[HOTD] mendiRikan masjid Desember 21st, 2006 Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah, 9 : 18)
Hadist riwayat Usman bin Affan ra.: Bahwa beliau meluruskan persoalan yang dibicarakan antara para sahabat ketika mesjid Nabawi telah dibangun: Kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang membangun sebuah mesjid karena Allah Taala. (Bukair berkata: Aku kira) beliau bersabda: Karena mengharap keridaan Allah, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga. Links: [memakmuRkan masjid dan mendatangi masjid [untuk beRibadah]] http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=829&bagian=0 [membina istana di syuRga] http://www.darulkautsar.com/hadispilihan/0006.htm [kedudukan masjid dalam islam] http://www.al-azim.com/masjid/kedudukanmasjid.html [menata kembali manajemen masjid indonesia] http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=144431&kat_id=105&kat_id 1=147&kat_id2=291 [memakmuRkan masjid] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/05/0108.htm [menyuap malaikat, membeli suRga!] http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3016&Itemid=63 [mempeRindah masjid dan beRmegah-megahan dengannya] http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=795&bagian=0 [pelajaRan dan faedah kisah ashabul ukhdud] http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=15 [zakat pROfesi/mal untuk bangun masjid] http://syariahonline.com/new_index.php/id/8/cn/3887 [membelanjakan atau menyaluRkan zakat untuk pembangunan masjid ?] http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1620&bagian=0 [manajemen masjid] http://www.muslimsources.com/id/NEWS/detail.php?cat=3&iid=130 [60 pintu pahala dan pelebuR dOsa] http://www.galeribisnis.com/artikel/iman/pahala_dosa.php [masjid] http://mujtabahamdi.blogspot.com/2006/10/masjid.html [bid’ah dan syiRik] http://www.darulkautsar.com/fatwaqardawi/bidaahqardawi.htm -perbanyakamalmenujusurga-
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=829&bagian=0 Memakmurkan Dan Mendatangi Masjid [Untuk Beribadah] Kamis, 17 Juni 2004 11:18:32 WIB Kategori : Shalat MEMAKMURKAN MASJID DAN MENDATANGI MASJID [UNTUK BERIBADAH] Oleh Dr Shalih bin Ghanim bin Abdillah As-Sadlani. Masjid merupakan Baitullah, di dalamnya Ia disembah dan senantiasa disebut nama-Nya. Masjid merupakan menara petunjuk dan bendera Islam. Allah memuliakan serta mengagungkan orang yang mengikatkan dirinya dengan masjid. Allah berfirman. "Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah" [Al-Jin : 18] Masjid-masjid itu dibangun agar manusia mengerjakan shalat dan berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur'an dan taqarrub kepada-Nya, merendah di hadapan-Nya dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. Sesungguhnya memakmurkan masjid adalah bagian terbesar untuk taqarub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di antara bagian dari memakmurkan masjid adalah membangun, membersihkan, membentangkan permadani, meneranginya dan masih banyak lagi bagianbagian dari pemerliharaan masjid. Adapula memakmurkan masjid dengan i'tikaf di dalamnya, shalat dan senantiasa mendatanginya dengan berjama'ah, mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat, membaca Al-Qur'an, belajar dan mengajarkannya. As-Sunnah telah menjelaskan keutamaan dan balasan yang besar dalam memakmurkan, membangun dan memelihara masjid. Diriwayatkan dalam shahih Muslim, Utsman Radhiyallahu 'anhu telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Barangsiapa telah membangun masjid karena Allah Subhanahu wa Ta'ala (Bukair berkata : Saya menyangka beliau berkata dengan mengharap wajah Allah), maka Allah akan membangunkannya rumah di Jannah" [Shahih Muslim 1/378 no. 533 urutan 24 kitab al-Masajid bab 4] Maksudnya karena ikhlas dengan mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata serta mengharap keridhaan-Nya, tidak riya, sum'ah dan tidak pula karena mencari pujian manusia serta bukan karena satu tujuan atau tujuan-tujuan yang lain. Seperti telah dijelaskan tentang keutamaan memakmurkan masjid, dijelaskan pula tentang keutamaan menyiapkan masjid untuk shalat dan pujian bagi orang yang melaksanakannya. Dalam shahih Muslim, Abu Hurairah berkata : Sesungguhnya ada seorang wanita berkulit hitam yang berkhidmat pada masjid (dalam riwayat lain ; seorang pemuda). Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melihatnya, maka beliau bertanya tentang dia, para shahabat menjawab, Ia telah meninggal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Apakah tidak ada kemampuan bagimu untuk memberitahukan kepadaku (tentang kematiannya, ada yang menjawab, sepertinya mereka menganggap kecil masalah itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tunjukkan padaku kuburannya, maka ditunjukkanlah beliau pada kuburan tersebut, beliau mendo'akannya kemudian bersabda:"Artinya : Sesungguhnya ahli kubur ini dipenuhi kegelapan dan Allah meneranginya dengan shalatku terhadap mereka" [Shahih Muslim 2/658 no 956 urutan 71 Kitab al-Janaiz bab ash-shalat 'ala al-Kubur] Telah ada beberapa nash sharih lagi shahih yang menjelaskan keutamaan mendatangi masjid untuk menunaikan shalat, dzikir dan qira'ah Qur'an. Orang yang menziarahi masjid itu berada dalam penjagaan Allah dan mendapatkan rahmat-Nya selagi ia duduk didalamnya, menjaga adab-adabnya dan selalu menghubungkan hatinya dengan Allah. Sesungguhnya shalat seseorang di dalam masjid dilebihkan dari shalat yang dilakukan di rumah atau di pasar dengan 25 derajat atau 27 derajat. Beberapa nash telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi masjid dalam gelap, maka Allah akan meneranginya dengan sempurna pada hari kiamat, seperti orang yang pergi ke masjid di pagi hari atau di malam hari, Allah akan menyediakan baginya rumah di jannah. Ini merupakan fadhilah yang besar, takkan ada orang yang melampui batas atau meremehkannya kecuali orang yang lalai atau pemalas, maka haram baginya mendapatkan kebaikan saudaranya semuslim. Lihat beberapa hadits yang telah menjelaskan apa yang telah saya katakana ini, supaya menjadi ilmu, bashirah dan petunjuk, dengan itu pula supaya kalian melaksanakan rukun ini sebagai ilham dari syi'ar-syi'ar Islam di masjid bersama jama'ah lain untuk mendapatkan ridha dan balasan dari Allah di dunia dan di akhirat. Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Shalat seseorang (di masjid dengan berjama'ah) itu dilebihkan dengan 25 derajat dari shalat yang dikerjakan di rumah dan di pasar, sesungguhnya salah seorang di antara kalian jika berwudlu kemudian menyempurnakannya lalu mendatangi masjid, tak ada keinginan yang lain kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah pun kecuali Allah mengangkatnya satu derajat, dan terhapus darinya satu kesalahan hingga ia masuk masjid ..." [Muttafaqun 'alaih, Lu'lu wal Marjan, yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim 1/131 no. 387] Orang yang menziarahi masjid berada dalam perlindungan dan rahmat dari Allah selagi tetap dalam duduk dan menjaga adab-adabnya dengan menghadapkan hati kepada Allah semata. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang menyebabkan Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat ..? para shahabat menjawab ; Ya wahai Rasulullah, beliau bersabda, "Menyempurnakan wudlu meski dalam keadaan susah dan banyak-banyak mendatangi masjid, menunggu shalat setelah shalat.... itulah ribat, itulah ribat, itulah ribat" [Shahih Muslim 1/219 no 251 urutan 41 bab 14 kitab At-Thaharah] Allah berfirman. "Artinya : Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan
Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas" [An-Nur : 36-38] Banyak sekali ayat dan hadits-hadits dalam bab ini, maka bagi orang yang berkhidmat di masjid dan bertanggung jawab atas masjid baik atas nama pribadi, jama'ah, yayasan atau yang lain haruslah menghidupkan masjid dengan membangun, membersihkan, menghamparkan permadani, penerangan dan kesinambungan pemenuhan air serta lainnya yang termasuk di dalamnya demi kemudahan dan kelancaran hamba Allah untuk melaksanakan amal-amal yang besar di dalam masjid. [Disalin dari kitab Shalat Al-Jama'ah Hukmuha Wa Ahkamuha Wat Tanbih 'Ala Ma Yaqa'u Fiiha Min Bid'ain Wa Akhthain edisi Indoensia Shalat Berjama'ah, Panduan Hukum, Adab, Hikmah. hal 6165, Pustaka Arafah]
MEMBINA ISTANA DI SYURGA بنى ال له مثله في الجنة، (من بنى مسجدا يبتغي به وجه ال: إني سمعت النبي صلى ال عليه وسلم يقول،)عن عثمان بن عفان يقول. Daripada Uthman bin`Affan katanya sesungguhnya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa yang membina masjid ikhlas kerana Allah, Allah akan membina untuknya rumah seperti itu di dalam syurga. (al-Bukhari: 439, Muslim: 533) Setiap orang mengimpikan untuk memiliki kediaman sendiri yang indah dan selesa supaya dia mendapat merehatkan diri dan mendapatkan ketenangan. Bagaimana pun sesetengah orang, disebabkan kemampuan kewangan yang tidak mencukupi tidak dapat memenuhi impiannya. Yang hanya dimiliki adalah tenaga. Membina masjid dalam hadis di atas merangkumi pembinaan dengan modal benda dan modal tenaga manusia. Masing-masing mempunyai peranan dan sumbangan. Di sini Rasulullah s.a.w. menarik perhatian umatnya supaya melihat ke hadapan yang lebih jauh lagi. Bagaimana sepatutnya setiap mukmin itu memiliki istananya sendiri di dalam syurga. Kekecewaan dengan kehidupan dunia tidak sepatutnya menghalang seseorang berusaha untuk kehidupan akhirat. Rumah atau istana di syurga tentunya tidak akan dapat ditandingi oleh mana-mana istana di dunia. Keindahan dan kemewahan syurga yang tidak dapat dibayangkan Hadis ini mengandungi isyarat supaya orang mukmin mengingati negeri asal sendiri. Dari mana kita datang ke situlah kita akan kembali. Oleh kerana itu, Allah s.w.t. sentiasa menyeru hambahamba-Nya kepada kembali ke syurga. Allah s.w.t. berfirman: ٍوَالُّ يَدْعُو إِلَى دَارِ السّلَمِ َو َيهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْ َتقِيم (Itulah dia kesudahan kehidupan dunia) dan sebaliknya Allah menyeru manusia ke tempat kediaman yang selamat sentosa dan Dia sentiasa memberi petunjuk hidayatNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya) ke jalan yang betul lurus (yang selamat itu). (surah Yunus: 25)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah s.a.w. menyebutkan tujuan pembinaan masjid. Masjid hendaklah dibina sebagai tanda mengingati Allah, memakmurkannya dengan ibadat dan ketaqwaan bukan untuk berbangga dan bermegah-megah. Sabda baginda: بنى الّ له بيتاً في، سمعت رَسُول الِّ صَلَى الُّ عََل ْيهِ وَسلّمْ يقول ((من بنى مسجداً يذكر فيه اسم ال:َعن عمر بن الخطاب؛ قَال ))الجنة. Daripada Umar bin al-al-Khattab katanya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa yang membina masjid yang diingati padanya nama Allah, Allah akan binakan untuknya sebuah rumah di dalam syurga. (Ibn Majah, no: 735) Sebagaimana jumlah tidak menjadi syarat dalam bersedekah begitu juga dalam pembinaan masjid, saiz bukan menjadi ukuran tetapi keikhlasan. Sabda baginda: بنى الّ له بيتاً في، أو أصغر،عبْد الّ؛ أن رَسُول الِّ صَلَى الُّ عََل ْيهِ وَسلّمْ قال ((من بنى مسجداً ل كمفحص قطاة َ عن جابر بْن ))الجنة. Daripada Jabir bin Abdullah bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa yang membina masjid kerana sebesar sarang burung atau lebih kecil lagi, Allah akan binakan untuknya sebuah rumah di dalam syurga. (Ibn Majah, no: 738) Hadis ini bukan untuk menyatakan saiz sebesar itu bagi masjid kerana ruang sekadar itu tidak boleh untuk bersembahyang padanya. Apa yang ditekankan oleh hadis ini ialah pahala membina masjid tetap sabit walaupun masjid itu kecil, biar sebanyak mana sumbangan kita. Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan di sebalik pahala sebegitu besar ini adanya peranan institusi masjid dalam sesebuah masyarakat. Oleh kerana itulah, setibanya Rasulullah s.a.w. ke Madinah, baginda merencanakan untuk mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam. Setelah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, baginda mengukuhkan lagi ikatan masyarakat baru itu dengan tautan aqidah, syariat dan akhlak. Semua ini terpancar dari roh dan sinar masjid. Persaudaraan bertambah erat dengan pertemuan sesama sendiri sekurangkurang lima kali sehari tanpa ada pembeza dari segi darjat, keturunan dan kekayaan. Semuanya sama-sama datang sebagai hamba Allah. Mereka berada di peringkat yang sama dalam mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Bermula dari masjid dapat dirancang pelbagai kegiatan keilmuan, perekonomian dan kemasyarakatan. Selain itu, ada beberapa hadis yang lain menyebutkan amalan-amalan lain yang membolehkan seseorang itu mendapat istana di dalam syurga. Antaranya ialah sembahyang sunat rawatib. بني له بهن بيت في، سمعت رسول ال صلى ال عليه وسلم يقول "من صلى اثنتي عشرة ركعة في يوم وليلة:عن أم حبيبة تقول "الجنة. Daripada Ummu Habibah katanya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa bersembahyang 12 rakaat dalam sehari dan semalam, dibina untuknya sebuah rumah di dalam syurga. (Muslim, no: 728) Dalam riwayat Aishah 12 belas rakaat itu adalah sunat rawatib. ًجنّةِ أَ ْربَعا َ ْ مَنْ ثَابَرَ عَلَى ا ْثنَتَىْ عَشْ َرةَ َركْعَةً َبنَى الُّ عَزّ وَجَلّ َل ُه بَيْتاً فِى ال:َعنِ الّنبِىّ صلى ال عليه وسلم قَال َ عنْهَا َ ُّعنْ عَائِشَةَ َرضِىَ ال َ ِظهْرِ وَ َركْ َعتَيْنِ َبعْدَ ا ْل َمغْ ِربِ وَ َر ْكعَ َتيْنِ بَعْدَ ا ْلعِشَاءِ وَ َر ْكعَ َتيْنِ َقبْلَ ا ْلفَجْر ّ ظهْرِ وَ َركْ َعتَيْنِ َبعْدَ ال ّ » َقبْلَ ال Daripada `Aishah daripada Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesiapa sentiasa melazimi sembahyang 12 rakaat dalam sehari dan semalam, Allah s.w.t. akan binakan untuknya sebuah rumah di
dalam syurga. 4 rakaat sebelum zuhur, 2 rakaat selepas zuhur, 2 rakaat selepas maghrib, 2 rakaat selepas isya’ dan 2 rakaat sebelum subuh. (riwayat al-Nasai’i no: 1795, al-Tirmizi, no: 414,Ibn Majah, no: 1140) Amalan lain yang membolehkan kita memperolehi rumah di dalam syurga ialah meninggalkan perbalahan, berdusta dan melazimkan diri dengan akhlak yang mulia. وببيتٍ في، " أنا زعيمٌ ببيتٍ في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقّا: قال رسول الّ صلى الّ عليه وسلم:عن أبي أمامة قال وببيتٍ في أعلى الجنة لمن حسّن خلقه،ً لمن ترك الكذب وإن كان مازحا،"وسط الجنة. Daripada Abi Umamah katanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya menjadi penjamin terhadap rumah di pinggir syurga kepada orang meninggalkan perbalahan walaupun dia yang betul, terhadap rumah di tengah-tengah syurga bagi sesiapa yang meninggalkan berdusta walaupun dalam bergurau senda dan terhadap rumah di bahagian atas syurga bagi sesiapa yang memperelokkan pekertinya. (Abu Daud, no: 4800)
http://www.al-azim.com/masjid/kedudukanmasjid.html
ARTIKEL PILIHAN Kedudukan Masjid Dalam Islam Masjid adalah sebuah bangunan yang dikhaskan untuk melakukan amal ibadat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, dan ia merupakan tempat yang mulia dan suci dalam Islam. Selain dari menjadi lambang kepada syiar Islam, masjid juga sebagai pusat bagi mengembangkan ajaran-ajaran Islam, pusat perhimpunan yang menyatupadukan umat Islam kerana di dalamnya umat Islam dapat beribadat dengan lebih khusyuk dan tawaduk, dapat mengerjakan sembahyang berjemaah, memperolehi ilmu pengetahuan dan dapat menerima nasihat dan pengajaran demi untuk kebaikan dan kesejahteraan mereka di dunia dan di akhirat. Justeru itulah usaha yang mula-mula sekali dibuat oleh Rasulullah s.a.w. semasa baginda berhijrah ke Madinah al-Munawwarah, ialah mendirikan masjid Quba', iaitu sebuah masjid yang disifatkan oleh Allah di dalam Al-Quran sebagai masjid yang didirikan atas dasar takwa. Firman Allah, Ertinya, sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa semenjak mula-mula dibina adalah lebih patut engkau mendirikan sembahyang di dalamnya. Di dalam masjid itu terdapat beberapa orang lelaki yang suka supaya dirinya bersih, sedang Allah kasih kepada orang yang bersih. Firmannya lagi, Ertinya, manakah yang lebih baik, orang yang mendasarkan pembinaan masjidnya atas takwa kepada Allah dan keredhaannya, atau orang yang mendasarkan pembinaan masjidnya di atas tepi jurang yang runtuh sehingga ia jatuh bersama-samanya dalam neraka jahanam ? sedang Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang aniaya.
