa. Hal ini dimungkinkan apabila mobilitas arus modal di Indonesia tidak memenuhi asumsi perfect capital mobility. Pada negara-negara yang mobilitas modalnya sempurna, perbedaan suku suku bunga sangat berpengaruh terhadap aliran modal. Kenaikan suku bunga domestik yang lebih cepat daripada kenaikan suku bunga luar negeri akan mendorong terjadinya aliran modal masuk yang pada gilirannya akan memperkuat mata uang domestik. Dalam kondisi dimana pergerakan modal tidak terlalu sempurna, elastisitas suku bunga terhadap aliran modal menjadi relatif rendah karena aliran modal masuk yang terjadi tidak semata-mata tertarik oleh suku bunga domestik yang relatif lebih tinggi, melainkan juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lainnya seperti ketersediaannya sumber daya, pertumbuhan ekonomi dan faktor fundamental lainnya. Besarnya koefisien menunjukkan bahwa relatif harga traded terhadap non traded good sangat elastis mencapai 2. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas sektor traded goods relatif terhadap non-traded goods sangat besar peranannya terhadap prilaku nilai tukar riil di Indonesia. Variabel kedua terpenting adalah faktor resiko yang memiliki koefisien elastisitas 0,8. Koefisien resiko bertanda positif hanya karena definisi dari indikator yang digunakan yaitu peningkatan indeks berarti resiko makin rendah. Apabila indeks resiko meningkat (berarti resiko menurun) sebesar 1% maka indeks nilai tukar riil efektif akan apresiasi sebesar 0,8%. Implikasinya adalah apabila pemerintah tidak dapat segera menyelesaikan permasalahan ekonomi dan politik di dalam negeri, maka tekanan depresiasi akan tetap besar. Terms of trade secara statistik berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil dengan elastisitas sebesar 0,5%. Pengaruh positif tot sesuai dengan kecenderungan hasilhasil penelitian sebelumnya dimana income effect dari perubahan terms of trade di Indonesia lebih besar dibandingkan substitution effect-nya. Aktiva luar negeri bersih berpengaruh positif terhadap prilaku nilai tukar riil efektif, mencerminkan ketersediaan cadangan devisa Indonesia akan mengurangi dorongan spekulasi. Semakin besar NFA yang kita miliki, meningkatkan kepercayaan investor bahwa Indonesia cukup kuat menghadapi gangguan eksternal (external shock) sehingga berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil rupiah.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
59
Persamaan Jangka Pendek Untuk mendapatkan ilustrasi mengenai pengaruh dinamika jangka pendek dari masing-masing variabel fundamental terhadap prilaku nilai tukar riil dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan error correction model (ECM). Dalam pembentukan model ECM, lagged value dari error yang diperoleh dari persamaan keseimbangan jangka panjang (persamaan 6) akan digunakan sebagai koefisien error correction bersama dengan determinaan jangka pendek dari persamaan nilai tukar riil. Hasil estimasi persamaan jangka pendek dengan pendekatan ECM untuk periode 1992.9-1998.8 sebagai berikut : ∆ lreer = 0.0005 + 0.0173 ecm(-1) + 2.8746 ∆ltnt + 0.1736 ∆ltot(-3) (0.17) (2.78) (31.96) (2.74) + 0.1905 ∆lrisk(-3) (1.89) R2 = 0.95 R2ADJ = 0.94 DW=1.94 LM (Fstat) = 1.43 dimana : D = Ridf*D97 = LM test ARCH JB
+ 0.0018 ∆ridf*D97(-1) - 0.1105 ∆lreer(-1) ……. (7) (1.79) (-3.49) SER=0.022 JB=0.51 ARCH(F stat) = 0.796
first difference operator, ECM = error correction term dari persamaan 6. dummy multiplicative perbedaan suku bunga dan pemberlakuan sistem nilai tukar mengambang Agustus 1997. test untuk menguji serial correlation (Ho: no serial correlation) autogressive conditional heteroscedasticity test Jarque Berra normality test (Ho: normal distribution of error term).
= = =
Historical Simulation dari model kesimbangan jangka pendek: Grafik 3.1. REER dan Estimasi BEER Jangka Pendek 120 BEER REER 100
80
60
40
20 1993
1994
1995
1996
1997
1998
60
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Dalam estimasi persamaan jangka pendek, transformasi variabel suku bunga menjadi dummy multiplicative interest rate differential menunjukkan bahwa perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri dalam periode diberlakukannya nilai tukar mengambang bebas secara statistik berpengaruh positif terhadap nilai tukar riil. Namun koefisien variabel ini sangat rendah. Sementara itu, perubahan faktor produktivitas dalam jangka pendek juga mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap keseimbangan nilai tukar riil jangka pendek diikuti dengan perubahan variabel resiko dan perubahan terms of trade (lag 3). Pengukuran Misalignment Pada kenyataannya, nilai tukar aktual tidak selalu berada dalam nilai keseimbangannya. Deviasi nilai tukar aktual dari keseimbangannya umumnya terjadi dalam jangka pendek. (macroeconomic-induced misalignment). Namun, adakalanya deviasi ini bersifat persistent hingga deviasinya membesar (structural misalignment)1 4. Macroeconomic-induced misalignment terjadi karena adanya inkonsistensi antara kebijakan ekonomi (khususnya kebijakan moneter) dengan sistem nilai tukar yang berlaku. Misalnya, pelaksanaan kebijakan moneter yang terlalu ekspansif dalam sistem nilai tukar tetap. Sedangkan structural misalignment dapat terjadi ketika perubahan fundamental derminant dari nilai tukar tidak diterjemahkan ke dalam perubahan aktual nilai tukar riil jangka pendek. Misalnya terms of tradr memburuk, maka akan terjadi depresiasi pada nilai tukar keseimbangan. Bila nilai tukar riil aktual tidak berubah menuju nilai tukar keseimbangannya maka akan terjadi misalignment. Apabila misalignment ini berlangsung untuk periode yang cukup lama, hal ini dapat membahayakan, karena tekanan-tekanan untuk mendorong nilai tukar riil ke arah yang keseimbangan terakumulasi kuat menimbulkan sentimen negatif di pasar yang dapat menimbulkan welfare cost yang tinggi. Pengukuran misalignment nilai tukar riil dapat dijelaskan dengan persamaanpersaamaan berikut ini : (a) nilai tukar riil aktual dapat dinyatakan dalam persamaan : qt = β’1Z1t + β’2Z2 t + τ’Tt + εt dimana : Z1 : vektor fundamental ekonomi yang diperkirakan dalam jangka panjang mempunyai persisten effects Z2 : vektor fundamental ekonomi yang mempengaruhi nilai tukar riil dalam jangka menengah T : vektor faktor transitory yang mempengaruhi nilai tukar riil dalam jangka pendek. ε t : random disturbance term. 14 Sebazstial Edward, Exchange Rate Misalignment in Developing Countries, (Baltimore: 1988).
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
61
(b) current equilibrium rate (q’t) adalah nilai tukar dengan nilai fundamental ekonomi yang current : q’t = β’1Z1t + β’2Z2t (c ) perbedaan nilai tukar riil aktual dan nilai tukar riil dengan fundamental ekonomi pada current value merupakan current misalignment (cmt) cmt = qt-q’t = qt - β’1Z1t + β’2Z2t = τ’Tt + εt Nilai estimasi BEER hasil persamaan (7) merupakan current equilibrium rate. Penyimpangan nilai REER aktual dari nilai estimasi BEER (grafik 3.1) menunjukkan current misalignment. Current misalignment mencerminkan adanya faktor transitory atau random error term, misalnya sebagai akibat adanya speculative bubles. Mungkin akan muncul argumentasi bahwa “misalignment” yang diperoleh dari perbedaan REER aktual dan estimasi BEER merupakan manifestasi dari specification error akibat adanya variabel fundamental lain yang belum diperhitungkan ke dalam model. Namun argumentasi ini dapat dikesampingkan dengan mengacu pada hasil diagnostic test terhadap residual. Diagnostic test terhadap residual menunjukkan error term dari perbedaan REER dan estimasi BEER memiliki distribusi normal dan bebas dari serial correlation. Error terms yang white noise menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi prilaku nilai tukar riil dalam persamaan telah mewakili keseluruhan faktor-faktor fundamental sehingga mampu menerangkan prilaku nilai tukar riil secara sistematis. Grafik 3.1. menunjukkan bahwa sampai dengan November 1995 REER mengalami undervalued dibandingkan dengan BEER. Misalignment berlangsung cukup lama dan cenderung mengecil pada saat band nilai tukar dilebarkan seperti yang terjadi pada bulan Desember 1993, Agustus 1994, Mei dan Desember 1995. Sejak awal 1996 REER cenderung overvalued yang semakin memb3esar sehingga misalignment ini mendorong timbulnya tekanan-tekanan pasar yang berlebihan terhadap rupiah pada awal kirsis. Yang menarik adalah setelah band intervensi dihapuskan (sejak Agustus 1997), aktual REER dan BEER menunukkan kecenderungan konvergen. Mengacu kepada variabel-variabel fundamental yang digunakan untuk menerangkan pergerakanan nilai tukar riil efektif BEER, maka variabel produktivitas, aspek resiko keuangan dan terms of trade memberikan pengaruh yang terbesar dan mermpunyai hubungan dua arah dengan nilai tukar riil (lihat lampiran 5, Hasil Granger test). Gejolak nilai tukar yang berkepanjangan pada awal krisis berpengaruh signifikan terhadap perkembangan ketiga variabel tersebut. Memburuknya variabel produktivitas dan terms of trade pada saat terjadi depresiasi yang berlebihan didasarkan pada kenyataannya bahwa struktur produksi Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap barang impor. Hal ini dapat terlihat dari tingginya pangsa impor barang-barang mentah dan bahan baku penolong (rata-rata 71,4%) dan barang modal (23,5%), sementara barang konsumsi hanya
62
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
sebesar 5,1% (Lampiran 5). Ketergantungan terhadap barang impor yang tinggi dalam berproduksi menyebabkan sektor produksi sangat rentan terhadap gejolak nilai tukar. Depresiasi yang tinggi menyebabkan harga barang impor meningkat tajam sehingga mempengaruhi produktivitas tradable goods di dalam negeri yang kandungan impornya tinggi. Selanjutnya, rendahnya produktivitas di dalam negeri memberikan tekanan depresiatif terhadap nilai tukar rupiah. Sementara itu, naiknya suku resiko (country risk) Indonesia pada periode krisis berdampak pada terjadinya krisis kepercayaan yang berakibat pada meningkatnya tekanan depresiasi rupiah. Spillover effect dari krisis nilai tukar menjadi sangat luas dan membuat perekonomian Indonesia mundur jauh, karena dibangun denan fundamental yang lemah baik di sektor finansial maupun sektor riil. Fundamental yang sedemikian buruk tercermin pada prilaku keseimbangan nilai tukar BEER yang merosot tajam pada periode Agustus 1997- Januari 1998. Nampaknya perubahan-perubahan ekspektasi masyarakat yang tercermin dalam variabel fundamental tersebut dapat cepat diterjemahkan oleh pasar dalam sistem nilai free floating sehingga membawa prilaku nilai stukar riil aktual mendekati nilai tukar keseimbangan.
3.4. Proyeksi Jangka Pendek Nilai Tukar Rupiah Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam jangka pendek, hasil estimasi BEER dapat digunakan untuk memprakirakan keseimbangan nilai tukar efektif rupiah. Dengan pertimbangan bahwa dalam tahun 1999 tingkat ketidakpastian dalam perekonomian Indonesia masih cukup tinggi, proyeksi nilai tukar riil keseimbangan dilakukan dengan skenario optimis dan pesimis. Karakteristik skenario optimis adalah sebagai berikut :
√ Country risk membaik dengan perkembangan politik yang membaik, sehingga variabelvariabel ekonomi dapat bergerak dengan normal. Dengan demikian tingkat produktivitas dan terms of trade diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan tahun 1998.
√ Suku bunga dalam negeri cenderung menurun hingga berkerak dalam kisaran 13% hingga akhir tahun 1999. Suku bunga luar negeri bergerak dalam kisaran 5%-5,5%.
√ Tekanan inflasi domestik menurun, dengan laju inflasi bulanan (y.o.y) bergerak menjadi sekitar 2% pada akhir tahun 1999 Karakteristik skenario pesimis :
√ Pemulihan ekonomi terhambat oleh iklim politik yang kurang mendukung, sehingga perbaikan produktivitas dan terms of trade juga mengalami hambatan.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
63
√ Terms of trade dan produktivitas masih tetap lemah. √ Asumsi suk bunga dan laju inflasi sama dengan skenario optimis Grafik 3.2. Proyeksi BEER I n d e k s R E E R A k tu a l d a n E s ti m a s i B E E R (Ta h u n d a s a r 1 9 9 2 = 1 0 0 )
120
R EER 100
B EER
80
O p t im is
60
P e s im is
40
20 97: 01
97: 07
98: 01
98: 07
99: 01
99: 07
Grafik 3.2 menunjukkan bahwa baik dengan skenario optimis maupun pesimis, nilai tukar riil efektif keseimbangan dalam semester kedua tahun 1999 diproyeksikan akan membaik, meskipun belum mencapai level sebelum krisis. Dengan skenario optimis, indeks BEER cenderung mengalami apresiasi hingga indeks meningkat dari sekitar 68 pada awal semester 2 tahun 1999 hingga mencapai 77 pada akhir tahun 1999. Dalam periode yang sama, dengan skenario pesimis indeks BEER diproyeksikan bergerak dari 66-69. Untuk memperoleh gambaran nilai tukar rupiah terhadap US$ secara nominal, nilai tukar riil efektif BEER dikonversikan dengan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), berdasarkan asumsi nilai tukar negara-negara yang diperhitungkan dalam basket dan laju inflasi luar negeri tertimbang sebagai berikut:
Indikator ekonomi (rata-rata bulanan) Inflasi tahunan luar negeri (weighted) Yen/US$ DM/US$ SGD/US$ NLG/US$ Won/US$ GBP/US$ FFr/US$
1,4% 110 – 115 1,83 1,70 2,10 1.184 0,62 6.23
64
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 3.3 Proyeksi Nilai Tukar Rp/US dolar Semester 2/1999 (Kurs Rata-Rata) Bulan Juli Agustus September Oktober November Desember
Optimis (Rp/US$) 6.862 7.039 6.844 6.665 6.609 6.675
Pesimis (Rp/US$) 7.528 7.541 7.489 7.351 7.254 7.354
Dengan asumsi PPP tersebut diperoleh hasil proyeksi nilai tukar keseimbangan rupiah terhadap US dolar pada semester kedua tahun 1999 bergerak sekitar Rp.6.600-Rp 7.000 (skenario optimis) dan Rp.7250-7550 (skenario pesimis), dengan kecenderungan menguat hingga akhir tahun 1999.
IV.
Kesimpulan
! Hasil penelitian mengenai volatilitas nilai tukar rupiah menunjukkan bahwa perilaku nilai tukar riil rupiah adalah regime-dependent, artinya sistem nilai tukar yang dianut mempengaruhi perilaku nilai tukar rupiah. Berdasarkan pengamatan terhadap perilaku nilai tukar rupiah dalam tenggang waktu 20 tahun terakhir, diperoleh gambaran bahwa semakin fleksible suatu sistem nilai tukar, maka nilai tukar akan semakin bergejolak (volatile) baik secara nominal maupun riil. Fenomena ini mengindikasikan bahwa akan semakin sulit memprediksi pergerakan nilai tukar di pasar dalam sistem nilai tukar mengambang bebas. Hal ini dikarenakan pergerakan nilai tukar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valas juga dipengaruhi oleh perubahan ekspektasi pasar yang pembentukannya tergantung pada aspek ekonomi dan non ekonomi.
! Hasil studi awal terhadap dua negara yang memiliki sistem nilai tukar yang berbeda yaitu Hong Kong (currency board system) dan Singapura (relatif fleksibel dengan sistem mengambang terkendali dengan band nilai tukar yang tidak diumumkan) menunjukkan bahwa kredibilitas manajemen nilai tukar suatu negara tidak tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh negara yang bersangkutan, melainkan sangat ditentukan oleh kekuatan faktor-faktor fundamental, termasuk memiliki cadangan devisa yang besar, dan faktor-faktor kelembagaan seperti sistem keuangan yang sehat, good governance pada perusahaan dan pemerintahan, sektor riil yang kompetitif dan efisien sehingga perekonomiannya tidak vulnerable terhadap gangguan-gangguan eksternal. Dengan
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
65
memiliki faktor fundamental dan aspek kelembagaan yang kuat, kedua negara tersebut relatif mampu bertahan dan terhindar dari krisis mata uang.
! Hasil pengujian statistik terhadap faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi prilaku nilai tukar riil efektif menunjukkan bahwa variabel produktivitas, terms of trade, resiko (country risk), aktiva luar negeri bersih dan perbedaan suku bunga merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan perilaku nilai tukar riil jangka panjang di Indonesia. Sedangkan dalam jangka pendek perubahan produktivitas, terms of trade (lag 3), faktor resiko (lag 3), variabel perbedaan suku bunga serta perubahan nilai tukar periode sebelumnya mempengaruhi keseimbangan nilai tukar riil jangka pendek. Koefisien estimasi yang diperoleh menunjukkan lebih besarnya peranan variabel-variabel sektor riil (faktor produktivitas dan terms of trade) dan faktor resiko (country risk) dibandingkan variabel moneter (cadangan devisa dan perbedaan suku bunga domestik dan luar negeri) dalam menentukan nilai tukar rupiah riil keseimbangan, sehingga upaya untuk mempengaruhi prilaku nilai tukar riil rupiah memerlukan koordinasi kebijakan antara kebijakan moneter dan riil untuk menciptkan fundamental ekonomi yang kuat dan seimbang.
! Pengukuran misalignment yang dilakukan dengan membandingkan hasil estimasi BEER dengan REER aktual dapat digunakan sebagai ukuran ekspektasi perubahan prilaku pasar terhadap nilai tukar. Apabila ekspektasi masyarakat telah dapat terbaca, maka akan lebih memudahkan pengambil keputusan untuk bertindak proaktif dalam manajemen nilai tukar. Hal ini diperlukan untuk menghindari gejolak yang berlebihan pada nilai tukar riil. Apabila terjadi misalignment yang berlangsung dalam periode yang cukup lama, maka otoritas moneter perlu berhati-hati dengan mengindentifikasikan penyebab misalignment tersebut. Salah satu penyebab struktural misalignment adalah apabila nilai tukar aktual tidak segera mengikuti perubahan-perubahan fundamental ekonomi.
! Hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam periode diberlakukannya sistem free floating, nilai REER aktual cenderung konvergen dengan nilai keseimbangannya. Perubahanperubahan ekspektasi masyarakat yang tercermin dalam variabel fundamental dapat dengan cepat diterjemahkan oleh pasar dalam sistem nilai free floating sehingga membawa perilaku nilai tukar riil aktual mendekati nilai tukar riil keseimbangan. Namun konsekwensinya adalah nilai tukar riil aktual menjadi lebih volatile, sehingga perlu upaya untuk meredam gejolak dari variabel-variabel yang mempengaruhi volatilitas nilai tukar riil di pasar.
! Hasil-hasil pengujian statistik terhadap koefisien estimasi, termasuk test diagnostik terhadap error term menunjukkan bahwa persamaan tersebut valid untuk digunakan dalam estimasi nilai tukar sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
66
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
perhitungan estimasi nilai tukar riil jangka pendek, melengkapi perhitungan nilai tukar berdasarkan pendekatan Puchasing Power Parity. Estimasi nilai tukar riil dengan pendekatan BEER diharapkan dapat lebih mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya karena selain variabel-variabel ekonomi, unsur resiko (country risk) suatu negara juga diperhitungkan sebagai variabel yang besar pengaruhnya terhadap pembentukkan nilai tukar di pasar. Hasil estimasi dengan persamaan BEER ini bermanfaat untuk simulasi proyeksi nilai tukar jangka pendek.
