BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Syok Hipovolemik 2.1.1 Definisi Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan oksigenasi jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya volume intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis (Greenberg, 2005).
2.1.2 Etiologi Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik dapat disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit (Tierney, 2001). Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik, antara lain: 1. Kehilangan darah a. Hematom subkapsular hati b. Aneurisma aorta pecah c. Perdarahan gastrointestinal d. Trauma 2. Kehilangan plasma a. Luka bakar luas b. Pankreatitis c. Deskuamasi kulit d. Sindrom Dumping 3. Kehilangan cairan ekstraselular a. Muntah (vomitus) b. Dehidrasi c. Diare d. Terapi diuretik yang agresif e. Diabetes insipidus f. Insufisiensi adrenal
2.1.3 Patofisiologi Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi tubuh yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk menjaga aliran darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam banyak kasus, takikardi adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan tekanan nadi tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon lainnya yang bersifat vasoaktif dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin, bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya.
Substansi-substansi
ini
mempunyai
pengaruh
besar
terhadap
mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena dilakukan dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam sistem vena yang tidak berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik. Namun kompensasi mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam mengembalikan cardiac output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah volume cairan tubuh/darah (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi kompensasi dengan proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal pun akan hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler lainnya. Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel. Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan pembengkakan jaringan, dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan hipoperfusi jaringan (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
2.1.4 Gejala Klinis Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat nonperdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok (Baren et al., 2009). Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat (Hardisman, 2013). Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa terjadi perubahan tekanan darah (Strickler, 2010). Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status kesehatan individu sebelumnya (Kelley, 2005). Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi
dimulai dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu kehilangan volume darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ seperti ginjal, limpa, dan pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume darah lebih dari 40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley, 2005).
Tabel 2.1 Gejala Klinis Syok Hipovolemik Ringan
Sedang
Berat
Ekstremitas dingin
Sama, ditambah:
Sama, ditambah:
Waktu pengisian kapiler
Takikardia
Hemodinamik tidak stabil
Takipnea
Takikardia bergejala
Diaporesis
Oliguria
Hipotensi
Vena kolaps
Hipotensi ortostatik
Perubahan kesadaran
meningkat
Cemas Sumber: Baren et al., 2009.
Perubahan dari syok hipovolemik ringan menjadi berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien lanjut dan yang memiliki penyakit berat (Baren et al., 2009).
2.1.5 Diagnosa Syok
hipovolemik
didiagnosis
ketika
ditemukan
tanda
berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren et al., 2009). Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral (Leksana, 2015). Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu dan turgor kulit (Hardisman, 2013).
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium:
Tabel 2.2 Klasifikasi Syok Hipovolemik Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
<750
750-1500
1500-2000
>2000
<15%
15-30%
30-40%
>40%
<100
>100
>120
>140
Tekanan darah
N
N
↓
↓
Tekanan nadi
N/↑
↓
↓
↓
Frekuensi napas
14-20
20-30
30-35
>35
>30
20-30
5-15
sangat sedikit
sedikit
agak
cemas,
bingung,
cemas
cemas
bingung
letargi
Kehilangan darah (ml) Kehilangan darah (%EBV) Denyut nadi (x/menit)
Produksi urin (ml/jam) Status mental
Sumber: American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008.
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan (Harisman, 2013). Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik dan stabilitas dari
kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada keadaan syok hipovolemik, antara lain (Schub dan March, 2014): 1. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan hemoglobin, hematokrit dan platelet. 2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya disfungsi ginjal. 3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas. 4. Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali. 5. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen. 6. AGDA, mungkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolik. 7. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan APTT. Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014): 1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. 2. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan gastrointestinal. 3. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen. 4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.
2.1.6 Komplikasi Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat napas akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga kematian (Greenberg, 2005).
2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu pada airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses intravena, dan nilai perfusi jaringan (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran besar (minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena perifer pada orang dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak memungkinkan pada pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume darah yang hilang dan mengembalikan perfusi organ (Kelley, 2005). Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan secepatnya. Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik (Hardisman, 2013). Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi dalam evaluasi awal pasien. Namun, Tabel 2.2 dapat menjadi panduan untuk menentukan kehilangan volume darah yang harus digantikan. Adalah sangat penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi yang adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan darah yang normal (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah (Harisman, 2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah. Jika pasien sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan darah spesifik tidak
tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan darah spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005). Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik. Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal karena menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Defisit basa juga dapat digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas pada pasien syok hipovolemik (Privette dan Dicker, 2013).
2.2 Pengetahuan 2.2.1 Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
2.2.2 Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari bisa dengan cara, antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan,
menyatakan
dan
sebagainya.
2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, dan menyimpulkan objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (Application) Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi dapat diartikan sebagai penggunaan hukum–hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen–komponen tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi–formulasi yang ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian–penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria–kriteria yang ada.
2.2.3 Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu: 1. Umur Daya ingat seseorang dipengaruhi oleh umur. Oleh karena itu, bertambahnya umur dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya. Akan tetapi, pada umur–umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang (Ahmadi, 2001). 2. Hubungan Sosial Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat berinteraksi secara continue akan lebih banyak mendapat informasi. Selain itu, faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu dalam komunikasi untuk menerima pesan menurut model komunikasi media (Notoatmodjo, 2007). 3. Sosial Budaya dan Ekonomi Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain. Melalui hubungan ini, seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan. Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat juga dapat mempengaruhi sikap seseorang dalam menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010). Status ekonomi akan menentukan tersedianya fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga stastus sosial ekonomi akan mempengaruhi pengetahuan seseorang. 4. Pendidikan Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah juga (Notoatmodjo, 2007). 5. Media Melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, berbagai informasi dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering
terpapar media massa (TV, radio, majalah, pamflet, dan lain - lain) akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terpapar informasi media (Notoatmodjo, 2007). 6. Pengalaman Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya, misalnya sering mengikuti kegiatan. Kegiatan yang mendidik misalnya seminar organisasi dapat memperluas jangkauan pengalamannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang suatu hal dapat diperoleh (Notoatmodjo, 2007).