Published By Ikhsan
Kolomkita.com
Hari Ini Sekolah Libur September 17th, 2008 by Arki Atsema
Hujan gerimis turun sepagi ini, dan lihatlah bagaimana tetes-tetes air memercik di atas genangan jalan. Melingkar lalu memencar lalu melingkar dan memencar lagi seperti sebuah spiral yang menghipnotis aku - yang memandanginya - untuk merasuk ke dalam. Aku hanyut dalam lamunan ini dan tentunya tak kuasa menahan sisa rasa kantuk yang rasanya terus menerus beranak. Mataku terbujuk rayuan limpahan udara sejuk pagi ini, namun sesaat ketika aku hampir melangkahkan kakiku melewati pintu alam bawah sadar sekali lagi, entah kenapa perhatianku teralihkan. Terpanggil oleh suara langkah kaki yang pelan, lelah, dan kesepian di ujung jalan. Dengan basah kuyup, menuju ke arahku, sosok yang tidak kuharapkan kedatangannya apalagi di pagi ini. Roro! Entah apa yang sedang dipikirkan Tuhan saat ini dan betapa aku mengutuk takdir yang telah tertulis. Aku berusaha mengalihkan pandanganku, pada pohon yang sedang mandi, pada jalanan sepi, pada matahari di balik awan, dan atap kayu yang hampir roboh dan menaungi diriku saat ini. Tapi menurutku sudah terlambat. Sekali melihat tubuhnya bergerak kemari, aku tak bisa mengarahkan mataku ke tempat lain. Orang aneh ini datang, dengan baju hangat biru mudanya yang kebesaran, yang selalu ia pakai tiap hari, yang menurutku sangat cocok membungkus tubuhnya. Rambut kusamnya tampak tengah berbahagia karena kembali merasakan limpahan air, dan aku merasa wajahnya terlihat berbeda, lebih segar walaupun tetap menyisakan raut kemurungan ciri khasnya. Kaus kaki putih membentang sampai di bawah lutut, sama sepertiku, dan rok seragam abu-abunya menyisakan sedikit tempat yang belum sempat terjamah air hujan. Ia memeluk dirinya sendiri, berjalan tersendat menahan rasa dingin sambil terus menatap aspal basah di bawahnya. Lalu mengapa dia berada di sini? Bukankah ia seharusnya berada di sekolah? Berada di kelas yang sama denganku? Di bangku paling belakang seperti biasanya? Meringkuk dalam dunia yang ia buat sendiri? Dan tetap berada di sana sampai saat pulang tiba? Aku menoleh ke arah jam tanganku dan memang harus kuakui aku terlambat datang ke sekolah. Atau mungkin dia juga begitu? Tapi mengapa harus datang ke sini? Aku berharap sebuah bus - yang kunantikan sejak tadi – tiba di hadapanku lalu membawaku pergi kemanapun tujuannya, karena aku tak peduli, sejauh apapun, sesesak apapun, sekotor apapun bus itu yang penting aku tak memiliki kesempatan sedetikpun untuk berdua dengannya. Namun yang menghampiriku adalah degup langkah jantungku yang membesar menembus lapisan kulit payudara kembarku yang sedang berkembang. Dan aku mendengar detik jarum jam tanganku mengalahkan suara sayup rintik hujan seiring dengan tarikan napas yang ia korbankan untuk melangkahkan kakinya menuju ke arahku. Udara dingin kini berkelana di dalam rokku, membangkitkan rasa canggung yang tak terkendali sekaligus menyiksa. Aku salah tingkah. Ya, aku salah tingkah. Lebih tepatnya dia yang membuatku demikian, dengan bahan dasar seperti sikap apatis, acuh tak acuh, sikap dingin dan rasa ketidakpedulian yang melimpah di dalam tubuhnya untuk 100 tahun ke depan. Ketika dalam pergulatan batinku akhirnya memutuskan untuk menyapanya terlebih dahulu, dia malah berjalan lurus di depanku dan berdiri tak jauh di sampingku tanpa satu derajatpun ia tolehkan lehernya untuk melihatku. Dia mematung, memandangi percikan air yang menggenang dari balik lensa kacamata yang berair. Melipat kedua tangannya, menggendong tasnya yang menetes, dan tubuhnya bergetar kecil, entah karena menggigil atau