Kemudian tidak lama selepas Rasulullah menetap di Madinah baginda mendirikan sebuah .lagi masjid di bandar Madinah yang lebih terkenal dengan Masjid an Nabawi yang juga disifatkan oleh baginda sebagai "masjid yang telah dibina atas dasar takwa". Sebagaimana diterangkan oleh baginda di dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Al-Tarmizi dalam "Syarhu Jamiu AtTarmizi." Memandangkan kepada pentingnya pembinaan masjid dalam perkembangan agama Islam Rasulullah telah menggalakkan umatnya supaya mendirikan masjid di mana sahaja mereka berkampung, sebagaimana yang diterangkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Saidatina Aishah Radiallahu Anha, katanya ; Etinya ;Rasulullah s.a.w. telah menyuruh umatnya mendirikan masjid di tempat-tempat perkampungan dan hendaklah sentiasa dibersihkan dan diharumkan ( Ahmad dan Abu daud dan Al-Tarmizi ) Dalam hadis yang lain pula Rasulullah telah menerangkan kelebihan orang yang mendirikan masjid atau balasan yang akan didapati oleh orang-orang yang mendermakan hartanya untuk mendirikan masjid seperti tersebut di dalam sebuah hadis : Dari Usman Radiallahu Anhu katanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda Ertinya: "barangsiapa membina sebuah masjid semata-mata ikhlas kerana Allah Taala nescaya Allah taala akan membinakan untuknya sebuah rumah di syurga." Berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadis tersebut jelaslah bahawa seseorang yang hendak membuat amal jariah mendirikan masjid atau mengeluarkan harta sebagai derma mendirikan masjid mestilah dengan hati yang ikhlas semata-mata kerana Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Muhammad s.a.w.. Seterusnya elakkan diri dari mengandungi niat atau tujuan yang kotor yang tidak diredhai oleh Allah. Sebagaimana firmannya ; Ertinya ;Di antara mereka terdapat juga orang-orang yang mendirikan masjid untuk mendatangkan mudarat dan kufur, dan mencerai beraikan antara orang-orang yang beriman dan sebagai pengintip kepada orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya semasa dahulu serta mereka bersumpah dengan katanya, "Tiadalah kami bermaksud untuk memperbuat masjid ini melainkan semata-mata kebaikan " sedang Allah mengetahui bahawa mereka orang yang bohong. Surah At-Taubah ayat 107
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=144431&kat_id=105&kat_id 1=147&kat_id2=291 Jumat, 31 Oktober 2003 Menata Kembali Manajemen Masjid Indonesia Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. At Taubah: 9: 18). Kita sering mendengar bahwa umat Islam masih mengabaikan masjidnya sehingga dimana-mana masjid terlihat kosong pada saat shalat fardhu, khususnya shalat Subuh. Masjid hanya tampak penuh saat shalat Jum'at. Ini menjadi bukti bahwa upaya memakmurkan masjid masih sangat rendah. Namun demikian, hasrat membangun masjid masih tetap tinggi sehingga masjid terus dibangun dimana-mana. Masih juga terdapat beberapa fenomena penyimpangan yang sangat mendasar dalam pengelolaan masjid di Indonesia. Pertama, pengelolaan yang tanpa mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kedua, ketidakdisiplinan dalam berjamaah, terlihat dengan pakaian yamg beragam bentuk dan berwarna-warni pada saat shalat Jum'at. Padahal Rasulullah menyontohkan dengan memakai pakaian polos terutama putih. Selain itu, kerapian dan kebersihan masjid seringkali tidak terjaga dengan baik. Kertiga, banyak orang kaya yang membiarkan rumah Allah, tempat mereka bershalat, lebih sederhana daripada rumah dan kendaraannya. Krisis multi-dimensi berkepanjangan yang melanda negara kita haruslah menjadi momen untuk melakukan introspeksi. Mungkinkah salah satunya terkait dengan kelalaian kita dalam mengelola masjid yang belum benar? Ini merupakan persoalan klasik dan sangat mendasar sehingga perlu diatasi melalui pendekatan secara klasik dan mendasar pula. Klasifikasi, registrasi dan akreditasi masjid Kini terdapat banyak pedoman baku (manual) manajemen masjid. Namun, ternyata belum mencakup hal-hal sebagaimana yang terjadi di zaman Rasulullah. Karena itu perlu dilakukan berbagai penyempurnaan terhadap manajemen masjid. Masjid memiliki makna besar dalam kehidupan umat Islam, baik fisik, emosional maupun makna spiritual. Pemahaman mengenai masjid harus benar-benar terkait dengan unsur ibadah, baik yang menyangkut hablumminallah maupun hablumminanas. Bagi umat Islam, masjid dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Masjid Allah yang dibangun semata-mata untuk mendapatkan ridlo Allah dan Masjid Riya yang dibangun bukan atas dasar ketakwaan dan niat bukan karena Allah. Ciri masjid kedua ini antara lain untuk menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam, memecah belah antara orang mukmin dan didirikan seolah-olah untuk kebaikan. Masjid adalah rumah Allah. Karena itu, membangun masjid harus diawali dengan niat yang lurus dan suci, untuk mendapat ridlo Allah semata. Sehingga masjid yang dibangunnya menjadi tempat perlindungan umat Islam, pembangunan kualitas akhlaq, iman dan taqwa kepada Allah SWT. Kehadiran masjid di satu tempat perlu dibuat klasifikasinya sehingga akan terjalin ukhuwah antara masjid di daerah yang memiliki keterbatasan dengan masjid yang berada di ibu kota provinsi ataupun pusat. Klasifikasi masjid dapat dilakukan di antaranya berdasarkan luas masjid dan daya tampung jamaah serta ketersediaan fasilitas pendukung dan usaha pemakmuran masjid. Klasifikasi ini berdasarkan lokasi, status, dan fasilitas yang dimiliki masing-masing kategori masjid tersebut. Bahkan seperti halnya di Malaysia, status masjid juga menunjukkan senioritas ranking Imam Masjidnya, karena status mereka adalah pegawai kerajaan. Dari model di atas, masjid di Indonesia dapat diklasifikasikan dengan memberikan tipe bagi masing-masing strata masjid. Yaitu, tipe A untuk Masjid Negara, tipe B untuk Masjid Akbar, tipe C untuk Masjid Raya, tipe D untuk Masjid Agung, tipe E untuk Masjid Besar, tipe F untuk Masjid Jami', dan tipe G untuk Masjid RW.
Masing-masing tipe masjid dapat ditentukan akreditasinya. Misalnya, untuk Masjid Kecamatan atau Masjid Besar dengan tipe E. Maka dapat diklasifikasikan menjadi masjid tipe E satu bintang (E 1B atau E*) sampai dengan tipe E lima bintang (E 5B atau E*****). Klasifikasinya ditentukan berdasarkan ketersediaan fasilitas yang sekaligus menunjukkan kualitas masjid tersebut. Sehingga masjid dengan tipe E 1B dapat meningkat menjadi tipe E 2B dan seterusnya sampai menjadi masjid tipe E 5B. Fasilitas masjid pada umumnya dapat digolongkan sebagai fasilitas utama dan fasilitas pendukung. Yang termasuk fasilitas utama adalah mimbar, mihrab, tempat adzan, tempat wudlu, kamar mandi, toilet, menara dan sebagainya. Adapun fasilitas pendukung adalah kantor pengurus, majelis taklim, perpustakaan, poliklinik, baitul mal, UPZ, Asy Syifa dan lain-lain. Semakin baik fasilitas dan semakin disiplin dalam mengelolanya, maka akan memperoleh penilaian dengan akreditasi yang semakin tinggi. Dalam rangka melakukan penataan, pengorganisasian maupun pembinaan terhadap masjid, maka setiap masjid harus mencatatkan keberadaannya kepada yang berwenang, yaitu Dewan Masjid Indonesia yang berada di Masjid Istiqlal atau dewan masjid daerah yang berdomisili di masjid provinsi. Dengan pencatatan ini, masjid akan mendapatkan Nomor Pokok Masjid (NPM) yang dikeluarkan secara terpusat oleh Dewan Masjid Indonesia. Nomor ini terdiri atas 11 digit yang mencantumkan identifikasi strata, tipe, dan lokasi masjid. Registrasi jamaah Registrasi jamaah masjid sangat diperlukan sebagai dasar untuk membina jamaahnya. Contoh pelaksanaan registrasi jamaah sebenarnya sudah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, walaupun dengan cara sangat sederhana. Hal ini dapat terlihat dari Hadis Nabi sebagai berikut: "Ketika Nabi akan shalat maka terlebih dahulu melihat ke arah jamaah, ketika meneliti shafnya dan beliau mengetahui ada seorang jamaah yang biasanya hadir tidak ada dalam barisan shaf itu, maka Nabi bertanya: Kemana si fulan? Salah seorang jamaah menyampaikan bahwa yang bersangkutan sakit. Kemudian setelah menunaikan shalat, Rasulullah mendatangi rumah si fulan untuk takziyah." Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi sangat perhatian terhadap jamaahnya. Karena itu, pengurus atau imam masjid selayaknya mengikutinya. Bahkan setelah shalat Jum'at, dari atas mimbar Nabi selalu menanyai jamaahnya: "Siapa yang hari ini ada kesulitan atau kekurangan? " Kemudian Nabi bertanya lagi apakah ada yang telah diberi rezeki Allah dan mempunyai kelebihan sehingga dapat membantu mereka yang kesulitan dan kekurangan itu? Dengan cara ini, problematika umat dapat langsung diselesaikan. Selaiknya bila contoh Nabi tersebut dapat kita praktikkan di tanah air. Episode yang diceritakan dengan sederhana itu mengandung makna sangat mendalam dan mendasar. Selaiknya bila pengurus masjid melakukan registrasi jamaahnya, mengetahui dan peduli keadaan mereka, dan melakukan silaturahmi untuk mengatasi persoalan mereka. Mengenali setiap jamaah bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi masjid besar. Perlu dibuat suatu sistem yang memudahkan pekerjaan itu dan sekaligus membangun silaturahmi di antara mereka. Registrasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan keterkaitan jamaah dengan masjid. Setiap jamaah diberikan nomor keanggotaan dengan Kartu Jamaah Masjid (KJM). KJM akan terkait dengan Nomor Pokok Masjid (NPM)nya karena dikeluarkan oleh masjid yang bersangkutan. Jamaah mendapatkan KJM secara cuma-cuma setelah mengajukan permohonan kepada Pengurus Masjid. Memiliki KJM tertentu bukan berarti ia hanya boleh shalat di masjid tersebut, melainkan agar jamaah lebih peduli dengan persoalan yang terjadi di masjidnya. Juga dalam rangka memakmurkan masjid.
Memakmurkan masjid Masjid sejak zaman Nabi Muhammad SAW telah dijadikan pusat kegiatan umat Islam. Dari masjid, Rasulullah membangun umat Islam dan mengendalikan pemerintahannya. Sebagaimana dinyatakan dalam surat At Taubah 18, mereka yang memakmurkan masjid adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Meski demikian, saat ini masjid masih belum diberdayakan secara proporsional bagi pembangunan umat Islam. Memang tidak mudah mengajak umat untuk kembali ke masjid seperti zaman Rasulullah. Persepsi yang berkembang adalah bahwa masjid hanya untuk kegiatan spiritual belaka, sehingga umat Islam pun tercerai berai dalam persaudaraannya. Memakmurkan masjid memiliki arti yang sangat luas. Yaitu, menyelenggarakan kegiatan yang bernilai ibadah. Di antara kegiatan yang tergolong memakmurkan masjid adalah Pengelolaan Masjid, Majelis Taklim, Taman Pendidikan Alquran, Remaja Masjid, Perpustakaan, Koperasi, Poliklinik, Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Konsultasi, Asy Syifa, Bantuan Hukum, Bursa Tenaga Kerja, Sekolah, Bank Syariah, BMT, BPRS, Kantor Pos, Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Rumah Sakit, Toko Buku, Pusat Informasi, Wartel, dan sebagainya. Selanjutnya tingkat kemakmuran masjid sangat dipengaruhi oleh kepengurusan masjid yang ada. Tanpa takmir yang amanah dan taqwa, masjid nyaris sepi dari berbagai kegiatan ibadah. Masjid seringkali menjadi simbol kebesaran Islam, namun jauh dari kegiatan memakmurkannya. Upaya pemakmuran masjid juga dapat dilakukan melalui suatu aliansi antara masjid dengan Baznas/Bazda dan Babinrohis Pusat/Daerah. Adanya UU No 38 tahun 1999, pemerintah telah memfasilitasi berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) serta LAZ (Lembaga Amil Zakat). Untuk mewujudkan istem penyelenggaraan zakat maka Baznas maupun Bazda dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang berada di masjid maupun unit-unit usaha. Kerja sama antara masjid dengan Badan Amil Zakat dan Badan Pembina Rohani Islam (BABINROHIS) yang ada di Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, BUMN dan swasta secara berjamaah, diharapkan dapat mengangkat harkat umat melalui program pengentasan kemiskinan dan peningkatan pemberdayaan ekonomi. Kerja sama ketiga pilar itu akan menjadi suatu kekuatan yang dahsyat dalam pemberdayaan umat. Dalam hal ini masjid akan bertindak selaku pengumpul dan penyalur zakat dan infaq. Pengurus masjid dituntut mengetahui kondisi jamaahnya, siapa saja yang digolongkan mampu (muzakki) dan siapa yang harus dibantu (mustahiq). Untuk itulah perlunya dilakukan reposisi dan penataan kembali masjid. Dengan demikian akan sangat dimungkinkan terlaksananya distribusi zakat secara transparan dan menyeluruh, seluruh masjid atau jamaah mempunyai kesempatan sama, para pengemis tidak akan lagi berkeliaran di berbagai tempat karena sudah diurus oleh masjid. Di samping itu, tidak akan terjadi duplikasi bantuan karena setiap orang hanya terkait dengan satu masjid dan jamaah yang tidak memerlukan bantuan harian akan diberikan bantuan yang bersifat produktif. *) Penulis adalah direktur utama PT Taspen (Persero) dan ketua umum Fokkus Babinrohis Pusat.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/05/0108.htm
Memakmurkan Masjid Ir. H. BAMBANG PRANGGONO, M.B.A, I.A.I. KEGIATAN Rasulullah saw. yang pertama ketika hijrah ke Madinah ialah membangun sebuah masjid. Dindingnya dari tanah liat, tiangnya batang kurma, lantainya pasir dan atapnya pelepah kurma. Apakah karena kondisi ekonomi masih prihatin? Ternyata tidak. Dalam kitab Dalail Al-Nubuwwah, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ubadah ibn Shamit bahwa kaum Ansar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Beliau menjawab, "Aku mau seperti saudaraku Nabi Musa a.s., masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s. Hasan menjelaskan bahwa ukuran arisy Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh. Kisah itu membuktikan bahwa kesederhanaan arsitektur Masjid Nabawi yang asli di Madinah bukanlah karena kurang biaya. Tetapi memang disengaja oleh Rasulullah saw. untuk diteladani umat Islam. Beliau bersabda. "Aku tidak diutus untuk menghias-hias masjid". Dalam Hadis lain beliau bersabda, "La taqumu al-sa'ah hatta yatabahannasu bil masajid" tidak datang saat kehancuran sampai manusia berlomba bermegah-megahan dengan masjid-masjid. Masih banyak lagi hadis serupa, misalnya yang terdapat dalam kitab At-Targhih wa at-Tarhib bahwa sahabat Anas r.a. pernah keluar menyertai Rasulullah saw. Lalu tampak oleh beliau bangunan tinggi berkubah. Beliau bertaya, "Apa itu?" Para sahabat menjawab bahwa itu adalah kubah milik si Fulan, orang Ansar. Rasulullah saw. bersabda, "Semua bangunan megah akan menjadi beban bagi pemiliknya di hari kiamat." Maka sahabat Ansar tadi dengan patuh meruntuhkan kubah itu. Lantas Rasulullah saw. mendoakannya dua kali, "Yarhamullah, yarhamullah" Semoga Allah merahmati dia. Prinsip bangunan masjid sederhana ini dipegang teguh oleh beliau sampai wafat. Ini diteruskan oleh empat Khulafa'ur rasyidin, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali r.a. Mereka adalah para khalifah yang paling saleh dan paling paham tentang Islam. Di zaman merekalah wilayah Islam meluas dengan pesat meliputi kerajaan Mesir, Persia, dan Rumawi. Tetapi di tengah melimpahnya harta dari segala penjuru, arsitektur masjid Nabawi tetap sederhana sesuai pedoman Rasulullah saw., walaupun ukuran masjid mengalami perluasan berkali-kali. Baru setelah Muawiyah, anak Abi Sufyan menjadi khalifah, negara diubah menjadi kerajaan dan ibu kota pindah dari Madinah ke Damaskus. Dia dan keturunan hidup bermewah-mewah membangun istana pribadi berkubah hijau dan juga masjid Umayah yang megah. Pelanggaran prinsip ini berkelanjutan sepanjang sejarah Islam. Masjid-masjid mulai dibangun dengan arsitektur semakin mewah di seluruh dunia. Bila sejarah diteliti, maka akan terungkap bawah sebagian besar istana masjid-masjid monumental itu dibagun oleh penguasa yang perilakunya tidak terlalu islami. Barangkali untuk mengimbangi rasa bersalah kemewahan hidupnya, mereka membangun juga masjid yang megah. Raja-raja yang saleh biasanya tidak meninggalkan arsitektur masjid mewah. Arsitek masjid megah tedapat dari Maroko sampai Spanyol. Dari Turki sampai India, Iran, sampia Asia Tenggara. Termasuk masjid Nabawi di Madinah sendiri saat ini dibangun super mewah, dan sangat boros energi. Saking mahalnya sampai pintu dikunci jam 10 malam, takut ada pencuri hiasan emas murni di dalamnya. Dan anehnya kita ikut berbangga untuk hal yang dikecam oleh Rasulullah
saw. Alasan klasik biasanya ialah, demi syi'ar Islam, bangunan masjid harus melebihi megahnya gereja dan kuil. Tetapi adakah hal itu diperintahkan dalam Alquran atau hadis atau ucapan sahabat? Sayang sekali perintah itu tidak ditemukan, yang ada justru kecaman. "Alhakum at-takatsur hatta zurtumu al-maqobir". Kalian dilengahkan oleh berlomba kemegahan dan kuantitas, sampai ke tepi liang kubur.(At-Takatsur 1,2). Memang ada hadis, "Inna'llaha jamilun yuhibbu aljamal" Allah itu indah dan Dia cinta keindahan. Namun ketika keindahan itu harus dibayar mahal perbuatan itu bisa masuk kategori isrof (berlebihan), yang justru dibenci Allah dalam Alquran Al-An'aam: 141: "Innahu lau Yuhibbu al-musrifin". Sesungguhnya Dia Allah tidak mencintai orang yang berlebihan. Kita hanya mengagumi tampilan fisik tetapi lupa akan jiwa dan niat dan aktivitas masjid. Padahal Rasulullah saw. bersabda, "Inna 'Illaha la yandzuru ila suwarikum wala ila amwalikum. Walakin yandzuru ila qulubikum wa a'alikum" Sesungguhnya Allah tidak melihat penampilanmu dan kekayaanmu. Melainkan Dia melihat hatimu dan amalmu. Bila prinsip ini diterapkan kepada penilaian masjid, maka yang dinilai seharusnya bukan hal fisik keindahan luar seperti tingginya kubah dan menara, mengkilatnya lantai granit dan empuknya permadani. Mahalnya lampu kristal. Indahnya ukiran ornamen di mimbar dan kaligrafi di dinding. Melainkan hal yang lebih abstrak berupa ketulusan niat membangun masjid, keikhlasan pengurus. Kemakmuran salat berjama'ah sejak salat subuh, kreativitas pemuda, kesucian sumber dana, kejujuran penyaluran dana, dan efektivitas dakwah yang dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Kebersihan fisik memang dianjurkan oleh Rasulullah saw., dengan melarang meludah dan makan sejenis bawang bila masuk masjid. Tetapi kebersihan batin juga disyari'atkan, dilarang berjual beli dan mengumumkan barang hilang di masjid. Niat juga penting. Allah SWT memerintahkan menghancurkan masjid dlirar yang bagus di Madinah, hanya karena niat buruk kaum munafik yang membangunnya untuk memecah belah kaum Muslimin. Paradigma arsitektur masjid harus dikoreksi. Tampilan fisik masjid tidak penting. Keindahan bukan prioritas pertama. Fungsi pokok masjid harus didahulukan. Tegaknya syari'at di lingkungan sekitar masjid, kekompakan persaudaraan Islam, Kepekaan terhadap kesenjangan sosial adalah standar yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para penerusnya. Setelah sasaran itu terlaksana, barangkali tidak mengapa sisa dana dipakai memperindah masjid. Wallahu a'lam.*** Penulis Ketua Korps Mubalig, Dewan Masjid Indonesia, Jawa Barat.
