Halusinasi.docx

  • Uploaded by: Fahrus Shm
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Halusinasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,155
  • Pages: 22
PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI A. Konsep Dasar Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi 1. Definisi Halusinansi Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenernya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar (Maramis, 1998). Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksternal: persepsi palsu.rangsangan dari luar (Maramis, 1998). Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksternal: persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terdhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjaddi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai suatau yang nyata ada oleh klien (Maramis, 1998) (Muhith, 2015). Halusianassi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu objek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra. Pasien merasakan adanya stimulus yang sebetulnya tidak ada, seperti suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman (Yusuf, Rizky, & Hanik, 2015). 2. Penyebab Halusinasi Menurut Townsend, M.C (1998) gangguan persepsi sensori halusinasi sering disebabkan karena panik, stress berat yang mengancam ego yang lemah, dan isolasi sosial menarik diri (Wijayaningsih, 2015). Menurut Stuart (2007) faktor predisposisi halusinasi adalah: a. Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respons neurobiologist yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian berikut: 1) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada area frontal, temporal, dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan atrofi otak. 2) Beberapa zat kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut ini.

a) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain, terutama serotonin c) Masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin Dopamin merupakan neurotransmitter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal menyekat reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminorgenik maka gejala psikotik diredakan. Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminorgenik (Prabowo, 2014). 3) Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi menunjukkan peran genetik pada skizofrenia. Kembar identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka kejadian skizofrenia yang lebih tinggi daripada pasangan saudara sekandung yang tidak identik. Penelitian genetik terbaru memfokuskan pada gene mapping (pemetaan gen) dalam keluarga dengan insiden skizofrenia yang lebih tinggi pada keturunan pertama dibandingkan dengan populasi secara umum. Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12% (Prabowo, 2014). b. Psikologis Halusinasi dapat terjadi pada orang yang mempunyai keluarga overprotektif sangat cemas. Hubungan dalam keluarga yang dingin dan tidak harmonis, perhatian dengan orang lain yang sangat berlebih ataupun yang sangat kurang sehingga menyebabkan koping individu dalam menghadapi stress tidak adaptif (Dermawan dan Rusdi, 2013) c. Sosial budaya Kemiskinan dapat sebagai faktor terjadi halusinasi bila individu mempunyai koping yang tidak efektif maka ia akan suka berkhayal menjadi orang hanya dan lama kelamaan (Dermawan dan Rusdi, 2013).

Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith (2015), halusinasi dipengaruhi oleh faktor dibawah ini, antara lain: a. Faktor predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon neurobiology seperti pada halusinasi antara lain: 1) Faktor genetik Telah diketahui bahwa secara genetik skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizyghote peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%. 2) Faktor perkembangan Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan 3) Faktor neurobiology. Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbik pada klien dengan skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien skizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter juga tidak ditemukan tidak normal, khususnya dopamin, serotonin dan glutamat 4) Study neurotransmitter Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan neurotransmitter serta dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotonin 5) Faktor biokimia

Faktor biokimia mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang, maka tubuh akan menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytransferase (DMP) 6) Teori virus Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor predisposisi skizofrenia 7) Faktor psikologis Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia, antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya. Sementara itu hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas. 8) Faktor sosiokultural Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien dibesarkan. b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi dan suasana sepi/isolasi sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Disamping itu juga oleh karena proses penghambatan dalam proses tranduksi dari suatu impuls yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam proses interpretasi dan interkoneksi sehingga dengan demikian faktor-faktor pencetus respon neurobiologist dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Berlebihnya proses informasi pada sistem syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak 2) Mekanisme

penghantaran

(mekanisme gatting abnormal)

listrik

di

syaraf

terganggu

3) Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku seperti yang tercantum di tabel berikut ini. 4) Tabel 2.2 Gejala-gejala pencetus respon neurobiology Menurut Stuart danLaraia, (2005) dalam Muhith (2015) Kesehatan

1) Nutrisi kurang 2) Kurang tidur 3) Ketidakseimbangan irama sirkadian 4) Kelelahan 5) Infeksi 6) Obat-obat sistem syaraf pusat 7) Kurangnya latihan 8) Hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan

Lingkungan

1) Lingkungan yang memusuhi, krisis 2) Masalah di rumah tangga 3) Kehilangan kebebasan hidup 4) Perubahan kebiasaan hidup, pola aktifitas seharihari 5) Kesukaran dalam hubungan dengan orang lain 6) Isolasi sosial 7) Kurangnya dukungan sosial 8) Tekanan kerja (keterampilan dalam bekerja) 9) Kurangnya alat transportasi 10) Ketidakmampuan dalam mendapatkan pekerjaan