Published By Ikhsan
Kolomkita.com
memang ia hendak meledakkan diri. Dari tempatku berdiri aku menatapnya. Menelisik, mencoba meneliti dirinya lebih jauh. Dia tampak normal, sepertiku, walaupun aku lebih beruntung dari segi fisik, mengingat banyak lelaki di sekolah yang selalu berusaha bersikap romantis saat berada di dekatku, padahal aku sama sekali tidak menyukai usaha mereka. Seperti bunga mawar, cokelat, boneka, dan puluhan puisi memalukan yang mereka kirimkan dengan segala sesuatu yang berbau merah muda. Aku bukannya bersikap sombong atau menganggap diriku adalah gadis kelas atas, tapi aku hanya ingin hidup layaknya remaja normal, gadis sekolahan biasa, minus hal-hal berbau cinta monyet, karena aku tidak tertarik dengan konsep percintaan remaja zaman sekarang. Seperti yang dialami oleh Yana, setelah mendapatkan lelaki pujaannya, hidupnya kini menderita. Dia harus menelepon pacarnya setiap hari, menanyakan hal-hal remeh, sudah makan belum? Mau pergi ke mana hari ini? Sama siapa? Begitupun sebaliknya, pacarnyapun melakukan hal yang sama. Dan suatu kali, Yana tidak mengangkat telepon dari pacarnya, kemudian esoknya mereka bertengkar dengan tuduhan-tuduhan cengeng seperti selingkuh, kurang pengertian, pengkhianatan dan sebagainya, tanpa mempertimbangkan alasan logis misalnya rasa muak, karena itu yang akan kurasakan bila harus mengangkat telepon setiap hari dan mendengar pertanyaan dan jawaban yang serupa. Lagipula aku memang tidak sedang mencintai siapapun saat ini. Tapi Roro berbeda. Tidak ada lakilaki yang mau mendekatinya, kecuali untuk menghina dan menjadikannya objek yang empuk untuk setiap lelucon yang ada. Rorolah yang membuat anak-anak laki menjadi kreatif dalam melawak. Namun bagi anak perempuan, termasuk aku, Roro adalah sosok yang menakutkan dan aneh. Aku ingat ketika salah seorang anak lelaki, Doni, tak sengaja mendengarnya merintih dan menggumam sendiri di kamar mandi perempuan. Ia lalu menceritakannya pada seisi kelas, dan setiap anak lelaki memperagakan gerakan masturbasi sambil merintih, seolah-olah mempraktikkan apa yang Roro lakukan di kamar mandi itu. Mereka melakukannya sambil tertawa-tawa. Sedangkan aku, menyaksikannya dengan penuh rasa jijik. Aku membicarakan ini dengan teman-temanku, dan tak percaya dengan yang Doni katakan. Sampai suatu saat, aku tak sengaja mencuri pandang ke arahnya, dan melihat pemandangan yang ia tunjukkan – dan masih tersimpan rapih dalam memori otakku - sambil membenamkan wajahnya di atas lipatan tangan kanannya, ia memasukkan tangan kirinya ke dalam roknya, dan melakukan “itu” di dalam kelas. Aku menyaksikan gerakan tangan kirinya, lihai sekali, tubuhnya bergetar perlahan, dan aku membayangkan wajahnya saat itu, diliputi oleh perasaan memuncak yang memabukkan. Dia melakukannya dan tak ada seorangpun yang tahu, kecuali aku. Sambil terbelalak aku merasakan energi ganjil yang ia transfer ke tubuhku, getaran-getaran, kejutan, sampai akhirnya rasa kejang menjalari daerah kewanitaanku, aku berlari keluar kelas untuk menenangkan diri. Setelah beberapa lama, aku kembali ke dalam kelas dan melihat Roro duduk dengan santai seolah tak ada apapun yang terjadi padanya dengan sorot mata yang sayu. Aku berpikir untuk tidak pernah bersentuhan dengannya. Dan kini ada sedikit ketakutan yang menguasai pikiranku. Dengan dirinya yang berada tak jauh di sebelahku, ditambah dengan hujan gerimis ini yang membuat aku hanya berdua dengannya. Ingin rasanya berlari menembus hujan, namun itu tidak kulakukan. Aku memberanikan diri, mengintipnya lewat ujung kedua mataku. Wajahnya dipenuhi oleh bintik air. Perasaanku sedikit tersentuh melihat kondisinya kini. Ia membalut kulit wajahnya dengan raut kesepian, kehampaan, kesedihan, kekecewaan, entah apa yang sebenarnya menyelimuti dirinya saat ini, namun dengan apa yang
