Kaum intelektual bangun dan bangkitlah Leo Sutrisno Dalam salah satu makalah karya ilmiah mahasiswa Universitas Tanjungpura yang diperlombakan dua minggu yang lalu , 7-8 Mei 2008, tertulis bahwa kaum intelektual ’mandul’ dan hanya berorientasi proyek. Pernyataan itu terasa keras dan mungkin juga menyakitkan bagi sebagian orang, namun bisa jadi itu merupakan cerminan pendapat kalangan masyarakat yang lebih luas ketika melihat situasi negara yang seperti ini sementara sebagian kaum intelektual hanya sibuk mengurus diri sendiri. Siapa? Antonio Gramsi, seorang filsuf berkebangsaan Italia pernah menyatakan ”orang dapat mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”. Ia membagi intelektual menjadi dua jenis, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelompok pertama adalah para pendidik dan para ulama yang secara terus-menerus dari jaman ke jaman melakukan usaha mencerdaskan masyarakat. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang karena keahliannya bergabung dengan penguasa dan pengusaha untuk memberi kesan ilmiah tentang apa yang dilakukan para pengusaha atau penguasa. Gramsi mempertanyakan peran kelompok kedua ini. Namun, kelompok ini mengatakan, ’lebih baik berjuang dari dalam’ kendati sesungguhnya mereka ini tidak mempunyai cukup ruang gerak untuk menjalankan peran sesuai dengan nurani, sehingga terpaksa mengsubordinasikan keyakinanya demi kepentingan kekuasaan yang diabdinya. Pandangan Edward Said, seorang filsuf Amerika keturunan Palestina, lebih tajam dan kuat lagi. Ia mengatakan bahwa seorang intelektual adalah seorang ’pencipta sebuah bahasa yang mengatakan benar kepada yang berkuasa’. Seorang intelektual mengatakan yang dinggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan kuasa-kuasa yang ada. Maka ia cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Ia akan merasa berdosa apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Dengan titik pandang ini, Edward Said tidak memasukkan kaum profesional sebagai kelompok intelektual. Karena, profesionalisme menuntut yang bersangkutan menyesuaikan batas-batas objektif dalam bidangnya, tidak hanya yang hukum-hukum profesinya tetapi juga bingkai kekuasaan dan kepentingan yang menaunginya. Maka, seorang profesional harus ’bijaksana’, tahu ’batas-batas’-nya. Dengan itu, seorang profesional sudah terdomestifikasi (baca: dikandangkan). Jadi, ia bukan intelektual lagi. Mungkin, deskripsi intelektual Edward Said inilah yang digambarkan (baca: diinginkan) oleh mahasiswa tadi dan mungkin juga oleh masyarakat banyak. Hidup intelektual pada hakikatnya adalah pengetahuan dan kebebasan. Pertanyaan dasar yang diajukan oleh seorang intelektual adalah ”Bagaimana orang mengatakan kebenaran? Kebenaran apa? Bagi siapa dan dimana?” Maka seorang intelektual tidak dapat dimiliki oleh siapa-siapa. Ia dapat solider dengan kelompoknya tetapi tetap kritis. Karena itu, ia sering dianggap berbahaya dan biasa dicurigai tidak ’loyal’. Kepada ’audience’-nya ia tidak bermaksud
memuaskannya tetapi menantangnya dengan pikiran-pikiran ke depan. Karena bergelut dengan kebenaran maka ia tidak bisa ’menjual diri’ pada pihak mana pun. Ia harus menantang ’ajaran yang ortodoks dan dogma’ baik yang religius maupun yang politis. Di depan publik ia mewakili suatu pendirian. Edward Said menekankan, ”Kalau Anda mau membela keadilan manusiawi dasar, Anda harus melakukannya bagi siapa saja, bukan secara selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang ada di pihak Anda, di budaya Anda, di bangsa Anda’. Apa yang perlu dilakukan? Memperingati satu abad Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908-20 Mei 2008, ada