Dominasi dan Resistensi Sejak dahulu, mahasiswa memegang peran unik di dalam konstelasi politik Indonesia. Mahasiswa dengan segala sifat radikal dan idealismenya selalu menentang status quo yang diterapkan rezim pemerintah. Jiwa-jiwa muda yang dinilai belum berpengalaman ini memiliki kekuatan untuk mengangkat dan menumbangkan rezim yang berkuasa, misalnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Gerakan mahasiswa melawan Orde Baru terjadi serta merta namun sudah dimulai sejak awal Orde Baru, yaitu pada tahun 1970 hingga 1974 dimana gerakan mahasiswa sebagai aksi keprihatinan atas strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbungan sehingga menimbulkan kesenjangan antara kaya dan miskin. Meningkatnya korupsi dalam pemerintah dan melonjaknya harga minyak memicu protes mahasiswa dan tahun 1971 hubungan mesra mahasiswa-pemerintah berakhir seiring digalakkannya gerakan Golput dan boikot pemilu 1971 oleh mahasiswa. Peristiwa Malari 1974 menjadi titik ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi, sosial dan politik Orba yang bertemu dengan pertarungan intern faksi-faksi kekuasaan Orba1 (dalam gerakan tersebut mahasiswa didukung Soemitro, cendekiawan dan pemimpin partai Islam serta beberapa personil Golkar)2 Peristiwa Malari 1974 membuat Soeharto sadar bahwa kedudukan politiknya sebagai presiden rentan terhadap konflik intra-elite negara sehingga ia melakukan seleksi ulang orang-orang di sekelilingnya dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan politik mandiri.3 Sayangnya, gerakan mahasiswa saat itu dilakukan pada saat Orde Baru masih memiliki kekuatan sehingga dapat ditumpas dengan mudah oleh pemerintah. Kengerian teror 1965-1966 masih menghantui masyarakat dan perekonomian masih berada di fase pertama pertumbuhan.4 Pemerintah pun mulai bersikap keras terhadap mahasiswa. Bahkan, gerakan mahasiswa 1970-1974 membuat gerakan mahasiswa era setelahnya lemah karena mendapat pukulan dari pemerintah. Gerakan mahasiswa menjadi bumerang bagi mahasiswa sendiri karena membuat pemerintah memiliki legitimasi untuk menjaga ‘stabilitas nasional’ menurut versinya. 1
Munafrizal Manan. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite.Yogyakarta : Resist Book Inc, hal 59. Leo Suryadinata (1995) dalam Munafrizal Manan, Ibid. 3 Eep Saefullah Fatah. 1999. Membangun Oposisi : Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, hal xvii. 4 Edward Aspinall. “The Indonesian Student Uprising of 1998” dalam Arief Budiman(editor). 1999. Reformasi : Crisis and Change in Indonesia. Clayton : Monash Asia Institute. 2
1
Tahun 1977/1978 gerakan mahasiswa muncul lagi dengan berbagai isu dan bergerak lebih jauh dalam menyuarakan pemberhentian Soeharto sebagai presiden. Pemerintah mulai melihat mahasiswa sebagai ancaman terhadap keberlangsungan status quo di Indonesia. Akibatnya, pemerintah menjalankan kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa, melarang pers mahasiswa dan memulai depolitisasi kampus. Kebijakan pembubaran Dewan Mahasiswa dan penerapan NKK/BKK diterapkan pemerintah untuk mematikan daya kritis mahasiswa. Mahasiswa dianggap bukan sebagai agen perubahan tapi sekedar manusia penuntut ilmu. Kebijakan pemerintah cukup efektif dalam membungkam suara mahasiswa. Terbukti, tidak aktifnya lembaga organisasi mahasiswa membuat banyak mahasiswa yang kemudia terlena dengan iming-iming material dan tidak memiliki ideologi untuk memberontak status quo. Mahasiswa hanya mengejar pasar kerja untuk menjaga kelangsungan hidupnya kelak. Selain itu, semenjak represi negara dan birokratisasi perguruan tinggi menghancurkan lembaga organisasi kemahasiswaan, aktivitas politik dan protes tidak digunakan oleh mahasiswa karena resiko yang terlampau besar. Oleh karena itu, peran gerakan mahasiswa ialah melakukan terobosan dalam situasi sosial politik yang tidak normal.5 Akibatnya, gerakan mahasiswa tidak bersifat frontal terhadap pemerintah dan tidak mencerminkan kekuatan politik. Aksi mahasiswa tidak diwujudkan pada aksi politik namun berwujud sebagai kekuatan moral dengan tema HAM, demoratisasi berbasis pemberdayaan masyarakat hingga keprihatinan terhadap strategi pembangunan kapitalistis yang menyengsarakan rakyat. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat berperan sebagai kelompok penekan yang pada umumnya terbebas dari kepentingan pribadi.