Published By Ikhsan
Kolomkita.com
dipancarkan dari wajahnya, aku sempat mengira bahwa bintik-bintik air itu adalah air matanya sendiri. Tapi aku tak yakin bila ia sedang menangis, membayangkannya saja tak bisa. Aku terus menatapnya, sampai kusadari bahwa aku telah melakukannya terlalu lama, dan ia menyapaku dengan suara sedikit berat tersendat dan datar, “Selamat pagi Rosiana Santi Gautama. Hari ini sekolah libur.” Dia menyebut namaku dengan lengkap. Aku mencoba menyapanya juga, tapi lidahku tiba-tiba membatu. Aku masih mengira ia membenciku. Aku ingat saat pelajaran olahraga, pak guru menyuruh kami untuk berpasang-pasangan. Karena dalam daftar absen namaku berada di bawahnya, maka mau tak mau aku harus berpasangan dengannya. Tapi entah mengapa ia selalu menjauhiku, sampai akhirnya ia pergi dan meninggalkanku. Untung saja salah seorang temanku saat itu tidak masuk, jadi aku bisa melanjutkan pelajaran dengan pasangan yang lain dan bersyukur sepanjang hari. Hujan mulai membesar. Sepertinya ini belum akan berakhir sampai beberapa jam ke depan. Aku terjebak dalam keadaan yang tak kuharapkan dan masih berusaha mencari jalan keluar dari lingkaran ini. Suara hujan yang biasanya memberiku perasaan damai, kini bagaikan musik keras yang merobek kesabaran dan daya tahan mentalku. Aku merasa tidak nyaman berada di sini. Tak satupun bus lewat di depan mataku. Mungkin orang-orang masih nyenyak melanjutkan tidurnya pagi ini. Roro bilang hari ini sekolah libur. Aku tak mengerti. Pernah suatu kali sekolah diliburkan pada hari biasa karena banjir menggenangi seluruh ruangan kelas. Tapi aku tak yakin hujan seperti ini mampu menghasilkan banjir yang sama, karena hujan ini baru turun sekitar setengah jam yang lalu. Dan biasanya para guru memberi pengumuman sehari sebelumnya apabila besok akan diliburkan entah karena ada rapat besar atau ruangan kelas akan digunakan untuk suatu kegiatan. Kemarin, seingatku tidak ada pemberitahuan apapun. Hanya saja seorang anak laki-laki berteriak di depan kelas memperingatkan setiap anak perempuan agar berhati-hati jangan sampai tertular oleh Roro. Aku tak paham maksudnya, penyakit menular apa? Kenapa hanya anak perempuan saja? Kukira ini mungkin berhubungan dengan penyakit kemaluan wanita yang menular mengingat apa yang pernah Roro lakukan waktu itu. Tapi aku tidak terlalu ambil pusing, karena anak laki-laki biasanya suka bercanda. Namun saat itu aku melihat Roro dipermalukan sekali lagi di depan umum. Aku merasa kasihan padanya. Tapi, saat ini pikiranku jadi dipenuhi oleh pernyataan tentang penyakit menular tersebut. Alasan itu semakin menambah rasa gelisahku. Aku menghitung jarakku dengannya, apakah sudah cukup jauh atau belum, tapi ketenanganku masih terus goyah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku bingung, tanda tanya besar meliputi pikiranku. Aku tak peduli lagi dengan rasa ibaku padanya, bagaimanapun juga mungkin justru aku yang sedang dalam masalah besar. Aku berharap dia segera pergi, menurutku ia tidak keberatan