! Penyempurnaan terhadap persamaan estimasi selanjutnya dapat dilakukan misalnya dengan peningkatan kualitas data seperti variabel terms of trade yang besar pengaruhnya terhadap perilaku nilai tukar riil rupiah. Kini UREM bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik sedang melakukan penyempurnaan perhitungan unit value export dan unit value import mengingat indesk harga ekspor dan import yang kini tersedia perhitungannya sangat kasar. Disamping itu, apabila jumlah observasi sudah memadai dan memenuhi persyaratan dapat dilakukan estimasi ulang terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi prilaku nilai tukar riil khusus untuk periode sistem nilai tukar fleksibel. Daftar Pustaka Baffes, John, Ibrahim A. Elbadawai, Stephen A. Oçonnell, 1997, “Single Equation Estimation of the Equilibrium Real Exchange Rate”. Clark, Peter B dan Ronald MacDonald, 1998, Exchange Rates and Economic Fundamentals, A Methodological Comparison of BEERs and FEERs, IMF Working Paper/98/67, (Washington: International Monetary Fund). Edwards, Sebastian, 1994, “Exchange Rate Misalignment in Developing Countries”, in Approaches to Exchange Rate Policy, eds,s Richard C. Barth and Chorng-Huey Wong, (Washington: IMF Institute). Enders, Walter, 1995, Applied Econometric Time Series, John Wiley & Sons, Inc., Canada Faruqee, Hamid, 1995, “Long-Run Determinants of the Real Exchange Rate: A StockFlow Perspective”, IMF Staff Papers Vol. 42 No.1, (Washington: IMF). Stein, 1995, et.al., “The Fundamental Determinants of the Real Exchange Rate of the US Dollar Relative to the Other G-7 Currencies, “IMF Working Paper 95/81 (Washington: International Monetary Fund). Flood, R.R., and A.K. Rose, 1995, “Exchange Rates: A virtual Quest for Fundamentals,” Journal of Monetary Economics, No.36.
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
67
Gartner, Manfred, 1993, Macroeconomic under Flexible Exchange Rate, Harvester Wheatsheaf, Hertforshire, UK. Hinkle, Lawrence E. and Peter J Montiel, Estimating Equilibrium Exchange Rate in Developing Countries, World Bank forthcoming publication (final draft November 1998). Hong Liang, 1998, “Real Exchange Rate Volatility: Does the Nominal Exchange Rate Regime Matter?”. IMF Working Paper/98/147 (Washington: International Monetary Fund). International Country Risk Guide, Ed. Thomas S. Sealy, The PRS Group, East Syracuse, New York. Beberapa penerbitan. MacDonald, Ronald, 1997, “What Determines Real Exchange Rates? The Long and Short of It”, IMF Working Paper/97/21, (Washington: International Monetary Fund). Nurkse, 1945, Conditions of International Monetary Equilibrium, Priceton Essay. Rogers, J.H., 1995, “Real Shocks and Real Exchange Rates in Really Long Term Data,” International Finance Discussion Papers, Board of Governors of the Federal Reserve System, No. 493. Sohmen, E, 1961, Flexible Exchange Rates, (Chicago, Illionnois: Chicago University Press). Tjokronegoro, Paul Soetopo, Exchange Rate models : An Indonesian Case, paper dipresentasikan pada the Emerging Markets Confrence in Budapest, November 27-28, 19996. Waluyo, Doddy budi dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Vol. 1 No. 1, Bank Indonesia, Jakarta, Juli 1998. Willeeeet, Thomas 1996, “Exchange Rate Volatility, International Trade, and Resource Allocation.”Journal of International money and Finance 5 March: Supplement 101-12
68
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran 1.
Sistem Nilai Tukar Hongkong Dan Singapura
Selama krisis ekonomi akhir-akhir ini tekanan terhadap mata uang dialami ‘macanmacan Asia’dengan akibat yang berbeda-beda, tergantung pada bagaimana pemerintahan masing-masing negara bereaksi . sistem nilai tukar yang diterapkan, dan karakteristik perekonomian. Dua negara, Singapuran dan Hongkong, mata uangnya mengalami tekanan namun mampu melewati masa krisis. Kerusakan yang dialamai tidak separah yang terjadi di Indonesia. Korea, dan Thailand. Terrdapat beberapa kesamaan karakteristik perekonomian di antara singapura dan hongkong, yakni: derajad keterbukaannya, dan kedua perekonomian menganut sistem ekonomi pasar bebas. Hal yang membadakan mereka adalah sistem nilai tukar yang diterapkan. Singapura adalah negara penganut sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating), sedangkan Hongkong menggunakan currency board system (CBS).
2.2.1. Hongkong CBS telah dilaksanakan oleh Hongkong Monetary Authority (HKMA) sejak tahun 1983. tugas utama HKMA memang untuk memelihara stabilitas nilai tukar mata uang hongkong dolar dan dengan CBS supaya ini terbukti telah mampu menahan serangan terhadap mata uang mereka,. Di dalam sistem ini, monetary base serta semua exchange fund bills dan notes outstanding di back up seratus persen oleh cadangan devisa yang dipegang HKMA. Setiap kali terjadi perubahan monetary base maka cadangan devisa akan berubah sebesar nilai tukarnya. Mekanisme sistem ini seperti autopilot, sehingga apabila terjadi capital outfllow KHMA bertindak pasif saja. Capital outflow itu sendiri menyebabkan kontraksi monetary base yang pada gilirannya mendorong kenaikan tingkat bunga. Kehandalan sistem ini di bawah penanganan HKMA terbukti selama kurun waktu 1997-98, di saat serangan spekulasi dolar Hongkong terjadi beberapa kali. Pada pertengahan 1997, banyak hedge finds asing melakukan serangan spekulatif terhadap dolar Hongkong dengan melakukan posisi short. Pada kelanjutannya aksi short selling ini menyebabkan tingkat bunga di Hongkong naik. Kenaikan suku bunga yang tinggi pada akhirnya memukul balik pada spekulan karena para hedge funds menager membiayai posisi short mereka dengan pinjaman bank. Hal ini menyebabkan kegiatan spekulasi mereka terjadi amat mahal. Sebagai contoh, pada tanggal 23 Oktober1997, dalam sebuah serangan spekulatif, tingkat bunga antar bank overnight melonjak menjadi 300%.1 5 Pada hari itu berbagai kegiatan ekonomi Hongkong terpuruk dan kegiatan pasar saham pun terpukul. Namun serangan spekulatif gelombang pertama dapat tertahan dan mata uangnya stabil selama kurun waktu tersebut serta relatif stabil dibanding dengan masa-masa sebelum krisis. 15 Yam, Joseph, Chief Executive Honghong monetary Authority, Coping with Financial Turnoil, HKMA
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
69
Nilai Tukar Hk$/US$ 8 7.8 7.6 7.4 7.2 7
93
Mar-
94
Mar-
95
Mar-
96
Mar-
97
Mar-
98
Mar-
Serangan berikutnya melibatkan strategi spekulan yang lebih canggih. Pada bulan Agustus 1998 mereka melakukan tekanan terhadap perekonomian Hongkong dengan jalan menyerang dolar hongkong sekaligus melakukan aksi pemborongan saham-saham di pasar saham Hongkong. Terbukti kembali bahwa kredibilaitas otoritas moneter yang tinggi serta tindakan cepat, taktis dan cerdik untuk menghadapi ulah spekulan berhasil menyelamatkan Hongkong. Namun selain itu dapat disimpulkan empat hal yang menjadi penopang utama daya tahan perekonomian Hongkong:
√ Cadangan devisa yang sangat kuat, per akhir tahun 1998 Hongkong memiliki cadangan devisa sebesar USD 88,4 milyar, terbesar ketiga di dunia setelah Jepang dan RRC.
√ Kebijakan fiskal yang berhati-hati dan kredibel, dengan skala pemerintahan yang kecil dan tanpa hutang luar negeri. Struktur pajak hongkong yang sederhana dan murah, serta pengeluaran publik yang hanya berjumlah 18 persen dari GDP merupakan kelebihan lainnya.
√ Sistem keuangan yang sehat dan solvent. Duania perbankan Hongkong sehat dan kuat sehingga naik turunnya bunga secara ekstrim yang sering terjadi dalam CBS tidak melumpuhkan kegiatan di sekitar ini. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan Hongkong sebesar 18 persen, dan debt ratio lainnya hanya 3,7 persen. Fungsi supervisi perbankannya juga amat prudent.
√ Fleksibelitas serta kepekaan perekonomian Hongkong amat baik. Perekonomian Hongkong berjalan dalam azas pasar bebas, sehingga shock adjusment internal maupun eksternal yang terjadi dapat ditanggapi secara fleksibel oleh perekonomiannya. Sebagai contoh, gejolak nail turunnya tingkat bunga beberapa waktu lalu tidak melumpuhkan perekonomiannya.1 6 16 Yam, Joseph, 23 Nopember 1998
70
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
2.2.2. Singapura Kebijakan moneter negara pulau ini ditangani oleh Monetary Authority of Singapore (MAS), yang diketuai oleh Wakil Perdana Menteri Singapura. Salah satu fungsi dari MAS adalah melaksanakan kebijakan moneter dan nilai tukar yang dapat mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan bersifat non-inflasioner.1 7 Kebijakan moneter Singapura lebih terfokus pada manajemen nilai tukar Singapur dolar, dan menyerahkan persoalan tingkat bunga kepada pasar. Perekonomian negara ini bersifat terbuka, dan kebijakan nilai tukar mata uangnya adalah managed floating. Singapore dolar di-manage terhadap basket of currancies dari negara-negara partner dagang utama. Untuk itu ditetapkan target band nilai tukar Singapore dolar dan MAS akan melakukan intervensi setiap kali terjadi gejolak di pasar. Sama seperti yang dialami Hongkong dan negara-negara Asia lain. Singapura juga mengalami tekanan pada perekonomiannya di saat gelombang serangan spekulatif terjadi di kawasan Asia Pasifik, namun berkat sukses MAS menjaga kredibilitas, tekanan tersebut tidak bertahan lama. Sedangkan di sisi kebijakan fiskal, Singapura selalu mengatasi masa krisis ekonomi ini. Pemerintah Singapura juga menurunkan pungutan-pungutan terhadap dunia bisnis sehingga meringankan beban perekonomian, sementara itu pengeluaran pemerintah difokusklan pada pengeluaran pemerintah Singapura berkeinginan untuk melaksanakan prinsip anggaran berimbang. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997 terjadi, perekonomian Singapura berada dalam kondosi full employment dan indikator makro lainnya menunjukkan kuatnya fundamental perekonomian.1 8 Pada tahun 1996 dan 1997, neraca barang dan jasanya surplus sebesar 17,03 dan 16,5 persen dari GDP, dan keuangan pemerintah juga mengalami surplus. Inflasi juga masih berkisar pada angka 2 persen di tahun 1997. Tingkat bunga di Singapura juga sangat rendah 2,93 persen di tahun 1996 dan 4,35 persen tahn 1997, bahkan lebih rendah dari AS. Di saat krisis terjadi, gejolak dalam perekonomian tidak membuat Singapura terjebak dalam depreciation-inflation spiral, karena efesiensi dalam perekonomian telah membuat pelaku ekonomi mampu melakukan adjusment dengan cepat. Kunci kekuatan perekonomian Singapura terletak pada:
√ Cadangan devisa yang amat kuat, sebelum krisis ekonomi Asia, di akhir tahun 1996 dan 1997 cadangan devisa Singapura mencapai angka: USD 76,8 milyar dolar dan USD 72,3 milyar dolar.
17 Lee hsien Loong, 12 Februari 1999 18 Lee hsien loong, 12 Februari 1999
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
71
Tabel 2.2.2. Surplus Neraca Barang & Jasa, Cadangan Devisa, Surplus Budget, dan GDP Singapura tahun 1991-99 (juta dolar Singapura, kecuali* dalam juta dolar AS)
Tahun
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Neraca Brg dan Jasa*
Cadangan Devisa*
Surplus Budget
GDP
5,384 6,433 4,808 12,114 15,247 15,796 15,990
34,133 39,885 48,361 58,117 68,695 76,847 71,289 72,291
7,591 9,537 12,998 13,086 15,870 17,868 13,612
75,53 80,94 94,32 108,22 120,70 130,77 143,01
Sumber: International Financial Statistics
√ Kebijakan ekonomi makro yang diimbangi oleh kebijaksanaan makro yang berorientasi pada pasar, Pemerintah hanya mengintervensi pasar domestik dalam bidang-bidang pendidikan, perumahan, dan kesehatan dasar masyarakat.
√ Fundamental ekonomi yang sudah kuat. Eksternal shock yang melanda Singapura dapat diserap oleh perekonomian dengan adjusment yang tidak menyakitkan, misalnya tanpa menyebabkan meningkatnya pengangguran.
√ Pemerintahan yang kredibel dan relatif bersih. Kesimpulannya, sebelum krisis ekonomi menyerang kawasan Asia, perekonomian Singapura telah memiliki fundamental ekonomi yang amat kuat, sehingga otoritas moneter dapat mempertahankan singapura dolar dengan kredibilitas yang tinggi. Dengan latar belakang ini, MAS lebih leluasa me-manage Singapura dolar secara kredibel di dalam menghadapi krisis. nilai Tukar mata uangnya selalu dapat dipertahankan untuk berada di dalam target band yang secara hati-hati selalu diperlebar sesuai kebutuhan, sehingga hasilnya, depresiasi terhadap dolar AS hanya 16,2 persen per tahun pada triwulan ketiga tahun 1998. Dan tidak pernah melampaui angka pulau ini rentan terhadap terhadap imported inflation, namunkenyataannya sepanjang krisis 1997-98, tingkat inflasi tidak pernah melampaui angka 3 persen, karena demikian efesiennya. Demikianlah tinjauan singkat terhadap dua sistem nilai tukar mata uang yang terbukti telah berhasil. Faktor-faktor non ekonomis domestik measing-masing negara juga tidak kalah penting dalam mendukung keberhasilan mempertaankan mata uang.
72
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran 2. Sumber Data dan Definisi Studi dilakukan dengan periode observasi bulanan dari September 1992 sampai dengan Agustus 1998. Real Effective Exchange Rate (REER) :q Variabel ini dihitung dengan menggunakan basket 8 mata uang mitra dagang utama Indonesia dengan tahun dasar 1992=100 dan relatif harga yang dihitung berdasarkan indeks Harga Konsumen. Variabel ini didefinisikan dalam term mata uang luar negeri terhadap mata uang domestik. Dengan demikian, peningkatan q berarti apresisi nilai tukar riil efektif. Term of Trade : tot Variabel tot merupakan rasio harga relatif ekspor terhadap import. Dalam hal ini digunakan data indeks harga perdagangan besar ekspor dan import. Relatif harga non-raded terhadap traded goods : tnt Relatif harga non traded terhadap tarded goods didefinisikan sebagai ratio harga non traded/traded goods domestik terhadap IHK/IHPB luar negeri (trade weighted ratio). Net Foreign Assets : nfa Merupakan stok NFA neraca sistem moneter yang dinyatakan dalam US dolar Resiko Digunakan financial risk indeks dari sumber data International Country Risk Guide (ICRG). Indeks ini bertujuan untuk mengukur kemampuan suatu negara, baik pemerintah maupun sektor swastanya, dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keuangannya. Indikator yang digunakan oleh ICRG dalam menghitung indeks resiko keuangan adalah: • Hutang LN sebagai persentase PDB ---> point max. 20,0 • Hutang LN (% terhadap ekspor barang dan jasa) ---> point max. 20,0 • Neraca transaksi berjalan (% terhadap ekspor barang dan jasa) ---> point max. 30,0 • Cadangan devisa Bersih (persentase terhadap import) ----> point max. 10,0 • Kontrol Devisa ----> point max. 10,0 Komposit indeks dari indikator di atas dapat dikatagorikan menjadi: Keterangan Resiko sangat tinggi Resiko tinggi Resiko moderat Resiko rendah Resiko sangat rendah
Indeks 00,0 – 49,5 50,0 – 59,5 60,0 – 69,5 70,0 – 79,5 80,0 – 100
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
73
Real Interrest rate differential : ridf Merupakan perrbedaan antara suku bunga riil domestik dan suku bunga riil domestik digunakan suku bunga deposito 1 bulan yang dikurangi dengan laju inflasi, sedangkan suku bunga luar negeri digunakan LIBOR US dolar 1 bulan yang dikurangi dengan laju inflasi Amerika. Lampiran 3. Johansen Cointegration Test
Date: 12/10/99 Time: 14:35 Sample: 1992:09 1998:08 Included observations: 72 Test assumption: Linear deterministic trend in the data Series: LREER92 LTOT LTNT_1 LNFA LRISK_FR LRIDF_1A Lags interval: 1 to 2
Eigenvalue 0.449778 0.372585 0.289812 0.199067 0.105549 0.000563
Likelihood Ratio 125.2721 82.25687 48.69432 24.05413 8.071755 0.040534
5 Percent 1 Percent Hypothesized Critical ValueCritical ValueNo. of CE(s) 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
None ** At most 1 ** At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5
*(**) denotes rejection of the hypothesis at 5%(1%) significance level L.R. test indicates 3 cointegrating equation(s) at 5% significance level Unnormalized Cointegrating Coefficients: LREER92 LTOT LTNT_1 LNFA LRISK_FR LRIDF_1A 3.476313 -1.792468 -6.960075 -1.281097 -2.862197 0.135912 -2.126268 3.795039 8.328276 -0.056516 0.469542 -0.012505 -1.443129 -0.722855 7.068396 0.472699 -2.549518 0.13245 0.463136 -1.253426 -3.851086 -0.410092 1.414064 0.145141 -0.138179 0.060782 0.526938 -0.50535 0.294917 -0.035094 -2.862153 -0.043018 7.174056 0.396406 -0.734242 0.106274
74
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Normalized Cointegrating Coefficients: 1 Cointegrating Equation(s) LREER92 1.000000
LTOT -0.515623 (0.13400)
Log likelihood
759.7504
LTNT_1 -2.002143 (0.25079)
LNFA LRISK_FR -0.368522 -0.823343 (0.04607) (0.19990)
LRIDF_1A 0.039097 (0.01217)
C 11.43002
Normalized Cointegrating Coefficients: 2 Cointegrating Equation(s) LREER92 LTOT LTNT_1 LNFA LRISK_FR LRIDF_1A C 1.000000 0.000000 -1.224283 -0.529034 -1.068117 0.052591 7.077662 (0.45441) (0.08874) (0.36144) (0.02277) 0.000000 1.000000 1.508580 -0.311297 -0.474714 0.026170 -8.440959 (0.48173) (0.09408) (0.38317) (0.02414) Log likelihood
776.5317
Lampiran 4. Dependent Variable : D(LREER92) Method : Least Squares Date : 03/19/99 Time : 15:13 Sample : 1992:09 1998:08 Included observations : 72 Variable
Coefficient
Std.Error
t-Statistic
Prob.