Sikap perilaku

1) Merasa tidak mampu (harga diri rendah) 2) Putus asa (tidak percaya diri) 3) Merasa gagal (kehilangan motivasi dalam menggunakan keterampilan diri)

4) 4) Kehilangan kendali diri (demoralisasi) 5) 5) Serasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut 6) Merasa malang (tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual)

7) Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan 8) Rendahnya kemampuan sosialisasi 9) Ketidakadekuatan pengobatan 10) Perilaku agresif 11) Perilaku kekerasan 12) Ketidakadekuatan penanganan gejala

3. Dimensi Halusinasi Masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual-kultural sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi (Stuart dan Laraia, 2005) yaitu: (Muhith, 2015) 1. Dimensi fisik, manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. 2. Dimensi emosional, perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3. Dimensi intelektual, dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namuun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. 4. Dimensi sosial, Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem

kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka individu tersebut bisa membahayakan orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkanpengalamn interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung. 5. Dimensi spiritual, Manusia diciptakan tuhan sebagai makhluk sosial sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya, individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya. 4. Rentan Respon Halusinasi Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologis (Stuart dan Laraia, 2007). Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Respon individu (yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi) yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima (Muhith, 2015).

Respon Adaptif

a. Pikiran logis b. Persepsi akurat

Respon mal Adaptif

a. Distorsi pikiran Ilusi

a. Gangguan pikiran/delusi

c. Emosi konsisten

b. Reaksi emosi

b. Halusinasi

dengan pengalaman

berlebihan atau kurang

c. Kesulitan untuk

d. Perilaku sesuai

c. Perilaku aneh atau

memproses emosi

e. Hubungan sosial

tidak biasa

d. Ketidakteraturan

d. Menarik diri

perilaku e. Isolasi sosial

5. Jenis-jenis Halusinasi Menurut Dermawan dan Rusdi (2013), jenis-jenis halusinasi yaitu: a. Halusinasi non patologis Menurut NAMI (National Allience For Mentally III) Halusinasi dapat terjadi pada seseorang yang bukan penderita gangguan jiwa. Pada umunya terjadi pada klien yang mengalami stress yang berlebihan atau kelelahan bisa juga karena pengaruh obat-obatan (Halusinogenik). 1. Halusinasi Hipnogonik : Persepsi sensori yang palsu yang terjadi sesaat sebelum seseorang jatuh tertidur 2. Halusinasi Hipnopomik : Persepsi sensori yang palsu yang terjadi pada saat seseorang terbangun tidur b. Halusinasi patologis Halusinasi ada 5 macam yaitu: 1. Halusinasi pendengar (Auditory) Klien mendengar suara dan bunyi tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya 2. Halusinasi penglihat (Visual) Klien melihat gambar yang jelas atau samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihat 3. Halusinasi pencium (Olfactory) Klien mencium bau yang muncul dari sumber tentang tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak mencium 4. Halusinasi pengecapan (Gusfactory) Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata. Biasa merasakan makanan yang tidak enak 5. Halusinasi perabaan (Tactile) Klien merasakan sesuatu pada kulit tanpa stimulus yang nyata.

Stuart dan laraia (2005), dalam Muhith (2015) membagi halusiansi menjadi 7 jenis yang meliputi: halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan (visual), halusinasi penciuman (olfactory), halusinasi pengecapan (gustatory), halusinasi perabaan (tactile), halusinasi cenesthetic, halusinasi kinesthetic. Tabel 2.1 Karakteristik halusinasi Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith (2015) Jenis

Karakteristik

halusinasi Pendengaran

Mendengar

suara

atau

kebisingan,

paling

sering

suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap halusinasi.

antara Pikiran

dua

orang

yang

yang

terdengar

dimana

mengalami klien

mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan. Penglihatan

Stimulus gambaran

visual

dalam

geometris,

bentuk gambaran

kilatan kartun,

cahaya, bayangan

yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster Penciuman

Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin atau feces, umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman sering akibat stroke, tumor, kejang atau dimensia.

Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti darah, urin atau feces.

Perabaan

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

Cenesthetik

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.

Kinesthetik

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

Jenis halusinasi yang lain (Baihaqi, 2007):

a. Halusinasi depersonalisasi: perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan bahwa pribadinya sudah tidak seperti dulu lagi, tidak menurut kenyataan. Misalnya, penderita merasa seperti di luar badannya. b. Halusinasi derealisasi: perasaan aneh tentang lingkungannya dan tidak menurut kenyataan. Misalnya, segala sesuatu dialaminya seperti dalam mimpi.