bermandikan hujan seperti tadi lagi. “Sekolah libur hari ini. Nanti juga kamu tahu kenapa.” Ia kembali berbicara seolah menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Ia menolehkan wajahnya padaku dengan pelan. Jantungku berdetak kencang, kini aku berhadapan langsung dengan mukanya yang basah kuyup. Kacamatanya ditutupi tetes air dan embun sehingga kedua matanya terlihat samar dari mataku. Bibirnya datar, membentuk garis lurus. Rambutnya menutupi kedua telinganya sampai pundak dan mengalirkan sisa-sisa air ke baju hangatnya. Aku membayangkan reaksi kaget yang dipancarkan oleh wajahku saat memandanginya. Pikiranku berkecamuk mengkonduksi orkestra dengan nada dasar kekacauan dalam panggung batinku. Yang kulakukan adalah berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum.
Published By Ikhsan
Kolomkita.com
Ia kembali memalingkan wajahnya dariku dan mengambil pose seperti sebelumnya, memandangi jalan becek. Dan kesunyian itu kembali datang. Kami diam seribu bahasa. Aku mencoba sedikit merapikan baju seragamku, walaupun aku tahu ini tak ada gunanya, tapi dalam keadaan seperti ini aku harus mencari kegiatan untuk menghabiskan waktu. Aku membuka tasku dan menyadari hari ini aku lupa membawa telepon genggam, padahal alat itu bisa jadi juru selamatku. Aku melihat lampu jalan yang masih menyala, lalu siput yang merayap di atas rerumputan, dan angin sepoi-sepoi sedikit membelokkan arah air yang tumpah dari langit. Detik-detik ini begitu membosankan. Aku perlu mengobrol dengannya, hanya untuk pertanyaan sepele, hanya untuk membuatku sedikit terbiasa dengan kehadirannya. Aku menoleh padanya. “Kenapa kau datang ke sini?” Ia menoleh lagi padaku dan menunjuk ke luar, “Rumahku di sana.” Aku menelusuri arah telunjuknya dan mendapati sebuah bangunan apartemen lama yang membentang. Aku sering memperhatikan bangunan itu saat naik bus melewati jalan ini dan memandangi pakaian-pakaian yang dijemur di luar di tiap tingkatnya. Tak kusangka anak ini tinggal di dalamnya. Ketika aku selesai mengamati bangunan lama itu, aku baru tersadar, ia terus saja menatapku. Aku balik menatapnya dengan begitu canggung. Bibirku bergerak sendiri untuk membentuk senyuman. Kata-kata hilang begitu saja dari kepalaku, maka aku segera memalingkan mukaku darinya. “Apa kamu juga merasakannya?” ia bertanya. “Apa?” jawabku sambil menatap lurus ke depan. Ia diam. Aku menebak-nebak apakah dia masih melihatku atau tidak, karena aku tidak nyaman dengan perasaan diawasi seperti ini. Suara jantungku seperti sangat dekat dengan kedua telingaku. Aku mematung cukup lama, berusaha menyembunyikan keresahan sambil mengingat-ingat dosa apa yang kiranya sedang kutebus sekarang. Setelah agak lama, perasaanku kembali terkendali. Aku mulai merasa kedinginan karena tidak mengenakan jaket atau baju hangat. Tadinya kupikir hujan ini tidak akan lama. Tapi rasa dingin ini bukan hanya dihasilkan oleh cuaca melainkan juga karena kehadiran Roro di sebelahku. Aku kembali terdorong untuk berbicara dengannya, apapun agar waktu dapat cepat berlalu. Kulirikkan mataku ke arahnya lagi. Ia berdiri dalam bentuk yang sama dan kembali menatap kosong pada jalan. Postur tubuhnya tak jauh berbeda denganku, hanya saja ia sedikit membungkuk. Mukanya berbentuk lingkaran, tapi dia tidak terlalu gemuk, dan menurutku ukuran tubuhnya termasuk ideal. Warna kulitnya kuning langsat, aku tak yakin, tapi sepertinya ia merawat kulit tubuhnya dengan apik. Sama sepertiku. Sekilas aku menangkap sesuatu yang muncul dari balik baju hangatnya. Bercak merah. Aku tak yakin apa itu tapi bercak itu tampaknya luntur bersama air hujan dan mulai menetes keluar membasahi bagian roknya. Semakin lama semakin banyak dan terlihat seperti darah. Ini membuatku sedikit takut. “Roro, apa itu merah-merah di bajumu?”