baiknya ditengok sekilas apa yang dikalukan kaum intelaktual Indonesia dari waktu ke waktu. Tentu dapat dimulai jauh sebelum 20 Mei 1908, tetapi juga dapat dilihat langsung dari tanggal itu, para mahasiswa calon dokter pribumi (STOVIA) dengan akomodasi dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan pergerakan Boedi Oetomo. Sebuah gerekan nonpolitik yang bertujuan membantu bangsa Indonesia bangkit berdiri setara dengan bangsabangsa lain. Gerakan ini mendorong timbulnya gerakan-gerakan baru yang bertujuan Indonesia merdeka. Kaum intelektual banyak bergerak di arena ini hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Setelah Indonesia merdeka para intelektual mengisi posisiposisi kenegaraan hingga saat ini. Namun, di era demokrasi terpimpin dan era orde baru penguasa memberikan posisi-posisi strategis dengan mesin penggeraknya Golkar. Akibatnya, banyak intelektual mengalami domestifikasi untuk mempertahankan kepentingannya. Mereka tidak mampu lagi berdiri adil dan tidak memihak. Di era reformasi sekarang ini, tampaknya situasinya tidak berubah. Sementara itu, bangsa Indonesia saat ini sedang terhanyut oleh badai globalisasi yang sangat kuat dan keras. Orang Indonesia saat ini berdiri di dua benua. Satu kaki berada pada dunia yang super canggih higih-tech dengan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi. Dua teknologi itu membuat batas-batas geografis dan batas budaya semakin tipis. Negara kita menjadi telanjang, bisa dilihat dan dimasuki dari mana saja. Walaupun demikian, banyak orang yang secara mental tidak siap masuk ke dalam era keterbukaan semacam ini. Akibatnya, banyak orang menjadi ’sakit’. Mereka kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya, Mereka bahkan mengalami demanusiawi. Mereka kehilangan arah dan kendali. Dunia yang lain adalah dunia tradisional, dunia yang sangat manusiawi. Namun, dunia ini tidak mampu melindungi mereka agar tidak terseret oleh dunia yang super canggih yang high-tech tersebut. Mengapa?, karena banyak orang juga sudah tidak memegang teguh nilai-nilai tradisi mereka. Bahkan, mereka merasa malu jika dianggap ’kolot’ tradisional. Akibatnya banyak orang Indinesia yang terbang di atas angin, melayang kemana topan menerbangkannya. Mereka kehilangan jati diri. Mereka menjadi bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah makhluk-makhluk penghuni mall, ber-hp, bermobil mewah, makan kfc, berkaraoke, dan berambut pirang dengan tampilan yang wah tetapi tidak mampu membeli bahan pakaian yang cukup membungkus tubuhnya sehingga ’pating pecotot’ atau malah terbuka sana-sini.
Kini, saatnya para intelektual bangun dari tidurnya dan bangkit untuk berbuat sesuatu untuk menyelematkan bangsa. Ikuti pilihan yang dibuat para intelektual Jepang masa lalu, Kasus Jepang sangat mempesona. Selama beberapa abad Jepang merupakan jajahan kultural Cina. Jepang mengalami penyingkapan singkat dalam ilmu dan agama pada abad ke-17 memutuskan untuk menutup pintu pada pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan. Di penghujung abad ke-19, bangsa Jepang memutuskan berasimilasi dengan dunia luar dan kemudian melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Agama asli Jepang cukup samar-samar sehingga bisa mengakomodasi setiap pernyataan ilmu Barat. Para ilmuwan Jepang, para teknisi dan orang awam masa kini memutuskan untuk menjalani hidup dalam dua sisi sebagian dalam dunia yang hiper-modern dan sebagian lagi dalam salah satu tradisi sosial kuno yang ketat. Hasilnya, Jepang memiliki identitas yang nyata. Indonesia perlu dibuat seperti itu. Tetap sebagai orang Indonesia tetapi memiliki wawasan dunia. Semoga!