Mahasiswa sebagai Pencetus Reformasi Gerakan mahasiswa 1998 pada awalnya adalah keprihatinan mahasiswa terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang terlibat krisis. Inflasi yang tinggi, daya beli masyarakat rendah, merebaknya PHK serta menyempitnya lapangan pekerjaan membuat mahasiswa tergerak untuk memperbaiki keadaan. Melemahnya rupiah menjadi begitu rendah saat 5
Saefullah Yusuf, Op. cit., hal 157.
2
itu merupakan yang pertama kali di dalam sejarah moneter Indonesia. Krisis ekonomi tak tertanggulangi dan segera berubah menjadi krisis ekonomi secara makro.6 Krisis ekonomi yang terjadi sekaligus membuat pemerintah kehilangan legitimasi di depan rakyat. Jargon ‘fundamental ekonomi yang kuat’ yang selama ini didengungkan pemerintah ternyata tidak terbukti, bahkan pemerintah dinilai tidak mampu memperbaiki kondidi ekonomi Indonesia saat itu. Terlebih pemerintah tidak memiliki jalan untuk memperbaiki perekonomian selain meminta bantuan kepada IMF dengan segala syarat rekomendasinya yang harus ditaati Indonesia. Retorika nasionalisme untuk merespon IMF yang sempat didengungkan Soeharto tidak memupus kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Dukungan masyarakat terhadap Soeharto pun berkurang seiring dengan timbulnya pemikiran bahwa pemulihan krisis di Indonesia harus dimulai dengan turunnya Soeharto dari tahta kepresidenan karena ia dianggap sebagai bagian dari krisis. Legitimasi pemerintah yang hancur ini menjadi variabel politik yang memperparah krisis ekonomi di Indonesia. Soeharto pun harus meninggalkan kursi kepresidenan dengan cara yang tidak terhormat (in disgrace), bukannya berhenti secara wajar dengan menyelesaikan masa jabatannya.7 Ironisnya, pihak yang menurunkannya adalah pihak yang dahulu membantunya menjadi presiden, mahasiswa. Tidak adanya tanggapan dari pemerintah mengenai keprihatinan mahasiswa membuat mahasiswa memulai bergerak ke luar kampus di pelbagai kota. Pemerintah dan militer pun melarang langkah mahasiswa dengan alasan dapat menyulut chaos karena rentan disusupi provokator. Padahal, pemerintah sebenarnya khawatir gerakan mahasiswa akan berkembang menjadi people’s power yang dapat mengancam status quo. Mahasiswa menjadi kekuatan terdepan yang mempelopori gerakan deligitimasi Orba secara konfrontatif. Sebagai katalis gerakan sosial, mahasiswa juga membangun jaringan dengan elemen masyarakat yang lain untuk memperluas mobilisasi massa di luar wilayah kampus. Mahasiswa tidak mampu bergerak sendiri karena mereka hanyalah sebagian kecil dari masyarakat. Seiring berjalannya waktu, isu mahasiswa
6
Munafrizal Manan, Op.cit., hal 72. Afan Gaffar. 2005. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan Kelima,hal 306. 7
3