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3016&Itemid=63 Menyuap Malaikat, Membeli Surga! Rabu, 19 April 2006
Ada banyak koruptor yang rajin bersedekah dan menyantuni anak yatim. Ada artis-artis erotis yang membangun masjid dan pesantren. Inilah femonema 'membeli surga' Oleh: Nasrulloh Afandi *
Membeli surga? Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini banyak kita rasakan dan cukup “ngetrend” di negeri kita. Gelombang “simbolis religius” akhir-akhir ini banyak terjadi, khususnya di kalangan artis, pejabat dan orang-orang superkaya. Surga dan malaikat, seolaholah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan mereka. Meski tak banyak, ada saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika pulang kampung. Bersedah kemana-mana, membantu masjid dan royal pada anak yatim. Sebaliknya, di luar rumah, dia justru di kenal sebagai pejabat paling korup dan suka memarkup dana APBN/APBD. Pernah suatu kali, di sebuah surat pembaca konsultasi fikih di majalah Islam, seseorang pembaca bertanya, “Ustad, sebelum ramai-ramai istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), saya bergelimang uang haram. Bisakah dosa saja terhapus bila kami sumbangkan pada yayasan Yatim Piatu?’ Ini adalah fenomena nyata di masyarakat. Artis-artis kita, nampak sopan di kala Ramadhan. Seorang penyanyi erotis seperti Inul Dara Tista, bahkan berjanji mengenakan jilbab bila di panggung selama puasa. Artis-artis lain juga beramai-ramai bersedekah. Meski selesai Ramadhan, kegiatannya mengundang syahwat kembali lebih ‘gila’ dari bulan puasa. Uang, seolah bisa “menyuap malaikat Rokib”, malaikan pencacat amal ibadah.Inilah adalah fenomena “pragmatisme ibadah”, yang dilematis bagi Muslimin. Makelar Surga Para artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya “cinta agama”, mayoritas –mestik tidak untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka adalah para “makelar surga” paling berpengaruh. Di depan publip, ia mempromosikan, bahwa surga adalah “komoditas” yang bisa diraih dengan bermodal materi. Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan esensialitas ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas dosa-dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya. Kroposnya akar-akar Islam “di lapangan Ibadah”, baik vertical (kepada Allah) maupun horizontal (sesama ummat beragama), adalah resiko dominan dari “komoditas surga”. Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Lebih menggelikan, ada yang berceletuk , "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada tidak sama sekali ". Karena itu, para koruptor, yang tak malu mengeruk duit rakyat atau artis, tak terkecuali artis bintang porno, yang mempublikasikan diri melalui berbagai media massa secara gegap gempita menjadi “santri” dan sopan. Bergagah-gagahan berebut membangun masjid-masjid dan menyantuni para yatim piatu dengan mengundang wartawan. Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah” bagi segenap Muslimin. Ia hanya ingin menunjukkan pada public, sesungguhnya, surga masih bisa dibeli. Fenomena tak menarik seperti ini jelas jauh dari autentisitas ibadah secara syar’i. Hak surga dan neraka adalah perogratif Allah SWT sebagamana surat yang berbunyi, “Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu." (QS 5:18).
Tapi merupakan kesalahan fatal, bila ada manusia bermaksud "mengaveling surga", hanya dengan mengandalkan seonggok harta. Apalagi, I’tikad dari ibadahnya itu tetap tidak merubah kebiasaan buruk sehari-hari. Islam adalah agama yang tak bisa dipraktekkan seenaknya. Ada syarat dan rukun dalam ibadah. Dan itu tidaklah berdasarkan karangan akal-akalan. Dalam perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha ahlissunnah waljama'ah (Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i) ada kesepakatan, bahwa generalitas dalam beribadah selain ada rukun yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus memperhatikan terhadap syarat-syaratnya. Selain ada syarat diwajibankannya (beribadah), utamanya harus memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi syah. Beragama jelas ada prosedurnya. Bolehkan membangun pesantren dengan uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Misalnya hasil dari goyang erotis? Jelas tidak. Beribadah jelas ada ketentuannya. Misalnya, Meski sama-sama air, tidak boleh mencuci lantai masjid dengan air kencing. Ini sama halnya menyantuni anak yatim dengan uang hasil korupsi. Dalam Qawa’id al-Fiqh, dikenal “al-Ashlu baqou ma kana a’la makana” (hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum menyalurkan duit (haram) itu. Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan menafikan syarat (ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah. Sebuah hadis mengatakan, “Dan memang, harta itu, hisabnya (pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal; dari mana (dengan cara apa) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.). Karena itu, Nabi pernah menghancurkan masjid dhirar karena karena dianggap dapat memecah belah umat dan menimbulkan keresahan. Jika hanya menggunakan akal, penghancuran itu jelas perbuatan tidak waras. Bukankah masjid adalah rumah Allah tempat orang bersujud? Karenanya, tidaklah tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk mencari modal" beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa mencampakkan konstitusi (syariat) Ilahi? Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghar (bagian dari penyekutuan kepada Allah SWT). Efek Samping Kompfleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin terpinggirkannya implementasi kualitas ibadah. Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki shalat berjamaah ke masjid. Atau marak pula (orang-orang daerah)
gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis ta’lim, namun enggan mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu. Inilah, kaum hedonis (pemuja harta) yang gede rasa (GR) bisa “membeli surga”. Prinsipnya, “Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara (haram) memperoleh hartanya. Toh, dengan harta itu, akan mampu ‘menyuap malaikat sekaligus membeli surga!’ .” Allah berfirman, “Akan datang suatu hari, yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. AsySyu'araa': 88-89) Melaksanakan perintah Alah dan menjauhi laranganNya sesuai orisinilitas syariat itulah sesungguhnya esensi dari kehidupan manusia dan beribadah. Karenanya, bagi mereka yang merasa bisa "menyuap malaikat dan membeli surga", Anda jangan merasa GR!. Wa Allohu A'lamu bi ash-Showab. *) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU, sedang "mengasingkan diri" di universitas Karaouiyine Maroko
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=795&bagian=0 Memperindah Masjid Dan Bermegah-Megahan Dengannya Rabu, 9 Juni 2004 10:06:40 WIB Kategori : Hadits MEMPERINDAH MASJID DAN BERMEGAH-MEGAHAN DENGANNYA Oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MUKADIMAH Artikel ini diambil dari sebagian kecil Tanda-Tanda Kiamat Shugro, yang dimaksud dengan tanda-tanda kiamat shugro (kecil) ialah tanda-tandanya yang kecil, bukan kiamatnya. Tandatanda ini terjadi mendahului hari kiamat dalam masa yang cukup panjang dan merupakan berbagai kejadian yang biasa terjadi. Seperti, terangkatnya ilmu, munculnya kebodohan, merajalelanya minuman keras, perzinaan, riba dan sejenisnya. Dan yang penting lagi, bahwa pembahasan ini merupakan dakwah kepada iman kepada Allah Ta'ala dan Hari Akhir, dan membenarkan apa yang disampaiakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, disamping itu juga merupakan seruan untuk bersiap-siap mencari bekal setelah mati nanti karena kiamat itu telah dekat dan telah banyak tanda-tandanya yang nampak. Diantara tanda-tanda lainnya yang menunjukkan dekatnya kiamat ialah orang-orang memperindah, menghias, bermegah-megahan dalam membangun masjid serta membanggabanggakannya. Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berasabda. “Artinya : Tidak akan datang kiamat sehingga manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid†[Musnad Ahmad 3 : 134 dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul Ummal. Al-Albani berkata “Shahihâ€. Lihat : Shahih Al-Jami’ush Shagir 6 : 174, hadits
nomor 7298] Dan dalam riwayat Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Diantara tanda-tanda telah dekatnya kiamat ialah orang-orang bermegahmegahan dalam membangun masjidâ€. [Sunan Nasa’i 2 : 32 dengan syarah As-Suyuti. AlAlbani mengesahkannya dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir 5 : 213, nomor 5771, Shahih Ibnu Khuzaimah 2 : 282, hadits nomor 1322-1323 dengan tahqiq Dr Muhammad Musthafa AlA’zhami. Beliau berkata “Isnadnya shahihâ€] Al-Bukhari berkata : Anas berkata, “Orang-orang bermegah-megahan dalam membangun masjid, kemudian mereka tidak memakmurkannya kecuali hanya sedikit. Maka yang dimaksud dengan At-Tabaahii (bermegah-megahan) ialah bersungguh-sungguh dalam memperindah dan menghiasinyaâ€. Ibnu Abbas berkata , “Sungguh kalian akan memperindah dan menghiasinya sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani memperindah dan menghiasi tempat ibadah mereka†[Shahih Bukhari, Kitab Ash-Shalah, Bab Bunyanil Masajid 1 : 539] Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu melarang menghiasi masjid dan memperindahnya, karena yang demikian itu dapat mengganggu shalat seseorang. Dan ketika beliau memerintahkan merehab Masjid Nabawi, beliau berkata, “Lindungilah manusia dari hujan, dan janganlah engkau beri warna merah atau kuning karena akan memfitnah (mengganggu) manusia†[Shahih Bukhari 1 : 539] Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada Umar, karena orang-orang tidak mau menerapkan wasiatnya, bahkan mereka tidak hanya memberi warna merah atau kuning, tapi sudah lebih dari itu hingga mengukir dan melukis masjid seperti melukis pakaian. Dan para Raja dan Khalifah sudah bermegah-megahan dalam membangun masjid sehingga sangat mengagumkan. Masjid-masjid yang dibangun dengan kemegahan semacam itu sebagaimana yang ada di Syam, Mesir, Maroko, Andalus dan sebagainya. Dan sampai sekarang kaum muslimin senatiasa berlomba-lomba dan bermegah-megahan dalam memperindah dan menghiasi masjid. Tidak disangsikan lagi bahwa memperindah, menghiasi dan bermegah-megahan dalam membangun masjid termasuk perbuatan berlebih-lebihan dan mubadzir. Padahal, memakmurkan masjid itu adalah dengan melaksanakan ketaatan dan berdzikir di dalamnya, dan cukuplah bagi manusia sekiranya mereka sudah terlindung dari panas dan hujan di dalam masjid. Sungguh diancam dengan kehancuran apabila masjid-masjid sudah diperindah dan mushaf-mushaf sudah dihiasi sedemikian rupa. Al-Hakim At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata. “Artinya : Apalagi kamu sudah menghiasi (memperindah) masjid-masjidmu dan mushafmushafmu, maka kehancuran akan menimpamu†[1] Al-Munawi [2] berkata , “Maka memperindah masjid dan menghiasi mushaf itu terlarang, sebab dapat menggoda hati dan menghilangkan kekhusyu’an, perenungan, dan perasaan hadir di hadapan Allah Ta’ala. Menurut golongan Syafi’iyah, menghiasi masjid atau Ka’bah dengan emas atau perak adalah haram secara mutlak, dan dengan selain emas dan perak hukumnya makruh†[Faidhul Qadir 1 : 367] [Disalin dari kitab Asyratus Sa’ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA, Terbitan CV Pustaka Mantiq, hal.111-112] _________
Foote Note [1] Shahih Al-Jami Ash-Shagir 1 : 220, hadit nomor 599, Al-Albani berkata, “Isnadnya hasanâ€. Dan beliau menyebutkan dalam kitab Silsilatul Ahaditsish Shahihah 3 : 337, hadit nomor 1351 bahwa hadist ini diriwayatkan oleh Al-Hakim At-Tirmidzi dalam kitab Al-Akyas Wal-Mughtarrin, halaman 78 dari Abu Darda secara marfu. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dengan mendahulukan dan mengakhirinya (membalik susunannya) dalam Kitab Az-Zuhdi halaman 275, hadits nomor 797 dengan tahqiq Habibir-Rahman AlAzhami. Dan Al-Bani menyebutkan isnad Ibnu Mubarak dalam As-Silsilah dengan mangatakan, ‘Ini adalah isnad yang perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan, perawi-perawi Muslim, tetapi saya tidak tahu apakah Bakar bin Suwadah (yang meriwayatkan dari Abu Darda) ini mendengar dari Abu Darda’ atau tidak ?†Hadits ini disebutkan oleh Al-Baghawi dalam Syarah As-Sunnah 2 ; 350 dan beliau menisbatkannya kepada Abu Darda’. As-Suyuthi menisbatkannya di dalam Al-Jami’ush Shagir halaman 27 kepada Al-Hakim dan Abu Darda’ dan memberi siyarat dha’if. Demikian pula Al-Munawi mendhaifkannya dalam Faidhul Qadir 1 ; 367, hadits nomor 658. [2] Belaiu adalah Zainuddin Muhammad bin Abdur Ra’uf bin Tajul Arifin bin Ali bin Zainul Abidin AlHaddadi Al-Munawi. Beliau memiliki delapan buah karangan, terutama dalam bidang hadits, biografi, dan sejarah. Beliau wafat di Kairo pada tahun 1031H. Semoga Allah merahmati beliau. Lihat Al-A’lam 6 : 204
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=15 Pelajaran dan Faedah Kisah Ashabul Ukhdud Dikirim oleh Kontributor || Senin, 28 Agustus 2006 - Pukul: 06:17 WIB Dari kisah Ashabul Ukhdud yang telah terlebih dahulu dikontribusikan, terdapat berbagai pelajaran dan faedah yang dapat kita petik kemudian dipahami, dipelajari dan diamalkan. Sehingga kisah ini bukan hanya menjadi pengantar tidur ataupun pengetahuan belaka namun memberikan manfaat bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Amiin Di antara rentang waktu tertentu Alloh menyiapkan orang-orang yang menegakkan menara agamanya dan menyebarkannya di muka bumi. Sebagaimana Dia menyiapkan pemuda ini untuk menjadi sebab berimannya kaumnya. Hal seperti ini terjadi pula pada umat ini dalam bentuk yang lebih agung dan lebih besar. Alloh telah menyiapkan orang-orang yang menyebarkan, menjaga, dan membela agamanya. Raja memilih pemuda ini untuk dididik menjadi penyihir yang dapat menopang kekuasaannya, akan tetapi Alloh menghendakinya menjadi seorang dai shalih yang menghancurkan kerajaannya dan memberi petunjuk manusia kepada agama yang benar. Dan hal ini mengandung pelajaran bagi orang-orang yang mengambil pelajaran. Alloh menyiapkan untuk agama-Nya orang-orang yang tumbuh di rumah para thaghut agar mereka menjadi dai-dai pemberi petunjuk. Iman tidak memerlukan waktu yang lama untuk bersemayam di dalam jiwa dan hidup di dalam hati. Kaum pemuda itu yang rela dengan siksa Neraka dunia, maka iman mereka hanya berlangsung beberapa saat saja. Sama dengan mereka adalah para tukang sihir Fir'aun. Ancaman siksa Fir'aun tidak menyurutkan mereka dari iman. Kadangkala Alloh menampakkan karomah melalui sebagian wali-Nya untuk mendukungnya dengannya dan meneguhkan iman dan keyakinannya. Pemuda ini bukanlah sembarang pemuda. Alloh telah menjawab doanya sehingga binatang itu mati karenanya. Alloh menyembuhkan orang buta dan berpenyakit sopak melalui tangan sang pemuda, juga mengobati orang-orang sakit. Alloh menjawab doanya sehingga dia terbebas dari usaha pembunuhan dan justru bala tentara raja yang diperintahkan untuk membunuhnya, merekalah yang mati. Mengorbankan jiwa fi sabilillah bukan sedikit pun termasuk bunuh diri. Pemuda ini
membeberkan cara yang dengannya raja bisa membunuhnya. Sebagian dari orang-orang mukmin ada yang dilempar ke dalam api, ada pula yang terjun sendiri. Tujuan mereka bukanlah bunuh diri, akan tetapi hal itu mengandung penghinaan kepada para thaghut dan keridhaan dari Rabbul alamin. Kuatnya permusuhan orang-orang kafir terhadap orang-orang mukmin. Raja dan bala tentaranya telah menggergaji penasihatnya dan pendeta, lalu mereka membakar manusia dengan api. Penjagaan Alloh terhadap para wali-Nya dan penghinaan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya. Alloh telah menjaga pemuda ini dari usaha pembunuhan, menjawab doanya, dan membinasakan orang-orang yang hendak mencelakainya. Kewajiban sabar atas cobaan yang menimpa pada jalan Alloh sebagaimana sikap pendeta, penasihat raja, dan pemuda ini yang bersabar sebagaimana orang-orang mukmin dibakar api dengan kesabaran. Dibolehkan berdusta dalam perang dan yang sejenisnya. Pendeta ini menunjukkan kepada pemuda itu cara menjawab penyihir jika dia menanyakan keterlambatannya dan cara menjawab keluarganya jika dia menanyakan keterlambatannya. Alloh menampakkan kepada orang-orang zhalim akan kelemahan dan ketidakmampuan mereka. Pemuda ini telah membuat raja pengklaim ketuhanan ini benar-benar mati kutu. Dia tidak mampu membunuhnya, walaupun dia sangat lalim dan bengis. Kelemahananya semakin kentara manakala dia menuruti petunjuk pemuda itu agar bisa membunuhnya. Penegak akidah terkadang melemah dalam memikul siksaan. Karena kerasnya penyiksaan, dia mungkin membocorkan rahasia yang semestinya tidak boleh dibocorkannya. Di bawah kerasnya siksaan, penasihat raja yang sembuh dari kebutaan itu menunjuk nama si pemuda. Begitu pula si pemuda, dia menyebut nama pendeta ketika berada di bawah kerasnya siksaan. Walaupun demikian, pengakuan ini tidak menurunkan kedudukan keduanya. Keduanya memikul siksaan yang menjadi sebab kematian mereka manakala keduanya diminta untuk mundur dari akidah dan kafir kepada Alloh. Murid bisa saja afdhal dari gurunya. Pemuda ini mewujudkan apa yang tidak diwujudkan oleh pendeta, namun pemuda itu menjadi seperti itu karena petunjuk pendeta. Hadis ini membantah orang-orang yang mengklaim bahwa berbuat baik tidak akan bermanfaat dalam dakwah kepada Alloh dan bahwa kewajiban kaum muslimin adalah menegakkan hukum Islam. Adapun menyibukkan diri dengan memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, membangun masjid-masjid dan rumah-rumah sakit, maka semua itu sia-sia belaka. Hadis ini membantah mereka. Alloh telah membuat pemuda ini mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti kebutaan dan penyakit sopak. Hal itu menjadikan orang-orang berkait dengannya dan menerima dakwahnya. Di muka bumi terdapat para raja lalim yang mengklaim diri sebagai tuhan. Mereka mengiklankan diri mereka sebagai tuhan lain selain Alloh, seperti Fir'aun, Namrud, dan raja bengis yang membakar orang-orang mukmin. Para penyokong kejahatan selalu berusaha agar kejahatan mereka berlangsung terus sesudah mereka, seperti penyihir ini yang berusaha mewariskan ilmunya yang rusak agar tetap hidup dan menyesatkan manusia. (Sumber Rujukan: Shahih al-Qashash, DR. Umar Sulaiman Al-Asyqar.)