Published By Ikhsan
Kolomkita.com
Roro melihat badannya sendiri. “Oh ini”, dia mengambil ujung baju hangatnya dengan kedua tangan lalu mengangkatnya ke atas dengan cepat dan melepaskannya. “Aaaahhhh…!!!” aku menjerit keras, terkejut setengah mati, dan hampir menjatuhkan diri. Aku menutup mulutku. Seluruh saraf di badanku mulai bergetar tak karuan, rasanya ingin menangis. Aku melihat bagian depan baju seragam putih Roro, dipenuhi oleh gumpalan darah merah yang tersebar di sekitar dada dan perutnya. Beberapa bagiannya luntur dan menetes ke bawah. Warna merahnya begitu pekat dan sedikit gelap, aku tahu tak ada yang semerah itu selain dari darah manusia. Mataku mulai berkaca-kaca menyaksikan pemandangan mengerikan ini. Aku tak suka melihat darah apalagi yang sebanyak ini. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku hanya menggumamkan nama Tuhan berulangkali. “Apa kamu terluka?” teriakku padanya sementara jantungku berdebar histeris. “Tidak.” Ia menjawab dengan datar. “Ini bukan darahku. Ini darah orang lain yang terciprat ke arahku.” Aku kehilangan tenaga untuk berteriak meminta pertolongan, rasa lemas menguasai sekujur tubuhku. Kepalaku berputar-putar dan perasaanku tertekan oleh kegilaan yang tak tertahankan yang meracik reaksi mual di dalam perut. Sejenak aku kehilangan fokus atas pikiranku sendiri. Roro sedang menatapku, aku merasakannya, anak aneh ini sedang menatapku di dalam dimensi sorot matanya yang hampa. “Ini darah teman-temanku. Teman-temanmu. Teman-teman kita.” Napasku menderu. Aku tak mengharapkan reaksi apapun yang akan kutunjukkan padanya karena aku tengah sibuk melewati kondisi fisikku sendiri yang membuatku semakin lemas. Aku mendengar perkataannya, namun otakku terlalu lemah untuk mencernanya. Aku tak memahami maksudnya. Telingaku berdengung, ini tak pernah terjadi sebelumnya. Dengung itu semakin besar dan mulai menutupi seluruh batas pendengaranku. Dengan caranya sendiri dengung itu merubah wujudnya menjadi suara sirine mobil polisi yang beriringan datang dari kejauhan. “Mereka cepat datang juga rupanya,” suara Roro menusuk-nusuk telingaku, “nah, kamu bisa tanyakan lebih lengkapnya pada mereka kenapa hari ini sekolah libur.” Aku berusaha menjaga keseimbanganku. Tangan kiriku menekan perutku sementara tangan yang lain menutup mulutku, aku mencoba untuk menahan laju muntahanku untuk keluar. “Aku sering melihatmu di sini setiap berangkat sekolah, untuk itulah aku datang ke sini. Aku ingin mengatakan ini sejak lama. Kamu tahu, aku tidak suka dengan teman-temanku, teman-temanmu juga, mereka selalu menghinaku dan aku sangat membenci itu. Tapi, aku tak pernah membencimu karena aku tahu kamu adalah gadis yang baik.” Perutku bergejolak, bergerak naik-turun, cairan-cairan itu mulai naik menuju celah kerongkongan. Kepalaku semakin pusing sementara sirine polisi itu semakin dekat dan merasuki kepala lalu menggetarkan syaraf-syaraf di otakku. Roro merogoh tasnya dan mengeluarkan sepucuk pistol hitam dalam genggamannya. Ini membuatku semakin terguncang. “Aku harap kamu memaafkanku saat melihat berita tentang ini di koran atau televisi. Asal kamu tahu, aku melakukan ini semua untukmu.”