meluas menjadi isu penurunan Soeharo dan reformasi di segala bidang. Gerakan people’s power yang diimpikan mahasiswa-mahasiswa radikal pun terjadi. Aksi-aksi mahasiswa yang disambut luas dan simpatik oleh pers menjadi magnet bangunnya solidaritas mahasiswa secara luas.8 Gelombang aksi mahasiswa mulai melibatkan mahasiswa dalam jumlah besar dan memperoleh dukungan dari civitas akademika dan alumni sejak Januari 1998. Mahasiswa dan alumni ITB dan UI menggelar aksi keprihatinan di kampusnya masing-masing. Soeharto bersama arsitek ekonomi Orde Barunya dinilai tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyat namun hanya membuat ‘bubbling economy’, seakan-akan negara kita kaya dan makmur, padahal kekayaan itu diperoleh dari hutang dan manipulasi di berbagai bidang oleh pemerintah. Sidang MPR 1998 yang memilih Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya membuat aksi mahasiswa semakin keras. Pemilihan Soeharto dianggap melecehkan perjuangan mereka karena sebelum SU MPR dilakukan, sejumlah kampus telah menyuarakan penolakan pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden. Bahkan “penurunan harga” telah diartikan menjadi “turunkan Soeharto dan keluarga”. 9 Terlebih ketika Tutut Soeharto dan Bob Hasan dimasukkan ke dalam kabinet dan membuat mahasiswa merasa pemerintah tidak merespon tuntutan penghapusan KKN di kalangan pemerintah. Ajakan dialog dengan sejumlah menteri yang diusulkan Jenderal Wiranto pun ditolak mahasiswa karena dinilai tidak efektif. Mereka yakin, reformasi total dimulai dari penurunan Soeharto dari tahta kepresidenan, bukan dialog dengan orangorang yang tidak memiliki keberanian untuk mengubah sistem. Di lain pihak, Tragedi Semanggi yang menewaskan mahasiswa Trisakti seusai melakukan aksi keprihatinan secara damai membuat masyarakat luas geram dan marah. Stasiun TV secara jelas menyiarkan rekaman gambar beberapa anggota polisi melepas tembakan dari atas fly-pass Grogol dan kembatan penyeberangan Semanggi ke arah mahasiswa.10 Seruan agar Soeharto turun pun semakin meluas sehingga untuk pertama kalinya dalam sejarah Orba, berbagai elemen politik bersatu secara pragmatis untuk menghadapi common enemy mereka, Soeharto.
8
Munafrizal Manan, Op. cit., hal 77. Munafrizal Manan, Ibid, hal 78. 10 Munafrizal Manan, Ibid, hal 81. 9
4
Soeharto sempat mencoba buying time dengan mengatakan dirinya akan mandeg pandito (mendekatkan diri dengan Tuhan), berjanji akan me-reshuffle Kabinet Pembangunan VII dan melaksanakan reformasi di segala bidang namun langkah ini tidak memperoleh simpati karena rakyat terlanjur tidak percaya. Mahasiswa pun mendatangi Gedung MPR/DPR dan mendudukinya. Tekanan dari mahasiswa membuat Pimpinan DPR yang sangat setia kepada Soeharto, Harmoko, meminta Soeharto mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan. Padahal tiga bulan sebelumnya ia menyatakan bahwa sebagian besar rakyat masih mendukung pencalonan Soeharto sebagai presiden. Akhirnya Soeharto mengundurkan diri setelah 14 menterinya mengundurkan diri terlebih dahulu.
