Goresan di Pintu Mobil Seorang kawan kedapatan begitu marah demi melihat pintu belakang mobilnya tergores paku. "Itu pekerjaan pengamen yang tak kuberi duit," katanya dengan rahang mengeras dan mata menyala. Maka sejak itu ia punya pekerjaan baru: memburu si pengamen di segenap perempatan lampu merah. Goresan itu benar-benar membuat batinnya terganggu. Karena mobil itu telah menjadi bagian hidupnya. Kebersihannya adalah seni, kemilaunya adalah jiwa. Jika hujan, ia lebih menyukai bermotor atau bertaksi. Jika becek menghadang, ia pilih putar haluan. Katimbang mobilnya, ia lebih merelakan tubuhnya untuk tertimpa angin dan hujan. Maka goresan paku itu benar-benar musibah yang menyulut api kemarahannya. Di rumah ia menjadi demikian peka. Canda anak-anaknya hanyalah berarti keributan. Pembantu yang bergerak lambat berarti pembangkangan, kemesraan istri malah mendatangkan kebosanan. Hidup si kawan ini tiba-tiba menjadi begitu malang. Ia merasa segalanya menjadi sangat tidak ramah. Jalanan cuma menjadi semakin tidak aman. Makin padat, gaduh, penuh pengemis dan pengamen yang menurutnya tak lebih dari para pencoleng belaka. Telah setiap kali ia menyediakan segepok uang receh, bukan untuk berderma, tapi sekadar untuk melunakkan hati para pencoleng itu agar tidak berbuat kerusakan. Maka benarlah dugaannya, karena sekali saja luput memberi, paku itu langsung beraksi. Maka setiap menatap uang receh di dalam mobilnya, ia hanya melihat simbol gangguan yang menekan. Setiap hari ia terpaksa harus memberi uang-uang receh itu untuk sesuatu yang sangat dia benci. "Ini bukan soal nilai duit, ini soal prinsip," katanya setiap kali. Tapi astaga, jika ia ngotot mempertahankan prinsip itu, dengan cepat ia merasakan akibat yang begitu mengerikan. Padahal kehujanan saja mobil itu tak kurelakan, apalagi harus di beleret paku, lagi pula sepanjang itu! Ooo remuk jiwaku! Maka jadilah ia terpaksa melanggar prinsipnya sendiri. Setiap saat ia terpaksa memberikan uang-uang recehnya dengan kemarahan membara di seluruh dada. Sekeping receh yang lepas dari tangannya, adalah berarti satu pukulan keras bagi harga dirinya. "Akhirnya hidupku cuam didikte oleh sekadar pengamen dan para pemalak jalanan. Ada sekian lampu merah. Satu lampu merah kulewati sekian kali sehari. Sekali lewat sekali uang receh. Padahal ada berkali-kali uang receh dalam sehari. Padahal satu uang receh berarti satu pukulan batin. Padahal berapa pukulan yang harus kutanggung dalam seminggu, sebulan, setahun. Padahal aku harus selalu melewati lampu-lampu merah itu bertahun-tahun, atau malah bisa jadi sepanjang hidupku. Berarti selama itu pula teror ini akan menggerogoti umurku,'' katanya dengan nafas memburu. Ya, demikian gampang ternyata hidup si kawan ini, atau bisa jadi kita semua, terganggu. Hanya karena goresan kecil di mobil, burung piaraan mati, atau buah di pekarangan dipetik orang, kita bisa melupakan tawa anak-anak dan kesabaran seorang istri. Canda mereka malah berarti kebisingan, dan kelucuan mereka malah menimbulkan kejengkelan. Hanya karena segores paku, seseorang bisa begitu menganggap sial hidupnya dan menganggap para pemulung, pengemis dan pengamen jalanan adalah orang-orang yang begitu berkuasa. Inilah hebatnya kekuatan gangguan: bahkan seseorang yang punya kekuatan naik mobil pun bisa demikian iri pada orang yang cuma kuat mengamen dan menggores. (03) (PrieGS/)