6. Proses Terjadinya Halusinasi Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith (2015) fase-fase halusinasi, antara lain: a. Fase I (comforting): ansietas sedang, halusinasi menyenangkan Karakteristik: nonpsikotik, klien mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut sehingga mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. individu mengenali bahwa pikiranpikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani. Perilaku klien : 1)

Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.

2)

Menggerakkan bibir tanpa suara.

3)

Pergerakan mata yang cepat.

4)

Respon verbal yang lambat.

5)

Diam dan asyik sendiri.

b. Fase II (Condeming): ansietas berat, halusinasi menjadi menjijikkan Karakteristik: psikotik ringan 1) Pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. 2) Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan 3) Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalan sensori dan menarik diri dari orang lain 4) Mulai merasa kehilangan kontrol. 5) Tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati Perilaku klien : 1) Meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah. 2) Rentang perhatian menyempit.

3) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita 4) Menyalahkan 5) Menarik diri dari orang lain 6) Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja c. Fase III (Controlling): ansietas berat, pengalaman sensori jadiberkuasa karakteristik : psikotik 1) Klien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah terhadapa halusinasi tersebut 2) Isi halusinasi menjadi menarik. 3) Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti Perilaku klien : 1)

Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti

2)

Kesukaran berhubungan dengan orang lain.

3)

Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit

4)

Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah

5)

Isi halusinasi menjadi atraktif

6)

Perintah halusinasi ditaati

7)

Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat

d. Fase IV (Conquering): panik, umunya menjadi melebur dalam halusinasinya Karakteristik: psikotik berat 1) Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasinya 2) Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik Perilaku klien : 1) Perilaku error akibat panik. 2) Potensi kuat suicide atau homicide. 3) Aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik. 4) Tidak mampu merespon perintah yang kompleks 5) Tidak mampu merespon lebih dari satu orang

7. Tanda dan Gejala Halusinasi Data subjektif dan objektif halusinasi Menurut Muhith (2015) Jenis

Data Objektif

halusinasi

Data Subjektif

Halusinasi

1.Bicara atau tertawa sendiri

1.Mendengar suara-suara atau

Pendengaran

2.Marah-marah tanpa sebab

kegaduhan

3.Menyedengkan telinga ke arah

2.Mendengar suara yang

tertentu

mengajak bercakap-cakap

4.Menutup telinga

3.Mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya

Halusinasi

1.Menunjuk-nunjuk ke arah

1.Melihat bayangan, sinar, bentuk

Penglihatan

tertentu

geometris, bentuk kartun, melihat

2.Ketakutan pada sesuatu yang

hantu atau monster

tidak jelas Halusinasi

1.Mencium seperti sedang

1.Membaui bau-bauan seperti bau

Penciuman

membaui bau-bauan tertentu

darah, urin,feses, kadang-

2.Menutup hidung

kadang bau itu menyenangkan

1.Sering meludah dan muntah

1.Merasakan rasa seperti darah,

Halusinasi Pengecapan

urin atau feses

Halusinasi

1.Menggaruk-garuk permukaan

1.Mengatakan ada serangga di

Perabaan

kulit

permukaan kulit 2. Merasa seperti tersengat listrik

8. Mekanisme Koping Menurut Stuart dan sundeen (1998) dalam Muhith (2015), mekanisme koping adalah tiap upaya individu yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith (2015), mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi: a. Regresi: menjadi malas beraktivitas sehari-hari b. Proyeksi: mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda

c. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien 9. Penatalaksanaan Medis dan Non Medis Halusinasi Menurut Stuart dan Laraia, (2005) dalam Muhith (2015) penatalaksanaan klien skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu: a. Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan adalah Fenotiazin Asetofenazin (Tindal), Klorprozamin (Thorazine), Flufenazine (Prolixine, Premitil), Mesoridazin (Serentil), Perfenazin (Trilafon), Proklorperazin (Compazine), Promazine (Sparine), Tioridazin (Mellaril), Trifluoperazin (Stelazine), Trifluopromazin (Vesprin) 60-120 mg, Tioksanten Klorprotiksen (Taractan), Tiotiksen (Navane) 75-600 mg, Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg, Dibenzodiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg, Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg, Dihidroindolon Molindone (Moban) 15-225 mg b. Terapi Kejang Listrik/ Electro Compulsive Therapy (ECT) Terapi Elektrokonfulsif (Electro Compulsive Therapy, ECT) menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis. Jumlah terapi yang diberikan dalam satu rangkaian bervariasi sesuai dengan masalah awal pasien dan respons terapeutik yang dikaji selama terapi. Rentang yang paling umum untuk mengatasi gangguan afektif adalah 6-12 terapi, sedangkan untuk pasien skizofrenia jumlah terapinya lebih banyak lagi. ECT biasanya diberikan dua sampai tiga kali dalam seminggu dengan hari yang bergantian walaupun terapi ini dapat diberikan lebih sering atau lebih jarang (Stuart, 2006). ECT merupakan bentuk penanganan yang dalam pengadministrasiannya pasien diberi anestesi/ obat bius untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dan diberikan obat perelaks otot untuk mencegah kerusakan tulang akibat konvulsi selama sizure (kejangkejang). Kemudian listrik diadministrasikan secara langsung melalui otak selama kurang dari satu detik. Bentuk penanganan ECT ini terbukti untuk menaikkan level serotonin, memblokir hormon-hormon stress dan membantu terjadinya neurogenesis dalam hipokampus (Prabowo, 2014). c. Terapi aktivitas kelompok (TAK) Menurut Keliat dan Akemat, (2010) TAK yang dapat dilakukan untuk pasien dengan halusinasi adalah sebagai berikut:

1) TAK orientasi realitas Dalam TAK orientasi realitas klien diorientasikan pada kenyataan yang ada di sekitar klien, yaitu diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang dekat dengan klien, dan lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan klien. Demikian pula dengan orientasi waktu saat ini, waktu yang lalu, dan rencana kedepan (Keliat dan Akemat, 2013). a)

Sesi 1: pengenalan orang

b)

Sesi 2: pengenalan tempat

c)

Sesi 3: pengenalan waktu

2) TAK stimulasi persepsi Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan/ atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. Tujuan umum TAK stimulasi persepsi adalah klien memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. sementara, tujuan khususnya klien dapat mempersepsiskan stimulus yang dipaparkan kepadanya secara tepat dan kilen dapat menyelesaikan masalah yang timbul dan stimulus yang dialami (Keliat dan Akemat, 2013). a) Sesi 1: mengenal halusinasi b) Sesi 2: mengontrol halusinasi dengan menghardik c) Sesi 3: mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan d) Sesi 4: mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain e) Sesi 5: mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat

B. Asuhan Keperawatan Halusinasi 1. Pengkajian Pengkajian terdiri atas pengumpulan data perumusan kebutuhn atau masalah klien. data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dn spiritual. Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Pengkajian yang dilakukan pada klien di rumah sakit jiwa telah menggunakan format pengkajian standart agar mudah dalam melakukan pengumpulan data klien.

pengkajian meliputi identitas klien, keluha utama atau alasan masuk, faktor predisposisi, aspek fisik/biologis, spek psikososial, status mental, kebutuhan perssiapan pulang, mekanisme koping, masalah psikososial dalam lingkungan, pengetahuan, dan aspek medik. Data pengkajian terdiri dua macam data, yaitu: 1. Data subjektif 2. Data objektif Pengkajian spesifik untuk halusinasi sebagai berikut: 1. Berapa lama klien mengalami halusinasi 2. Situasi yang bagaimana menjadi pencetus terjadinya halusinasi dan pada waktu kapan sering muncul 3. Bagaimana bentuk halusinasi apakah bunyi-bunyian atau suara-suara, jika klien mendengar suara tanyakan apa isinya 4. Seberapa kuat klien meyakini kenyataan halusinasi 5. Apakah halisunasi memerintah klien melakukan sesuatu, jika ya sejauh mana risiko berbahaya jika klien mengikuti perintah tersebut 6. Bagaimana perasaan klien terhadap halusinasi yang muncul 7. Strategi apa yang dugynakan klien untuk mengatasi halusinasi dan seberapa efektif strategi yang digunakan. 2. Diagnosa (Masalah Keperawatan) Menurut Keliat (2005) adapun masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi adalah: 1. Perubahan persepsi sensori:halusinasi. 2. Resiko tinggi perilaku kekerasan 3. Isolasi sosial 4. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah 3. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan

Perubahan sensori persepsi: halusinasi

Isolasi sosial

Gangguan konsep diri :

Core problem

4. Perencanaan Keperawatan No. Diagnosa

Tujuan

Kriteria Hasil

Intervensi

1.