http://syariahonline.com/new_index.php/id/8/cn/3887 Konsultasi : Zakat Zakat Profesi/Mal Untuk Bangun Masjid Pertanyaan: Assalamu'alaikum wr.wb. Di daerah saudara kami, kebetulan belum memiliki masjid, dan alhamdulillah warga sudah mulai merencanakan untuk membangun masjid dengan biaya swadaya. Sehubungan dengan zakat profesi atau zakat mal, apakah bisa disalurkan untuk membangun masjid tersebut ? Jazakumullahu khairal jaza atas jawabannya. Wassalamu'alaikum wr.wb. Jauhar Jauhar Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Sebenarnya berkenaan dengan siapa saja yang berhak untuk mendapatkan dana zakat, Allah SWT telah menentukan dengan tegas dan jelas. Sehingga kita tidak perlu terlalu repot dalam menjawab masalah ini. Di dalam Al-Quran Al-Karim, aturan tentang siapa saja yang berhak mendapatkan dana zakat disebutkan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Orang-orang fakir Orang-orang miskin Pengurus-pengurus zakat Para mu'allaf yang dibujuk hatinya Budak, Orang-orang yang berhutang Untuk di jalan Allah (jihad) Mereka yuang sedang dalam perjalanan
Lengkapnya ayat itu demikian : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. AtTaubah : 60). Kalau kita cermati satu persatu, maka kita memang tidak menemukan masjid sebagai mustahik zakat. Kecuali bila akan diqiyaskan dengan kelompok yang ke-7 yaitu kepentingan jihad fi sabilillah. Namun qiyas ini pun masih meninggalkan perbedaan dan kritik. Karena ayat itu menegaskan fi
sabilillah, dimana di zaman Rasulullah SAW, yang dimaksud adalah jelas-jelas sebagai perang demi membela Islam. Sebagian ulama kontemporer memang ada yang mencoba menafsrikan dan meluaskan cakupan fi sabilillah. Misalnya Dr. yusuf Al-Qaradawi menyebutkan dalam Fiqhuz Zakat. Beliau menyebutkan misalnya sebuah lembaga dakwah atau islamic center di sebuah negeri minoritas muslim tentu sangat layak mendapatkan dana zakat ini, karena pada hakikatnya yang dilakukan oleh Islamic Center ini tidak lain adalah memperjuangkan agama Islam. Bahkan bila Islamic Center itu adanya di negeri muslim sekalipun tetapi memiliki peranan besar dalam memperjuangkan Islam, termasuk yang bisa dikategorikan fi sabilillah. Di masa sekarang ini, umat Islam pun sedang menghadapi peperangan yang sangat dahsyat dari pihak musuh yang bersekutu. Bahkan tidak saja menggunakan senjata konvensional, tetapi juga dengan segala sarana seperti media massa, organisasi, LSM, kampanye dan sejenisnya. Para musuh Islam berusaha memurtadkan umat Islam dengan sekian banyak program yang mereka gariskan. Karena itu sudah sewajarnya umat Islam bertahan dan juga memasang jurus yang minimal sama untuk membendung arus pemurtadan kontemporer itu. Sehingga menurut sebagian ulama, jihad fi sabilillah di masa kini mencakup juga mendirikan sekolah, Islamic Center, lembaga / organisasi dakwah dan sejenisnya. Dimana misinya adalah memperjuangkan kepentingan umat Islam dan demi tegaknya syarait Islam. Berangkat dari ijtihad seperti itu, maka bila masjid itu memang memiliki peran tersendiri dalam perjuangan menegakkan Islam, maka bisa saja dikategorikan sebagai fi sabililah. Apalagi bila masjid itu dibangun di wilayah minoritas Islam, atau di wilayah yang penduduknya muslim namun kurang sekali pengamalan Islamnya, sehingga keberadaan masjid itu memang menjadi sebuah nilai perjuangan tersendiri karena bermisi menegakkan Islam. Sedangkan bila masjid itu dibangun sekedar untuk bermegahan atau main gengsi para pngurusnya dengan kemegahan bangunan, sementara setelah itu masjid itu ditinggalkan karena tidak ada yang shalat, atau tidak punya program Islamisasi yang jelas dan pasti, maka penggunaan dana zakat itu menjadi dipertanyakan. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1620&bagian=0 Membelanjakan Atau Menyalurkan Zakat Untuk Pembangunan Masjid ? Jumat, 21 Oktober 2005 06:37:26 WIB Kategori : Zakat MEMBELANJAKAN ATAU MENYALURKAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MASJID ? Oleh Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya membelanjakan zakat untuk pembangunan masjid ? Siapakah orang fakir itu ? Jawaban Pembelanjaan (penyaluran) zakat tidak boleh dilakukan kecuali kepada delapan golongan yang telah disebutkan oleh Allah, karena Allah menyebutkan hal itu dengan pola pembatasan yakni
dengan ‘innama’, Dia berfirman. “Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana†[At-Taubah : 60] Sehingga tidak boleh dibelanjakan untuk pembangunan masjid, pengajaran ilmu dan semacamnya, sedangkan sedekah yang sunnah (bukan zakat) yang paling utama adalah disalurkan pada pos yang bermanfaat. Adapun orang fakir yang berhak menerima zakat adalah orang yang tidak mampu mencukupi dirinya sendiri dan mencukupi keluarganya sepanjang tahun disesuaikan dengan waktu dan tempat, bisa jadi dengan seribu riyal di suatu waktu dan di suatu tempat dianggap sebagai orang kaya, sedangkan di waktu dan tempat yang lain tidak dianggap sebagai kaya disebabkan oleh mahalnya biaya hidup, dan yang semisal dengan itu. Pertanyaan. Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah zakat digunakan untuk membangun masjid, melaksanakan firman Allah Ta’ala tentang keadaan ahli zakat ‘wa fi sabilillah’ [At-Taubah : 60] ? Jawaban. Sesungguhnya pembangunan masjid tidak masuk dalam lingkup kandungan makna firman Allah Subahanhu wa Ta’ala ‘wa fi sabilillah’ karena makna yang dipaparkan oleh para mufasir (ahli tafsir) sebagai tafsir dari ayat ini adalah jihad fi sabilillah ; karena kalau kita katakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dari fi sabilillah adalah semua yang mengarah kepada kebaikan maka pembatasan pada firmanNya. “Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir….†Menjadi tidak ada gunannya, padahal sebuah pembatasan seperti yang diketahui adalah penetapan hukum pada hal yang disebutkan dan menafikan selainnya. Apabila kita katakan, ‘Sesunnguhnya ‘wa fi sabilillah’ adalah semua jalan kebaikan, maka ayat itu menjadi tidak berguna, berkenaan dengan asal kata ‘innama’ yang menunjukan adanya pembatasan. Kemudian, sesungguhnya di dalam kebolehan pembelanjaan zakat untuk pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikan lainnya terdapat penelantaran kebaikan ; karena sebagian besar manusia dikalahkan oleh kekikiran diirnya. Apabila mereka melihat bahwa pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikannya boleh dijadikan tujuan penyaluran zakat, maka mereka akan menyalurkan zakat mereka ke sana, sedangkan orang-orang fakir dan miskin tetap dihimpit kebutuhan selamanya. [Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih AlUtsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
http://www.muslimsources.com/id/NEWS/detail.php?cat=3&iid=130
Manajemen Masjid Sumber : Republika, Sabtu, 20 April 2002 Jumlah masjid di Indonesia, menurut Dr H Ahmad Sutarmadi, saat ini tidak kurang dari 700 ribu, jumlah terbesar di dunia, sama dengan jumlah masjid di rentang Bangladesh sampai Maghribi. ''Tapi, pertumbuhan itu baru hardware-nya, belum software-nya. Manajemen masjid kita masih sangat lemah,'' ujar Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI). Berikut ini petikan lengkapnya. Dewasa ini orang sering menyebut ada fenomena kembali ke masjid. Bagaimana Anda menafsirkannya? Fenomena itu dapat ditafsirkan secara fisik dan mental. Secara fisik kita melihat banyak orang senang memperhatikan masjid, melihat masjid, dan senang sering datang ke masjid untuk salat berjamaah dan melakukan ibadah-ibadah lain. Secara mental, makin banyak orang yang hatinya terpaut dengan masjid, yang selalu merindukan masjid. Mereka adalah orang yang mengamalkan Hadis Rasulullah SAW, bahwa nanti di akherat ada tujuh golongan yang akan mendapatkan payung di saat orang lain tidak mendapatkannya, salah satunya adalah mereka yang hatinya selalu terpaut dengan masjid (qolbuhu muta'allikul fil masajid). Idealnya, perwujudan semangat kembali ke masjid itu seperti apa? Idealnya ya itu tadi, kembali ke masjid secara fisik dan mental. Tidak hanya senang membangun dan memperhatikan masjid secara fisik, tapi hatinya juga harus selalu terpaut dengan masjid. Jadi, secara fisik selalu memikirkan bagaimana memelihara dan memakmurkan masjid, dan secara mental selalu rindu untuk beribadah serta menghadiri acara di masjid. Yang dimaksud masjid itu sebenarnya sebatas dalam pengertian tempat ibadah umat Islam, atau bisa dalam pengertian yang lebih luas? Bukankah ada hadis Nabi yang mengatakan bahwa tiap jengkal bumi adalah masjid? Ya tentu dalam pengertian khusus tempat ibadah umat Islam yang kita sebut masjid atau baitullah itu. Memang ada Hadis Nabi bahwa seluruh bumi adalah masjid. Tapi, itu kan karena kelebihan Nabi Muhammad SAW dibanding Nabi lainnya. Artinya, salat itu dapat dikerjakan di manapun, tidak harus di masjid. Tapi, itu kan kalau kita dalam keadaan darurat, dalam keadaan jauh dari masjid. Dalam keadaan biasa, idealnya salat ya di masjid dalam arti tempat ibadah umat Islam itu. Sebab, kalau lantas diperluas seperti itu ya nanti pengertian masjid sebagai baitullah jadi kabur. Orang bisa jadi tidak rindu lagi untuk datang ke masjid, karena di manapun ia berada, tempat ia berpijak sudah dia anggap sebagai masjid. Sekarang ini gairah orang untuk membangun masjid tampak luar biasa. . Saking bersemangatnya, sampai-sampai orang tega turun ke jalan untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid. Menurut Anda? Memang betul. Pertambahan jumlah masjid di Indonesia sangat luar biasa. Tapi, terus terang, saya tidak setuju dengan aksi penggalangan dana di jalan raya. Banyak kritik yang masuk kepada DMI soal itu. Tapi, memang sulit dihindari, karena memang diijinkan oleh Pemda setempat. Dan, dari aksi itu, kabarnya, mereka dapat mengumpulkan dana sangat banyak dan cepat. Makanya, masjid-masjid di tepi jalan raya umumnya megah-megah. Bagaimana manajemen masjid kita? Manajemen masjid kita masih sangat lemah dan kurang profesional! Baru satu dua masjid yang dikelola dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal sesuai prinsip-prinsip manajemen modern. Dalam memelihara dan memakmurkan masjid, misalnya, kebanyakan asal jalan dan
dilakukan secara sambilan, sehingga tidak optimal. Manajemennya kebanyakan juga acakacakan dan laporan keuangannya rata-rata tidak transparan. Menurut Anda, pengelolaan masjid yang ideal itu bagaimana? Sejak saya menjadi pejabat Departemen Agama sampai sekarang sudah sering saya sampaikan bahwa masjid harus dikelola secara baik dan profesional, sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Pengurus masjid harus merumuskan konsep manajemen masjid itu sejak dari visi, misi, perencanaan dan langkah-langkah strategisnya. Merujuk Keputusan Muktamar IV DMI, visi masjid adalah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, dan kecerdasan umat, serta tercapainya masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT. Sedangkan misinya adalah mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat dan persatuan umat. Berkaitan dengan fungsi masjid, bisa lebih jelas? Sesuai dengan misi DMI, ada tiga fungsi masjid. Pertama, masjid dapat difungsikan sebagai pusat ibadah, baik ibadah mahdhah, maupun ibadah sosial. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung kepada Allah SWT, seperti salat, mengaji, tahlil, dan tadarus. Tentu, secara tidak langsung, ibadah-ibadah tersebut juga ada hubungannya dengan masyarakat. Sedangkan sebagai pusat ibadah sosial, masjid dapat difungsikan untuk mengelola zakat, wakaf, membangun ukhuwah Islamiyah, menjaga kebersihan dan kesehatan bersama, melaksanakan kurban, dan membantu peningkatan ekonomi ummat. Kedua, memanfaatkan masjid sebagai pusat pengembangan masyarakat, melalui berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki masjid, seperti khutbah, pengajian, kursus ketrampilan yang dibutuhkan anggota jamaah, dan menyelenggarakan pendidikan formal sesuai kebutuhan masyarakat. Dan, ketiga, memfungsikan masjid sebagai pusat pembinaan persatuan ummat. Apa ada panduan yang lebih operasiona? Merujuk rumusan DMI, ada tujuh langkah strategis (action), pertama, mengembangkan pola idarah (manajemen), imarah (pengelolaan program), dan ri'ayah (pengelolaan fisik). Kedua, mengembangkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam. Ketiga, mengembangkan dakwah, pendidikan dan perpustakaan. Keempat, mengembangkan program kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Kelima, mengembangkan ekonomi jamaah, dan pemberdayaan perempuan, remaja, pemuda, serta kepanduan. Keenam, mengembangkan masjid-masjid percontohan. Dan, ketujuh, pembinaan pengurus Dewan Masjid Indonesia serta pengkaderan pengurus bagi generasi muda. Itu semua kan konsep, sedang kondisi tiap masjid tidak sama. Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang siap dana dan sarana, banyak pula yang tidak punya apa-apa. Tentu, tidak semuanya siap menjalankan visi, misi dan langkah strategis yang dirumuskan DMI itu. Bagaimana menurut Anda? Konsep DMI itu contoh konsep pengelolaan masjid yang ideal untuk rujukan. Tentu tiap masjid dapat merumuskan visi, misi dan langkah strategisnya sendiri sesuai dengan kondisinya. Yang penting dalam hal ini adalah menyusun rencana kegiatan masjid secara matang dan mengelola pelaksanaan kegiatan itu secara profesional, termasuk transparansi keuangannya. Selain itu, yang terpenting adalah bagaimana menjadikan masjid sebagai unit terdepan pembinaan umat. Umat Islam, terutama para pemimpinnya, sejak tingkat lingkungan masjid sampai tingkat nasional, sudah saatnya berpikir lebih tertib, terarah dan teratur. Tidak lagi seperti masa lampau, yang mengedepankan pikiran lebih global dan emosional daripada pemikiran kritis dan rasional. Itu tidak boleh terulang, karena akan menyebabkan kita terjebak dalam dimensi permasalahan yang lebih besar dan lebih sulit. Nah, pembiasaan berpikir tertib, teratur, terarah, kritis dan rasional itu harus dapat dimulai dari lingkup pengurus, imam dan anggota jamaah masjid.