Published By Ikhsan
Kolomkita.com
Ia menggerakkan pistol itu dengan tangannya dengan sangat ahli seperti yang sering kulihat dalam film laga. Ia memutar-mutarkan pistol itu di depan kedua matanya, mencoba melihat bentuk benda besi itu dari berbagai sudut sesuka hatinya. Aku sangat ketakutan melihat ini. Dalam hati aku berharap polisi-polisi itu segera datang kemari sebelum terlambat. Bayangan tentang kematian meneteskan cairan muntahan dari mulutku sedikit demi sedikit. Semua citraan tentang keluargaku, teman-temanku, dan segala kenangan indah melewati pikiranku dalam kumpulan lembar-lembar potret yang terpampang sangat jelas. “Aku melakukan ini hanya untukmu. Karena aku sangat…mencintaimu. Sepenuh hatiku.” Rasa mual ini tak dapat kutahan lagi. “Aku mencintaimu, Rosiana.” Mobil-mobil polisi tiba. Terdengar suara pintu mobil terbuka. Roro menaruh ujung pistol itu di atas pelipis matanya. “Aku sangat mencintaimu.” Seorang polisi berteriak kencang, “Turunkan pistolmu, Nak!” Ia menarik pelatuknya dalam ketenangan yang tinggi. Aku menatapnya dan mulutku dipenuhi cairan muntahan yang membludak. Para polisi berteriak di sampingku. “Apa kamu juga merasakannya?”dan seketika dia meledakkan kepalanya sendiri. Aku menatap limpahan darah merah segar yang bermekaran di udara layaknya kembang api. Bersamaan dengan itu, aku memuntahkan rasa mualku dengan membabi-buta dan jatuh pingsan. Para polisi itu terlambat. *** Di dalam kamarku aku terbaring. Selimut biru menghangatkan tubuhku dan kepalaku bersandar pada bantal yang sangat nyaman. Badanku terasa begitu ringan dalam balutan baju piyama yang biasa kupakai saat tidur. Kusadari sekarang sudah malam, semua orang telah tertidur. Aku bingung apa yang telah terjadi padaku dan mengapa aku berada di atas kasurku saat ini. Aku tak bisa mengingat apapun dan ini membawa pikiranku dalam keadaan melamun. Semuanya terasa begitu damai. Sampai akhirnya rasa pusing menyerangku. Bagian dari otakku menemukan sesuatu yang sedang kucari. Aku mulai resah dan berkeringat dingin. Apa yang telah terjadi? Jawaban atas pertanyaan itu datang ke dalam kepalaku dalam bentuk suara yang lembut, kesepian, dan menghantui: “Aku mencintaimu, Rosiana.” *** SELESAI
Published By Ikhsan
Kolomkita.com