Wacana Publik 2449 clicks HIV/AIDS sebagai Fakta Medis Oleh Syaiful W. Harahap Berita “Kondom Tak Aman Cegah HIV” di Harian “Radar Banten” edisi 11 September 2007 justru (bisa) menyesatkan karena ada beberapa pernyataan yang tidak didukung fakta. Berita yang dikutip berdasarkan pernyataan yang tidak akurat akan menghasilkan mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis sehingga banyak yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat. Maka, jangan heran kalau kasus HIV/AIDS secara nasional dan regional, seperti di Banten, terus bertambah. Secara nasional sejak 1 April 1987 -30 Juni 2007 kasus HIV/AIDS mencapai 15.502, sedangkan di Prov. Banten dilaporkan 43 kasus AIDS dengan 11 kematian (Ditjen PPM & PL, Depkes RI). Dalam berita disebutkan “ …. langkah efektif dalam mencegah penyebaran virus mematikan ini adalah tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang berpotensi penularan, seperti seks bebas, pelacuran, homoseksual, dan penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik”. Ini tidak akurat. Pertama, semua kuman, bakteri, dan virus mematikan. Bahkan virus flu burung mematikan dalam hitungan hari, sedangkan HIV tidak mematikan karena yang mematikan adalah penyakit-penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik setelah penularan HIV mencapai 5 – 10 tahun pada diri seseorang. Kedua, penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun ‘seks bebas’ (istilah ini rancu karena merupakan terjemahan bebas dari ‘free sex’ yang tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Inggris), melacur, homoseksual, dll. Maka, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi berdasarkan kondisi hubungan seks (salah satu atau keduaduanya HIV-positif) bukan berdasarkan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah). Ketiga, penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik (bisa) terjadi kalau di antara penyalahguna ada yang HIV-positif dan mereka memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran. Kalau seseorang memakai narkoba dengan jarum suntik sendirian atau memakai ramai-ramai tapi tidak memakai jarum bergantian maka tidak ada risiko penularan HIV. Keempat, ada pernyataan Prof Dr dr Dadang Hawari “Yang bilang kondom aman 100 persen itu menyesatkan”. Tidak ada yang pernah mengatakan hal itu. Lagi pula mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang HIV-positif. Ini fakta. Nah, jika hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dilakukan dengan orang yang HIV-positif
atau dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya maka mencegah penularan HIV adalah hindari pergesekan langsung antara penis dan vagina karena pada pergesekan itulah terjadi risiko penularan disebabkan ada luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop). Kelima, dalam berita tidak disebutkan apa penyebab kegagalan kondom dalam hal mencegah penularan HIV dan KB. Banyak faktor yang membuat kondom tidak efektif. Misalnya, kualitas kondom, masa kadaluarsa, kondisi kondom, dan cara memasangnya. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus hewan (kondom ini tidak ada di Indonesia, di Amerika kondom tersebut dijual dengan harga sekitar 5 dolar) yang memang hanya untuk mencegah kehamilan. Sedangkan kondom yang terbuat dari getal lateks tidak mempunyak pori-pori (kondom jenis ini yang ada di Indonesia). Keenam, Prof Dadang menyebutkan:“Langkah paling aman untuk mencegah HIV/AIDS adalah tidak melakukan perzinahan.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks (perzinahan), tapi kondisi hubungan seks (salah satu atau dua-duanya HIV-positif, serta penis dan vagina bergesekan secara langsung). Sebaliknya, biar pun perzinahan (sifat hubungan seks) kalau dua-duanya HIVnegatif maka tidak ada risiko penularan HIV. Ketujuh, selama ini ada fakta yang sering luput dari perhatian masyarakat yaitu tentang siapa yang menularkan HIV kepada pekerja seks (pelacur). Seolah-olah pekerja sekslah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV. Ini salah karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, lajang, remaja, pelacar, mahasiswa, pegawai, duda, dll. Kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki yang kemudian melakukan hubungan seks dengan pekerja seks tadi maka laki-laki itu berisiko tertular HIV. Tapi, karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular) maka penularan pun terjadi tanpa disadari. Maka, laki-lakilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Bagi yang beristri maka penularan pun terjadi kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandung istrinya kelak (vertikal). Bisa juga dia menularkan kepada perempuan lain, seperti pacarnya atau pekerja seks yang lain. Anjuran Bupati Serang Taufik Nuriman yang dibacakan Kepala Bawasda Serang Martedjo: “Masyarakat harus bersama-sama memerangi penyakit masyarakat” tidak akan berhasil karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Untuk memerangi HIV/AIDS, bukan memerangi Odha (Orang dengan HIV/AIDS), masyarakat harus memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Inilah salah satu kuncinya.
* Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta. [Sumber: Harian “Radar Banten”, Serang, 13 September 2007]