Nama
: I Wayan Atmanu Wira Pratana
NIM
: 1704551043
Kelas
: A (Reguler Pagi)
Mata Kuliah
: Hukum Agraria
Dosen Pengampu : 1. Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH 2. I Nengah Suharta, SH., M
Soal: 1. Jelaskan politik agraria pemerintahan Republik Indonesia dan bagaimana perbedaannya dengan politik agraria kolonial? Jawab : Menurut Muladi dikatakan bahwa dalam sistem politik, para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada legitimasinya. Temuan Mahfud MD (Politik Hukum di Indonesia : 2009) produk hukum setelah reformasi tahun 1998, terbukti secara gamblang bahwa hukum sebagai produk politik sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah, terutama hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan yakni hukum tata negara. Menurutnya tidak mungkin membangun hukum yang responsif tanpa lebih dahulu membangun sistem politik yang demokratis. Hukum yang responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem politik yang otoriter. Diperhatikan dari sudut materinya yang bukan positivis-instrumentalis tersebut, UUPA memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala hak konversinya, menghilangkan dualisme hukum sehingga tercipta unifikasi hukum, serta penegasan tentang melekatnya "fungsi sosial" hak atas tanah. Adanya hak menguasai oleh negara justru memberi jalan bagi tindakan responsif lainnya karena dari hak tersebut pemerintah dapat melakukan tindakantin da kan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat, seperti adanya UU Landreform yang semula
diberi bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Terhadap sebanyak 58 pasal muatan UUPA. UUPA juga menetapkan satu prinsip bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6). Prinsip ini merupakan pengingkaran terhadap prinsip liberal individualistik yang dianut dalam Agrarische Wet 1870 dan semua peraturan perundang-undangan yang menyertainya. Meskipun begitu, tidak dapat diartikan bahwa UUPA menganut komunalisme, sebab di dalam kerangka fungsi sosial itu, hak milik pribadi masih diakui secara hukum. Tetapi penggunaannya harus memperhatikan kepentingan umum sehingga jika kepentingan umum benar-benar menghendaki, hak milik pribadi harus dikalahkan. Dalam rangka pelaksanaan "fungsi sosial" tanah itulah kemudian dikeluarkan UU No. 56/PRP/1960. Dalam UU Landreform digariskan bahwa seseorang tidak dibenarkan memiliki tanah pertanian secara berlebihan, dan untuk itu ditentukan batas maksimal yang boleh dimiliki. Begitu juga sedapat mungkin dihindarkan adanya petani yang memiliki tanah sedikit sehingga ditentukan batas minimal yang boleh dimiliki. Ada jug a UU onteigening, jalan hukum yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mencabut hak atas tanah seseorang atau badan hukum privat, jika kepentingan umum benar-benar menghendaki pencabutan itu. Meskipun hak atas tanah tersebut dicabut, pemiliknya tetap berhak mendapatkan ganti kerugian. Dari uraian diatas , UUPA 1960 merupakan tonggak penting dalam sejarah politik agraria nasional. Berdasarkan UUPA tersebut, Indonesia menancapkan ambisi politik yang kuat dalam merefomasi seluruh sistem dan struktur keagrarian yang bercorak kolonial peninggalan penjajah menjadikan sistem yang mengakomodasi struktur penguasaan yang dapat menjamin terwujudnya cita-cita dan tujuan negara. Dalam UUPA dinyatakan terdapat enam macam hak atas tanah, antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka lahan dan memungut hasil hutan. Inti reforma agraria ialah merombak struktur agraria yang timpang dan memberikan lahan pertanian yang cukup untuk petani. Dalam politik agaria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya. Dimana tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam Agrarische Wet Stb 1870 No. 55 yaitu tujuan primernya adalah memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang
sewa yang murah. Tujuan sekundernya adalah melindungi hak penduduk bumi putra atas tanahnya, yaitu: Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak bumi putra, pemerintah hanya boleh mengambil tanah bumi putra ababila diperlukan untuk kepentingan umum, bumi putra diberikan kesempatan mendapat ha katas tanah yang kuat yaitu hak eigendom, diadakan peraturan sewa menyewa antara bumi putra dengan bukan bumi putra. Sebagai penutup izinkan saya mengutip pidato dari Presiden Pertama Indonesia ; “…..bahwa revolusi tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi”; “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” (Soekarno, “Djalannja Revolusi Kita”, Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1960)