Jika harus begitu, tugas pengurus masjid menjadi sangat berat. Apa sanggup, jika mereka tak mendapatkan imbalan finansial? Ya itu masalahnya. Jika pengurus masjid masih sambilan, masih hanya memberikan sisa waktu, tenaga dan pikiran yang sangat sedikit seperti selama ini, ya sulit. Dan, hasilnya juga tidak maksimal. Menurut saya, idealnya pengurus masjid itu full timer. Mereka, termasuk imam tetap masjid (mufti) harus digaji oleh masjid, agar kesejahteraan lahir-batin mereka terpenuhi. Kalau belum mungkin full time, minimal mereka sanggup memberikan setengah waktu dan tenaganya untuk masjid, jangan hanya sisa-sisanya. Jadi, mereka harus mampu mengelola masjid secara profesional, dan memahami konsep kepemimpinan yang punya visi dan misi, sehingga mampu menyusun dan melaksanakan langkah-langkah strategis guna meningkatkan kesejahteraan lahir-batin anggota jamaahnya. Masjid-masjid di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, sudah dikelola secara demikian. Kita memang tertinggal. Di Indonesia, apa tak ada masjid yang dapat sebagai contoh? Ada, tapi baru sedikit. Misalnya, masjid Sunan Ampel Surabaya, masjid Pondok Indah, masjid Istiqlal, dan saya dengar juga Masjid Besar Denpasar. Masjid-masjid itu sudah dikelola cukup profesional dan mampu menggaji pengurusnya. Gaji mufti (imam tetap) Masjid Agung Pondok Indah, kabarnya malah sudah setingkat gaji eselon satu, yakni Rp 7 juta per bulan. Itu kan bagus! Tadi Anda menyebut istilah anggota jamaah. Apa mereka perlu didaftar? Ya, anggota jamaah suatu masjid memang perlu didaftar. Ini penting untuk mengetahui potensi ummat yang sesungguhnya, termasuk kondisi sosial-ekonomi mereka. Ini tidak hanya penting untuk penggalangan dana, tapi juga agar tahu siapa saja anggota jamaah yang berhak menerima zakat, dan siapa saja yang mendesak untuk dibantu ditingkatkan taraf hidupnya. Dengan pencatatan, akan memudahkan penyusunan langkah pengembangan ekonomi keumatan. Sehingga, fungsi masjid sebagai pusat ibadah sosial dan pengembangan masyarakat dapat dikelola secara lebih maksimal. ahmadun yh
http://www.galeribisnis.com/artikel/iman/pahala_dosa.php
60 Pintu Pahala Dan Pelebur Dosa Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw dan utusan yang paling mulia. Risalah ini ditujukan kepada setiap muslim yang beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Tujuan utama yang sangat urgen bagi setiap muslim adalah ia keluar meninggalkan dunia fana ini dengan ampunan Allah dari segala dosa sehingga Allah tidak menghisabnya pada hari Kiamat, dan memasukkannya ke dalam surga kenikmatan, hidup kekal didalamnya, tidak keluar selamalamanya. Di dalam risalah yang sederhana ini kami sampaikan beberapa amalan yang dapat melebur dosa dan membawa pahala yang besar, yang kesemuanya bersumber dari hadist-hadist yang shahih. Kita bermohon kepada Allah yang Maha Hidup, yang tiada Tuhan yang haq selain Dia, untuk menerima segala amalan kita. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 1. TAUBAT
"Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan mengampuninya" HR. Muslim, No. 2703. "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba selama ruh belum sampai ketenggorokan". 2. KELUAR UNTUK MENUNTUT ILMU "Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya dengan (ilmu) itu jalan menuju surga" HR. Muslim, No. 2699. 3. SENANTIASA MENGINGAT ALLAH "Inginkah kalian aku tunjukkan kepada amalan-amalan yang terbaik, tersuci disisi Allah, tertinggi dalam tingkatan derajat, lebih utama daripada mendermakan emas dan perak, dan lebih baik daripada menghadapi musuh lalu kalian tebas batang lehernya, dan merekapun menebas batang leher kalian. Mereka berkata: "Tentu", lalu beliau bersabda: (( Zikir kepada Allah Ta`ala ))" HR. At Turmidzi, No. 3347. 4. BERBUAT YANG MA`RUF DAN MENUNJUKKAN JALAN KEBAIKAN "Setiap yang ma`ruf adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan jalan kepada kebaikan (akan mendapat pahala) seperti pelakunya" HR. Bukhari, Juz. X/ No. 374 dan Muslim, No. 1005. 5. BERDA`WAH KEPADA ALLAH "Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun" HR. Muslim, No. 2674. 6. MENGAJAK YANG MA`RUF DAN MENCEGAH YANG MUNGKAR. "Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu (pula) maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman" HR. Muslim, No. 804. 7. MEMBACA AL QUR`AN "Bacalah Al Qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa`at kepada pembacanya" HR. Muslim, No. 49. 8. MEMPELAJARI AL QUR`AN DAN MENGAJARKANNYA "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur`an & mengajarkannya " HR. Bukhari, Juz. IX/No. 66. 9. MENYEBARKAN SALAM "Kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman, dan tidaklah kalian beriman (sempurna) sehingga berkasih sayang. Maukah aku tunjukan suatu amalan yang jika kalian lakukan akan menumbuhkan kasih sayang di antara kalian? (yaitu) sebarkanlah salam" HR. Muslim, No.54. 10. MENCINTAI KARENA ALLAH "Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman pada hari kiamat: ((Di manakah orang-orang yang mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaunginya dalam naungan-Ku, pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku))" HR. Muslim, No. 2566. 11. MEMBESUK ORANG SAKIT "Tiada seorang muslim pun membesuk orang muslim yang sedang sakit pada pagi hari kecuali ada 70.000 malaikat bershalawat kepadanya hingga sore hari, dan apabila ia menjenguk pada sore harinya mereka akan shalawat kepadanya hingga pagi hari, dan akan diberikan kepadanya sebuah taman di surga" HR. Tirmidzi, No. 969.
12. MEMBANTU MELUNASI HUTANG "Barangsiapa meringankan beban orang yang dalam kesulitan maka Allah akan meringankan bebannya di dunia dan di akhirat" HR. Muslim, No.2699. 13. MENUTUP AIB ORANG LAIN "Tidaklah seorang hamba menutup aib hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat" HR. Muslim, No. 2590. 14. MENYAMBUNG TALI SILATURAHMI "Silaturahmi itu tergantung di `Arsy (Singgasana Allah) seraya berkata: "Barangsiapa yang menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan dengannya, dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya" HR. Bukhari, Juz. X/No. 423 dan HR. Muslim, No. 2555. 15. BERAKHLAK YANG BAIK "Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau menjawab: "Bertakwa kepada Allah dan berbudi pekerti yang baik" HR. Tirmidzi, No. 2003. 16. JUJUR "Hendaklah kalian berlaku jujur karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan jalan menuju surga" HR. Bukhari Juz. X/No. 423 dan HR. Muslim., No. 2607. 17. MENAHAN MARAH "Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu menampakkannya maka kelak pada hari kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk dan menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai" HR. Tirmidzi, No. 2022. 18. MEMBACA DO`A PENUTUP MAJLIS "Barangsiapa yang duduk dalam suatu majlis dan banyak terjadi di dalamnya kegaduhan lalu sebelum berdiri dari duduknya ia membaca do`a: (Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa Tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu) melainkan ia akan diampuni dari dosa-dosanya selama ia berada di majlis tersebut" HR. Tirmidzi, Juz III/No. 153. 19. SABAR " Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim baik berupa malapetaka, kegundahan, rasa letih, kesedihan, rasa sakit, kesusahan sampai-sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan melebur dengannya kesalahan-kesalahannya" HR. Bukhari, Juz. X/No. 91. 20. BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA "Sangat celaka, sangat celaka, sangat celaka...! Kemudian ditanyakan: Siapa ya Rasulullah?, beliau bersabda: ((Barangsiapa yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya di masa lanjut usia kemudian ia tidak bisa masuk surga))" HR. Muslim, No. 2551. 21. BERUSAHA MEMBANTU PARA JANDA DAN MISKIN "Orang yang berusaha membantu para janda dan fakir miskin sama halnya dengan orang yang berjihad di jalan Allah" dan saya (perawi-pent) mengira beliau berkata: ((Dan seperti orang melakukan qiyamullail yang tidak pernah jenuh, dan seperti orang berpuasa yang tidak pernah berbuka" HR. Bukhari, Juz. X/No. 366. 22. MENANGGUNG BEBAN HIDUP ANAK YATIM "Saya dan penanggung beban hidup anak yatim itu di surga seperti begini," seraya beliau
menunjukan kedua jarinya: jari telunjuk dan jari tengah.HR. Bukhari, Juz. X/No. 365. 23. WUDHU` "Barangsiapa yang berwudhu`, kemudian ia memperbagus wudhu`nya maka keluarlah dosadosanya dari jasadnya, hingga keluar dari ujung kukunya" HR. Muslim, No. 245. 24. BERSYAHADAT SETELAH BERWUDHU` Barangsiapa berwudhu` lalu memperbagus wudhu`nya kemudian ia mengucapkan: (Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq selain Allah tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya,Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci)," maka dibukakan baginya pintu-pintu surga dan ia dapat memasukinya dari pintu mana saja yang ia kehendaki" HR. Muslim, No. 234. 25. MENGUCAPKAN DO`A SETELAH AZAN "Barangsiapa mengucapkan do`a ketika ia mendengar seruan azan: ((Ya Allah pemilik panggilan yang sempurna dan shalat yang ditegakkan, berilah Muhammad wasilah (derajat paling tinggi di surga) dan kelebihan, dan bangkitkanlah ia dalam kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya)) maka ia berhak mendapatkan syafa`atku pada hari kiamat"HR. Bukhari, Juz. II/No. 77. 26. MEMBANGUN MASJID "Barangsiapa membangun masjid karena mengharapkan keridhaan Allah maka dibangunkan baginya yang serupa di surga" HR. Bukhari, No. 450. 27. BERSIWAK "Seandainya saya tidak mempersulit umatku niscaya saya perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap shalat" HR. Bukhari II/No. 331 dan HR. Muslim, No. 252. 28. BERANGKAT KE MASJID "Barangsiapa berangkat ke masjid pada waktu pagi atau sore, niscaya Allah mempersiapkan baginya tempat persinggahan di surga setiap kali ia berangkat pada waktu pagi atau sore" HR. Bukhari, Juz. II/No. 124 dan HR. Muslim, No. 669. 29. SHALAT LIMA WAKTU "Tiada seorang muslim kedatangan waktu shalat fardhu kemudian ia memperbagus wudhu`nya, kekhusyu`annya dan ruku`nya kecuali hal itu menjadi pelebur dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya selama ia tidak dilanggar suatu dosa besar. Dan yang demikian itu berlaku sepanjang masa" HR. Muslim, No. 228. 30. SHALAT SUBUH DAN ASHAR "Barangsiapa shalat pada dua waktu pagi dan sore (subuh dan ashar) maka ia masuk surga" HR. Bukhari, Juz. II/No. 43. 31. SHALAT JUM`AT "Barangsiapa berwudhu` lalu memperindahnya, kemudian ia menghadiri shalat Jum`at, mendengar dan menyimak (khutbah) maka diampuni dosanya yang terjadi antara Jum`at pada hari itu dengan Jum`at yang lain dan ditambah lagi tiga hari" HR. Muslim, 857. 32. SAAT DIKABULKANNYA PERMOHONAN PADA HARI JUM`AT "Pada hari ini terdapat suatu saat bilamana seorang hamba muslim bertepatan dengannya sedangkan ia berdiri shalat seraya bermohon kepada Allah sesuatu, tiada lain ia akan dikabulkan permohonannya"HR. Bukhari, Juz. II/No. 344 dan HR. Muslim, No. 852. 33. MENGIRINGI SHALAT FARDHU DENGAN SHALAT SUNNAT RAWATIB
"Tiada seorang hamba muslim shalat karena Allah setiap hari 12 rakaat sebagai shalat sunnat selain shalat fardhu, kecuali Allah membangunkan baginya rumah di surga" HR. Muslim, No. 728. 34. SHALAT 2 (DUA) RAKAAT SETELAH MELAKUKAN DOSA "Tiada seorang hamba yang melakukan dosa, lalu ia berwudhu` dengan sempurna kemudian berdiri melakukan shalat 2 rakaat, lalu memohon ampunan Allah, melainkan Allah mengampuninya" HR. Abu Daud, No.1521. 35. SHALAT MALAM "Shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam" HR. Muslim, No. 1163. 36. SHALAT DHUHA "Setiap persendian dari salah seorang di antara kalian pada setiap paginya memiliki kewajiban sedekah, sedangkan setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, memerintahkan kepada yang makruf itu sedekah dan mencegah dari yang mungkar itu sedekah, tetapi semuanya itu dapat terpenuhi dengan melakukan shalat 2 rakaat dhuha" HR. Muslim, No. 720. 37. SHALAWAT KEPADA NABI SAW "Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah membalas shalawatnya itu sebanyak 10 kali" HR. Muslim, No. 384. 38. PUASA "Tiada seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah melainkan Allah menjauhkannya karena puasa itu dari neraka selama 70 tahun" HR. Bukhari, Juz. VI/No. 35. 39. PUASA 3 (TIGA) HARI PADA SETIAP BULAN "Puasa 3 (tiga) hari pada setiap bulan merupakan puasa sepanjang masa" HR. Bukhari, Juz. IV/No. 192 dan HR. Muslim, No. 1159. 40. PUASA 60 (ENAM) HARI PADA BULAN SYAWAL "Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal maka hal itu seperti puasa sepanjang masa" HR. Muslim, 1164. 41. PUASA `ARAFAT "Puasa pada hari `Arafat (9 Dzulhijjah) dapat melebur (dosa-dosa) tahun yang lalu dan yang akan datang" HR. Muslim, No. 1162. 42. PUASA `ASYURA "Dan dengan puasa hari `Asyura (10 Muharram) saya berharap kepada Allah dapat melebur dosa-dosa setahun sebelumnya" HR. Muslim,No. 1162. 43. MEMBERI HIDANGAN BERBUKA BAGI ORANG YANG BERPUASA "Barangsiapa yang memberi hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang berpuasa itu, dengan tidak mengurangi pahalanya sedikitpun" HR. Tirmidzi, No. 807. 44. SHALAT DI MALAM LAILATUL QADR "Barangsiapa mendirikan shalat di (malam) Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu"HR. Bukhari Juz. IV/No. 221 dan HR. Muslim, No. 1165. 45. SEDEKAH "Sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api" HR. Tirmidzi, No.
2616. 46. HAJI DAN UMRAH "Dari umrah ke umrah berikutnya merupakan kaffarah (penebus dosa) yang terjadi di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga" HR. Muslim, No. 1349. 47. BERAMAL SHALIH PADA 10 HARI BULAN DZULHIJJAH "Tiada hari-hari, beramal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini, yaitu 10 hari pada bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: "Dan tidak (pula) jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: "Tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali lagi dengan membawa sesuatu apapun" HR. Bukhari, Juz. II/No. 381. 48. JIHAD DI JALAN ALLAH "Bersiap siaga satu hari di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan tempat pecut salah seorang kalian di surga adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya" HR. Bukhari, Juz. VI/No. 11. 49. INFAQ DI JALAN ALLAH "Barangsiapa membantu persiapan orang yang berperang maka ia (termasuk) ikut berperang, dan barangsiapa membantu mengurusi keluarga orang yang berperang, maka iapun (juga) termasuk ikut berperang" HR. Bukhari, Juz.VI/No. 37 dan HR. Muslim, No. 1895. 50. MENSHALATI MAYIT DAN MENGIRINGI JENAZAH "Barangsiapa ikut menyaksikan jenazah sampai dishalatkan maka ia memperoleh pahala satu qirat, dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikubur maka baginya pahala dua qirat. Lalu dikatakan: "Apakah dua qirat itu?", beliau menjawab: ((Seperti dua gunung besar))" HR. Bukhari, Juz. III/No. 158. 51. MENJAGA LIDAH DAN KEMALUAN "Siapa yang menjamin bagiku "sesuatu" antara dua dagunya dan dua selangkangannya, maka aku jamin baginya surga" HR. Bukhari, Juz. II/No. 264 dan HR. Muslim, No. 265. 52. KEUTAMAAN MENGUCAPKAN LAA ILAHA ILLALLAH & SUBHANALLAH WA BI HAMDIH "Barangsiapa mengucapkan: sehari seratus kali, maka baginya seperti memerdekakan 10 budak, dan dicatat baginya 100 kebaikan,dan dihapus darinya 100 kesalahan, serta doanya ini menjadi perisai baginya dari syaithan pada hari itu sampai sore. Dan tak seorangpun yang mampu menyamai hal itu, kecuali seseorang yang melakukannya lebih banyak darinya". Dan beliau bersabda: "Barangsiapa mengucapkan: satu hari 100 kali, maka dihapuskan dosa-dosanya sekalipun seperti buih di lautan" HR. Bukhari, Juz. II/No. 168 dan HR. Muslim, No. 2691. 53. MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN "Saya telah melihat seseorang bergelimang di dalam kenikmatan surga dikarenakan ia memotong pohon dari tengah-tengah jalan yang mengganggu orang-orang" HR. Muslim. 54. MENDIDIK DAN MENGAYOMI ANAK PEREMPUAN "Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, di mana ia melindungi, menyayangi, dan menanggung beban kehidupannya maka ia pasti akan mendapatkan surga" HR. Ahmad dengan sanad yang baik. 55. BERBUAT BAIK KEPADA HEWAN "Ada seseorang melihat seekor anjing yang menjilat-jilat debu karena kehausan maka orang itu mengambil sepatunya dan memenuhinya dengan air kemudian meminumkannya pada anjing tersebut, maka Allah berterimakasih kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga" HR.