C ECM1(-1) D(LTNT-1) D(LTOT(-3)) D(LRISK_FR(-3)) D(RIDF97(-1)) D(LREER92(-1))
0.000494 0.017283 2.873622 0.173554 0.190485 0.001821 -0.110499
0.002772 0.006209 0.089895 0.063357 0.100481 0.001015 0.031697
0.178186 2.783566 31.96629 2.739287 1.895729 1.793453 -3.486043
0.8591 0.0782 0.0000 0.0079 0.0624 0.0776 0.0009
Perilaku Nilai Tukar Rupiah dan Alternatif Perhitungan Nilai Tukar Riil Keseimbangan
R-Squared 0.951358 Adjusted R-Squared 0.946868 S.E. of regression 0.022352 Sum squared resid 0.032475 Log likehood 175.1787 Durbin-Watson stat 1.947349
Mean dependent var S.D. dependent var. Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.010769 0.096970 -4.671631 -4.450288 211.8808 0.000000
Lampiran 5. Date : 01/03/99 Time : 09:26 Sample : 1992:09 1998:08 Lags : 2 Null Hypothesis
Obs F-statistic
Probability
LTOT does not Granger Cause LREER92 LREER92 does not Granger Cause LTOT
72
7.81793 241113
0.00089 0.09746
LTNT_1 does nor Granger Cause LREER92 LREER92 does not Granger Cause LTNT_1
72
4.55017 6.90188
0.01403 0.00188
LNFA does not Granger Cause LREER92 LREER92 does nor Granger Cause LNFA
72
2.39162 3.67955
0.09925 0.03047
LRISK_FR does not Granger Cause LREER92 LREER92 does not Granger Cause LRISK_FR
72
20.8001 2.34105
9.4E-08 0.10405
LRIDF_1A does not Granger Cause LREER92 72 LREER92 does not Granger Cause LRIDF_1A
0.12472 1.11210
0.88295 0.33486
75
76
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran 6 : Pangsa Impor Menurut Jenis Barang Brg. Konsumsi Bhn. Mentah &
Brg. Modal
Total
Bhn Baku Penolong 1992 1993 1994 1995 1996 1997 s/d Jun98
4.45% 4.05% 4.47% 5.78% 6.54% 5.20% 5.65%
68.55% 70.72% 72.36% 72.84% 70.98% 72.53% 71.64%
27.00% 25.23% 23.16% 21.38% 22.49% 22.27% 22.71%
100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
77
STABILKAH PERMINTAAN UANG DI INDONESIA SEBELUM DAN SELAMA KRISIS ? Triatmo Doriyanto *)
Tulisan ini mencoba mengetahui apakah permintaan uang riil di Indonesia selama periode sebelum krisis (sebelum Agustus 1997) dan saat krisis tetap stabil. Analisis stasioner dan integrasi dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller serta analisis kointegrasi dengan menggunakan uji Johansen menunjukkan adanya hubungan kointegrasi di antara variabel-variabel : currency riil dan PDB riil. Model permintaan uang riil dinamis dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) menunjukkan konsistensi parameter secara signifikan, juga pada saat krisis.
*)Triatmo Doriyanto: Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
[email protected] Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Halim Alamsyah, Bpk. Charles PR Joseph, Bpk. Iskandar, Yati Kurniati, Doddy Zulverdi, M. Firdaus Muttaqin, Firman Mochtar, Solikin dan Reza Anglingkusumo, atas diskusidiskusi yang telah dilakukan dan bantuan penelitian yang diberikan.
78
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
I. Pendahuluan
K
risis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD telah mengarahkan kepada diadopsinya sistem nilai tukar mengambang (free floating exchange rate). Hal ini memberi dampak yang besar kepada kebijakan moneter yang diambil oleh BI mengingat nilai tukar tidak lagi bertindak sebagai jangkar perekonomian. Dengan demikian, program moneter yang dicanangkan adalah mempertahankan stabilitas harga melalui pengaturan jumlah uang beredar (dalam hal ini currency). Tulisan-tulisan tentang stabilitas permintaan uang riil di Indonesia pernah dibuat oleh Desk Penelitian dan Pengembangan, URES (1995) dan Solikin (working paper), di Jurusan Ekonomi, Universitas Michigan (1998). Dalam tulisan pertama, digunakan ECM sebagai dasar untuk menguji stabilitas uang beredar (M1 dan M2) dengan menggunakan 2 prosedur penaksiran. Prosedur pertama adalah menggunakan penaksiran 2 tahap, yaitu menaksir keseimbangan dalam jangka panjang fungsi permintaan uang riil dan menghitung residualnya; sedangkan tahap berikutnya menaksir dalam jangka pendek dengan cara memasukkan residual jangka panjangnya (lag 1 periode). Prosedur kedua adalah dengan mensubstitusi faktor residual sekaligus dalam 1 persamaan dan menaksir parameterparameter jangka panjang serta jangka pendek secara bersama-sama. Pada tulisan Solikin, hanya digunakan prosedur pertama. Dalam tulisan ini, hanya akan digunakan prosedur pertama dan akan dibahas apakah permintaan uang riil tetap stabil sebelum dan selama krisis di Indonesia. Jika permintaan uang tersebut stabil, maka real balance dalam jangka panjang akan berhubungan secara proporsional dengan PDB Riil. Artinya, variabel-variabel tersebut berkointegrasi. Dengan menggunakan uji stasioner dan integrasi dengan Augmented Dickey Fuller serta analisis kointegrasi dengan menggunakan uji Johansen, tulisan ini meneliti permintaan uang dalam jangka panjang dari tahun 1988:01 - 1999:03 berdasarkan data bulanan. Dinamika permintaan uang riil ditaksir dengan ECM dan stabilitasnya diuji. Periode studi ini terdiri dari masa sebelum krisis (sesudah Pakto 1988 s/d sebelum pemberlakuan sistem floating exchange rate) dan selama krisis (sejak 1997:08 s/d 1999:03).
Hasil akhir dari studi ini menunjukkan bahwa demand currency riil tetap stabil selama krisis di Indonesia. Tulisan ini menemukan bukti kuat terjadinya stabilitas permintaan uang riil dalam jangka panjang yang diindikasikan oleh adanya kointegrasi currency riil dan PDB riil. Uji stabilitas terhadap parameter-parameter model dinamik (jangka pendek) menunjukkan konsistensi dalam seluruh periode. Spesifikasi model dinamik memasukkan lag : currency, error correction, nilai tukar, tingkat suku bunga deposito 1 bulan, dan inflasi. Efek perubahan PDB riil nampaknya tidak signifikan terhadap permintaan uang riil dalam jangka pendek.
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
79
Organisasi penulisan adalah sbb. : bagian II menjelaskan data yang dipergunakan dalam analisis. Bagian III menggambarkan hasil uji kointegrasi. Bagian IV menjelaskan proses penaksiran ECM. Uji stabilitas permintaan uang riil sebelum dan selama krisis dijelaskan di dalam bagian V. Bagian VI adalah kesimpulan.
II. Data yang Dipergunakan Studi ini mempergunakan observasi bulanan (seasonally unadjusted)1 selama periode 1988:01 - 1999:03 untuk currency (CURRENCY) yang dideflasikan terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar 1996. Produk Domestik Bruto Riil (PDBREAL)2 dipergunakan sebagai variabel untuk menaksir transaksi permintaan uang yang terjadi. Data kwartalan yang akan dipergunakan telah dilakukan “spline”3 untuk menjadi data bulanan. Tingkat inflasi (INFBUL) dan suku bunga yang dipergunakan adalah suku bunga deposito 1 bulan (DEP1) sebagai penaksir opportunity cost menyimpan currency. Nilai tukar (ER) juga berpengaruh terhadap permintaan uang terutama setelah pemberlakuan sistem nilai tukar berubah menjadi free floating4 . Gambar 1 menunjukkan hubungan log(CURRENCY/IHK), log(PDBREAL) dan ER serta hubungan DEP1 dengan INFBUL untuk periode 1988:01 - 1999:03. Keempat series menggambarkan peristiwa-peristiwa makroekonomi penting yang terjadi dalam periode ini. Log(CURRENCY/IHK) meningkat terus sejak awal periode sejak diberlakukannya Pakto 1988 yang memberikan dorongan lebih besar kepada masyarakat untuk berhubungan dengan perbankan sekaligus meningkatkan permintaan uang. Pada tahun 1991 terjadi peningkatan tingkat suku bunga deposito karena adanya kebijakan uang ketat. Puncaknya adalah pada saat terjadinya krisis yang dimulai pada bulan Juli 1997 sampai dengan awal tahun 1998. Nampak bahwa log(PDBREAL) dan ER mencerminkan perilaku log(CURRENCY/IHK). Inflasi bulanan (INFBUL) dan tingkat suku bunga deposito 1 bulan (DEP1), setelah dimulainya krisis, bergerak bersama-sama, namun pergerakan inflasi lebih bervariasi. Hal ini mencerminkan krisis keuangan yang sedang terjadi, berbeda dengan situasi sebelum krisis dimana pergerakan inflasi hampir konstan. Grafik tersebut
1 Data log (CURRENCY/IHK) dan log (PDBREAL) yang telah dilakukan seasonal adjustment telah diuj, namun error correctionnya tidak stasioner jika dilakukan uji unit root dengan ADF (lihat lampiran). 2 Berbeda dengan IMF Working Paper, Can Currency Demand be Stable Under a Financial Crisis ? The Case of Mexico, April 1999 yang mempergunakan data konsumsi sektor swasta sebagai pengganti PDBR. Data konsumsi kwartalan yang telah di”spline” juga telah diuji, namun hasilnya tidak signifikan. 3 Prinsip metode “ spline” adalah melakukan interpolasi data kwartalan menjadi data bulanan. Berbeda dengan paper IMF di atas, untuk menjadi data bulanan, data kwartalan diulang dalam kwartal yang sama. 4 Uji restriksi 0 pada koofisien ER menunjukkan penolakan yang sangat kuat (nilai Likelihood Ratio dan F statistik yang sangat besar).
80
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
mencerminkan hubungan positif antara permintaan uang riil dengan output dan nilai tukar serta hubungan negatif antara permintaan uang dengan inflasi dan tingkat suku bunga deposito 1 bulan. Hal ini mendukung fakta bahwa dalam jangka panjang terjadi kointegrasi di antara variabel-variabel tersebut di atas. Gambar 1. Grafik hubungan antara log(CURRENCY/IHK), log(PDBREAL) dan ER serta hubungan DEP1 dengan INFBUL untuk periode 1988:01 - 1999:03 16 14 12 10 8 6 4 88
89
90
91
92
93
94
95
LOG(CURRENCY/IHK)
96
97
98
99
LOG(PDBREAL)
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 88
89
90
91
92
93
94 ER
95
96
97
98
99
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
81
80
60
40
20
0
-20 88
89
90
91
92
93
DEP1
94
95
96
97
98
99
INFBUL
Transformasi logaritma dilakukan terhadap variabel-variabel dalam persamaan permintaan uang jangka panjang : CURRENCY ------------------- = α0 (PDBREAL)α1 exp. (α2 Z) I H K dimana Z adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi permintaan uang. Test Augmented Dickey-Fuller (ADF) digunakan untuk menguji stasioner tidaknya suatu variabel dan orde integrasi setiap variabel yang digunakan. Hasilnya dilaporkan dalam Tabel 1. Seluruh variabel (kecuali inflasi - INFBUL) terintegrasi dengan orde 1 - I(1). Namun, untuk kemudahan5 , orde inflasi disamakan dengan orde suku bunga - DEP1.
5 Menurut Pagan dan Wickens (1989), dimungkinkan untuk menggabungkan variabel-variabel yang berbeda orde integrasinya, jika dalam 1 persamaan terdapat lebih dari 2 variabel.
82
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 1. Test Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk menentukan orde integrasi setiap variabel.
Variabel
ADF Statistik
Jumlah Lag
Konstan termasuk
Trend termasuk
log(CURRENCY/IHK)
-2,229
3
Ya
Ya
log(PDBREAL)
-2,812
2
Ya
Ya
ER
-2,422
8
Ya
Ya
DEP1
-2,549
7
Ya
Ya
INFBUL : 1988:011999:03 : 1997:07-1999:03
-4,839* -2,106
0 0
Ya Ya
-
d(log(CURRENCY/IHK)) d(log(PDBREAL)) d(ER) d(DEP1) d(INFBUL)
-4,510* -5,87* -9,368* -7,423* -15,328*
1 0 1 1 1
Ya -
-
Catt. : - Periode test untuk seluruh variabel adalah 1988:01 - 1999:03, kecuali dinyatakan lain. - * menyatakan penolakan terhadap hipotesis nol : adanya unit root pada level 5 %. - Uji untuk INFBUL inkonklusif, uji dengan menggunakan periode yang berbeda tidak dapat menolak hipotesis nol : unit root (Ho : variabel bukan stasioner).
III. Perilaku Jangka Panjang dan Kointegrasi Pada bagian ini, akan diteliti adanya kointegrasi di antara log(CURRENCY/IHK) dan log(PDBREAL), DEP1, ER dan INFBUL menggunakan uji Johansen (1988). Untuk terjadinya kointegrasi, seluruh variabel-variabel tersebut harus diitegrasikan dengan orde yang sama. Hal ini telah dilakukan dengan uji ADF tersebut di atas6 . Tabel 2 menunjukkan hasil penaksiran kointegrasi dan pengecekannya dengan uji ADF bahwa variabel-variabel tersebut berkointegrasi dengan orde 1. Ditunjukkan Eigenvalues dan statistik Likelihood Ratio. Statistik LR menunjukkan keberadaan 1 vektor kointegrasi pada level 5 %. Sehingga, berdasarkan pada statistik di atas, dan asumsi bahwa
6 Uji dengan ADF terhadap residual persamaan jangka panjang (ECTR1) menunjukkan penolakan hipotesis nol adanya unit root pada level 5 %. Hal ini membuktikan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam persamaan jangka panjang berkointegrasi dengan orde 1 (lihat Enders, 1995).
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
83
penaksiran tidak mengabaikan adanya potensi vektor kointegrasi, maka prosedur dilakukan dengan menggunakan 1 vektor kointegrasi. Tabel 2. Hasil penaksiran kointegrasi. Sample: 1988:01 1999:03 Included observations: 130 Series: LOG(CURRENCY/IHK) LOG(PDBREAL)
Eigenvalue 0.148307 0.025471
Likelihood Ratio 24.22303 3.354171
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
Hypothesized No. of CE(s)
15.41 3.76
20.04 6.65
None ** At most 1
*(**) denotes rejection of the hypothesis at 5%(1%) significance level L.R. test indicates 1 cointegrating equation(s) at 5% significance level Normalized Cointegrating Coefficients: 1 Cointegrating Equation(s) LOG(CURRENCY/IHK) 1
Log likelihood
LOG(PDBREAL)
C
-1.164076 -0.07035
12.12411
776.7489
Hasil penaksiran vektor kointegrasi menggambarkan rumusan permintaan uang jangka panjang, arahnya benar (1,164 untuk PDBREAL)7 . Jadi, perkiraan elastisitas PDBREAL terhadap permintaan uang adalah mendekati nilai 1. Nilai ini mendekati elastisitas PDBREAL terhadap M1 dalam tulisan Solikin.8 Tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap pada permintaan uang dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode studi, permintaan uang dalam jangka panjang tetap stabil.
7 Variabel DEP1 dan ER juga diuji , namun tidak signifikan. 8 Hasil penaksiran Solikin untuk permintaan uang riil (M1riil) dalam jangka panjang : log(M1riil) = 1,664 + 1,109 log(GDPriil) - 0,025 Rdeposito 3 bulan. Sedangkan hasil penaksiran Desk Penelitian dan Pengembangan - URES untuk permintaan uang riil (M1riil) : log(M1riil) = -2,25 + 1,41 log(GDPriil).
84
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Persamaan jangka panjangnya adalah sbb. : Log (CURRENCY/IHK) = -12,12411 + 1,164076 log(PDBREAL)
IV. Error Correction Model Penaksiran persamaan kointegrasi mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, deviasi yang terjadi akibat hubungan ini menggambarkan shock terhadap variabel-variabel yang ada. Dinamika yang menggambarkan perilaku dalam jangka pendek sangat berbeda dengan yang terjadi dalam jangka panjang. Engle dan Granger (1987) menegaskan bahwa jika terdapat kointegrasi di antara variabel-variabel yang tidak stasioner, pasti akan terdapat hubungan error correction dalam data. Dalam bagian ini, akan dibahas penaksiran error correction, dengan memasukkan deviasi yang terjadi dalam jangka panjang dan dinamika jangka pendek. Di dalam model ini, dinamika jangka pendek dibuat dengan memasukkan perbedaan pertama (first difference). Penyesuaian terhadap deviasi permintaan uang riil jangka panjang dilakukan dengan cara memasukkan error correction yang ditaksir dalam bagian sebelumnya. Stabilitas prediksi error correction model akan dibahas dalam bagian berikutnya. Model error correction ditaksir untuk periode 1988:01 - 1999:03. Model ini pada awalnya ditaksir dengan memasukkan 6 lag untuk seluruh variabel ∆(log(CURRENCY/IHK)), ∆(INFBUL), ∆(ER), ∆(DEP1), dan error correction sebagai tambahan. Struktur lag akhir ditentukan berdasarkan signifikansi setiap lag dan kombinasi lag setiap variabel. Model akhir adalah : ∆(log(CURRENCY/IHK)) = 0,00493 – 0,369 ∆(log(CURRENCY/IHK))t-I – 0,002003 (1,899)
(-5,528)
∆(DEP1)t-1 - 0,00452 ∆(INFBUL)t-I + (-1,750)
(-1,427) 0,0000298 (7,176)
∆(ER)t - 0,152 ECTR1 t-1 (-4,323)
dimana ECTR1 adalah error correction. Tabel 3 menggambarkan hasil penaksiran tersebut. Semua kooefisien mempunyai tanda yang benar. Nilai F statistik menunjukkan bahwa semua koofisien signifikan pada level 1 % (kecuali intersep dan variabel suku bunga serta inflasi pada level 10%), dan persamaan tersebut telah sesuai dengan spesifikasi. Residualnya memiliki : homoskedastisitas (ARCH-LM), distribusi normal (NORM c2), dan tidak berkorelasi pada lag 11. Gambar 2 menunjukan nilai aktual, nilai fitted dan residual penaksiran tersebut.
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
85
Tabel 3. Hasil penaksiran ECM Dependent Variable: D(LOG(CURRENCY/IHK)) Method: Least Squares Sample(adjusted): 1988:03 1999:03 Included observations: 133 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(LOG(CURRENCY(-1)/IHK(-1))) D(DEP1(-1)) D(INFBUL(-1)) D(ER) ECTRI(-1)
0.00617 -0.36923 -0.002003 -0.004518 2.98E-05 -0.151574
0.003248 0.066788 0.001404 0.002581 4.15E-06 0.035061
1.899382 -5.528389 -1.426818 -1.750337 7.176137 -4.323126
0.0598 0 0.1561 0.0825 0 0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.460789 0.43956 0.037115 0.174948 252.4167 2.087306
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
JB ARCH(1) BG - LM test White Test
Statistics
Probability
6.472510 1.283865 1.154511 1.129633
0.039311 0.259267 0.326511 0.345774
0.005255 0.049578 -3.705515 -3.575123 21.70588 0
Catt : - Jarque – Bera (JB) adalah uji untuk normalitas, tidak dapat ditolak pada level 1%. - ARCH adalah uji untuk tidak adanya autoregressive conditional heteroscedasticity, tidak dapat ditolak pada level 1%. - Breusch – Godfrey LM test adalah uji untuk tidak adanya serial correlation, tidak dapat ditolak pada level 1%. - White Test adalah uji untuk tidak adanya heteroskedastisitas, tidak dapat ditolak pada level 1%.
Persamaan di atas dengan jelas dapat diinterpretasikan. Pelaku menentukan berapa besar currency yang dipegang dalam jangka panjang berdasarkan kebutuhan transaksi. Dalam jangka pendek, mereka menyesuaikan kebutuhannya sekitar 15 % terhadap deviasi keseimbangan bulan lalu. Pelaku ekonomi bereaksi terhadap perubahan suku bunga, inflasi
86
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
dan nilai tukar (meskipun pengaruhnya kecil). Dapat dicatat bahwa level transaksi nampaknya tidak berpengaruh terhadap permintaan uang dalam jangka pendek, ini dapat terjadi karena pendekatan bulanan PDBREAL yang menggunakan data kwartalan. Gambar 2. Nilai aktual, nilai fitted dan residual penaksiran ECM
0.3 0.2 0.1 0.0 0.15
-0.1
0.10
-0.2
0.05 0.00 -0.05 -0.10 89
90
91
92
93
Residual
94
95
Actual
96
97
98
99
Fitted
V. Stabilitas Parameter dan Prediksi Untuk mengetahui bahwa persamaan yang dibuat sudah sesuai dengan spesifikasi, perlu dilakukan uji stabilitas pada parameternya. Prediksi dilakukan jika parameter yang diuji menunjukkan konsistensi dalam seluruh periode. Potensi ketidakstabilan parameter menurun selama krisis berlangsung dimana efek dari variabel-variabel yang ada dapat berubah dan variabel lainnya menjadi signifikan (contohnya adalah perubahan sistem nilai tukar dari managed floating menjadi free floating). Dalam bagian ini, akan dievaluasi konsistensi parameter sebelum dan selama krisis serta prediksi nilai nominal Currency untuk periode 1994:04 s/d 2000:10. Dievaluasi stabilitas penaksiran selama periode studi menggunakan uji forecast Chow, break point Chow, Ramsey Reset dan Cumulative Sum of Squares - Recursive test.