Mengapa Mahasiswa? Mahasiswa merupakan elemen masyarakat yang berperan secara signifikan dalam setiap perubahan politik di Indonesia. Semenjak masa sebelum kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi saat ini, mahasiswa sebagai anggota masyarakat yang mengeyam pendidikan tinggi dituntut untuk mampu tampil sebagai agen perubahan. Meski demikian, mahasiswa bukanlah elemen yang dominan karena dalam hubungan sosial peran mahasiswa selalu terbatas, situasional dan sementara11 karena kenyataannya, perjuangan mahasiswa tidak sendirian namun ada kekuatan lain yang ikut berperan. Mahasiswa hanya berperan sebagai katalisator dalam aksi yang bersifat politis.12 Sebagai ikon perubahan, mahasiswa merupakan elemen masyarakat yang pengaruh dan kekuatannya patut diperhitungkan dalam perpolitikan di tanah air. Hubungan mahasiswa-pemerintah yang buruk terbukti telah memberi dampak besar bagi perpolitikan Indonesia. Mahasiswa, sebagai orang-orang yang terpelajar memiliki habitus berdiskusi secara ilmiah. Diskusi ini membangkitkan daya kritis mereka dalam menghadapi kenyataan. Idealisme mereka pun memungkinkan untuk bangkit berjuang melawan rezim yang menekan. Berbeda dengan elemen rakyat yang lain yang mungkin akan mendapat resiko yang cukup besar jika melakukan perlawanan terhadap 11
Saifullah Yusuf dan Fahruddin Salim. 2000. Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi. Jakarta : Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, hal 155. 12 Saifullah Yusuf, Ibid.
5
pemerintah, mahasiswa tergolong aman karena belum memiliki beban hidup yang berarti seperti pekerjaan atau kelangsungan hidup keluarga. Mahasiswa juga mampu mengembangkan networking dengan elemen masyarakat lain, misalnya alumni, dosen/pejabat kampus, politisi, bahkan masyarakat miskin kota untuk mendukung perjuangan mereka.
Satu Dawasarsa Pasca Reformasi Yang menjadi pertanyaan, setelah Orba tumbang dan dominasi negara terhadap masyarakat sudah jauh berkurang, bagaimana sikap mahasiswa terhadap kekuasaan saat ini? Pemilu 2004 telah membawa SBY-JK ke puncak kekuasaan. Suara mayoritas yang diberikan rakyat kepada mereka diiringi berbagai harapan bahwa SBY-JK mampu membawa perubahan dan menciptakan kesejahteraan rakyat. SBY merupakan sosok militer yang cerdas, sedangkan JK pengusaha sukses yang diharapkan dapat menciptakan perekonomian Indonesia yang lebih kuat. Sayangnya, harapan rakyat tersebut tidak terwujud. Beban hidup rakyat semakin berat akibat beberapa kebijakan yang dinilai kurang populis. pun menilai pemerintahan SBY-JK telah gagal menjalankan amanat rakyat. Bahkan, SBY dan partainya yang memiliki jargon “tidak pada korupsi” dinilai gagal memberantas korupsi.13 Pemerintah juga dinilai gagal dalam melaksanakan fungsi fundamental menyejahterakan rakyat. 14 Memang, pada akhirnya SBY menurunkan harga BBM namun hal ini dianggap sebagian pihak sebagai trik untuk meraih simpati rakyat sebelum Pemilu 2009.15 13
Sesuai hasil polling yang dilakukan Dema Justicia Fakultas Hukum UGM (www.demajusticia.com) tanggal 22-29 Agustus 2007, 49,32% responden menyatakan SBY gagal memberantas korupsi karena diskriminasi yang dikaitkan dengan political corruption. 14 http://harianjoglosemar.com tanggal 23 Januari 2008 memberitakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Himpunan Mahasiswa Muhammadiyah (HMM), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta (ARPY) dan elemen lain bersatu untuk menuntut segera diturunkannya harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi. Selain itu mereka juga mendesak pemerintah mengurangi ketergantungan pangan pada impor. Bahkan BEM SI secara tegas menuntut pencabutan mandat terhadap SBY-JK yang dinilai gagal membawa Indonesia ke kondisi yang lebih baik. SBY menganggap gerakan ini sebagai makar namun mahasiswa menilai ini adalah bagian dari demokrasi yang harus dihargai oleh SBY. 15 Hal ini dibuktikan dengan iklan partai Demokrat yang menyanjung pemerintahan SBY mampu menurunkan harga BBM (sebesar Rp500,00 per liter), padahal sebelumnya ia telah menaikkan harga BBM lebih dari Rp 500,00 per liter. Jadi, ada kesan seakan-akan SBY mempedulikan aspirasi rakyat.