Bukhari. 57. MENINGGALKAN PERDEBATAN "Aku adalah pemimpin rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan padahal ia dapat memenangkannya"HR. Abu Daud. 58. MENGUNJUNGI SAUDARA-SAUDARA SEIMAN (Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang para penghuni surga? Mereka berkata: "Tentu wahai Rasulullah", maka beliau bersabda: "Nabi itu di surga, orang yang jujur di surga, dan orang yang mengunjungi saudaranya yang sangat jauh dan dia tidak mengunjunginya kecuali karena Allah maka ia di surga")) Hadits hasan, riwayat At-Thabrani. 59. KETAATAN SEORANG ISTRI TERHADAP SUAMINYA "Apabila seorang perempuan menjaga shalatnya yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjaga kemaluannya serta menaati suaminya maka ia akan masuk surga melalui pintu mana saja yang ia kehendaki" HR. Ibnu Hibban, hadits shahih. 60. TIDAK MEMINTA-MINTA KEPADA ORANG LAIN "Barangsiapa yang menjamin dirinya kepadaku untuk tidak meminta-minta apapun kepada manusia maka aku akan jamin ia masuk surga" Hadits shahih, riwayat Ahlus Sunan. Wa min Allah at Tawfiq wassalam, arief hamdani as sufi
http://mujtabahamdi.blogspot.com/2006/10/masjid.html Monday, October 09, 2006 Masjid Majalah Syir'ah, Tahannus, Oktober 2006 Oleh Mujtaba Hamdi Apa beda antara bar dan masjid? Yang pertama tempat melepas lelah, sedang yang terakhir tempat beribadah. Sejak dulu, semua tahu itu. Tapi, kini orang mulai tahu apa yang tak beda. Ya, keduanya telah menjadi tempat yang penuh rasa gemetar, rasa waswas, rasa takut. Bar dan masjid seperti harus selalu siap, setiap saat, jika tiba-tiba sebarisan pasukan berbendera syahadat menyeruduk masuk, dengan pentungan dalam genggaman. Entah karena cap maksiat, ataupun stempel sesat. Sudah puluhan masjid remuk, ya, karena ia mendapat stempel sesat. Sebuah masjid bukan hanya digasak setelah sekian lama melayani warga, melainkan, seperti terjadi bulan lalu di Tanah Minang itu, ia dihajar bahkan sebelum sempat berdiri. “Orang Islam kok menghancurkan masjid,” kata seorang mubalig kampung, terheran-heran. Heran, sebab seorang muslim senantiasa percaya masjid itu tempat suci, tempat seorang 'abid menjalankan laku spiritual paling intim dengan Sang Ma'bud: sujud. Kita ingat, Rasul pernah bersabda, “Saat paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika dia bersujud.” Yang paling agung dalam ritual itu laku sujud, bukan rukuk, bukan tasyahud. Itulah mengapa, tulis Badruddin az-Zarkasyi dalam I'lam al-Sajid bi Ahkam al-Masajid, masjid dinamai masjid, tempat sujud, dan bukan marka', tempat rukuk.
Sudah tentu mengherankan. Jangankan meruntuhkan fisik masjid, seorang muslim bahkan yakin, merusak suasana sudah merupakan 'dosa'. Rasul, sepulang dari pertempuran Khaibar, sempat memperingatkan para sahabat untuk tidak mengunyah bawang. “Siapa yang memakan dari pohon ini,” kata Rasul sambil menunjuk pada pohon bawang, “maka janganlah dia memasuki masjid.” Masuk akal, aroma bawang yang menyengat bisa jadi akan membuyarkan konsentrasi 'abid yang sedang ber-taqarrub. Dan muslim mana yang tidak mengharap tegaknya masjid? Masjid senantiasa menjadi 'lahan pahala' yang subur. Selalu diajarkan betapa berlipatgandanya pahala ketika salat berjamaah dijalankan di masjid. Betapa pula Rasul dan para Sahabat dulu senantiasa beriktikaf lama-lama di sana. Orang berniat saja, untuk ke masjid, sudah mendapat pahala. Begitu pun, semakin sulit perjalanan seorang muslim menuju masjid, semakin tinggi pahala yang diperoleh. "Sesungguhnya, orang yang paling besar pahalanya ketika mendirikan salat," kata Rasul, "adalah yang paling jauh perjalanannya, yakni langkahnya menuju masjid." Setiap muslim tampak tak pernah ragu untuk memandang agung sebuah masjid. Tapi berbagai kenyataan yang berlangsung lain itu mau tak mau memicu pertanyaan: bagaimana mungkin muslim merusak tempat suci sendiri, ladang pahala terindah? Apakah perusak itu sudah tak percaya itu semua? Ya... Mungkin, dan tentu saja, mereka percaya, mereka meyakini itu semua. Tapi, mereka juga percaya pada hal lain: bahwa masjid juga merupakan etalase, juga sebuah papan iklan. Di setiap kota, masjid-masjid berdiri gagah, dengan arsitektur paling mutakhir. Pejabat penguasa wilayah memberi pidato peresmian, mengabarkan dengan bangga bahwa masjid ini yang terse-, terbesar se-Asia Tenggara, termegah se-Nusantara, terindah se-Indonesia, terkokoh seAsia, dst. Tokoh-tokoh penting diundang untuk menggoreskan tanda tangan pada prasasti. Semua seperti sederetan kata-kata iklan milik si pejabat: pilihlah saya lagi, karena saya telah berhasil membuat masjid termegah. Masjid-masjid menjadi layaknya bendera. Ia menjadi lambang bagi pejabat x, partai y, atau ormas z. Tak jarang, nama-nama yang digunakan terang-terangan menunjukkan siapa 'sang tuan'. Sebuah partai yang di zamannya selalu mengampanyekan pembangunan menamai masjidnya Baitul Makmur. Seorang penguasa, yang telah almarhum itu, ketika sedang jayajayanya, membangun masjid dengan nama dirinya, yang kebetulan serupa dengan nama surat pada al-Quran. Bendera-bendera itu berkibar dengan satu tugas: memantulkan kuasa si tuan. Dan ketika ada bendera lain dipancangkan, begitu kecil, tapi dirasa akan jadi kerikil yang merusak kemegahan bendera-bendera lain, maka bersiap-siaplah pasukan untuk merobek dan membakar, melumatkan bendera kecil itu tanpa sisa. Masjid-masjid itu, bendera-bendera kecil itu, telah mengiklankan kuasa lain, sehingga layak dirobohkan. Ia menjadi ancaman, sebab telah berani mempromosikan praktik lain, pandangan lain, suara lain. Tanpa kata-kata memang, tapi sang pasukan telah meyakini bahwa sebuah masjid mewakili ribuan kalimat. Supaya lebih kuat 'kelainan' itu, hingga lebih sah untuk dihancurkan, sang pasukan menambahi sendiri kalimat-kalimat tak terucap itu. Bahwa masjid-masjid itu tak lain merupakan wujud promosi akan adanya nabi lain, kitab lain, syahadat lain, kiblat lain, tatacara lain, dan seterusnya. Dus, ada bahaya mengancam, perlu segera dibinasakan. Dan di mana lalu status suci masjid? Ya, di saat-saat seperti itu, kita tak lagi mendengar ujaran tentang pahala besar yang dijanjikan bagi orang yang mendirikan masjid. Kita tak mendengar lagi ajakan penuh semangat, "Barangsiapa membangun masjid (di dunia), maka Allah kelak akan membangunkan istana di surga." Suara itu seolah lenyap, dan berganti "bakar masjid itu", "runtuhkan tempat terkutuk itu", "jangan biarkan bangunan itu berdiri". Masjid berubah, dari sebagai tempat sujud, menjadi sasaran sundut. Yang beriktikaf di
dalamnya tak lagi dinilai sebagai manusia alim yang tengah merapatkan hubungan dengan Tuhannya, melainkan makhluk laknat penyebar sesat. Salat di atas lantainya pun tak lagi dipandang bernilai pahala, melainkan dosa. Melangkah menujunya tak lagi dinilai tindak kebajikan. Tiba-tiba masjid menjadi barang najis. Satu-satunya tindakan yang berpahala adalah membuang dan melenyapkannya. Ketika begini, apa beda bar dan masjid? Tidak ada beda. Di mata sang pasukan, keduanya sama. Dua-duanya adalah papan iklan. Yang satu dianggap mengiklankan kemaksiatan, sedang yang kedua dinilai mempromosikan kesesatan. Keduanya sama-sama harus dihancurkan. *
http://www.darulkautsar.com/fatwaqardawi/bidaahqardawi.htm
Bid’ah dan Syirik Penulis: Dr Yusuf Qardhawy dan Muhammad Al-Ghazali. Ramai orang keliru apakah yang dikatakan ‘bid’ah’. Buku yang dihasilkan oleh ulama ulung ini menyajikan perbahasan yang mudah untuk difahami, praktikal dan realistik dengan mengambilkira perkembangan semasa. Setiap dari kita patut memiliki buku ini kerana manafaatnya amat banyak. Di bawah ialah di antara petikan menarik (dengan sedikit pengubahsuaian) dari bahagian pertama (bid'ah) buku yang amat berharga ini: 1. BID’AH DALAM AGAMA Barangsiapa beranggapan bahawa agama Islam ini masih kurang sempurna dan memerlukan tambahan-tambahan demi kemaslahatan diri dan golongan jelas
menunjukkan kejahilan
mereka sendiri. Mereka yang menambah-nambah dalam urusan agama ini adalah tukang-tukang bid’ah. Tukangtukang bid’ah ini kelak akan menanggung dosanya dan dosa para pengikutnya yang tertipu dan tersesat. Imam Malik Bin Anas berkata, “Barangsiapa menganggap baik perbuatan bid’ah, sama dengan menuduh Nabi Muhammad telah mengkhianati risalahnya”. Imam Syafi’ berkata : Andaikata aku mengetahui ahli Bidaah itu dapat berjalan di angkasa, aku tetap tidak akan menerimanya.
Amar Bin Yahya pernah berkata, “Aku pernah mendengar ayah menceritakan dari datuk , “Kami pernah duduk di pintu rumah Abdullah Bin Mas’ud sebelum solat subuh. Tiba-tiba Abu Musa datang, lantas bertanya : Apakah tadi Abu Abdul Rahman datang?. Kami menjawab : Tidak. Lantas ia duduk bersama kami, sampai beliau datang. Dan tatkala ia datang, kami semua berdiri mendampinginya. Kemudian Abu Musa bertanya kepada Abu Abdul Rahman, “Hai Abu Abdul Rahman sesungguhnya saya tadi melihat di masjid ada satu perkara yang belum pernah saya lihat. Menurut anggapanku, perbuatan itu adalah baik”. Abu Abdul Rahman kemudian bertanya, “Apakah dia itu?” Jawab Abu Musa “Jika kau mahu, akan saya terangkan. Iaitu tadi aku melihat di masjid ada satu kumpulan duduk dalam bulatan sambil menantikan solat, dalam tiap-tiap bulatan ada seorang lelaki membawa batu kerikil, seraya ia berkata: Bacalah takbir seratus kali, merekapun kemudian bertakbir 100 kali. Dan ia berkata : Bacalah Lailahaillallah 100 kali! Mereka pun kemudian membacanya 100 kali juga. Lalu ia berkata : Bacalah Subhanallah 100 kali! Mereka pun kemudian membacanya! Mereka pun kemudian membacanya 100 kali juga”. Mereka kemudian berkata, “Demi Allah kami tiada bemaksud melainkan yang benar”. Abu Abdul Rahman kemudian menyanggahnya, “Banyak sekali orang yang bermaksud berbuat baik, tetapi mereka tidak mendapatnya”. Para ulama mendefinisikan bid’ah ialah satu cara ibadah yang direka orang yang menyerupai syarak (agama); yang dimaksud dengan ‘cara’ di sini ialah sebagaimana yang dilakukan oleh syarak dengan tujuan untuk mengabdi kepada Allah dengan berlebih-lebihan. Orang yang membuat cara baru dalam bentuk apa pun yang disandarkan pada agama (ibadah), dapat dicop sebagai penipu agama. Mereka mengkhayalkan kebatilannya itu untuk dilihatkan kepada orang lain sebagai sesuatu yang benar (haq) . Mereka gemar membuat sesuatu perkara yang nampaknya seolah-olah agama tetapi pada hakikatnya menyimpang dari tuntutan agama. Sabda Nabi yang bermaksud : “Barangsiapa mengada-ada cara baru tentang urusan kami (ibadah) ini, padahal tidak bersumber darinya, dia itu tertolak”.(Hadis Riwayat Muslim) “Barangsiapa beramal satu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami, ia tertolak”(Hadis Riwayat Muslim) Bila bid’ah bermaharajalela ianya merupakan kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Dengan tersebar luasnya perbuatan dan amalan bid’ah di kalangan
pemeluk-pemeluk Islam yang jahil, orang ramai akan menyangka amalan bid’ah itu adalah dari agama Allah yang murni. Akibatnya yang murni menjadi kabur dan rosak. Ada yang berpendapat bahawa untuk melumpuhkan kemajuan Islam, harus dibesar-besarkan bid’ah dan khurafat, kerana kedua hal ini merupakan penghalang bagi cepatnya perkembangan Islam. Mengapa bid’ah dapat melumpuhkan potensi Islam dan dapat menghancurkan pemerintahan? Sebabnya bid’ah merupakan tipuan yang tak ubahnya dengan tipuan dalam perdagangan. Barang yang baik dicampur dengan barang yang buruk yang kemudiannya dibawa ke pasar untuk ditawarkan kepada orang ramai seraya dikatakan bahawa barang tersebut adalah baik, tidak cacat dan tidak ada aib sedikit pun. Sedangkan dalam hal ibadah, kita wajib berittiba’(mengikut sepenuhnya tanpa pindaan) kerana itu adalah asas dalam agama. Jadi mereka model-model dan cara-cara baru dalam ibadah adalah bid’ah yang sesat dan terkutuk. Apabila sesuatu perkara bid’ah itu dihubungkan dengan agama, misalnya minta upah kerana membaca Al Quran ketika menghantarkan mayat dengan maksud bertaqarrub kepada Allah, perkara seperti itu merupakan perbuatan dosa dan maksiat yang berlipat ganda. Manakala
dalam
urusan
muamalah
, dasarnya
pula
ialah
mengikuti
perkembangan
kemaslahatan umat. Firman Allah swt : Lebih kurang ertinya : “…..dan berbuat baiklah kamu sekelian agar kamu memperolehi kejayaan.” (AlHaj ayat 77) Lebih kurang ertinya : “......
dan
bertolong-tolonglah
kamu
sekalian
untuk
kebaikan
dan
ketakwaan”.(Al-Maidah ayat 2) Berbuat baik dan tolong menolong untuk kebaikan dan bertakwa adalah soal-soal yang pelaksanaannya diserahkan penuh kepada kita, sehingga kita bebas membuat cara-cara baru. Cara-cara baru tersebut tidak boleh disalahkan dan ditolak.
Allah swt berfirman : Maksudnya lebih kurang : “ Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah dengan sungguhsungguh ingat yang banyak dan bertasbihlah kepada Allah di waktu pagi dan petang”.(Al Ahzab ayat 41-42) Perintah memperbanyak zikir dan bertasbih seperti tersebut di atas, bukanlah bererti memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menambah rakaat sembahyang, azan dan sembahyang hari raya atau menyusun wirid yang kemudian ditetapkan untuk selalu dibaca dalam waktuwaktu tertentu. Ibadah-ibadah ini pokok persoalannya adalah masalah akhirat. Sedangkan masalah akhirat itu ghaib bagi manusia. Kerana itu, biar bagaimanapun tingginya kedudukan seseorang, mereka tidak mempunyai hak dan kebebasan untuk menambah cara-cara baru. Sedangkan dalam masalah keduniaan, tidak ada satu pun halangan untuk melaksanakan satu perintah dengan berbagai macam cara, baik cara-cara itu sudah pernah dipakai oleh orang-orang dahulu mahu pun belum. Misalnya tentang menjaga hak dan harta orang lain serta mengatur kemaslahatan umat, kesemuanya itu merupakan maksud yang menjadi matlamat syariat Islam. Bid’ah yang diharamkan oleh syarak berkisar pada masalah ubudiyah yang sama sekali tidak dapat diagak-agak atau diijtihadkan. Orang yang mengerjakan satu perbuatan (ibadah) yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi s.a.w. , sama seperti meninggalkan perintahnya. Apabila sudah pasti bahawa Rasulullah saw tidak pernah mengerjakannya, kita wajib meninggalkannya sekalipun larangannya tidak ada. Dan kalau kita kerjakan, itu termasuk bidaah. Sebagai contoh , amalan ta’ziyah (bela sungkawa) terhadap orang yang meninggal dunia dengan membaca Al Quran dan berkumpul dengan makan-makan bersama. Mencari rahmat dan pahala memang sudah ada sejak dahulu, tetapi cara tersebut tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya. Padahal, waktu itu sudah ramai orang yang mati dan sahabat-sahabat r.a. pun adalah di kalangan mereka yang sentiasa
mencari rahmat. Waktu itu tidak ada seorang pun yang mendirikan khemah kemudian diadakan pembacaan Al Quran dan berkabung berganti-ganti. Tradisi ini jelas hukumnya bid’ah dan agama tidak membenarkannya kerana Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengerjakannya, walaupun larangannya pun tidak ada. Jika tradisi itu kita biarkan, kita setujui dengan alasan mencari keredaan Allah dan untuk menghantarkan orang yang pergi (mayat) supaya mendapat kasih dan rahmat Allah swt, kita sebenarnya berburuk sangka (su’u zhon) terhadap peribadi Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya. Nauzubillahimin zalik! Contoh lain ialah melafazkan niat ketika akan mengerjakan ibadah (seperti membaca ‘Usalli’ ketika hendak memulakan solat) , padahal Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengerjakannya. Amalan tersebut wajib kita tinggalkan dan bid’ah hukumnya kalau dikerjakan. Kami merasa sangat khuatir terhadap amalan ibadah yang banyak dikerjakan orang yang nabi sendiri dan para sahabat tidak pernah mengamalkannya. Padahal merekalah sebenarnya yang lebih patut untuk mengamalkannya kalau sekiranya hal tersebut dipandang baik sebagai jalan untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Mengapa kita harus memberatkan diri terhadap sesuatu yang Allah sendiri sudah memberikan keringanan (rukhsah)? Mengapa pula kita harus menyibukkan diri pada sesuatu yang Allah sendiri mendiamkannya? Bahkan Nabi s.a.w. sendiri pernah bersabda yang bermaksud : “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa ketetapan maka jangan kamu sia-siakan dia. Allah telah menentukan beberapa ketentuan, maka jangan langgar dia. Allah telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat untuk kamu bukan lantaran lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia”. Misalnya, Imam berdoa sesudah solat subuh dan asar sambil menghadap makmum dan disambut oleh makmum dengan bacaan amin. Nabi tidak pernah berbuat demikian walaupun sekali. Bid’ah Haqiqi Bid’ah Haqiqi misalnya tawaf di kuburan orang yang sudah meninggal dunia seperti tawaf di Baitullah. Contoh lain misalnya membujang seperti pendeta dengan menganggap dirinya suci. Bid’ah semacam ini tidak banyak terdapat di kalangan masyarakat.