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
87
Gambar 3 menunjukkan uji Cumulative Sum of Squares - Recursive terhadap parameter ∆log(CURRENCY/IHK). Cumulative Sum of Squares-recursive untuk ∆log(CURRENCY/ IHK) tetap berada di dalam rentang level 5 % pada seluruh periode studi. Uji : forecast Chow, break point Chow dan Ramsey Reset dicantumkan dalam tabel 4. Parameter penaksiran menunjukkan konsistensi. Seluruh jenis uji menunjukkan adanya konsistensi paramater yang ditaksir selama periode studi. Gambar 3. Uji Cumulative Sum of Squares - Recursive terhadap : ∆log(CURRENCY/IHK) :
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 89
90
91
92
93
94
CUSUM of Squares
95
96
97
98
99
5% Significance
Untuk konfirmasi lebih jauh, dilakukan penghitungan forecast Chow, break point Chow dan Ramsey Reset selama periode 1997:08-1999:03.
88
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 4. Uji Forecast Chow, Break Point Chow dan Ramsey Reset Chow Forecast Test: Forecast from 1997:08 to 1999:03 F- statistic 1.189916 Probability Log likelihood ratio 26.71009 Probability
0.2773 0.143619
Chow Breakpoint Test: 1997:08 F-statistic 0.694002 Log likelihood ratio 4.499976
Probability Probability
0.654889 0.609342
Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio
Probability Probability
0.342644 0.328622
0.907344 0.95432
Pada gambar 4 ditunjukkan grafik currency aktual (CURRENCY), model (CURRENCYFMOD) dan prediksinya (CURRENCYFORC) dengan asumsi sampai dengan bulan Oktober 2000 : tingkat pertumbuhan riil 0%, suku bunga 14%, nilai tukar rupiah Rp. 6.500,- dan inflasi untuk tahun 1999 serta tahun 2000 masing-masing 7,3% dan 6% sesuai dengan prediksi MODBI. Gambar 4. Grafik CURRENCY, CURRENCYFMODEL dan CURRENCYFORCAST. 50000 prediksi
40000
30000
20000
10000
0 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 CURRENCY
CURRENCYFMOD
CURRENCYFORC
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
89
VI. Kesimpulan Tulisan ini menemukan bukti bahwa permintaan uang riil di Indonesia tetap stabil sebelum dan selama krisis. Analisis kointegrasi menggunakan teknik Johansen menunjukkan hubungan kointegrasi yang kuat antara currency riil dan PDB riil. Model dinamis permintaan uang riil menunjukkan konsistensi parameter yang ditaksir bahkan selama krisis terjadi. Dapat disimpulkan bahwa perubahan yang signifikan pada permintaan uang riil karena adanya krisis dapat dijelaskan dengan perubahan pada variabel-variabel yang secara historis memang mempengaruhi permintaan uang di Indonesia.
Daftar Pustaka Charemza, Wojciech W., and Deadman, Derek F., New Directions in Econometric Practice, General to Specific Modelling, Cointegration and Vector Autoregression, Edward Elgar Publishing Limited, 1997. Desk Penelitian dan Pengembangan Urusan Ekonomi dan Statistik, Stabilitas Permintaan Uang di Indonesia, Kertas Kerja Staf, Januari 1995. Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, John Wiley & Sons, Inc., 1995. Kennedy, Peter, A Guide to Econometrics, the MIT Press, Cambridge, Massachusetts, 1996. Khamis, May, and M.L. Alfredo, Can Currency be Stable Under a Financial Crisis ? The Case of Mexico, IMF Working Paper, April 1999. Mills, Terence C., Time Series Techniques for Economists, Cambridge University Press, 1990. Rao, Bhaskara B., (edit.), Cointegration for the Applied Economist, St. Martin’s Press, Inc., 1994. Solikin, The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and Money Multiplier in Indonesia, 1971 - 1996, Department of Economics, the University of Michigan, Spring 1998.
90
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Lampiran Uji kointegrasi pada Currency dan PDB Riil yang telah dilakukan seasonal adjustment dan uji unit root pada error correctionnya (ECSA) : Sample: 1988:01 1999:03 Included observations: 130 Test assumption: Linear deterministic trend in the data Series: LOG(CURRSA/IHK) LOG(PDBRESA) Lags interval: 1 to 4
Eigenvalue
Likelihood Ratio
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
0.119425 0.018169
18.91704 2.383661
15.41 3.76
20.04 6.65
Hypothesized No. of CE(s) None * At most 1
*(**) denotes rejection of the hypothesis at 5%(1%) significance level L.R. test indicates 1 cointegrating equation(s) at 5% significance level Normalized Cointegrating Coefficients: 1 Cointegrating Equations(s) LOG(CURRSA/IHK) LOG(PDBRESA) C 1 -1.1818804 12.38613 -0.07858 Log Likelihood 776.6722
ADF Test Statistic
-2.184954
1% Critical Value* 5% Critical Value 10% Critical Value
-3.4804 -2.8832 -2.5782
*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECSA) Method: Least Squares Sample(adjusted): 1988:03 1999:03 Included observations: 133 after adjusting endpoints Variable ECSA(-1) D(ECSA(-1)) C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. -0.017224 0.007883 -2.184954 -0.217819 0.084617 -2.574173 0.188395 0.080747 2.333163 0.075432 0.061208 0.046068 0.275897 222.1234 1.929943
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0307 0.0112 0.0212
0.010155 0.047546 -3.295088 -3.229892 5.303137 0.00611
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
91
Penaksiran ECM dengan variabel yang telah dilakukan seasonal adjustment dan uji stabilitas pada d(log(currsa/ihk)) dengan Cusum of Square – Recursive : Dependent Variable: D(LOG(CURRSA/IHK)) Method: Least Squares Date: 03/10/00 Time: 07:31 Sample(adjusted): 1988:03 1999:03 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C D(LOG(CURRSA(-1)/IHK(-1))) D(DEP1(-1)) D(INFBUL(-1)) D(ER) ECSA(-1)
0.083625 -0.370936 -0.002257 -0.005875 2.87E-05 -0.007619
0.064558 0.070505 0.001341 0.002516 4.09E-06 0.006314
1.295336 -5.261116 -1.68398 -2.334945 7.017407 -1.206755
0.1976 0 0.0946 0.0211 0 0.2298
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.378887 0.354434 0.036433 0.168571 254.886 1.992252
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.005045 0.045344 -3.742647 -3.612255 15.49433 0
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 89
90
91
92
93
94
CUSUM of Squares
95
96
97
98
5% Significance
99
92
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Uji normalitas residual ECM : 30 Series: Residuals Sample 1988:03 1999:03 Observations 133
25
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
20 15 10 5
Jarque-Bera Probability
2.80E-17 -0.004791 0.123420 -0.077204 0.036406 0.489809 3.456423 6.472510 0.039311
0 -0.05
0.00
0.05
0.10
Uji serial correlation pada residual dengan lag 11 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1.154511 Obs*R-squared 13.12397 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Variable C D(LOG(CURRENCY(1)/IHK(-1))) D(DEP1(-1)) D(INFBUL(-1)) D(ER) ECTRI(-1) RESID(-1) RESID(-2) RESID(-3) RESID(-4) RESID(-5) RESID(-6) RESID(-7) RESID(-8) RESID(-9) RESID(-10) RESID(-11) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Probability Probability
0.32651 0.2853
Coefficient -7.45E-05 0.021691
Std. Error 0.00328 0.121884
t-Statistic -0.022703 0.177963
9.21E-05 9.18E-05 -2.01E-07 0.014538 -0.058134 -0.076197 0.061036 -0.034675 0.070423 0.05455 0.007476 -0.140581 0.135473 -0.198232 -0.043232 0.098676 -0.025644 0.036869 0.157684 259.3255 1.93214
0.001448 0.063611 0.002724 0.033697 4.28E-06 -0.046991 0.047643 0.30514 0.162603 -0.357522 0.115652 -0.658848 0.102429 0.59588 0.100554 -0.344841 0.099638 0.706784 0.098181 0.555605 0.099888 0.074847 0.100249 -1.402328 0.101219 1.338422 0.100267 -1.977037 0.100175 -0.431568 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.9819 0.8591 0.9494 0.9732 0.9626 0.7608 0.7214 0.5113 0.5524 0.7308 0.4811 0.5796 0.9405 0.1635 0.1834 0.0504 0.6669 2.09E-19 0.036406 -3.643992 -3.274549 0.793727 0.68997
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
93
Uji autoregressive conditional heteroskedasticity pada residual : ARCH Test: F-statistic 1.283865 Probability Obs*R-squared 1.290868 Probability Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Sample(adjusted): 1988:04 1999:03 Included observations: 132 after adjusting endpoints Variable C RESID^2(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient 0.001174 0.098962 0.009779 0.002162 0.00207 0.000557 629.5144 2.027527
Std. Error t-Statistic 0.000213 5.511281 0.087339 1.133078 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.259267 0.255888
Prob. 0 0.2593 0.001303 0.002072 -9.507793 -9.464115 1.283865 0.259267
Uji heteroskedasticity pada residual : White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 03/10/00 Time: 08:21 Sample: 1988:03 1999:03 Included observations: 133 Variable C D(LOG(CURRENCY(-1)/IHK((D(LOG(CURRENCY(-1)/IHK( D(DEP1(-1)) (D(DEP1(-1)))^2 D(INFBUL(-1)) (D(INFBUL(-1)))^2 D(ER) (D(ER))^2 ECTRI(-1) ECTRI(-1)^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
1.129633 11.27121
Coefficient 0.001299 -0.001245 0.100083 -7.90E-05 4.57E-06 -0.000333 -4.42E-05 -3.68E-07 1.37E-10 0.002317 -0.024625 0.084746 0.009725 0.002059 0.000517 639.6771 1.983326
Probability Probability
0.345774 0.336782
Std. Error t-Statistic 0.000228 5.689565 0.003757 -0.331404 0.051339 1.949468 8.62E-05 -0.915819 9.47E-06 0.482887 0.000175 -1.904646 4.93E-05 -0.896102 3.60E-07 -1.021943 8.49E-11 1.61681 0.002566 0.902745 0.013285 -1.853641 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0 0.7409 0.0535 0.3616 0.63 0.0592 0.372 0.3088 0.1085 0.3684 0.0662 0.001315 0.002069 -9.453791 -9.21474 1.129633 0.345774
94
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Uji stabilitas parameter ECM dengan Chow Breakpoint : Chow Breakpoint Test: 1988:10 F-statistic Log likelihood ratio
0.672768 4.364527
Probability Probability
0.671827 0.627473
1.087875 6.987755
Probability Probability
0.373541 0.321981
0.694002 4.499976
Probability Probability
0.654889 0.609342
Chow Breakpoint Test: 1991:02 F-statistic Log likelihood ratio Chow Breakpoint Test: 1997:08 F-statistic Log likelihood ratio
Uji stabilitas parameter ECM dengan Chow Forecast : Chow Forecast Test: Forecast from 1988:10 to 1999:03 F-statistic 80.98083 Probability Log likelihood ratio 1227.669 Probability Dependent Variable: D(LOG(CURRENCY/IHK)) Method: Least Squares Sample: 1988:03 1988:09 Included observations: 7
0.088305 0
Variable C D(LOG(CURRENCY(1)/IHK(-1))) D(DEP1(-1)) D(INFBUL(-1)) D(ER) ECTRI(-1)
Coefficient -0.018249 -0.78692
Std. Error 0.009952 0.154559
t-Statistic -1.833669 -5.091399
Prob. 0.3178 0.1235
0.057954 -0.021957 -0.001721 0.461653
0.017365 0.003113 0.000765 0.084155
3.337391 -7.053401 -2.248951 5.485753
0.1853 0.0897 0.2664 0.1148
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.993721 0.962325 0.004141 1.71E-05 35.28663 3.515371
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.005604 0.021332 -8.367608 -8.413971 31.65095 0.134103
Stabilkah Permintaan Uang di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis ?
95
Uji stabilitas parameter ECM dengan Chow Forecast : Chow Forecast Test: Forecast from 1997:08 to 1999:03 F-statistic 1.189916 Probability Log likelihood ratio 26.71009 Probability Dependent Variable: D(LOG(CURRENCY/IHK)) Method: Least Squares Sample: 1988:03 1997:07 Included observations: 113
0.2773 0.143619
Variable C D(LOG(CURRENCY(1)/IHK(-1))) D(DEP1(-1)) D(INFBUL(-1)) D(ER) ECTRI(-1)
Coefficient 0.007276 -0.413885
Std. Error 0.004275 0.088069
t-Statistic 1.702119 -4.699569
Prob. 0.0916 0
-0.00223 -0.010821 -9.66E-05 -0.130033
0.006573 0.004456 0.000238 0.064877
-0.339218 -2.428303 -0.405864 -2.004313
0.7351 0.0168 0.6857 0.0476
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.286565 0.253227 0.036572 0.143117 216.5988 1.990346
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.00648 0.042321 -3.727412 -3.582595 8.595719 0.000001
Uji stabilitas parameter dengan Ramsey Reset : Ramsey RESET Test: F-statistic 0.907344 Log likelihood ratio 0.95432 Dependent Variable: D(LOG(CURRENCY/IHK)) Method: Least Squares Sample: 1988:03 1999:03 Included observations: 133 Variable C D(LOG(CURRENCY(1)/IHK(-1))) D(DEP1(-1)) D(INFBUL(-1)) D(ER) ECTRI(-1) FITTED^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Probability Probability
0.342644 0.328622
Coefficient 0.005195 -0.38715
Std. Error 0.003407 0.06941
t-Statistic 1.524675 -5.577691
-0.002047 -0.005397 2.97E-05 -0.166178 0.964392 0.464644 0.439151 0.037129 0.173697 252.8939 2.031406
0.001405 -1.456833 0.002742 -1.968211 4.15E-06 7.160131 0.038279 -4.341282 1.012436 0.952546 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.1298 0 0.1477 0.0512 0 0 0.3426 0.005255 0.049578 -3.697653 -3.545529 18.22626 0
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
97
KONDISI DAN RESPON KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO SELAMA KRISIS EKONOMI TAHUN 1997-98 Charles PR Joseph, Arief Hartawan, dan Firman Mochtar *) Merosot tajamnya kondisi perekonomian nasional sejak terjadinya gejolak nilai tukar pertengahan 1997, diyakini sebagai dampak kombinasi antara besarnya aliran modal asing, lemahnya sektor keuangan, serta lemahnya penilaian kegiatan usaha. Tulisan ini ditujukan untuk melihat pengaruh aliran modal keluar terhadap perekonomian nasional serta efektifitas respon kebijakan yang ditempuh. Dengan menggunakan model sederhana perekonomian terbuka, hasil pengujian membuktikan bahwa aliran modal keluar secara mendadak dan dalam jumlah yang sangat besar telah mengakibatkan kinerja perekonomian dengan cepat merosot serta dengan dampak yang cukup lama. Berbagai permasalahan yang timbul selama krisis seperti perekonomian yang terkontraksi, inflasi yang melambung dan nilai tukar yang melemah secara empiris dapat dibuktikan pada studi ini. Dari hasil studi ini juga terlihat bahwa respon kebijakan ekonomi yang ditempuh dengan titik berat pada stabilisasi jangka pendek terbukti cukup berhasil meskipun dengan pengorbanan semakin terkontraksinya perekonomian. Pengujian counterfactual memperkuat hasil ini yaitu bilamana kebijakan suku bunga tinggi segera diterapkan pada saal awal terjadinya krisis dan secara konsisten dipertahankan maka hasil yang terjadi adalah inflasi yang lebih rendah dan nilai tukar yang lebih kuat, meskipun di sisi lain kebijakan ini berdampak pada semakin merosotnya aktifitas perekonomian. Sedangkan apabila kebijakan fiskal dilakukan lebih ekspansif maka kontraksi perekonomian dapat lebih tertahan, kendati menciptakan trade off pada melemahnya nilai tukar dan melonjaknya inflasi. Dengan demikian, kombinasi kebijakan yang sebaiknya diterapkan dalam kaitannya dengan upaya mempercepat pemulihan perekonomian adalah kombinasi kontraksi di sisi moneter sejak terjadi tekanan aliran modal keluar dan ekspansif dari sisi fiskal yang dilakukan secara bertahap. Hal ini didukung dari hasil pengujian yang memperlihatkan bilamana kombinasi kebijakan tersebut diterapkan, laju inflasi yang dicapai relatif lebih rendah dengan nilai tukar yang lebih kuat. Namun demikian, kebijakan yang ditempuh tersebut dalam kaitannya dengan upaya stabilisasi nilai tukar tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakannya. Akhirnya implikasi lebih jauh dari tulisan ini adalah pentingnya upaya mengurangi ketergantungan pembiayaan pembangunan ekonomi yang bersumber dari dana asing, dengan belajar pada pengalaman yang dialami saat ini, maka dapat diyakini bahwa pembangunan yang lebih bersifat ‘indigenous process’ akan lebih tahan terhadap gangguan. *) Charles PR Joseph :Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
[email protected] Arief Hartawan : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
[email protected] Firman Mochtar : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Ekonomi Makro, DKM, Bank Indonesia, email :
[email protected]
98
I.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Latar Belakang
K
ondisi perekonomian nasional sejak terjadinya gejolak nilai tukar pertengahan 1997 berubah secara drastis. Berbagai perkembangan perekonomian yang mengesankan dalam saat dekade terakhir sepertinya dengan cepat memudar. Perekonomian nasional terus mengalami kontraksi sebesar 12,59% hingga triwulan II/1998. Pendapatan perkapita merosot tajam sehingga menempatkan Indonesia kembali pada klasifikasi negara “miskin”. Laju inflasi melambung tinggi yang hingga September 1998 telah mencapai 75,47%. Meskipun belum mencapai hyperinflation seperti yang pernah terjadi di tahun 1960-an, laju inflasi yang tinggi ini telah menekan daya beli riil masyarakat khususnya bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan masyarakat kecil. Berbagai interpretasi atas penyebab terjadinya krisis ekonomi telah banyak dikemukakan. Salah satunya adalah kombinasi dari aliran modal keluar, sektor keuangan yang rentan, dan penataan kegiatan dunia usaha yang lemah (poor corporate governance) (Bank Indonesia, 1998). Bermula dari menurunnya kepercayaan investor asing yang kemudian diikuti oleh berbaliknya modal (capital reversal), kondisi perekonomian dengan cepat memburuk. Kondisi ini semakin diperparah karena pada saat bersamaan sektor keuangan dan sektor kegiatan usaha berada dalam kondisi yang rapuh. Akibat akumulasi masalah tersebut, maka selanjutnya berdampak pada penurunan drastis kinerja perekonomian seperti tercermin pada krisis yang terjadi saat ini. Guna mengatasi permasalahan tersebut, berbagai kebijakan ekonomi makro telah ditempuh. Dari sisi kebijakan moneter, pemerintah dengan dukungan IMF telah mengambil berbagai kebijakan1. Kebijakan yang ditempuh secara garis besar adalah penerapan sistim nilai tukar mengambang (floating exchange rate) sejak tanggal 14 Agustus 1997, penerapan kebijakan moneter ketat guna meredam tekanan terhadap neraca pembayaran serta tindakan terpadu untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem keuangan dan perbankan. Sementara dari sisi fiskal, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang berhati-hati antara lain dengan mengurangi ekspansi pengeluaran pemerintah untuk proyek investasi namun meningkatkan pengeluaran dalam rangka program restrukturisasi sektor keuangan dan untuk kepentingan sosial (social safety net). Selain kedua kebijakan di atas, juga dilakukan reformasi struktural untuk menghilangkan/mengurangi berbagai distorsi dalam perekonomian. Memperhatikan kondisi perekonomian yang terjadi serta respon kebijakan yang ditempuh dalam kaitannya dengan stabilization program selama krisis, maka tujuan penelitian 1 Pembahasan lengkap mengenai kebijakan moneter yang ditempuh dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan, lihat Zulverdi (1998)
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
99
ini, pertama mengindentifikasi dampak kondisi ekonomi yang terjadi terhadap perekonomian nasional. Dalam penelitian ini kondisi yang dimaksud dibatasi pada keadaan meningkatnya aliran modal keluar. Kedua, melihat respon variabel penting ekonomi makro terhadap kebijakan ekonomi makro yang ditempuh pemerintah di tengah kondisi meningkatnya aliran modal keluar, dan ketiga, penelitian ini diharapkan akan mampu menyajikan altematif kombinasi kebijakan ekonomi makro guna mempercepat pemulihan kondisi perekonomian nasional. Berpijak pada tujuan penelitian tersebut, tulisan ini terdiri dari delapan bagian. Pada bagian dua secara umum akan melihat perkembangan ekonomi sebelum dan selama masa krisis, serta kebijakan ekonomi makro yang ditempuh selama masa krisis ekonomi tahun 1997- 1998. Bagian tiga dan empat akan menyajikan model yang digunakan dalam menjelaskan pengaruh kondisi aliran modal keluar serta kebijakan ekonomi makro yang ditempuh terhadap variabel ekonomi makro Indonesia. Selanjutnya, dengan menggunakan persamaan yang telah diuji pada bagian empat, bagian lima akan melihat sensitivitas variabel ekonomi terhadap aliran modal keluar dan kebijakan ekonomi makro saat kebijakan nilai tukar mengambang bebas diterapkan, baik secara parsial maupun setelah dilakukan kombinasi . Secara implisit. bagian ini diharapkan akan mampu menjelaskan apakah krisis yang terjadi pada tahun 1997, sebenarnya dapat juga terjadi pada periode sebelumnya bilamana terjadi aliran modal keluar yang cukup besar pada saat tersebut. Dengan tetap menggunakan persamaan yang telah ada, pada bagian enam akan dilakukan pengujian out of sample. Selain itu bagian ini juga melakukan pengujian counter factual yang bertujuan melihat kondisi perekonomian seandainya dilakukan altenatif kebijakan lain di luar kebijakan yang telah diterapkan. Akhirnya bagian ini juga diharapkan akan mampu mencari kemungkinan alternatif kombinasi kebijakan ekonomi makro dalam kaitannya dengan program pemulihan ekonomi. Selanjutnya dua bagian terakhir merupakan kesimpulan dan implikasi kebijakan serta saran lanjutan dari penelitian ini.