6
Sesuai dengan karakteristiknya, gerakan mahasiswa bersifat oposan dan kerapkali bertindak sebagai gerakan moral yang menyuarakan aspirasi lingkungannya (masyarakat). Mahasiswa menjadi corong masyarakat untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Sebagai salah satu elemen masyarakat, mahasiswa hidup di dalam masyarakat sehingga mengerti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat secara umum. Mahasiswa pun melakukan perlawanan konfrontatif dengan pemerintah. Di Yogyakarta, mahasiswa mendemo SBY yang akan meresmikan Taman Pintar. Penolakan terhadap kedatangan SBY antara lain juga terjadi di Surabaya, Palembang, Makassar dan Gresik. Organisasi mahasiswa GMNI, PMII, KAMMI dan lain-lain tidak mau kalah menyuarakan penurunan SBY-JK dari kursi kepresidenan setelah pemerintah menaikkan harga BBM. Karakteristik menentang status quo menjadi ciri dasar gerakan mahasiswa yang melakukan oposisi dengan pemerintah, sejak dahulu hingga kini. Dalam hal ini, oposisi tidak sekedar menyatakan ketidaksetujuan namun meluruskan kekeliruan dengan tetap menyokong segala sesuatu yang telah benar. Untuk memenuhi hakikat oposisi yang memandang segala sesuatu dengan jernih dan konsisten, terdapat kebutuhan untuk tidak partisan secara politik.16 Pada dasarnya, gerakan mahasiswa berusaha untuk tidak ditunggangi oleh pihak lain yang mungkin dapat mengotori gerakan mereka. Moralitas gerakan mahasiswa direfleksikan didalam kemurnian gerakan mereka.17 Gerakan mahasiswa selama ini masih murni. Kalaupun ada pihak-pihak lain yang menyusup dan menunggangi aksi unjuk rasa mereka, tidaklah bertahan lama. Mantan aktivis yang ‘berkhianat’ dan memasuki inti kekuasaan bukannya tidak ada namun hal itu bersifat individual, bukan kolektif. Menurut Imam Prasodjo gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial tetap merupakan kekuatan moral yang strategis18 yang seharusnya diapresiasi oleh pemerintah. Semestinya pemerintah belajar dari pengalaman dan menghargai aspirasi mahasiswa karena kekuatan mereka dalam mempengaruhi perpolitikan nasional patut diperhitungkan. 16
Fatah, Op. cit., hal xii. Edward Aspinall, Op. cit., hal 223. 18 www.inilah.com tanggal 3 Juli 2008, diakses tanggal 8 Januari 2009. 17
7
Referensi : Aspinall, Edward. “The Indonesian Student Uprising of 1998” dalam Arief Budiman (editor). 1999. Reformasi : Crisis and Change in Indonesia. Clayton : Monash Asia Institute. Fatah, Eep Saefullah. 1999. Membangun Oposisi : Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa Depan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan Kedua. Gaffar, Afan. 2005. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan Kelima. http://harianjoglosemar.com, diakses tanggal 8 Januari 2009. http://www.inilah.com, diakses tanggal 8 Januari 2009. Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite.Yogyakarta : Resist Book Inc. Yusuf, Saifullah dan Fahruddin Salim. 2000. Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi. Jakarta : Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
8