Bidaah Idafi Bid’ah idafi ialah masalah-masalah yang dapat ditinjau dari berbagai segi; dari satu sudut boleh menjadi sunnah tapi dari sudut lain boleh menjadi bid’ah. Jika dilihat dari satu sudut, kita akan menjumpai bahawa masalah tersebut berlandaskan kaedah yang baik dan nas yang jelas. Tetapi jika dilihat dari sudut lain, kita dapati unsur-unsur bid’ah yang jelas. Contohnya, membaca tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu Akbar) sesudah solat. Kesemuanya itu merupakan sunnah dan seluruh ulama sudah menyepakatinya. Tidak satu pun di antara mereka yang menentangnya kerana memang ada dalil-dalil dari beberapa hadis sahih. Bahkan Rasulullah saw dan para sahabatnya selalu berbuat demikian. Namun mereka melakukannya dengan sendiri-sendiri dan dengan sirri (tersembunyi). Kemudian ada orang yang sengaja menyusun wirid dan zikir, dan ada seorang yang bertindak sebagai pemimpin dan kemudian orang ramai dikumpulkan untuk mengikuti bacaannya. Cara-cara tersebut dijadikan kebiasaan setiap selesai solat dengan irama yang dibuat-buat. Orang ramai kemudian mengikutinya dan disambutnya dengan bacaan amin. Bertasbih, tahmid dan takbir setelah solat adalah sunnah tetapi cara yang dibuat-buat inilah yang termasuk bid’ah.
Mereka sudah mengetahui bahawa asas yang digunapakai dalam
amalannya adalah hadis yang datang dari Rasulullah s.a.w. Tetapi, anehnya,
mereka
beranggapan bahawa cara semacam itu ( berzikir secara beramai-ramai dengan suara yang kuat) sebagai salah satu langkah untuk menegakkan sunnah Rasulullah s.a.w. Contoh bidaah Idafi yang lain adalah seperti membaca selawat sebelum azan sehingga orang awam mengira bahawa bacaan tersebut merupakan sebahagian daripada azan. Padahal yang sebenarnya kalimat-kalimat azan itu adalah terpelihara dan sudah menjadi ketetapan syarak. Cara-cara seperti inilah yang dapat digolongkan bidaah Idafi. Namun anehnya, para mu’azin sebaliknya merasa selesa dan gembira menggunakan cara tersebut untuk memanggil orang beribadah kepada Allah. Dengan demikian, status azan yang tadinya sunnah berubah menjadi bid’ah dan sia-sia. Dari sekian contoh di atas dapat disimpulkan bahawa bid’ah Idafi itu umumnya berupa amalanamalan yang diambil dari ajaran agama, tetapi diamalkan dengan cara yang keluar dari batas yang telah ditentukan oleh agama itu sendiri. Ajaran-ajaran agama itu tak ubahnya seperti anggota tubuh yang lengkap dengan pancaindera dan perhiasannya. Jika kaki pindah ke tempat tangan dan telinga pindah ke tempat hidung atau sebaliknya, nescaya amatlah janggal dan hodoh, walaupun pemindahan itu tidak mengambil anggota lain di luar tubuh.
Contoh seterusnya ialah mengadakan solat khusus bulan Rejab dan Syaaban dengan maksud tertentu. Malangnya, ada sebahagian ulama yang beranggapan amalan tersebut dibolehkan dengan alasan memandang prinsip bahawa sembahyang bukanlah perbuatan mungkar. Khusus dalam masalah sembahyang ini, Imam Nawawi pernah berkata, “Bahawa kedua macam sembahyang tersebut adalah mungkar”. Begitu juga, membaca Al Quran dan zikir di hadapan jenazah dengan suara keras, termasuk bid’ah Idafi. Tentang membaca Al Quran dan zikir itu sendiri memang sudah jelas ada dalam Islam, tetapi bukan dengan cara demikian. Puasa pada tanggal 27 Rejab (dikatakan tarikh Isra’ Mi’raj) dan 15 Syaaban (nisfu Syaaban) termasuk bidah Idafi. Prinsip puasa memang ibadah yang dibenarkan, tetapi dengan mengkhususkan pada hari-hari tersebut hukumnya bid’ah. Dengan
demikian,
jelaslah
bahawa
orang
yang
mengerjakan
bid’ah
itu
bererti
mencampuradukkan amalan soleh dengan yang batil, sekalipun untuk tujuan yang baik. Amalan-amalan sebagaimana disebutkan tadi itu tidak lain kerana kebodohan mereka tentang sunnah dan kerana berfikiran jumud (sempit) ; tidak mahu menilai dan mengkaji ajaran yang dibawa oleh orang-orang jahil. Harapan kami semoga dengan memahami kejanggalan amalan-amalan
tersebut, sedikit
sebanyak dapat memberikan semangat untuk mereka mempelajari hakikat ajaran Islam yang sebenarnya. Kami berharap, dalam membanteras seluruh macam bid’ah itu hendaknya dilakukan dengan beransur-ansur dan dengan sikap lemah lembut serta memberikan penjelasan yang berhikmah kepada mereka yang mengamalkannya. Hal ini dilakukan untuk menjaga dari segala macam kekaburan yang selama ini menyelubunginya, juga untuk menjaga agar jangan sampai nasihatnasihat yang demikian baik itu bertukar menjadi fitnah yang menyerang pula soal-soal yang tidak ada kaitannya. Masalah A’diyah Memasukkan persoalan a’diyah ke dalam bidang ibadah merupakan bahaya besar bagi agama dan umat manusia umumnya.
Contohnya, Rasulullah s.a.w. memakai terompah yang disepit dengan dua jari kaki (Riwayat Imam lima kecuali Muslim). Adakah memakai terompah seperti itu termasuk sunnah ugama? Apakah orang yang tidak memakai terompah seperti itu bererti meninggalkan sunnah? Atau sama sekali didiamkan? Contoh lain, ialah kaum muslimin (termasuk Rasulullah) dan musyrikin di zaman Rasulullah berpakaian putih dan memakai tutup kepala dari terik matahari yang membakar. Apakah pakaian putih dan menutup kepala juga disunatkan bagi penduduk-penduduk negeri sejuk, semata-mata kerana Rasulullah s.a.w. berpakaian begitu. Ustad Al Adawi berkata: “Yang termasuk bid’ah pada masalah ‘adiyah, contohnya, ialah menghias masjid dengan berbagai warna yang dapat mengganggu orang yang sedang melakukan solat. Begitu juga lantai yang beraneka warna dan menggantungkan lampu-lampu yang harganya sangat mahal”. Sedangkan yang dianjurkan ialah membina masjid yang luas cukup untuk menampung jemaah dengan tinggi yang munasabah, dindingnya nampak bersih, dicat dengan warna yang tidak mengganggu orang bersembahyang dan tikar solah yang sederhana. Sebenarnya seluruh persoalan ‘adiyah, baik fi’liyah ( perbuatan ) atau qauliah ( perkataan ) bukan termasuk risalah yang dibawa oleh nabi s.a.w. Sebabnya, masalah-masalah duniawi selalu berkembang yang mungkin diijtihadkan dengan seluas-luasnya; mungkin dikurangi, ditambah malah ditinggalkan. Menetapkan mestinya mengikut nabi s.a.w. dalam hal-hal duniawi menunjukkan kejumudan ( sempitnya ) berfikir dan amat berbahaya untuk kehidupan. Mundurnya kaum muslimin dalam segala lapangan hidup seperti yang kita alami sekarang ini mungkin berpunca
pada berbagai ikatan dan halangan
yang berdalih “Demi
berpegang pada ajaran Islam”. Akibatnya mereka terus hidup dalam belenggu ini. Mereka tidak dapat bergerak seperti yang dilakukan oleh orang lain. Menjunjung tinggi belenggu-belengu kebatilan ini, bererti melepaskan kesempurnaan jiwa dan inti ajaran agama. Dengan begitu, hubungannya dengan agama menjadi retak, hubungannya dengan lapangan keduniannya pun menjadi kacau. Akhirnya mereka lari dari dunia ini. 2. BID’AH DALAM AKIDAH
Banyak sekali noda-noda yang secara lahiriahnya nampat taat kepada Allah tetapi pada hakikatnya melanggar hukum dan norma-norma yang ditetapkan Allah. Tidakkah telah dimaklumi, betapa orang-orang musyrikin itu bertelanjang bulat waktu tawaf di Baitullah, baik lelaki mahupun perempuan dengan alasan tidak layak di Baitullah berpakaian yang dipakai berbuat maksiat kepada Allah. Di antara sekian banyak yang terjadi di kalangan orang awam ialah pergi ke kubur orangorang soleh untuk sesuatu yang tidak patut dipinta kecuali kepada Allah semata-mata. Perasaan kurang puas dalam berhubungan dengan Allah tanpa wasilah, merupakan adat kebiasaan kaum Watsaniyah, penyembah berhala. Alasan-alasan mereka itu seperti firmannya yang bermaksud : “Kami tidak menyembah berhala-berhala itu melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah. (Az Zumar : 3) Alasan ini pula yang dipakai kaum jahiliah moden untuk membela pengunjung kubur untuk minta sembuh dan keberuntungan, serta mencari keluhuran dan pertolongan. Beraneka macam khurafat mengelilingi masalah wali dan kewalian. Sehingga lama-kelamaan ramai orang-orang yang beranggapan bahawa nasib dunia berada di tangan para wali. Merekalah yang mengendalikan dunia dengan sesuka hatinya. Orang-orang yang dianggapnya wali itu kekuasaannya dapat melampaui hukum sebab akibat. Akibat dari itu, pandangan kaum muslimin terhadap sunnatullah yang berhubungan dengan alam ini menjadi kacau bilau. Mereka beranggapan bahawa sunnatullah akan tunduk kepada orang yang tekun beribadah. Yang jelas, anggapan-anggapan itu semua, sudah bercampur aduk berasal dari pengaruhpengaruh jahiliah. Berhala adalah batu yang layak dipakai untuk membina bangunan atau untuk membina jalan. Inilah keistimewaannya. Selain dari itu sama sekali tidak ada, tidak seperti yang dianggap oleh penyembah-penyembahnya. ‘Lembu’ yang dijadikan persembahan oleh orang-orang Hindu, keistimewaannya, adalah susunya yang dapat diminum dan dagingnya untuk dimakan. Selain itu sama sekali tidak ada, baik mengenai kesuciannya atau pun dekatnya kepada Allah.
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah melihat seorang lelaki memakai gelang di lengannya dari tembaga kemudian beliau bertanya, “Celaka kau, apa ini? “Jawab lelaki tersebut, “Ini adalah benda yang lemah”. Kemudian Rasulullah bersabda : “Ingat sesungguhnya dia hanya menambah kelemahanmu. Kerana itu buang dia. Kerana kalau kamu mati sedang dia masih tetap kamu pakai, selamanya kamu tidak akan selamat.” Kadang-kadang kita jumpai sebahagian orang menggunakan Al Quran sebagai pelindung dirinya dengan beranggapan bahawa Al Quran tersebut dapat melindungi diri dari muflis, kalau dia sebagai pedagang atau dapat menolak tamparan kepala kalau dia sebagai pegawai. Ini adalah kekacauan fikiran yang sudah sangat parah. Kalau dia masih beranggapan beriman kepada Allah dan meluhurkan Al Quran, sesungguhnya itu adalah anggapan yang salah. Hubungan seorang muslim dengan Al Quran, adalah mempelajari dan mengamalkan isi kandungannya. Kalau dia sebagai pegawai dan pedagang supaya berjaya dalam usahanya, dia mesti bekerja kuat, tidak malas, jujur dan jangan menyeleweng. Kekeliruan terhadap prinsip ini tidak dapat ditebus dengan dengan menggantungkan Al Quran kecil atau pun besar. Firman Allah s.w.t. ertinya lebih kurang: “Dengan
al-Quran
itu Allah
membimbing
orang-orang yang mengikuti
keredhaanNya ke jalan keselamatan” (Al-Maidah ayat 16) “Dengan nyamuk Allah sesatkan orang ramai, tetapi dengan sebab itu juga Ia bimbing orang ramai” (Al-Baqarah ayat 26) Aishah r.a. pernah berkata, “ Aku belajar ilmu pengubatan kerana banyak penyakit-penyakit Rasulullah s.a.w.” Ayat-ayat dan hadis di atas menegaskan bahawa Allah membuat sesuatu dengan sebab. Kerana itu barangsiapa berpendapat bahawa Allah membuat sesuatu ketika adanya sebab-sebab ini, bukan dengan sebab-sebab tersebut, sesungguhnya dia telah menyimpang dari garis yang dibawa Al Quran dan menentang adanya tenaga dan daya yang telah di cipta Allah sendiri.
Perasaan Nasionalisma Kehancuran dan seksaan yang memuncak ke atas umat Islam silam dan masakini kemungkinan besar disebabkan mereka telah membuang risalah Islam yang universal itu menjadi risalah nasional ( kebangsaan ). Ini merupakan pokok seluruh bencana yang menimpa mereka. Dan ini sungguh merupakan bahaya yang sangat besar untuk masa depan umat manusia. Kepada kaum muslimin, kami ingin mengingatkan hendaklah mereka dapat menyedari dan menilai realiti yang ada : 1. Bahawa mengembalikan manusia kepada situasi
jahiliyah dengan fanatik pada
tanahair, warna dan darah adalah satu bentuk faham politheis (syirik) yang tidak patut bagi kita. 2. Kembali kepada tatacara ini hanya akan membawa kerugian bagi Islam dan kaum muslimin serta menguntungkan bagi Eropah. Kaum Salib antarabangsa menghancurkan dan meruntuhkan Islam dengan tabir nasionalisme. Bahayanya tidak kurang daripada perbuatan gerakan Zionis. Akibatnya kaum muslimin menderita dalam masa yang lama sekali. 3. BIDAAH DALAM IBADAH Lawan ‘zikir’ adalah ‘lupa’ yang merupakan pekerjaan hati, bukan pekerjaan lidah. Kerana itu kadang-kadang kita jumpai ada sebahagian orang yang mempunyai ingatan yang tajam dan baik yang dapat memenuhi seluruh jiwanya, padahal lidahnya sama sekali tidak bergerak dan tidak satu pun anggota badannya yang berubah. Ketenangan badannya itu menolong untuk selalu ingat. Jika dia tunduk dan tenggelam, jiwanya dengan sempurna dapat membentuk seluruh lukisan yang dimaksud. Gerakan lidah waktu itu hanya sekadar manifestasi, bukan satu natijah dari meluasnya perasaan. Banyak sekali orang pendiam yang tidak keluar satu pun huruf dari mulutnya, namun hatinya penuh ingat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang lidahnya bergerak-gerak menyebut asma Allah, tetapi hatinya kosong dari berzikrullah. Orang seperti itu tak ubahnya seperti pita rakaman Al Quran. Dia akan menyuarakan ayat-ayat sebanyak yang dirakam itu, tetapi tidak mempunyai tanggungjawab hukum sama sekali. Mereka ini tidak mendapat pahala ataupun seksa.
Adalah suatu kebaikan bagi setiap muslim jika mahu membiasakan membawa zikir-zikir tersebut ( tasbih, tahmid dan takbir dan sebagainya) dan menanamkan pengaruh-pengaruh positif ke dalam jiwanya. Tetapi sayang sekali, banyak kita jumpai kekeliruan yang melampaui batas. Sehingga untuk mengulangi-ulangi bacaan zikir tersebut itu, mereka terpaksa berhenti dari bekerja. Kalau ada sebahagian orang membuat program membaca Al Quran, berdoa dan berzikir sesuai dengan keperluannya, itu tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan agama. Orang lain juga tidak boleh diharuskan untuk menirunya. Sehingga banyak pengikut tarikat membuat wirid-wirid khusus untuk pagi dan petang, yang dirangkaikan pula dengan solat-solat tertentu sebagai satu ketentuan agama. Kami sudah banyak menyaksikan orang yang bergelumang dalam wirid-wirid. Pada umumnya mereka itu mengabaikan dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dan kami yakin pula bahawa kemunduran Islam dalam lapangan pengeluaran atau pun kekayaan, disebabkan oleh manusiamanusia seperti ini. Sebabnya tidak lain mereka itu telah sesat dari tuntutan Rasulullah s.a.w., sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus. Allah swt berfirman : Artinya : “Orang yang bertakwa kepada Allah dari hamba-hambanya ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan”. (Fathir : 28) Memperluaskan perkenalan kepada Allah merupakan Ibadah yang tertinggi. Dan mengenal Allah dalam kerajaannya yang luas ini, bererti menyambut seruan Allah yang dituangkan dalam kitabkitabNya. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan alam tidak lain hanya akan sesuai dengan wahyu yang datang dari sisi hukum material. Kedua-duanya itu juga datangnya dari Allah semata-mata. Mempersempitkan pengertian “amal soleh” hanya dalam bidang ibadah semata-mata, dapat membawa orang-orang yang ingin bertakwa menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mengulang-ulang perbuatan-perbuatan yang terbatas ini. Seolah-olah mereka tidak kenal cara lain untuk mencari keredhaan Allah. Dengan tekun mereka mengerjakan amal-amal ini. Kalau sudah selesai diulang lagi. Begitulah seterusnya.