II.
Kondisi dan Kebijakan yang Ditempuh
2.1. Kondisi Ekonomi Sebelum Krisis Sampai dengan pertengahan 1997, perekonomian Indonesia secara umum menunjukkan perkembangan mengesankan sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata di atas 7% pertahun) dan laju inflasi yang rendah (di bawah 10%) (Tabel 1). Salah satu faktor positif yang menjadi kontributor baiknya kondisi tersebut
100
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
adalah ditempuhnya kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati. Dengan kombinasi kedua kebijakan tersebut maka berdampak pada mantapnya situasi ekonomi secara makro dan iklim usaha yang kondusif. Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro Indikator
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997*
PDB (%pertumbuhan)
8.9
7.2
7.3
7.5
8.2
8.0
6.1
Total investasi (%)
6.9
5.3
6.0
13.8
14.0
14.8
5.4
Total konsumsi (%)
7.3
3.3
10.1
7.1
11.1
8.5
6.3
Inflasi (%)
9.9
5.0
10.2
9.6
9.0
6.6
5.1
Harga Traded Goods (%)
9.6
5.2
9.2
9.5
9.5
5.5
5.0
Harga Non Traded Goods (%)
10.7
4.8
12.1
9.8
8.1
8.8
5.4
M2 (%)
17.0
20.2
22.0
20.2
27.6
29.6
25.4
NFA (%)
46.5
29.7
-3.1
-14.9
29.1
55.2
46.3
Kredit (%)
16.3
8.9
21.7
25.1
24.0
23.7
24.8
Suku Bunga Deposito 3 bln (%)
23.3
20.4
14.5
12.6
17.2
17.0
15.9
Transaksi berjalan (% thd PDB)
-3.4
-2.2
-1.6
-1.7
-3.4
-3.4
-3.5
Debt Service Ratio (%)
28.8
34.9
31.3
32.6
30.3
35.9
36.0
Hutang LN swasta ($ miliar)
16.6
20.1
28.1
37.9
48.2
54.9
65.0
*) Juni 1997, kecuali PDB
Dibalik kondisi tersebut, beberapa pihak berargumen bahwa kinerja yang tejadi tidaklah dibangun atas dasar struktur yang kuat. Menurut Warr (1998) pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih disebabkan oleh penumpukkan stok modal melalui aliran modal asing ketimbang peningkatan produktifitas tenaga kerja2. Adanya deregulasi sektor keuangan di akhir dekade 1980-an telah berdampak pada meningkatnya arus modal masuk khususnya melalui hutang swasta. Hutang swasta dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan yang hingga akhir 1996 telah mencapai US$ 51,1 rniliar (Tabel 1). Tingginya arus modal masuk kemudian berdampak pada perkembangan besaran-besaran moneter. Pertumbuhan uang beredar, terutama M2, naik pesat didorong oleh meningkatnya arus modal masuk (Tabel 1 ). Tersedianya sumber-sumber pembiayaan terutama dari luar negeri tersebut, -- sebagian besar berbentuk pinjaman yang terkait dengan kegiatan investasi swasta--, telah mendorong pesatnya pertumbuhan investasi dan konsumsi. Investasi swasta sebagaimana tercermin
2 Sebagaimana dikulip Basri dan Kuncoro (1998)
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
101
pada tingginya angka persetujuan PMA dan PMDN mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi seiring dengan meningkatnya arus modal masuk. Sementara itu total konsumsi tumbuh rata-rata di atas 8% sejalan dengan meningkatnya konsumsi swasta (Tabel 1 ). Berbagai perkembangan yang melatarbelakangi kinerja ekonomi tersebut selanjutnya secara tidak langsung telah mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan keuangan yang cukup besar (large financial imbalances) seperti tercermin pada besarnya defisit neraca transaksi berjalan, tingginya laju inflasi, nilai tukar yang terapresiasi secara riil dan tingginya suku bunga. Dari sisi neraca transaksi berjalan, besarnya defisit yang terjadi tidak terlepas dari tingginya permintaan impor sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik. Sebaliknya ekspor melemah akibat melemahnya daya saing dan dialihkannya sebagian produksi barangbarang ekspor untuk memenuhi pesatnya peningkatan permintaan dalam negeri. Perkembangan ini secara keseluruhan mengakibatkan tetap besarnya defisit transaksi berjalan. Sementara dari sisi harga, tingginya permintaan domestik telah meningkatkan harga non traded goods. Bila dikaitkan dengan nilai tukar maka tingginya inflasi non trade goods ini telah menyebabkan nilai tukar secara riil menjadi terapresiasi, karena pada sisi lain harga traded goods relatif konstan.
2.2. Kondisi dan Respon KebiJakan Selama Krisis Memasuki semester kedua tahun 1997 kondisi perekonomian mulai menghadapi permasalahan. Keraguan investor asing terhadap kesinambungan sektor ekstemal nasional sebagai dampak penularan krisis keuangan dan politik di Thailand, telah secara cepat diikuti penarikan dana sehingga telah berdampak sangat dalam terhadap kinerja perekonomian nasional. Struktur fundamental perekonomian yang rentan dan rapuh semakin terbuka dengan ditariknya modal asing tersebut. Investasi mengalami penurunan yang sangat tajam, inflasi meningkat tinggi, nilai tukar merosot tajam serta berbagai dampak negatif lainnya sebagaimana dikemukakan di bagian awal tulisan. Memperhatikan kondisi perekonomian tersebut, sebagaimana juga telah diuraikan sebelumnya, respon kebijakan yang telah ditempuh untuk mengatasi krisis merupakan kebijakan terpadu mencakup kebijakan moneter, fiskal, dan sektoral. Secara umum kebijakan yang ditempuh adalah penerapan kebijakan moneter ketat serta menerapkan kebijakan fiskal yang berhati-hati antara lain dengan mengurangi ekspansi pengeluaran pemerintah. Berikut ini disajikan secara kronologis pokok-pokok kebijakan yang telah ditempuh.
Periode Juli -Agustus 1997 : Temporary Adjustment Secara umum, kebijakan yang ditempuh pada periode awal terjadinya krisis mengindikasikan adanya keragu-raguan dari pengambil kebijakan atas shock yang terjadi
102
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
apakah bersifat temporary atau permanent. Pada saat itu, sempat berkembang pemikiran bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia lebih baik dari negara-negara yang mengalami krisis, sehingga kebijakan yang diterapkan cukup yang bersifat penyesuaian sementara. Untuk meredam gejolak nilai tukar. Pemerintah berupaya melakukan beberapa langkah pengetatan baik melalui kebijakan moneter maupun fiskal. Dari sisi kebijakan moneter antara lain melalui intervensi baik secara spot maupun secara forward dan meningkatkan fleksibilitas nilai tukar Rupiah melalui pelebaran rentang intervensi nilai tukar menjadi 12% dan kemudian diakhiri dengan penghapusan rentang intervensi pada 14 Agustus 1997. Selanjutnya, untuk lebih mengefektifkan kontraksi moneter melalui operasi pasar terbuka. Bank Indonesia menghentikan pembelian SBPU perbankan sejak tanggal 24 Juli 1997, demikian pula dengan Fasilitas Diskonto I dan SBI Repo juga dihentikan. Upaya tersebut belum cukup, Rupiah masih mengalami tekanan depresiasi yang tajam. Untuk itu, pada tanggal 19 Agustus 1997. Bank Indonesia menaikan suku bunga SBI intervensi untuk seluruh jangka waktu yang mencapai tertinggi 30% untuk jangka waktu 1 bulan. Akibat peningkatan SBI tersebut, suku bunga overnight di pasar uang antarbank sempat mencapai 159%. Selain itu, pemerintah melakukan penarikan dana BUMN seperti PT Jamsostek dan Dana Pensiun BUMN ke dalam SBI pada tanggal 15 s.d. 22 Agustus 1997 berjumlah sebesar Rp3,3 triliun. Di sisi fiskal, pemerintah melakukan konsolidasi anggaran dengan melakukan penangguhan dan pengkajian ulang proyek BUMM yang bermuatan impor tinggi dan yang menggunakan sumber pendanaan luar negeri.
Periode September -Desember 1997: Inconsistency Monetary Policies Pada periode ini, kebijakan yang ditempuh secara umum mencerminkan perhatian yang lebih serius dari pengambil kebijakan. Namun demikian, masih terdapat ketidakkonsistenan dalam melaksanakan kebijakan, seperti ditunjukkan oleh kebijakan untuk kembali melonggarkan likuiditas perekonomian meskipun tekanan depresiasi masih tetap tinggi. Ketatnya likuiditas di pasar uang serta menghindari kemungkinan semakin memburuknya situasi perekonomian, telah memaksa Bank Indonesia untuk menurunkan diskonto SBI intervensi. Penurunan dilakukan secara bertahap sejak 4 September sampai dengan 20 Oktober 1997. Selain itu, juga dilakukan pencairan lebih awal SBI Khusus milik BUMN, Yayasan dan Lembaga lainnya (sejak tanggal 17 September 1997), serta pelonggaran penyediaan kredit likuiditas terutama untuk program pengembangan usaha kecil. Sebagai alternatif dari pengetatan moneter, langkah-langkah untuk meredam gejolak nilai tukar dilakukan dengan berupaya meningkatkan pasokan devisa dan memantau
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
103
kebutuhan devisa pihak swasta. Langkah tersebut dilakukan melalui intervensi di pasar valuta asing, kebijakan Swap khusus untuk eksportir tertentu dan fasilitas forward kepada importir (2 Oktober 1997), penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Valas menjadi 3%, penangguhan rencana prepayment pinjaman komersial sebesar USD350 juta, dan penyediaan kembali fasilitas SBPU kepada perbankan secara bertahap dan terukur sejak tanggal 21 Oktober 1997 yang diprioritaskan bagi bank yang memenuhi persyaratan tertentu. Di sisi kebijakan fiskal dilakukan antara lain dengan meningkatkan disiplin anggaran yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut : peningkatan penerimaan dari sumber nonmigas yang diusahakan melalui peningkatan pajak barang mewah serta penerimaan bukan pajak, perbaikan administrasi dan struktur perpajakan, pengurangan subsidi, dan privatisasi BUMN. Kebijakan sektor riil antara lain mencakup langkah-langkah menghilangkan distorsi seperti penghapusan tata niaga impor kedelai, bawang putih dan gandum, serta penghapusan Harga Pasokan Setempat (HPS) semen, serta kemudahan tata niaga beberapa komoditi, penurunan secara bertahap tarif bea masuk beberapa. produk dan penghapusan PPN untuk pembelian bahan baku dan jasa dari pemasok dalam negeri kepada perusahaan berstatus Perusahaan Eksportir Tertentu (PET) dalam rangka ekspor tidak. langsung, penambahan kelompok/jenis komoditas cakupan.PET dari 10 menjadi 18, penetapan standar konversi penggunaan bahan baku/penolong untuk komoditas ekspor.
Periode Januari-November 1998 : Growing Concern about Crisis Perkembangan yang terjadi telah menyadarkan semua pihak bahwa krisis semakin dalam dan menyentuh seluruh bidang. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh lebih tertuju pada upaya untuk mencapai stabilisasi secepatnya agar proses pemulihan ekonomi tidak berlangsung dalam waktu yang lama. Hasil dari serangkaian kebijakan tersebut sudah cukup menggembirakan. Di sisi fiskal, kebijakan yang ditempuh antara lain mencakup pembatasan defisit anggaran antara lain melalui pengurangan subsidi BBM, pencabutan keringanan perpajakan untuk proyek mobil nasional, dan penghentian penggunaan dana anggaran dan nonanggaran untuk proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Sedangkan di sisi moneter, kebijakan yang dilakukan antara lain meliputi pengetatan likuiditas perekonomian yang dicerminkan oleh kenaikan suku bunga SBI beberapa kali yaitu pada tanggal 27 Januari, 23 Maret, 21 April, dan 7 Mei 1998, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, suku bunga yang terjadi merupakan hasil dari target kuantitas yang ingin dicapai oleh otoritas moneter. Suku bunga SBI sempat mencapai 70,2% pada lelang tanggal 2 September 1998 dan selanjutnya berangsur-angsur menurun menjadi 46,7% pada lelang 25 Nopember 1998.
104
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Selain itu, untuk mengurangi tekanan permintaan valuta asing juga dilakukan langkah-langkah untuk mempercepat penyelesaian hutang Swasta, antara lain melalui pembentukan INDRA dan Jakarta inisiatif. Di bidang keuangan dan sektor riil, langkah-langkah yang dilakukan adalah membentuk Badan Penyehatari Perbankan Nasional, mempercepat proses privatisasi BUMN, mengurangi atau membatasi wewenang distribusi Badan Urusan Logistik (BULOG) hanya untuk beras, dan menhapus hak monopoli dalam tata niaga berbagai komoditi lainnya seperti cengkeh, semen, kertas dan kayu.