Perubahan

Klien dapat

1.Wajah klien cerah,

a)Sapa klien dengan

persepsi

berinteraksi

tersenyum, klien

ramah

sensori

dengan

mau berkenalan, ada

baik verbal maupun non

:Halusinasi

orang lain

kontak mata, klien

verbal

bersedia

b)Perkenalkn diri dengan

terjadi

menceritakan

sopan

halusinasi

perasaannya.

c)Tanyakan nama lengkap

1)Klien dapat

2.Klien dapat

klien dan nama panggilan

membina

menyebutkan

kesukaan klien

hubungan saling

menarikdiri berasal

d)Jelaskan tujuan

percaya .

dari diri sendiri,

pertemuan

2)Klien dapat

orang lain dan

e)Jujur dan menepati janji

menyebutkan

lingkungan

f)Tunjukkan rasa empati,

penyebab

3.Klien dapat

menerima dan perhatian

menarik diri

menyebutkan

dasar klien.

3)manfaat

keuntungan

hubungan

berhubungan dengan

a)Kaji pengetahuan klien

dengan orang

orang lain

tentang perilaku menarik

pendengaran sehingga tidak

lain dan kerugian 4.Klien dapat

diri

tidak

mendemonstrasikan

b)Beri kesempatan pada

berhubungan

hubungan sosial

klien

dengan orang

secara bertahap

untuk mengungkapkan

lain

5.Klien dapat

perasaan menarik diri

4)Klien

mengungkapkan

c)Diskusikan bersama

melaksanakan

klien tentang perilaku menarik

Hubungan secara

perasaan

diri, tanda-tanda serta

bertahap

berhubungan dengan

penyebab yang muncul

5)Klien dapat

orang

d)Beri pujian terhadap

mengungkapkan

lain untuk diri sendiri

kemampuan klien dalam

perasaan dengan

6.Keluarga dapat

mengungkapkan

orang lain

menjelaskan

perasaannya.

6)Klien dapat

perasaannya,

berdayakan

menjelaskan

a)Kaji pengetahuan klien

sistem

caraperawat klien

tentang manfaat

pendukung atau

menarik diri dan

berhubungan dengan

keluarga

berpartisipasi

orang lain dan kerugian

dalam perawatan

tidak

klien menarik diri

berhubungan dengan orang lain b)Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain c)Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan oranglain d)Beri reinforcement positif tentangkemampuan mengungkapkan perasaan tentang manfaat berhubungan dengan oranglain

e) Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain f)Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain g)Beri reinforcement positif tentang kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

a)Kaji pengetahuan klien tentang manfaat berhubungan denganorang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain b)Mendorong dan membantu klien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap c)Memberi reinforcementterhadap

keberhasilan yang sudah dicapai d)Membantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan dengan orang lain e) Mendiskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu f) Memotifikasi klien untuk mengikuti kegiatan harian g) Beri reinforcemen t positif tentang kemampuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain

a) Mendorong klien untuk mengungkapkan perasaanya setelah berhubungan dengan orang lain. b)Mendiskusiskan bersama klien tentang perasaanya manfaat berhubungan dengan orang lain.

c)Beri reinforcement positif tentang kemanpuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungandengan orang lain.

a)Bina hubungan saling percayaSalam dan perkenalkan dirisampaikan tujuanEksplorasi perasaan keluarga b)Diskusikan dengan anggota keluarga yang lain tentangPerilaku menarik diri Penyebab perilaku menarik diri Akibat perilaku menarik diri jika perilaku menarik diri tidak di hadapi c)mendorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada klien untuk berkomuniksi dengan orang lain dAnjurkan kepada keluarga

secara rutin dan bergantian untuk menjenguk klien minimal 1x seminggu e)Memberi reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai keluarga

C. Strategi Pelaksanaan Tindakan a. Pertemuan ke 1 (SP 1) 1) Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 2) Mengidentifikasi isi halusinasi klien 3) Mengidentifikasi waktu halusinasi klien 4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 5) Mengidentifikasikan situasi yang menimbulkan halusinasi 6) Mengidentifikasikan respon pasien terhadap halusinasi 7) Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan b. Pertemuan ke 2 (SP 2)  Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien  Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain (cara 2)  Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian c. Pertemuan ke 3 (SP 3)  Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien  Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan kegiatan (cara 3)  Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian d. Pertemuan ke 4 (SP 4)  Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien  Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur

 Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Daftar Pustaka Baihaqi, dkk. 2007. Psikiatri (Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan). Bandung: Refika Aditama. Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi. Stuart, Gail Wiscard. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. cetakan kedua (edisi revisi). Bandung: PT Refrika Aditama. Yusuf, Rizky Fitriyasari, & Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

More Documents from "Fahrus Shm"