Apa yang kami tentang adalah adanya perasaan bahawa yang disebut taat kepada Allah itu hanya bergelumang dengan zikir, membaca al-Quran dan solat dengan mengulang-ulang sahaja. Apakah anda mengira bahawa seorang hakim yang sibuk menyelesaikan persengketaan dan bangun malam untuk mempersiapkan hukumnya, itu kurang mendapat keredaan Allah dibandingkan dengan orang yang tekun membaca Al Quran? Apakah anda menduga, bahawa guru yang berjuang untuk membenteras kejahilan, dengan bangun
malam
untuk
mempersiapkan
pelajaran-pelajaran,
itu
nilainya
lebih
rendah
dibandingkan dengan orang yang bergelumang dalam zikir?. Tidak, bahkan kedua-duanya lebih dekat kepada Allah dan lebih dekat dengan jalan yang benar. Kerana itulah orang yang tidur lelap pada malam hari kerana kepenatan membanting tulang di siang hari dinilai sebagai mujtahid. Dia dapat tidur dan bangun dengan mata Allah, selama kesucian hatinya itu hidup. Kekeliruan memahami erti ibadah, akan memesongkan kemajuan dan kebudayaan kita dari jalan yang benar dan menyebabkan kita menganggap orang yang bodoh sebagai pandai dan sebaliknya. Dan inilah sebab kehancuran yang kini menimpa bangsa kita. Akhir-akhir ini saya melihat ada sebahagian pemuda yang fanatik kepada agama. Mereka hendak meniru-niru cara-cara yang tidak benar itu. Dia beranggapan bahawa perwujudan keikhlasan kepada Allah dapat dicapai dengan bergaul dengan salah satu jamaah dari jamaah Islam, memberi nasihat dan petua, serta membaca bacaan-bacaan yang panjang dalam kitabkitab tafsir dan fiqih. Kadang-kadang sesudah itu dia menjadi doktor yang tidak berfungsi dan jurutera yang tidak bersemangat. Saya sangat hairan, apa yang menyebabkan doktor tersebut harus mengesampingkan fungsinya yang mulia itu? Mengapa dia tidak tahu, bahawa pembedahan yang baik dan ubat yang sesuai itu termasuk puncak amal soleh yang oleh Islam dinilai sebagai satu sendi kejayaan dan jalan untuk mencapai kejayaan? Dan nilai perbuatan ini tidak kurang daripada nilai solat dan zakat. Menguasai dunia adalah satu hal yang mesti, dalam rangka pengabdian kepada agama. Tidak ada tempat di dunia ini bagi orang yang tidak mengetahui ilmu pengetahuan duniawi. Kerana itu, Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Jangan kamu bertukar fikiran dengan orang yang di rumahnya tidak ada tepung”.
Perkataan ini sungguh berharga sekali. Kalau sekiranya ahli-ahli tasawuf dapat memahami caracara seperti tersebut di atas, dia termasuk Islam. Kalau tidak bererti dia telah rosak. Bukanlah yang dimaksud takwa itu mesti meninggalkan kehidupan duniawi. Yang dinamakan takwa itu seharusnya dapat menguasai duniawi. Jika dunia dapat dikuasai, bererti anda benarbenar hamba Allah dan kekayaan yang di tangan anda itu juga milik Allah. Orang yang lari dari kehidupan duniawi bukanlah orang yang bijaksana dan bukan mukmin sejati. Termasuk kurang sihat akalnya orang yang berpendirian bahawa keredaan Allah hanya dapat ditempuh dengan mengkhususkan dalam sebahagian ibadah dan menjauhi sebahagian yang lain. Beribadah kepada Allah dapat dilakukan di pasar dan di semua lapangan, bukan hanya di masjid dan di surau-surau. Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh penyair Iqbal : -
Orang kafir akan menjadi hamba kepada dunia Sedangkan dunia akan menjadi hamba kepada orang mukmin
Saya sendiri tidak tahu, bagaimana suatu risalah dapat berjaya sedangkan pembawaannya selalu terkebelakang dari umat lain dalam lapangan penghidupan. Dan saya pun tidak tahu, mengapa dapat begitu tersiar bahawa membawa tasbih itu bererti ibadah, sedangkan menghayunkan kapak bererti hanya kerja peribadi sahaja.
Menghias Masjid Masjid
bukanlah
tempat
untuk
memperkenalkan
keindahan
seni,
tidak
pula
untuk
mempamerkan keelokan teknik dan bukan tempat untuk berbuat berlebihan dan bermegahmegah. Menurut sunnah Nabi, atap mahupun lantai masjid itu menggambarkan bentuk kesederhanaan. Memperluas masjid tidak juga dilarang, bahkan suatu perbuatan yang baik sehingga dapat menampung beribu-ribu jemaah. Memperbesarkannya sehingga dapat menyerupai benteng juga tidak dilarang. Perbuatan semacam ini tidak termasuk berlebih-lebihan dalam memperelok masjid dan menakjubkan pandangan orang.
Tetapi sebahagian orang ada yang cenderung memperhias dan memperelok bangunan masjid, kerana didorong menyaingi gereja-gereja Kristian yang memang sengaja dibuat secara berlebihlebihan. Kami memandang, berjalan mengikuti jiwa Islam adalah lebih baik. Sebabnya bertakwa kepada Allah bukanlah pembebanan seperti tersebut di atas.
Membangun masjid di atas kubur Sabda Rasulullah saw yang bermaksud : “Mereka itu ialah orang-orang yang apabila salah seorang soleh di antara mereka meninggal dunia, kemudian mereka mendirikan masjid (tempat sembahyang) di atas kuburnya dan disertai dengan berbagai lukisan. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah”. Kami pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri berpuluh-puluh surat yang ditujukan kepada makam Imam Syafi’ baik yang dibawa tangan atau pun melalui pos. Saya pun telah mendengar, ada beratus orang awam yang meringik-ringik di hadapan kubur Sayyidina Husein dan lain-lain. Cara
untuk
mengubati
kemungkaran
ini,
hanya
dapat
diselesaikan
dengan
jalan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan akhlak yang sebenarnya serta memperbaiki cara berfikir. Kerana itu seharusnya para imam masjid mengambil peranan besar ini. Untuk itu mereka perlu menguasai persoalan-persoalan dunia dan agama. Hendaknya mereka suka mempelajari penyakit masyarakat dan bagaimana cara mengubatinya. Mereka juga harus menguasai pengetahuan yang luas tentang aliran-aliran politik dan sosial ekonomi, serta pendapat para ahli pendidik dan ilmu jiwa, baik di kalangan kaum muslimin ataupun orang lain. Tetapi satu hal yang cukup kita sesalkan, bahawa manusia seperti ini tidak terdapat di kalangan ahli baca Al Quran, kecuali hanya segelintir sahaja Masalah Khutbah Khutbah yang panjang seperti khutbah-khutbah yang pernah disusun oleh imam-imam masjid , pada hakikatnya bertentangan dengan tuntutan Islam. Banyak sekali para da’i yang berpidato satu jam atau dua jam, bahkan ada sampai tiga jam.
Tiga jam adalah cukup untuk membaca seperempat Al Quran yang diturunkan Allah s.w.t. secara beransur-ansur selama 23 tahun. Yang jelas dakwah Islamiah yang dilakukan dengan pidato-pidato tanpa persiapan, keberanian yang bermusim hanyalah sekadar mengisi waktu kosong untuk orang-orang yang ingin berbuat baik dan dengan jiwa yang mati bagi orang-orang yang hendak mencari pekerjaan. Akhirnya masa depan dakwah Islamiah sangat memmbimbangkan. Begitu juga masa depan Islam berjalan seiring dengan dakwah ini. BIDAAH DALAM ADAT KEBIASAAN Orang-Orang Timur mempunyai tradisi yang tidak dikenal di negara-negara lain. Segolongan manusia terkeliru bila menyaksikan sebahagian orang Islam yang memegang teguh tradisi ini. Sehingga dianggapnya tradisi tersebut tumbuh dari prinsip-prinsip agama dan syariat Allah. Atau paling tidak, tradisi itu dianggapnya sesuai dengan perasaan-perasaan yang sudah dikenal dalam agama kita. Anggapan ini tidak benar, kerana tradisi-tradisi bangsa timur bukan prinsipprinsip agama, dan amal perbuatan manusia bukanlah perintah-perintah Allah. Firman Allah swt : Ertinya : “Sesungguhnya nenek moyang mereka itu dalam keadaan sesat. Kemudian mereka dengan segera (meniru) jejak-jejak mereka itu. Padahal sesungguhnya kebanyakan orang-orang dulu sebelum mereka telah sesat dan kepada mereka telah kami utus beberapa nabi yang bertugas untuk menyedarkan (munzirin). Kerana itu, lihatlah betapa akibatnya orang-orang yang diancam itu! Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan”. (Ash Shaffat : 69-74) Kita hendaklah ittiba’ (mengikut) dalam hal ibadah dan masalah duniawi hendaklah kita permoden dan majukan. Ini saja sudah cukup untuk dapat memimpin kehidupan kita. Tetapi sebahagian kaum muslimin ada yang membuat sebaliknya, dia bersikap jumud (sempit) dalam hal yang seharusnya dia mesti bergerak. Dia bertindak mengubah dan menambah sewenangwenangnya dalam hal yang seharusnya membatasi diri. Kesalahan seperti ini dapat membawa kaum muslimin pada hidup yang tidak menentu. Urusan keduniaannya menjadi sempit dan urusan agamanya menjadi kabur.
Sesungguhnya perjuangan untuk membersihkan tradisi-tradisi ibadat dari segala macam bid’ah yang telah bersarang itu tidak boleh ditangguhkan. Bid’ah dalam urusan jenazah Saya sudah sering menyaksikan beberapa orang miskin yang kekurangan makan, tetapi dia berani berhutang untuk menghidupkan tradisi-tradisi yang menyimpang sebagai ketentuan agama atau lebih dari agama. Diupah pembaca-pembaca al-Quran untuk satu atau dua malam, dilanjutkan seminggu atau dua minggu. Pengorbanan berupa moral mahupun material ini diulang pada hari ke 40 , satu tahun, dua tahun dan seterusnya. Tradisi-tradisi ini sama sekali tidak dapat diterima oleh orang-orang yang mempunyai kefahaman yang baik terhadap dunia ini, apalagi oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman yang baik terhadap agama. Berapa banyak tempat berhimpun yang harus kita sediakan untuk para tetamu yang ke kubur? Berapa banyak perayaan untuk minggu pertama, hari ke empat puluh dan ulang tahunnya yang pertama. Tidak diragukan lagi, bahawa apa yang dilakukan oleh orang-orang Islam seperti ini menunjukkan kebodohannya. Tetapi sayangnya ramai dari kalangan orang awam, termasuk juga ulama-ulama, yang mempertahankan kebodohan ini dalam bentuk-bentuk keagamaan yang mengaburkan. Padahal Rasulullah s.a.w. pernah bersabda : “Barangsiapa membaca inna lillahi wainna ilaihi raji’un ketika ditimpa musibah, Allah akan menghilangkan musibahnya itu dan memperbaiki keadaan selanjutnya serta memberikan ganti yang diredaiNya”. Setiap muslim lelaki atau perempuan tidak boleh memakai pakaian khusus untuk berkabung atau membuat membuat tanda-tanda pada badannya, keadaannya, rumahnya dan pekerjaannya. Sebabnya pemergian seseorang ke akhirat, tidak bererti mencetuskan suasana krisis dan duka dalam percaturan hidup ini.
Persoalannya cukup seperti apa yang dikatakan oleh seorang ahli hikmah, “Di mana ada orang mati, di situ ada juga yang hidup”. Tidak ada tempat dalam Islam untuk berteriak-teriak untuk mengiringi jenazah. Mengeraskan suara walaupun dengan membaca Al Quran tetap tidak boleh. Semua ini bertentangan dengan apa yang terjadi terhadap jenazah orang-orang salaf. Mereka melakukannya dengan penuh khusyuk sehingga keluarga yang ditinggal mati itu tidak diketahui mereka diliputi kesusahan dan kesedihan walaupun oleh orang-orang yang menghantar jenazah. Sedikit pun mereka tidak termenung dan cemas ketika mengingat pada mayat itu. Mereka bergantung kepadaNya, sebab mereka juga datang dariNya. Takziah (Belasungkawa) yang digariskan Islam cukup mudah. Tidak perlu orang yang kesusahan itu menyediakan sesuatu dan mempersiapkan tempat khusus untuk para tetamu yang datang untuk bertakziah. Kini prinsip-prinsip akhlak itu telah goncang. Sudah menjadi kebiasaan, bahawa orang yang kesusahan, mesti pula menyediakan tempat khusus untuk bertakziah dan menghidangkan makanan-makanan dan minuman-minuman kepada para tetamunya. Padahal menurut Sunnah Nabi, keluarga yang kesusahan itu harus dibantu, misalnya dengan menyiapkan makanan untuk keluarganya. Bukan sebaliknya yang ditimpa
kesusahan pula mesti
menyediakan makanan dan minuman. Sedangkan Imam Ahmad berkata, “Cara semacam ini adalah cara-cara jahiliah”. Kerana itu dia sangat membencinya. Dengan kefahaman yang tersasar bahawa si mayat memperoleh faedah daripada perbuatan orang hidup, ramai orang awam yang mengupah pembaca Al Quran untuk membacakan Al Quran kepada si mayat atau dengan membahagi-bahagikan makanan kepada orang yang menziarahi jenazah. Bid’ah dalam majlis perkahwinan Kebanyakan majlis perkahwinan dilakukan dengan berlebih-lebihan dan memaksakan diri. Jarang sekali mereka yang mengadakan pesta perkahwinan itu dengan sederhana sahaja. Di antaranya mereka berlebih-lebihan dalam perkara yang hanya berstatus harus (mubah) sahaja. Mereka perluas ruangnya dan sehingga berlebih-lebihan, melebihi cara yang dilakukan oleh penganut agama-agama lain.
Perempuan-perempuan agama lain cukup berpakaian sederhana tapi kemas, sedangkan perempuan muslimah tidak mahu kalau tidak memakai kain yang termahal. Seharusnya umat Islam mempermudahkan amalan tradisi yang menyebabkan pesta-pesta perkahwinan mereka itu hanya penuh dengan nafsu makan, riya’ dan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan tidak bererti itu. Walimatul urus (pesta perkahwinan) merupakan satu tradisi yang baik dan perlu pengorbanan dan keringanan. Tetapi di sebalik tradisi yang baik itu, Islam tidak merestui adanya berlebihlebihan dan bermewah-mewahan dalam makanan. Isteri dan anak-anak Nabi s.a.w. kahwin , dengan suatu majlis yang tidak memberat-beratkan diri dan tidak berhutang. Kemudian lihatlah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam merayakan perkahwinan mereka. Berapa banyak belanja yang disediakan untuk membuat walimah sehingga tidak habis dimakan oleh yang lapar dan papa. Perkahwinan dan ikatan keluarga Umat Islam dewasa ini terbahagi kepada dua bahagian. Yang sebahagian tidak memberi tempat kepada kaum wanita, seperti yang terjadi di Yaman dan Hijaz. Sedangkan yang sebahagian lagi memberikan tempat kaum wanita tetapi terkeliru. Kedudukan wanita sangat membingungkan seperti yang kini berlaku di Mesir. Umat kita mendiamkan kemungkaran yang diperbuat oleh para ‘play boy’. Mereka membiarkan para pemuda bertahun-tahun bergelumang dengan maksiat seperti bersekedudukan dan bercinta sebelum melangkah ke alam perkahwinan. Perempuan yang dibiarkan untuk melacur dan menjadi permainan hawa nafsu akan dapat menggoncangkan umat seluruhnya dan akan dipermainkan oleh syaitan. Umat kita dapat menerima kemungkaran ini tetapi mereka tidak dapat menerima untuk meringankan pesta besar-besaran yang diadakan ketika akad nikah. Saya pernah menyaksikan di Hijaz dan Palestin (dan juga di Malaysia – pent) adanya berlebihlebihan dalam masalah mahar. Sehingga orang lelaki tidak akan dapat berdampingan dengan seorang perempuan, kecuali bila dia dapat membawa beratus-ratus dan beribu-ribu wang. Kemudian apa yang terjadi akibat dari itu semua? Kemungkaran bermaharajalela di sana sini.
Tidak layak orang-orang jahil itu berbicara tentang dibolehkan berlebihan dalam hal mahar menurut syarak. Walaupun dianggap sebagai suatu perbuatan yang baik, hal tersebut tidak patut diamalkan. Sebabnya sunnah Nabi tidak membolehkannya kecuali sesudah sempurnanya yang wajib. Jika hal yang wajib itu telah dipijak-pijak, di mana letak yang sunat? Dan kalau kehormatan diri sudah tidak ada lagi dan perbuatan sundal sudah merata, apakah perlu berbicara soal dibolehkannya berlebihan dalam masalah mahar? Ramai orang Islam yang menjadikan masalah perkahwinan syari’ sebagai suatu hal yang sangat sukar dan payah, sehingga menyebabkan berleluasanya maksiat di dalam masyarakat. Alangkah baiknya jika kaum muslimin mempelajari bagaimana cara mengatur hubungan antara lelaki dan wanita dengan cara yang benar dan bagaimana caranya agar setiap anggota keluarga dapat berhimpun di halaman masjid pagi dan petang dan sebahagian waktu malam. Bahkan bagaimana caranya supaya lelaki dan perempuan dengan serentak mahu berjuang untuk menegakkan kalimatullah. Dari sekian banyak yang kita saksikan, ada sebahagian ahli masyarakat yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada anak-anaknya. Di segi mencari nafkah seluruh masyarakat Eropah telah sampai pada suatu batas di mana suami isteri sama-sama aktif dalam berbagai pekerjaan dan lupa mengurus rumahtangga. Peringatan hari ulang tahun, hari Asyura dan hari cuti mingguan Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi di Kota Erbel ialah Raja Al Mudhaffar Abu Sa’id pada abad ketujuh. Kemudian peringatan ini meluas ke mana-mana dan banyak penggemarnya. Manakala hari peringatan lain yang bid’ah ialah sambutan hari Asyura (pada 10hb Muharram ) yang dirayakan oleh golongan Syiah dan golongan ahli sunnah. Golongan Syiah pada hari tersebut mereka memukul tubuh mereka dengan apa saja yang ada di tangannya, sebagai tanda berduka cita atas kematian Husain. Manakala golongan Ahlus Sunnah adalah sebaliknya iaitu merayakan hari tersebut dengan membuat kenduri dengan beraneka makanan dan kuih.
Apa yang diperbuat oleh kedua golongan tersebut sama sekali tidak bersumber dari ajaran Islam . Di antara perbuatan bid’ah ialah peringatan maulid Nabi, Israk Mikraj, Nisfu Syaaban, Lailatul Qadar dan awal tahun Hijrah. Kota-kota besar sekarang ini hampir tidak bergerak pada hari minggu (hari Ahad) , kerana tempat-tempat pekerjaan semua bercuti. Sebaliknya pada hari Jumaat tidak ada kesempatan bagi seorang buruh untuk berhias, bersenang-senang
atau beristirehat. Kini kita dapati
kemenangan tradisi Eropah , (yang sebenarnya tradisi Kristian) ke atas tradisi Islam.