III. Model yang Digunakan Dengan memperhatikan kondisi dan respon kebijakan yang ditempuh selama krisis, maka model yang digunakan adalah model sederhana perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar mengambang bebas sebagaimana yang biasa terdapat dalam buku teks ekonomi makro (lihat boks 1 ). Sementara itu data yang digunakan merupakan data kuartalan dengan periode sampel 1983:01 sampai dengan 1997:02. Pengambilan periode ini dimaksudkan untuk menguji kemungkinan bahwa persamaan struktural dengan periode sampel sebelum terjadinya krisis diharapkan dapat menjelaskan perilaku perekonomian sejak terjadi krisis. Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah variabel suku bunga, kredit, pengeluaran pemerintah dan aliran modal asing dianggap sebagai variabel eksogen. Penggunaan variabel aliran modal sebagai variabel eksogen sangat berhubungan dengan realitas yang lerjadi selama krisis berlangsung. Disadari bahwa secara teoritis pergerakan modal dapat dipengaruhi oleh variabel suku bunga domestik. Namun mengingat pergerakaan modal selama krisis sangat dipengaruhi oleh pengaruh eksternal daripada suku bunga domestik, maka aliran modal dalam penelitian ini diperlakukan sebagai variabel eksogen. Sebagaimana dimaklumi, aliran modal keluar tetap terus terjadi selama krisis berlangsung, kendati pada sisi lain Bank Indonesia telah meningkatkan suku bunga. Faktor efek penyebaran krisis keuangan di Thailand, ketidakstabilan kondisi sosial politik nasional, menurunnya kinerja perekonomian regional, serta adanya kegiatan spekulasi di pasar valuta asing, telah memberikan dampak negatif pada aliran modal. Rachbini (1999) menilai globalisasi keuangan telah memberikan ruang gerak yang lebih besar pada kegiatan spekulasi, yang pada gilirannya berbalik menjadi ketakutan, karena tidak lagi menemukan tempat yang aman untuk menyimpan kekayaan. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka sulit bagi otoritas moneter dapat mempengaruhi aliran modal secara berkesinambungan.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
105
Boks 1. Kerangka Model Kondisi Perekonomian Terbuka Persamaan A. Sisi Permintaan I. Keseimbangan Pasar Barang - Kurva IS Y = C + I + G + (X-M) C = C(Y,r) ......................... (1) I = I(r, NFA, M) ..........................(2) X = X(eP */P, M) .......................(3) M = M(eP */P, Y) ......................(4)
II. Keseimbangan Pasar Uang - Kurva LM Ms = Md Ms = m x M0 M0 = NFA + DC NFA = R + NFA(-1) Md = Md(r, Y, P) ......................(5)
Definisi
Y = PDB Domestik C = Konsumsi Masyarakat G = Pengeluaran Pemerintah X = Ekspor Brg dan Jasa M = Impor Brg dan Jasa r = Suku Bunga Nominal P = IHK Domestik P* = IHK luar negeri e = Nilai tukar Ms = Penawaran Uang Md = Permintaan Uang M0 = Uang Primer m = Money multiplier R = Tambahan Cd. Devisa NFA = NFA Bank Sentral DC = Domestic Credit
B. Sisi Penawaran Y = Y(P, I) ..................................(6) C. Keseimbangan Neraca Pembayaran - (Kurva BoP) R = (X - M) + S + F F = Aliran modal bersih e = e(DC, NFA, Y, r, P) ...........(7) S = Neraca jasa r* = Suku bunga luar negeri D. Persamaan Inflasi P = P (Y, eP*) ............................(8)
Sementara itu, penggunaan variabel suku bunga, kredit domestik, dan pengeluaran pemerintah sebagai variabel eksogen adalah untuk mendudukan peran ketiga variabel tersebut sebagai variabel kebijakan selama periode penelitian. Beberapa pengalaman kebijakan ekonomi makro nasional yang kerap dilakukan - baik pada saat terjadi gangguan ekstemal pada dekade 1980-an maupun saat terjadi tekanan dari sisi permintaan yang
106
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
mengakibatkan memanasnya suhu perekonomian pada awal dekade 1990-an - adalah dengan mengubah ketiga variabel tersebut melalui berbagai altematif instrumen3. Dengan mengacu pada asumsi dasar tersebut, maka model akan dibagi menjadi 4 blok model sederhana, yaitu blok pasar barang, blok pasar uang, blok penawaran agregat, dan blok neraca pembayaran. Pada masing-masing blok terdiri atas beberapa persamaan struktural. Secara umum persamaan struktural dalam model ini adalah persamaan “standar” buku teks ekonomi makro dan pernah digunakan oleh Nopirin (1983), MODBI, dan Yoshino (1998) dalam mengestimasi perilaku variabel ekonomi makro Indonesia. Persamaan konsumsi swasta merupakan fungsi dari pendapatan dan tingkat bunga. Hubungannya positif terhadap pendapatan dan negatif terhadap suku bunga. Apabila pendapatan meningkat maka konsumsi juga akan bertambah, sedangkan bila suku bunga meningkat maka akan ada bagian dari pendapatan yang semula ditujukan untuk konsumsi kemudian dialihkan menjadi tabungan sebagai respon terhadap kenaikan suku bunga. Investasi merupakan fungsi dari suku bunga, aliran modal dan impor. Hubungan antara variabel bebas dengan investasi adalah : suku bunga memiliki hubungan yang negatif, sementara aliran modal dan impor memiliki hubungan yang positif. Suku bunga dalam hal ini dianggap sebagai komponen biaya dalam melakukan investasi. Bila suku bunga naik. maka “biaya” meningkat sehingga dapat menurunkan minat investasi. Hubungan yang positif antara aliran modal dengan investasi dimaksudkan untuk menangkap hubungan antara external financing dengan kegiatan investasi. Penggunaan aliran modal sebagai faktor yang mempengaruhi investasi bermula dari pemikiran tentang teori akselator dalam investasi. Pada teori murni fungsi akselerator ini diwakili oleh perubahan pendapatan nasional. Namun demikian, dalam kondisi perekonomian yang sangat tergantung pada dana luar negeri, maka fungsi akselerator ini digantikan oleh variabel aliran modal. Kendati hubungan ini masih dapat diperdebatkan, diharapkan hasil estimasi akan mampu menjelaskan hubungan antara aliran modal asing dengan investasi. Sedangkan hubungan investasi dengan impor adalah untuk menangkap adanya linkage bahwa ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor masih sangat besar (HIID, 1995). Oleh karena itu diyakini bahwa kenaikan investasi akan dibarengi pula oleh kenaikan impor, terutama bahan baku dan barang modal. Persamaan ekspor merupakan fungsi dari nilai tukar riil dan impor. Penggunaan variabel impor dalam persamaan ekspor, adalah untuk menangkap peranan kandungan impor dalam mendorong ekspor nasional. Sebuah estimasi HIID (1995) memperlihatkan 3 Pembahasan mengenai kebijakan ekonomi makro untuk dekade 1980-an lihat Woo dkk (1994), sementara kebijakan pada dekade awal 1990-an lihat Ahmed (1993)
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
107
bahwa sekitar 1/3 impor nasional digunakan untuk investasi domestik dan kegiatan ekspor. Sementara itu, hubungan nilai tukar riil dengan ekspor memiliki hubungan yang positif yaitu bila rupiah mengalami depresiasi maka ekspor akan meningkat. Sedangkan persamaan impor merupakan fungsi dari nilai tukar riil dan pendapatan Indonesia. Nilai tukar memiliki hubungan yang negatif dengan impor karena bila terjadi apresiasi rupiah maka impor meningkat. Hal ini karena sebagai akibat apresiasi rupiah, harga barang impor menjadi relatif lebih murah (in terms of rupiah). Sementara hubungan antara pendapatan domestik dengan impor adalah positif, yaitu bila pendapatan Indonesia meningkat maka permintaan impor akan juga meningkat. Pada blok pasar uang, dengan mengasumsikan terjadi kesimbangan antara permintaan dan penawaran uang, maka permintaan uang merupakan fungsi dari suku bunga, pendapatan dan inflasi. Permintaan uang memiliki hubungan yang negatif dengan suku bunga, namun positif terhadap pendapatan dan inflasi. Apabila suku bunga naik maka masyarakat cenderung untuk menabung sehingga permintaan uang akan turun. Sedangkan bila pendapatan naik maka permintaan uang naik seiring dengan meningkatnya transaksi pengeluaran. Sementara itu, permintaan uang juga dipengaruhi oleh inflasi yaitu bila inflasi naik maka orang akan lebih cenderung memegang uang dari pada menyimpannya dalam sistem perbankan, sehingga naiknya inflasi mengakibatkan permintaan uang akan meningkat. Keterbatasan data dan informasi tentang kondisi pasar tenaga kerja Indonesia dan kesulitan dalam mengukur total factor productivity menyebabkan dalam penelitian ini persamaan penawaran agregat tidak dapat disusun sebagai fungsi dari capital, labor dan total factor productivity sebagaimana tercantum dalam buku teks makroekonomi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini persamaan sisi penawaran diestimasi sehingga merupakan fungsi dari harga dan investasi. Pada dasarnya model penawaran agregat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari model open macro economy oleh Yoshino (1998). Dalam modelnya, Yoshino menggunakan inflasi yang diukur dengan survey biaya hidup (cost of living index) sebagai faktor yang mempengaruhi penawaran agregat dengan hubungan yang positif. Semakin tinggi inflasi (tingkat harga) maka ada insentif bagi produsen untuk meningkatkan produksinya sehingga penawaran agregat bertambah. Sedangkan hubungan penawaran agregat dengan investasi adalah positif yaitu bila terjadi peningkatan investasi maka yang berarti akan terjadi peningkatan kapasitas produksi akibat meningkatnya stok modal dan selanjutnya dapat meningkatkan penawaran agregat. Persamaan nilai tukar dalam keseimbangan neraca pembayaran secara mendasar merupakan sintesis model moneter dan keynesian dimana nilai tukar ditentukan oleh selisih uang beredar, selisih pendapatan nasional, dan selisih suku bunga antara domestik dan
108
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
partner dagang. Namun demikian, mengingat relatif tetapnya variabel eksternal. maka persamaan nilai tukar ditentukan oleh domestic credit, aliran modal, pendapatan nasional, suku bunga dan laju inflasi. Pengaruh uang beredar terhadap nilai tukar dapat dipisahkan menjadi dua yaitu pengaruh domestic credit dan aliran modal asing. Domestic credit memiliki hubungan yang positif dengan nilai tukar dimana bila terjadi penambahan domestic credit, maka excess liquidity akan menyebabkan tekanan depresiasi rupiah (kurs Rp/USD) meningkat. Sedangkan aliran modal memiliki hubungan yang negatif, karena semakin meningkat aliran modal masuk berarti permintaan terhadap rupiah akan semakin meningkat yang pada akhirnya akan memperkuat posisi rupiah. Sementara itu variabel suku bunga memiliki hubungan negatif dengan nilai tukar, dimana kenaikan suku bunga memberikan pengaruh apresiasi nilai tukar melalui penurunan permintaan uang. Sedangkan pengaruh variabel pendapatan terhadap nilai tukar memberikan pengaruh searah terhadap nilai tukar. Sesuai dengan pendekatan Keynes bahwa peningkatan pendapatan akan meningkatkan impor yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan valuta asing guna membiayai impor tersebut. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan tekanan depresiasi bagi rupiah. Variabel lain yang digunakan adalah inflasi dimana hubungannya dengan nilai tukar adalah positif. Berdasarkan pendekatan purchasing power parity bila terjadi peningkatan inflasi, maka untuk mempertahankan keseimbangan law of one price nilai tukar harus terdepresiasi. Untuk inflasi diasumsikan merupakan fungsi dari pendapatan nasional dan nilai tukar. Peningkatan pendapatan akan mendorong peningkatan konsumsi, bila ketersediaan barang tidak bertambah sejumlah peningkatan permintaan, maka kenaikan konsumsi akan menimbulkan tekanan kenaikan harga (demand pull inflation).Sedangkan depresiasi nilai tukar mempengaruhi kenaikan inflasi melalui peningkatan harga input yang memiliki komponen impor yang tinggi. Kenaikan harga input ini selanjutnya akan mengurangi penawaran agregat sehingga akan meningkatkan harga (cost push inflation).
IV. Hasil Persamaan Struktural dan Simulasi Model 4.1.
Persamaan Struktural
Hasil estimasi persamaan struktural, secara parsial memberikan hasil yang cukup memuaskan dengan arah yang sesuai hipotesa awal, meskipun pada beberapa persamaan struktural memiliki indikasi terjadinya permasalahan autokorelasi yang tercermin pada kecilnya hasil uji D-W atau besarnya uji lagged residual (εt-1). Namun, mengingat model yang digunakan secara mendasar merupakan aplikasi kaidah teori ekonomi makro sederhana,
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
109
maka upaya melakukan koreksi persamaan guna menghasilkan D-W atau εt-1, yang optimal seminimal mungkin dihindari. Upaya menghindari upaya koreksi tersebut masih dapat ditolerir, mengingat koefisien estimasi pada persamaan yang mengandung autokorelasi akan tetap tidak bias dan masih konstisten kendati pada sisi lain autokorelasi akan menyebabkan koefisien estimasi menjadi tidak efisien (varians tidak minimum) (Gujarati, 1997 hal 410). Kecilnya nilai D-W ataupun εt-1, secara teoritis ekonometrik ini dapat dipahami mengingat data yang digunakan adalah data level, dengan kata lain data yang digunakan tidak ditransformasikan terlebih dahulu dalam bentuk lainnya seperti pertumbuhan dan nilai perubahan. Sebagaimana dikemukakan Gujarati (1997), salah satu penyebab terjadinya autokorelasi ini adalah penggunaan data variabel ekonomi yang sebagian besar berkarakteristik sangat kaku terhadap perubahan waktu (inertia). Oleh karena itu pada saat dilakukan uji regresi dengan menggunakan data deret waktu, maka error yang didapat akan menunjukkan terjadinya hubungan yang saling terkait dengan error masa lalu. Hal lain yang menyebabkan terjadinya permasalahan autokorelasi terutama pada persamaan nilai tukar adalah penerapan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali. Sebagaimana diketahui, dalam kebijakan nilai tukar mengambang terkendali otoritas moneter akan “mengarahkan” pergerakan nilai tukar kepada satu arah guna menciptakan nilai tukar riil yang stabil. Bank sentral akan melakukan intervensi di pasar valas pada saat nilai tukar berada di luar rentang yang “dikehendaki”. Berdasarkan data yang “semu“ tersebut, maka dapat dimengerti terjadinya autokorelasi pada persamaan nilai tukar selama periode observasi. Berikut ini akan diuraikan secara singkat hasil pengujian dengan Eviews untuk masingmasing persamaan struktural.
Persamaan Konsumsi LOG(C) = 0.71*LOG(Y) - 0.004*r(-1) + 0.251*LOG(C(-1)) .......................(1a) (6.9) (-1.81) (2.31) 2 R = 0,95 εt-1 = 4,99 F-Stat = 575,9 Untuk persamaan konsumsi swasta menunjukkan bahwa seluruh variabel penjelas menghasilkan arah koefisien yang sesuai dengan hipotesa awal, dan dengan R2 yang cukup tinggi yaitu 95%. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel pendapatan sangat signifikan dalam mempengaruhi konsumsi sektor swasta dengan marginal propensity to consume (MPC) sebesar 0,71. Dalam jangka panjang dimana kondisi steady state tercapai (Ct=C(t-1)). MPC adalah sekitar 0,93. MPC jangka panjang ini tidak berbeda jauh dengan
110
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
hasil penelitian oleh Nopirin (1983) yaitu sebesar 0,89. Sementara variabel suku bunga meskipun memiliki tanda koefisien yang sesuai dengan hipotesa awal, namun elastisitasnya dan pengaruh parsialnya kurang signifikan.
Persamaan Investasi LOG(I) = 2.22 - 0.011*d(r(-1)) + 0.31*LOG(NFA(-1)) + 0.47*LOG(M(-1)) ........ (2a) (3.53) (-0.75) (4.23) (3.98) 2 R = 0,84 D-W = 1,19 F-Stat = 95,71 Variabel penjelas dalam persamaan investasi juga memberikan arah koefisien yang benar dengan signifikansi pengaruh parsial yang cukup tinggi, kecuali pada variabel suku bunga. Suku bunga, meskipun memberikan tanda koefisien yang sesuai dengan hipotesa awal, namun hanya menghasilkan elastisitas yang relatif kecil sehingga kontribusi perubahan suku bunga tidak banyak mempengaruhi investasi (investasi inelastis terhadap suku bunga). Sementara itu variabel impor dan pemasukan modal bersih mempengaruhi investasi secara signifikan. Besarnya peranan impor dan pemasukan modal bersih dalam mempengaruhi investasi mengindikasikan bahwa investasi yang terjadi di Indonesia sebagian besar bersumber dari external finance dan memiliki hubungan yang besar dengan impor. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan bahwa investasi di Indonesia akan sangat rentan terhadap external shock terutama yang terkait dengan impor dan aliran modal.
Persamaan Ekspor LOG(X) = 0.173*LOG((e*P*)/P) + 0.251*LOG(M(-1)) + 0.618*LOG(X(-1)) ....... (3a) (2.88) (2.89) (5.71) R2 = 0,88 εt-1 = -0,42 F-Stat = 220,31 Hasil estimasi memperlihatkan bahwa faktor penting yang mempengaruhi ekspor nasional adalah kinerja impor periode sebelumnya. Sementara faktor nilai tukar, yang dapat menjadi pendorong daya saing, hanya memberikan kontribusi yang relatif lebih kecil. Hasil ini bisa menjelaskan bahwa kinerja ekspor kita belum memuaskan karena depresiasi rupiah yang tajam telah menyebabkan anjloknya impor. Keterkaitan yang erat antara impor dengan ekspor mengakibatkan ekspor belum membaik selama impor masih menurun.
Persamaan Impor LOG(M) = 1.171*-0.554*LOG((e*P*)/P) + 0.756*LOG(Y) + 0.444*LOG(M(-1)) ....(4a) (1.35) (-3.96) (5.78) (4.46) 2 R = 0,95 εt-1 = -1,52 F-Stat = 370.24
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
111
Hasil pengujian memperlihatkan variabel pendapatan nasional dan nilai tukar riil sangat menentukan permintaan impor. Relatif besarnya elastisitas pendapatan menunjukkan kecenderungan adanya demonstration effect dimana keinginan mengkonsumsi barang- barang impor akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Selanjutnya dari perhitungan income elasticity of import diketahui sebesar 1.36. Perekonomian dalam tahap pembangunan yang lebih tinggi idealnya memiliki income elasticity of import sekitar 1. Hasil perhitungan model menunjukkan bahwa import penetration perekonomian Indonesia masih tinggi yang berarti bahwa setiap 1% peningkatan pendapatan akan diikuti oleh peningkatan import yang lebih besar dari 1%. Temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa impor memiliki keterkaitan yang dalam perekonomian dimana setiap kali terjadi peningkatan pendapatan cenderung diikuti oleh peningkatan impor yang lebih besar.
Persamaan Permintaan Uang LOG(Md) = -5.99 - 0.004*r + 0.963*LOG(Y) + 1.21*LOG(P) ................... (5a) (-2.69) (-1.70) (2.97) (3.86) 2 R = 0,99 D-W = 0,59 F-Stat = 2219.52 Permintaan uang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan inflasi. Sebagaimana terlihat pada negara-negara berkembang lainnya, pengaruh pendapatan nasional terhadap permintaan uang lebih elastis dibandingkan pengaruh suku bunga4. Hal ini masih mengimplikasikan kuatnya pengaruh motif transaksi dalam permintaan uang Indonesia.
Persamaan Penawaran Agregat LOG(Y) = 5.28 + 0.356*LOG(P) + 0.436*LOG(I(-1)) ........................ (6a) (16.13) R2 = 0.94
(6.36) D-W = 1.21
(7.91) F-Stat = 611.12
Secara umum variabel inflasi dan investasi menunjukkan pengaruh yang sesuai dengan hipotesa awal dengan tingkat signifikasi yang cukup tinggi. Hasil persamaan ini memperlihatkan bahwa meningkatnya penawaran agregat akan sangat dipengaruhi oleh peningkatan investasi tahun sebelumnya. Sementara itu, pada persamaan investasi diketahui bahwa investasi domestik dipengaruhi oleh besarnya aliran modal. Berdasarkan transmisi ini secara tidak langsung mengimplikasikan bahwa sisi penawaran nasional juga dipengaruhi oleh aliran modal asing. Bilamana aliran modal asing meningkat maka akan terjadi peningkalan stok modal, yang selanjutnya akan mampu meningkatan kapasitas 4 Hasil pengujian untuk negara-negara berkembang lihat Haque, Kajal Lahiri, dan Peter J. Montiel (1990)
112
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
produksi. Hasil persamaan ini semakin memperkuat indikasi kuatnya pengaruh external financing sebagaimana dikemukakan oleh Warr (1998).
Persamaan Nilai Tukar LOG(e)=1.58+1.96e-05*(DC)-0.091*LOG(NFA(-1))+0.037*LOG(Y)-0.009*d(r)+1.515*LOG(P) ....(7a)
(0.53) R = 0.92 2
(4.22) (-1.0) D-W = 0.46
(0.08) (-1.35) F-Stat = 121.47
(3.34)
Variabel-variabel penjelas menunjukkan arah yang sesuai dengan hipotesa, dimana aliran modal mempunyai pengaruh yang kuat terhadap nilai tukar rupiah. Dibandingkan variabel domestic credit serta variabel kebijakan suku bunga, maka besarnya pengaruh variabel NFA sekali lagi mengindikasikan kuatnya pengaruh pergerakan dana asing dalam mempengaruhi nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, perubahan ekspektasi asing terhadap prospek perekonomian yang selanjutnya diikuti dengan perubahan besarnya aliran modal asing akan sangat mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.
Persamaan Harga LOG(P) = 0.316*LOG(e(-1) x P*(-1)) + 0.053*LOG(Y(-1)) .............. (8a) (1.55) (0.24) 2 R = 0.63 D-W = 0.01 F-Stat = 95.85 Pada persamaan harga memperlihatkan bahwa nilai tukar mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan harga. Tingginya fluktuasi nilai tukar yang dalam hal ini mewakili sisi penawaran memberikan dampak yang lebih kuat dibandingkan perubahan pada sisi permintaan yang diwakili oleh pendapatan. Hal ini lebih lanjut mengindikasikan bahwa sisi penawaran melalui imported inflation sangat dominan mempengaruhi laju inflasi Indonesia.
V. Analisa Sensitivitas Untuk melihat sensitivitas model terhadap suatu shock (perubahan) maka dilakukan uji sensitivitas dengan menerapkan satu shock ke dalam model. Uji ini berguna untuk melihat reaksi variabel dalam model (dari tanda positif atau negatif) akibat shock satu variabel eksogen. Selain itu, hasil pengujian ini juga dapat memberikan informasi tentang bagaimana pengaruh shock tersebut terhadap perilaku variabel di dalam model, khususnya berkaitan dengan berapa lama waktu pengaruh shock terjadi, seberapa besar pengaruh shock, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali pada keseimbangan jangka panjangnya.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
113
Grafik 1 Perkembangan Aliran Modal Bersih 1983:01 - 1997:02 (miliar US$) 5
4
3
2
1
0 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97
Pengujian sensitivitas dilakukan dengan menggunakan hasil persamaan struktural yang telah diuji pada bagian 4. Sementara itu variabel yang diberikan shock adalah empat variabel eksogen yaitu aliran modal bersih, suku bunga, domestic credit dan pengeluaran pemerintah. Keempat variabel ini diberikan shock dengan besaran tertentu hanya pada satu periode yaitu 1990:04. Alasan memilih periode ini karena pada periode tersebut aliran modal bersih menunjukkan angka tertinggi setelah diterapkan deregulasi keuangan 1988 sebelum kembali menurun berkaitan dengan pengendalian permintaan domestik (Grafik 1).
5.1. Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Aliran Modal Keluar Pengujian sensitivitas pertama yang dilakukan adalah melihat dampak shock aliran modal keluar terhadap variabel ekonomi makro. Uji sensitivitas ini mengasumsikan terjadi aliran odal keluar bersih sebesar 50% dibandingkan data aktual pada periode 1990:04. Dari hasil pengujian (Tabel 2) dapat disimpulkan bahwa aliran modal asing sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Terjadinya aliran modal keluar bersih akan mengakibatkan nilai tukar melemah tajam, inflasi melambung tinggi. PDB terkontraksi begitu dalam, konsumsi dan investasi melambat serta anjloknya impor yang kemudian diiringi oleh melambatnya ekspor. Pada sisi lain, hasil uji sensitivitas juga memperlihatkan bahwa aliran modal memberikan dampak yang cukup panjang terhadap variabel ekonomi makro. Bila secara “arbitrary” disepakati bahwa jangka waktu satu shock terhadap satu variabel melebihi 10 periode (2,5 tahun) dikategorikan sebagai dampak permanen, maka terlihat bahwa dampak aliran modal terhadap kondisi ekonomi makro memberikan dampak permanen. Seluruh variabel akan kembali kepada keseimbangan jangka panjangnya berada di atas 10 periode (Grafik 2 dan Tabel 2).
114
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 2 Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap 50% Aliran Modal Keluar Bersih* Tertinggi Variabel
Periode
Keseimbangan
Perubahan(%) Periode
Durasi
Perubahan(%) Dampak
Indeks Harga Konsumen
6
2,28
14
5,16
Permanen
Produk Domestik Bruto
5
-10,03
21
-34,56
Permanen
Ekspor
11
-16,34
21
-32,64
Permanen
Impor
5
-16,24
21
-63,11
Permanen
Investasi
6
-34,57
21
-82,56
Permanen
Konsumsi Swasta
5
-8,64
16
-28,99
Permanen
Kurs Rp. Nominal
6
11,29
15
21,4
Permanen
Keterangan : * = Dihitung berdasarkan berdasarkan error hasil nilai simulasi dasar Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
Transmisi aliran modal keluar terhadap kondisi ekonomi makro bila ditelusuri berdasarkan model yang digunakan sangat terkait dengan nilai tukar. Meningkatnya aliran modal keluar akan mengakibatkan melemahnya nilai rupiah. Dimulai dari melemahnya rupiah ini maka variabel ekonomi makro akan dengan cepat mengalami perubahan. Meskipun sisi permintaan mengalami penurunan akibat berkurangnya likuiditas perekonomian, namun inflasi akan tetap meningkat seiring dengan terkontraksinya sisi penawaran. Semakin mahalnya biaya produksi barang yang berkandungan impor tinggi akibat lemahnya nilai tukar telah mengurangi insentif melakukan produksi. Dari sisi permintaan, PDB yang terkontraksi juga berkaitan dengan melemahnya nilai tukar. Melemahnya nilai tukar yang kemudian diikuti dengan anjloknya impor telah berdampak pada perkembangan variabel lainnya. Ekspor yang sempat mengalami peningkatan pada dua periode dimuka akibat melemahnya nilai tukar, terlihat pada periode berikutnya mengalami penurunan. Hal ini terutama berkaitan dengan besarnya kandungan impor dalam ekspor nasional. Sementara itu, investasi terlihat mengalami dampak ganda akibat aliran modal keluar. Pada satu sisi aliran modal keluar berarti secara langsung mengurangi proses akselerator dalam melakukan investasi. Pada sisi lain investasi juga mengalami penurunan akibat dampak tidak langsung dan menurunnya impor akibat melemahnya nilai tukar. Dengan kondisi ini, maka sebagai akibat aliran modal keluar, investasi mengalami dampak kontraksi yang paling dalam dibandingkan variabel lainnya (Tabel 2). Hasil pengujian ini, memperkuat indikasi bahwa sebelum krisis keuangan tahun 1997, struktur perekonomian nasional memang telah rentan terhadap aliran modal keluar.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
Grafik 2 Pengaruh Aliran Modal Keluar terhadap Variabel Ekonomi Makro (persen) Nilai Tukar Rupiah
Inflasi 0.7
3
0.6
2.5
0.5 2
0.4 0.3
1.5
0.2
1
0.1 0.5
0
0
-0.1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1
3
5
7
9
17
19
11
13
15
17
19
Produk Domestik Bruto 0 -0.5 -1 -1.5 -2 -2.5 -3 -3.5 1
3
5
7
9
11
13
15
Investasi
Konsumsi 0
0
-0.5
-1 -2
-1
-3
-1.5
-4
-2
-5
-2.5
-6 -7
-3
-8
-3.5
Ekspor
13
15
17
19
Impor
0.5
0
0
-1
-0.5
-2
-1
19
19
17
17
15
15
13
13
11
11
9
9
7
7
5
5
1
3
3
-9 1
-3
-1.5
-4
-2
-5
-2.5
-6
-3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1
3
5
7
9
11
115
116
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Krisis keuangan di Thailand yang kemudian menyebar ke negara-negara Asia termasuk Indonesia, hanya merupakan pemicu untuk terjadinya krisis yang lebih dalam. Pada saat kepercayaan investor asing menurun dan kemudian diikuti dengan pelarian modal, maka kinerja ekonomi nasional akan dengan cepat menurun dengan berbagai implikasi lanjutannya, sebagaimana yang terjadi saat ini.
5.2. Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Ekonomi Makro Selanjutnya, uji sensitivitas model juga dilakukan bilamana tejadi shock pada variabel kebijakan, baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal. Besarnya shock yang diterapkan untuk masing-masing variabel kebijakan adalah sebesar 25%. Dari sisi kebijakan moneter, shock yang terjadi adalah kenaikan suku bunga domestik dan kontraksi domestik kredit. Sementara dari sisi kebijakan fiskal, shock yang terjadi adalah penurunan pengeluaran pemerintah. Penggunaan ketiga variabel ini pada dasarnya merupakan aplikasi dari berbagai respon kebijakan ekonomi makro yang ditempuh pada saat terjadi overheating pada awal dekade 1990 dan krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Seperti telah diutarakan pada bagian II, kebijakan moneter yang ditempuh untuk kedua kondisi tersebut adalah melakukan kontraksi moneter baik secara kuantitas maupun melalui mekanisme suku bunga, sementara dari sisi fiskal kebijakan yang ditempuh untuk kedua kondisi perekonomian di atas adalah dengan melakukan kontraksi pengeluaran pemerintah. Berdasarkan pengujian sensitivitas secara umum diperoleh hasil sebagai berikut. Pertama kenaikan suku bunga domestik memberikan arah negatif terhadap seluruh variabel ekonomi makro dimana perekonomian nasional mengalami kontraksi, nilai tukar menguat Tabel 3 Sensitivitas Var. Ekonomi Makro thd Kenaikan 10% Suku Bunga Domestik Bersih* Tertinggi Variabel Indeks Harga Konsumen
Periode 2
Keseimbangan
Perubahan(%) Periode -1,59
3
Durasi
Perubahan(%) Dampak -0,95
Temporer
Produk Domestik Bruto
2
-4,03
3
-2,69
Temporer
Ekspor
11
-0,84
2
-0,16
Temporer
Impor
1
1,92
2
-3,19
Temporer
Investasi
2
-5,27
3
-1,17
Temporer
Konsumsi Swasta
2
-5,22
5
-5,57
Temporer
Kurs Rp. Nominal
1
-4,77
2
-2,21
Temporer
Keterangan : * = Dihitung berdasarkan berdasarkan error hasil nilai simulasi dasar Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
117
dan laju inflasi menurun (Tabel 3). Namun demikian jangka waktu pengaruh yang diberikan suku bunga terhadap perekonomian hanya bersifat sementara dengan rata-rata setelah 3 periode akan kembali lagi pada keseimbangannya. Kedua penurunan domestik kredit memberikan pengaruh negatif pada sebagian besar variabel ekonomi dan bila dibandingkan dengan pengaruh suku bunga, besaran-besaran pengaruh domestic credit terlihat relatif lebih besar (Tabel 4). Sebagaimana pengaruh suku bunga, domestic credit juga memberikan tekanan kontraksi kepada perekonomian melalui penurunan permintaan domestik, sementara sektor eksternal relatif kecil terpengaruh. Pada sisi lain nilai tukar mengalami apresiasi dan inflasi mengalami penurunan. Selanjutnya jangka waktu pengaruh domestic credit terlihat bervariasi. Berbeda dengan pengaruh suku bunga, pengaruh kontraksi domestic credit terhadap PDB terlihat lebih bersifat permanen, sedangkan pengaruh terhadap inflasi dan nilai tukar terlihat hanya bersifat temporer. Tabel 4 Sensitivitas Var. Ekonomi Makro thd Penurunan 10% Domestic Credit* Tertinggi Variabel
Periode
Keseimbangan
Perubahan(%) Periode
Durasi
Perubahan(%) Dampak
Indeks Harga Konsumen
2
-2,71
6
-4,44
Temporer
Produk Domestik Bruto
1
-1,82
14
-11,26
Permanen
Ekspor
1
-1,44
3
-1,53
Temporer
Impor
1
3,31
4
4,19
Temporer
Investasi
10
-16,96
15
-22,04
Permanen
Konsumsi Swasta
1
-1,31
20
-12,57
Permanen
Kurs Rp. Nominal
1
-8,04
5
-12,89
Temporer
Keterangan : * = Dihitung berdasarkan error hasil nilai simulasi dasar Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
Hasill ketiga yang terlihat adalah bahwa pengaruh kebijakan fiskal yang diwakili oleh penurunan pengeluaran pemerintah juga memberikan pengaruh yang negatif terhadap kondisi perekonomian (Tabel 5). Namun demikian, bila dibandingkan shock kebijakan dari sisi moneter maka besaran pengaruh kebijakan fiskal relatif besar. Sedangkan jangka waktu pengaruh terlihat bahwa sifat shock umumnya permanen kecuali terhadap inflasi dan nilai tukar. Berdasarkan ketiga hasil pengujian ini sekurang-kurangnya terdapat beberapa indikasi awal. Pertama, berbagai kebijakan ekonomi makro yang ditempuh baik berupa kebijakan fiskal maupun moneter terlihat hanya mampu mempengaruhi nilai tukar dan inflasi dalam periode yang sangat singkat (Grafik 3). Kendati sempat menguat, posisi nilai tukar pada periode berikutnya akan dengan cepat kembali melemah. Demikian pula halnya dengan
118
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Grafik 3 Pengaruh Kebijakan Ekonomi Makro terhadap Variabel Ekonomi Makro (persen)
Nilai Tukar
Inflasi
4
1
2
0.5 0
0
-0.5
-2
-1
-4
-1.5 Suku Bunga
-6
-2
Domestic Credit
-8
Pengeluaran Pemerintah
Suku Bunga Domestic Credit
-2.5
-10
Pengeluaran Pemerintah
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17
Produk Domestik Bruto 2
Suku Bunga Domestic Credit
1
Pengeluaran Pemerintah
0
-1
-2
-3
-4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Konsumsi
Investasi
0.5
6
0
Suku Bunga
4
-0.5
Domestic Credit Pengeluaran Pemerintah
2
-1 -1.5
0
-2
-2
-2.5
-4
-3 -3.5
-6
Suku Bunga
-4
Domestic Credit
-4.5
-8
Pengeluaran Pemerintah
-5
-10 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Impor
Ekspor 4
1
Suku Bunga
3
0.5
Domestic Credit
2
0
Pengeluaran Pemerintah
1 -0.5
0 -1
-1
Suku Bunga
-1.5
-2
Domestic Credit
-3
Pengeluaran Pemerintah
-2
-4 -2.5
-5
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
-6 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
119
Tabel 5 Sensitivitas Var. Ekonomi Makro thd Penurunan 10% Pengeluaran Pemerintah* Tertinggi Variabel
Periode
Keseimbangan
Perubahan(%) Periode
Durasi
Perubahan(%) Dampak
Indeks Harga Konsumen
2
-0,15
3
0,17
Temporer
Produk Domestik Bruto
5
-13,14
16
-34,06
Permanen
Ekspor
11
-18,95
20
-34,52
Permanen
Impor
5
-5,48
21
-67,25
Permanen
Investasi
10
-57,61
21
-81,54
Permanen
Konsumsi Swasta
5
-11,60
20
-35,45
Permanen
Kurs Rp. Nominal
1
-0,08
2
1,33
Temporer
Keterangan : * = Dihitung berdasarkan berdasarkan error hasil nilai simulasi dasar Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
inflasi, dimana setelah diterapkannya satu kebijakan inflasi sempat melambat namun pada periode berikutnya akan segera kembali melemah. Indikasi kedua adalah kebijakan fiskal memberikan pengaruh yang relatif lebih besar dengan dampak permanen bila dibandingkan kebijakan moneter terhadap perkembangan perekonomian nasional (Grafik 3). Lebih lanjut kondisi ini menggambarkan bahwa kebijakan fiskal terlihat lebih dominan dalam mempengaruhi sisi permintaan dibanding kebijakan moneter. Bila dikaitkan dengan hasil pengujian persamaan struktural, hal ini antara lain ditunjukkan oleh kurang sensitifnya permintaan uang pada saat terjadi perubahan suku bunga, sehingga lebih lanjut berarti keseimbangan pasar uang menjadi sangat elastis (kurva LM relatif datar dibandingkan kurva IS). Akibat elastisnya kurva LM tersebut maka meskipun telah dilakukan kebijakan moneter yang dampaknya akan mengubah keseimbangan di pasar uang, namun output (Y) yang terjadi tidak akan banyak berubah pada saat terjadi interaksi dengan kurva IS yang mencerminkan keseimbangan pasar barang. Berdasarkan perilaku ini maka implikasi yang dapat ditarik adalah kebijakan fiskal akan lebih kuat dan efektif dalam mempengaruhi output.
5.3. Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Ekonomi Makro saat terjadi Aliran Modal Keluar Memperhatikan sensitivitas kondisi ekonomi makro baik akibat shock aliran modal keluar maupun shock kebijakan secara parsial, maka bagian ini akan mencoba melihat kondisi ekonomi makro bilamana kedua shock ini digabung. Penggabungan shock ini pada dasarnya merupakan gambaran dari respon kebijakan yang ditempuh selama masa krisis
120
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
ekonomi, yaitu kondisi meningkatnya aliran modal keluar dalam jumlah yang sangat besar yang kemudian direspon dengan kebijakan kontraktif di sisi fiskal dan moneter. Dari gambaran bagian ini, selanjutnya diharapkan akan didapatkan satu alternatif kombinasi kebijakan relevan guna mencapai target tertentu di tengah kondisi meningkatnya aliran modal keluar. Secara mendasar target kebijakan yang hendak dicapai adalah menciptakan stabilitas harga dengan tetap mendorong aktivitas perekonomian. Secara lebih spesifik target stabilitas dapat diejawantahkan dalam bentuk upaya meredam gejolak nilai tukar dan mengendalikan laju inflasi, sementara pada sisi lain aktifitas perekonomian tetap berjalan. Hasil pengujian dengan skenario terjadinya aliran modal keluar yang kemudian direspon dengan kebijakan ekonomi makro yang kontraktif baik dari sisi fiskal maupun moneter terlihat telah menyebabkan terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi. Bila pada saat terjadi aliran modal keluar nilai tukar menjadi terdepresiasi yang lebih lanjut berdampak pada melonjaknya inflasi, maka dengan diterapkannya kebijakan kontraktif ini nilai tukar rupiah menguat sementara inflasi menurun. Namun pada sisi lain kebijakan .yang ditempuh tersebut telah menyebabkan seluruh komponen PDB mengalami penurunan dengan cepat. Hanya dalam tiga periode PDB telah terkontraksi sebesar 8,6% (Tabel 6). Apresiasi yang begitu cepat pada nilai tukar telah berdampak menurunnya ekspor, sementara impor mengalami peningkatan kembali, yang selanjutnya menurunkan konsumsi dan investasi nasional. Kendati mengalami kontraksi Tabel 6 Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Ekonomi Makro saat terjadi Aliran Modal Keluar Bersih untuk Skenario Kebijakan A* Tertinggi Variabel
Periode
Perubahan(%)
Keseimbangan Periode
Perubahan(%)
Indeks Harga Konsumen
2
-0,15
3
0,17
Produk Domestik Bruto
5
-13,14
16
-34,06
Ekspor
11
-18,95
20
-34,52
Impor
5
-5,48
21
-67,25
Investasi
10
-57,61
21
-81,54
Konsumsi Swasta
5
-11,60
20
-35,45
Kurs Rp. Nominal
1
-0,08
2
1,33
Keterangan : Kebijakan A = Peningkatan Suku Bunga, Kontraksi Domestic Credit, dan Kontraksi Pengeluaran Pemerintah Perubahan = error kumulatif sampai periode yang bersangkutan
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
Grafik 4. Pengaruh Kombinasi Kebijakan Ekonomi Makro saat terjadi Aliran Modal Keluar terhadap Variabel Ekonomi Makro Nilai Tukar
4
Inflasi
1
2
0
0 -2
-1
-4
-2
-6
Aliran Modal Keluar
-8
Kebijakan A
-10
Kebijakan B
-3
Aliran Modal Keluar Kebijakan A Kebijakan B
-4
-12
-5
-14 1
2
3
4
5
6
7
1
8
2
3
4
5
6
7
PDB
2 1 0 -1 -2 -3 -4
Aliran Modal Keluar
-5
Kebijakan B
Kebijakan A
-6 1
2
3
4
5
7
Investasi
Konsumsi
0
6
6
-1
4
-2
2
Aliran Modal Keluar Kebijakan A Kebijakan B
0
-3
-2
-4 -5
Aliran Modal Keluar
-6
Kebijakan B
Kebijakan A
-6 -8
-7 1
2
3
4
5
6
7
8
Ekspor
1
-4
-10 1
2
3
4
7
8
Aliran Modal Keluar Kebijakan A Kebijakan B
4
0
6
Impor
6
0.5
5
2
-0.5
0
-1 -2
-1.5
-4
Aliran Modal Keluar Kebijakan A Kebijakan B
-2 -2.5
-6
-3
-8
1
2
3
4
5
6
7
8
1
2
3
4
5
6
Keterangan : Aliran Modal Keluar = Terjadi defisit Neraca Modal 50% dibandingkan sebelumnya Kebijakan A = Peningkatan Suku Bunga 10%, Kontraksi Domestic Credit 10%, dan Kontraksi Pengeluaran Pemerintah 10% Kebijakan B = Peningkatan Suku Bunga 10%, Kontraksi Domestic Credit 10%, sementara Pengeluaran Pemerintah tetap
7
8
121
122
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
perekonomian yang dalam, respon kebijakan yang ditempuh relatif mampu meminimalisir durasi pengaruh. Adanya kebijakan kontraktif ini akan dengan segera mengembalikan perilaku variabel ekonomi makro pada keseimbangan jangka panjangnya. Dari hasil pengujian memperlihatkan kebijakan kontraktif mengembalikan pada perilaku jangka panjang rata-rata setelah 3 periode (Grafik 4). Merujuk pada hasil simulasi respon kebijakan sesuai skenario A, maka terdapat pemikiran perlunya penerapan kebijakan ekonomi makro yang masih mampu mendorong perekonomian namun pada sisi lain tetap mampu meredam depresiasi rupiah dan mengendalikan laju inflasi. Salah satu altematif kebijakan yang ada adalah dengan tetap melakukan ekspansi fiskal, sementara pada sisi lain kebijakakan moneter dilakukan kontraksi. Skenario ini berdasarkan pada hasil pengujian sensitivitas variabel ekonomi makro terhadap kebijakan makro dimana terdapat indikasi bahwa kebijakan fiskal relatif berperan dalam perekonomian nasional dibandingkan kebijakan moneter dalam mendorong output perekonomian. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa dengan skenario kedua ini terlihat kontraksi perekonomian yang terjadi tidak sedalam bila dibandingkan dilakukan kebijakan kontraktif pada kedua kebijakan. Bila pada skenario pertama kontraksi perekonomian yang terjadi adalah sebesar 8,6%, maka dengan tetap mengupayakan ekspansi pada sisi fiskal kontraksi yang terjadi hanya sebesar 5,7% (Tabel 7). Kondisi perekonomian yang lebih baik ini bila dilihat dari komponennya sangat terkait dengan meningkatnya permintaan domestik. Tabel 7 Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Ekonomi Makro saat terjadi Aliran Modal Keluar Bersih untuk Skenario Kebijakan B* Tertinggi Variabel Indeks Harga Konsumen
Periode 2
Perubahan(%) -4,26
Keseimbangan Periode 5
Perubahan(%) -5,09
Produk Domestik Bruto
2
-6,49
3
-5,73
Ekspor
1
-2,27
2
-1,88
Impor
1
5,28
2
3,18
Investasi
2
-4,65
3
-0,90
Konsumsi Swasta
2
-7,30
6
-9,92
Kurs Rp. Nominal
1
-12,44
4
-14,48
Keterangan : Kebijakan B = Peningkatan Suku Bunga, Kontraksi Domestik Credit, tetapi Pengeluaran Pemerintah tetap Perubahan = error kumulatif selama periode yang bersangkutan
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
123
Konsumsi dan investasi meskipun juga terkontraksi, namun penurunan yang terjadi tidak sedalam bilamana kebijakan yang ditempuh adalah kontraksi pada dua bidang tersebut. Memperhatikan respon variabel ekonomi terhadap kebijakan ekonomi ditengah kondisi meningkatnya aliran modal keluar maka satu kesimpulan awal yang dapat ditarik tentang kebijakan normatif yang ditempuh adalah dengan melakukan kontraksi moneter sementara ada sisi lain sektor fiskal harus melakukan kebijakan yang ekspansif. Kontraksi dari sisi moneter ini lebih ditujukan untuk meredam gejolak nilai tukar yang lebih lanjut diharapkan akan mampu mengendalikan laju inflasi. Sedangkan dari sisi fiskal, kebijakan yang ekspansif diharapkan akan mampu menjadi pendorong meningkatnya permintaan agregat melalui permintaan domestik. Dengan ekspansi dari sisi fiskal, maka permintaan agregat yang sempat menurun akibat meningkatnya aliran modal keluar akan dapat diminimalisir. Respon kebijakan makro ekonomi ini, terutama kebijakan fiskal yang ekspansif, setidaknya sejalan dengan pendapat Meyer (1998) dan McKibbin (1998). Menurut Meyer, kebijakan fiskal yang ekspansif bukanlah hal yang melatarbelakangi terjadinya krisis. Upaya menerapkan kebijakan fiskal yang kontraktif tidak akan menyelesaikan permasalahan. bahkan akan semakin menyebabkan perekonomian tersebut terkontraksi. Oleh karena itu kebijakan yang seharusnya dilempuh dari sisi fiskal adalah dengan tetap melakukan ekspansi. Sedangkan McKibbin dengan menggunakan CGE model pada kasus Thailand memberikan hasil bahwa kebijakan fiskal yang ekspansif akan mendorong konsumsi, meningkatkan permintaan investasi dan PDB riil, serta mengakibatkan apresiasi nilai tukar. Namun pada sisi lain kebijakan tersebut akan berdampak negatif terhadap neraca transaksi berjalan.
VI. Pengujian Out of Sample (Ex-Ante Simulation) 6.1. Konsistensi Persamaan Sebelum mengambil implikasi lebihjauh, persamaan akan diuji terlebih dahulu dalam periode di luar sampel pengujian. Secara implisit hal ini ditujukan untuk menguji keakuratan model dalam meramalkan keadaan di masa datang. Dengan menggunakan periode 1997:03 - 1998:02 pengujian -baik secara statistik maupun grafis - memperlihatkan hasil yang tidak terlalu mengecewakan. Angka uji konsistensi sebagaimana tercermin pada RMSPE dan MPE menghasilkan angka yang minimal dan hampir mendekati nol (Tabel 8).
6.2. Simulasi Counterfactual Seperti diuraikan pada bagian latar belakang bahwa salah satu tujuan penelitian ini adalah mencoba melihat kemungkinan penerapan kebijakan ekonomi makro lain yang
124
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Tabel 8 Rangkuman Nilai Statistik Hasil Simulasi Ex-Ante (1997:03 - 1998:02) Variabel Indeks Harga Konsumen Produk Domestik Bruto Konsumsi Swasta Investasi Ekspor Impor Kurs Rp. Nominal
RMSPE(%)
MPE(%)
0.49 0.13 0.25 0.08 0.17 0.34 0.73
-0.48 -0.11 -0.25 0.05 -0.16 -0.25 -0.72
Keterangan : RMSPE = Root Mean Square Parcent Error ; MPE = Mean Percent Error
berbeda dengan yang telah ditempuh. Dalam kaitan tersebut, maka cara analisa yang digunakan adalah dengan melakukan simulasi counterfactual yaitu simulasi dengan mengubah arah kebijakan yang telah ditempuh. Dengan cara analisa ini diharapkan akan mampu menerangkan berbagai kondisi yang dapat terjadi apabila diterapkan suatu kebijakan yang berbeda dengan kebijakan aktual. Variabel kebijakan yang diubah dalam simulasi counterfactual adalah variabel suku bunga dan pengeluaran. Simulasi ini tidak melibatkan variabel kebijakan domestic credit mengingat kebijakan moneter telah terwakili oleh variabel suku bunga. Selain itu, dalam kondisi aktual upaya melakukan kontraksi melalui domestic credit melalui penyerapan dana BUMN dilakukan hanya dalam beberapa kesempatan saja. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perkembangan aktual kebijakan suku bunga adalah dengan meningkatkan suku bunga SBI pada bulan September 1997, menurunkannya kembali pada 3 bulan berikutnya dan akhirnya menaikkannya secara bertahap mulai akhir Januari 1997. Sementara pada sisi fiskal kebijakan yang ditempuh adalah mengurangi pengeluaran pemerintah secara bertahap sejak triwulan IV - 1998. Memperhatikan kebijakan aktual tersebut, maka simulasi counterfactual awal yang dilakukan akan dengan 2 skenario kebijakan. Pertama, dengan menerapkan kebijakan suku bunga tinggi secara konsisten telah diterapkan sejak triwulan III/1997, sementara pengeluaran pemerintah sesuai dengan perkembangan aktual. Kedua dengan menerapkan kebijakan fiskal ekspansi melalui kenaikan pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 10% sejak triwulan III/1997 untuk kemudian konstan pada periode berikutnya, sementara pada lain pihak suku bunga sesuai dengan perkembangan aktual.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
125
Hasil simulasi counterfactual awal ini menghasilkan beberapa indikasi awal. Pertama apabila suku bunga dipertahankan tinggi sejak triwulan III/97, kondisi yang terjadi adalah laju inflasi menurun dan nilai tukar rupiah menguat. Namun demikian, perkembangan yang menggembirakan ini tidak diikuti perkembangan PDB. Penerapan suku bunga tinggi yang lebih lama akan menghambat kegiatan di sektor produksi seperti tercermin pada semakin terkontraksinya perekonomian (Tabel 9). Tabel 9 Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro1 Skenario Counter Factual 1997:3 - 1998:2 Shock Variabel Indeks Harga Konsumen Produk Domestik Bruto Konsumsi Swasta Investasi Ekspor Impor Kurs Rp. Nominal
Suku Bunga Domestik2
Konsumsi Pemerintah (KP)3
-3,6 -9,6 -1,5 -6,4 -6,5 -15,6 -5,4
-0,1 2,2 -0,2 1,5 0.2 1,5 -0.1
Keterangan : 1 = Dihitung berdasarkan error kumulatif dari hasil nilai simulasi dasar 2 = Suku bunga domestik telah meningkat sejak 1997:3 dan konstanpada level 32,95% 3 = Konsumsi Pemerintah meningkat sebesar 10% sejak 1997:3 dan konstan pada tahap berikutnya
Kedua, apabila diterapkan kebijakan peningkatan pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 10% pada triwulan III/97 untuk kemudian dipertahankan pada periode berikutnya, maka hasil yang akan terjadi adalah relatif melambatnya kontraksi perekonomian dibandingkan dengan kondisi aktual. Namun di sisi lain, pengaruh kebijakan ekspansi fiskal ini telah berdampak pada tetap melemahnya nilai tukar dan tetap tingginya laju inflasi (Tabel 9). Berdasarkan kedua kondisi tersebut, maka kebijakan dasar yang dapat ditempuh pada sisi moneter adalah dengan tetap melakukan kontraksi pada sisi moneter bahkan dengan suku bunga yang lebih tinggi dari kondisi aktual. Dengan kebijakan ini nilai tukar rupiah dapat terapresiasi sementara inflasi menjadi lebih kecil. Sedangkan dari sisi fiskal, kebijakan yang ditempuh adalah dengan melakukan ekspansi bukan melakukan kontraksi sebagaimana yang telah dilakukan. Dengan kebijakan fiskal ini maka kontraksi perekonomian yang terjadi diharapkan tidak akan sedalam kondisi aktual.
126
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
6.3. Kombinasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Dengan hasil kebijakan dasar counter factual bagian 6.2 (kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif), maka bagian berikut disajikan beberapa simulasi kombinasi kebijakan yang berisikan variasi kenaikan suku bunga dan kenaikan pengeluaran pemerintah (Tabel 10). Dengan beberapa kombinasi simulasi kebijakan ini, diharapkan akan menghasilkan kombinasi kebijakan yang dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kemungkinan yang tersedia (the best combination among the worst). Tabel 10 Skenario Kombinasi Kebijakan Counter Factual Periode 197:03 - 1998:02 Skenario Kebijakan A
B
C
Variabel Kebijakan Suku Bunga Pengeluaran Pemerintah Suku Bunga Pengeluaran Pemerintah Suku Bunga Pengeluaran Pemerintah
III-1997
Periode IV-1997 I-1998
II-1998
26,22
28,00
30,00
32,00
7554 26,22
8787 32,95
8787 32,95
8787 32,95
7554 26,22
8787 28,00
9666 30,00
10632 32,00
7554
8787
9666
10632
Kombinasi yang dilakukan tersebut secara umum adalah sebagai berikut: Skenario A : Suku bunga dinaikkan secara bertahap setiap periode, sementarapengeluaran pemerintah tetap konstan sejak triwulan IV-97. Skenario B : Suku bunga telah tinggi dan konstan sejak triwulan IV-97. sementara pengeluaran pemerintah setiap triwulan naik secara bertahap 10%. Skenario C : Suku bunga dan pengeluaran pemerintah naik secara setiap periode. Dari berbagai kombinasi kebijakan ekonomi makro yang ada, hasil pengujian memperlihatkan bahwa skenario Kebijakan C memberikan hasil yang lebih positif bagi kondisi nilai tukar inflasi, dan pertumbuhan ekonomi, dibandingkan skenario kebijakan lainnya (Tabel 11). Kebijakan yang ditempuh ini relatif mampu mengurangi tekanan terjadinya depresiasi nilai tukar lebih tajam. Sejalan dengan menguatnya nilai tukar, kondisi laju inflasi juga relatif mampu ditekan bila dibandingkan kondisi aktual. Dengan perkembangan ini, kombinasi kebijakan C mampu mendorong pertumbuhan ekonomi relatif cukup besar. Dalam
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
127
kaitan ini ekspansi dari sisi fiskal menjadi pendorong meningkatnya kembali permintaan domestik sebagaimana tercermin dari lebih tingginya tingkat konsumsi dan investasi. Tabel 11 Sensitivitas Variabel Ekonomi Makro Kebijakan Counter Factual 1997:3 - 1998:2 Variabel Ekonomi Makro Indeks Harga Konsumen Produk Domestik Bruto Konsumsi Swasta Investasi Ekspor Impor Kurs Rp. Nominal
Skenario Kebijakan Kebijakan A Kebijakan B Kebijakan C -1,5 2,1 0,0 1,9 -3,1 -2,2 -1,0
-3,3 1,2 -0,7 2,2 -6,4 -7,5 -4,2
-1,4 6,5 0,3 5,4 3,6 1,0 -0,6
Akhirnya, hasil simulasi skenario kebijakan untuk mempercepat pemulihan perekonomian secara implisit mengindikasikan bahwa kebijakan moneter yang seharusnya diterapkan adalah kebijakan suku bunga tinggi sejak awal krisis yang dinaikkan secara bertahap setiap triwulan. Penurunan suku bunga sebagaimana dilakukan pada triwulan IV-97 hanya akan membawa dampak negatif bagi perekonomian. Sementara itu dari sisi fiskal, kebijakan yang seharusnya diterapkan adalah dengan terus melakukan peningkatan pengeluaran pemerintah pada setiap periode sejalan dengan terus meningkatnya aliran modal keluar. Dengan upaya ini, sektor pemerintah akan menjadi pendorong aktivitas perekonomian sekaligus mengisi peran yang ditinggalkan sektor swasta.
VII. Kesimpulan Implikasi Kebijakan 7.1. Kesimpulan Bertolak dari hasil-hasil perhitungan serta berbagai indikasi yang mengikutinya beberapa kesimpulan yang dapat ditarik pada penelitian ini adalah : 1.
Perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap dampak aliran modal keluar karena relatif besarnya porsi external financing. Akibat tingginya ketergantungan terhadap aliran modal asing, pada saat terjadi aliran modal keluar secara cepat dengan jumlah yang
128
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
besar, kondisi perekonomian nasional dengan cepat memburuk. Oleh karena itu contagion effect dari krisis keuangan di Thailand hanya merupakan “pembuka jalan” menuju kondisi yang lebih buruk. 2. Bila tidak dibarengi dengan kebijakan ekonomi makro yang tepat, aliran modal keluar yang terjadi akan memberikan dampak negatif yang cukup lama terhadap kondisi perekonomian. Mengingat variabel awal yang dipengaruhi aliran modal keluar adalah nilai tukar, maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa variabel nilai tukar memegang peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Dalam kaitan ini penelitian membuktikan bahwa pemulihan nilai tukar akibat shock aliran modal keluar baru akan terjadi setelah kurang lebih 4 tahun. 3. Pilihan kombinasi kebijakan ekonomi makro yang diterapkan Pemerintah dengan prioritas utama pada stabilisasi nilai tukar dan meredam gejolak inflasi memberikan trade off yang cukup berat bagi perekonomian berupa kontraksi yang dalam. Dalam pada itu, penelitian membuktikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter dalam mempengaruhi nilai tukar hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, pilihan kebijakan yang diambil seyogyanya adalah kombinasi kebijakan yang seminimal mungkin menghindari terjadinya kontraksi yang dalam, namun pada saat yang sama mampu menstabilkan nilai tukar dan meredam inflasi. 4. Kebijakan ekonomi makro yang diterapkan Pemerintah selama periode 1997:03 - 1998:02 melalui kontraksi fiskal dan moneter, masih dapat diperdebatkan. Namun hasil pengujian model memperlihatkan bahwa kebijakan yang sebaiknya ditempuh adalah melakukan ekspansi dari sisi fiskal sementara dari sisi moneter tetap melakukan kontraksi secara konsisten. Kombinasi kebijakan ekonomi makro normatif menunjukkan bahwa kontraksi moneter secara konsisten seharusnya telah dilakukan sejak timbulnya indikasi terjadinya aliran modal keluar namun pada sisi lain harus pula diimbangi oleh kebijakan fiskal yang ekspansif.
7.2. Implikasi Kebijakan Sejalan dengan kesimpulan di atas maka terdapat beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: 1.
Guna menghindari dampak negatif aliran modal asing, dalam jangka pendek kebijakan pengendalian lalu lintas devisa perlu segera diupayakan. Sementara dalam jangka panjang, kebijakan menggali sumber dana domestik guna menggantikan peran dana asing haruslah mendapatkan perhatian secara serius. Dengan demikian, pembangunan akan lebih bersifat indigenous process, yaitu berasal dari kekuatan sendiri yang diharapkan akan lebih tahan dari gangguan.
Kondisi dan Respon Kebijakan Ekonomi Makro selama Krisis Ekonomi tahun 1997-98
129
.2. Pentingnya variabel nilai tukar dalam perekonomian Indonesia mengindikasikan bahwa upaya menstabilkan fluktuasi nilai tukar perlu menjadi prioritas. Dalam kaitan itu maka upaya mengkaji lebih lanjut tentang satu sistem nilai tukar serta kebijakan yang melengkapinya guna kestabilan nilai tukar tersebut tetap perlu dilanjutkan. 3. Mengingat hasil pengujian memperlihatkan bahwa kebijakan suku bunga hanya akan mempengaruhi nilai tukar dalam waktu yang sangat singkat, maka dalam kaitannya dengan pengendalian nilai tukar upaya yang dilakukan tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen suku bunga. Hal penting lainnya yang dapat mempengaruhi nilai tukar adalah pemulihan kepercayaan terhadap kondisi dan prospek perekonomian. 4. Sementara itu, guna mengurangi terjadinya kontraksi yang lebih dalam, kebijakan fiskal ekspansif harus dilakukan. Ekspansi fiskal tersebut perlu dipertajam prioritasnya yaitu pada sektor-sektor yang memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian. Terbatasnya sumber penerimaan negara sementara pada sisi lain pengeluaran harus lebih ditingkatkan, mengharuskan defisit pada APBN tetap besar selama sektor swasta belum bangkit. Dalam kaitan ini, permasalahannya adalah bagaimana membiayai ekspansi fiskal tersebut mengingat dalam penelitian ini model yang digunakan tidak memiliki budqet constraint.
VIII. Saran Bagi Penelitian Lanjutan Beranjak dari hasil pengujian, secara keseluruhan model yang digunakan memperlihatkan arah yang sesuai dengan teori yang ada. Namun demikian, disadari bahwa model tersebut masih mengandung kelemahan dan perlu diperbaiki guna mendapatkan hasil yang lebih realistis dengan kondisi yang ada. Upaya mempertahankan kesederhanaan model dalam penelitian ini membawa implikasi pada relatif rendahnya kemampuan model dalam melakukan proyeksi yang tercermin pada masih besarnya deviasi antara nilai aktual dan hasil simulasi (fitted value). Dalam kaitan itu, maka pada penelitian selanjutnya upaya penyempurnaan lebih lanjut terhadap model yang digunakan perlu dilakukan. Dengan ini diharapkan realitas yang terjadi dapat digambarkan secara lebih akurat. Penyempurnaan tersebut tidak hanya dalam ruang lingkup menambah atau mengurangi variabel yang telah digunakan, tetapi lebih jauh lagi dengan menambah persamaan baik persamaan struktural maupun identitas dalam berbagai blok model. Penyempurnaan lebih mendalam dapat juga dilakukan dengan memperhatikan hubungan antar variabel yang diuji mengingat fenomena ekonomi yang terjadi terkadang menunjukkan hubungan yang tidak linier.
130
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1999
Daftar Pustaka Ahmed, Sadiq, Appropriate Macroeconomic Management in Indonesia’s Open Economi, World Bank Discussion Papers No. 191, 1993 Basri, M. Chatib dan Ari Kuncoro, Tinjauan Triwulan Perekonomian Indonesia, Ekonomi Keuangan Indonesia Vol. XLVI, No.2, 1998 Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998, April 1998 ____________, Gejolak Nilai Tukar dan Implikasinya Bagi Pelaksanaan Tugas Pokok Bank Indonesia di Masa Mendatang, Makalah pada Rapat Kerja Bank Indonesia, Desember 1997 ____________, Arah Kebijakan Moneter unluk Pemulihan Ekonomi, Makalah pada Rapat Kerja Bank Indonesia, November 1998. Gujarati, Damodar N, Basic Econometrics, McGraw-Hill, 3rd edition, 1995 Greenaway, David, A Guide to Modem Economics, Routledge, 1996 HIID, The Composition of Recent Impor Growth, tidak dipublikasikan, 1995 IMF, Reinvigorating growth in developing countries, Lessons from adjustment policies in eight economies, IMF Occasional paper No. 139, July 1996. Meyer, Laurence H, Lesson from the Asian Crisis : A Central Banker’s Perspective, Paper presented at The 22nd SEANZA Central Banking Course, Wellington, New Zealand, 20 November 1998 McKibbin, Warwick and Will Martin, The East Asian Crisis : Investigating Causes and Policy Responses, Preliminary Draft, 1998 Nopirin, A Synthesis of Monetary and Keynesian Aproaches to Balance of Payment Analysis: 1970-1979, Occasional Paper, FE-UGM, Juli 1983 Rachbini, Didik J, Arus Modal Global Mulai Naik Tahun 1999, Kompas 22 Desember 1998 Shone, Ronald, Open Economy Macroeconomic, Harvester Wheatsheaf, 1989 Woo, Wing Thye, Bruce Glassburner, Anwar Nasution, Macroeconomic Policies, Crises, and Long-Term Growth in Indonesia 1965-1990, World Bank, 1994 Yoshino. N, Bahan Presentasi di UREM, Agustus 1998, Tidak dipublikasikan Zulverdy, Doddy, Manajemen Moneter dalam Masa Krisis, Buletin Ekonomi Moneterdan Perbankan, Vol. 1. No. 2, Bank Indonesia, 1998