Geng Sebagai 'rumah' Yang Baru

  • Uploaded by: Abu Bakar Fahmi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Geng Sebagai 'rumah' Yang Baru as PDF for free.

More details

  • Words: 1,560
  • Pages: 4
Geng Sebagai 'Rumah' yang Baru oleh: Abu Bakar Fahmi

Seiring dengan makin terbukanya ruang sosial dan berkurangnya porsi interakaksi dalam rumah sebagai ruang sosialisasi pertama, pelajar mulai menemukan interaksi dalam kelompok sebaya sebagai ‘rumah’ mereka yang baru. Sebut saja Tono, seorang siswa SMP di Bengkulu. Saat masih SD ia biasa pulang segera setelah jam pelajaran sekolah usai. Apalagi sekolahnya tidak jauh dari tempat ia tingal. Tapi kini, saat ke sekolah memakai celana biru dan bersepeda di jalan raya yang ramai, Tono tidak segera pulang usai jam pelajaran sekolah. Ia bahkan pulang saat hari menjelang petang, saat seragam tidak lagi layak dipakai. Jika ditanya kenapa ia pulang selarut petang itu, Tono menimpali, “saya main sama teman-teman”. Kata ‘main’ jadi kata mujarab untuk mengaburkan tanda tanya, apa yang ia lakukan sebenarnya bersama teman-temannya. Juga, jadi tanya yang gundah, apakah yang ia lakukan itu baik atau buruk. Dalam kata-kata ‘main’ mungkin terdapat minimal salah satu dari ini: nongkrong di pinggir jalan, jalan-jalan di mall, berlama-lama di warung atau kafe sambil merokok, duduk lama di ruang playstation atau berkunjung ke rumah teman. Sesungguhnya tidak salah bagi pelajar usia remaja menemukan tempat bermain. Adalah wajar jika ruang antar-teman sebaya itu, dengan interaksi yang terjadi di dalamnya, diangap sebagai ‘rumah’ mereka yang baru. Semacam ‘rumah kedua’. Sedang rumah pertama adalah rumah tempat tinggalnya selama ini bersama kedua orang tuanya. Rumah yang ditempati oleh anggota dalam keluarga inti. Dalam rumah yang baru, pelajar berinteraksi dengan anggota-anggota kelompoknya. Sesama mereka merasa sebagai anggota kelompok yang saling menghargai satu sama lain keberadaannya. Dalam derajat tertentu anggota kelompok merasa nyaman berada dalam kerumunan para anggota yang lain. Bahkan, interaksi yang terjalin mewujud laksana interaksi dalam anggota keluarga. Karakteristik Geng Institusi formal mampu memengaruhi institusi informal, begitu juga sebaliknya. Sekolah merupakan institusi formal yang keberadaannya turut memengaruhi adanya pertemanan kelompok sebaya sebagai institusi informal. Pertemanan kelompok sebaya yang biasa disebut geng terbentuk diantaranya oleh pertemaan yang terjalin karena ikatan formal anggota-anggotanya dalam komunitas sekolah tertentu yang sama-sama sebagai murid. Dari sini terbentuk bermacam-macam geng yang muncul atas sedikit kesamaan sebagai sesama warga sekolah. Ada geng yang terbentuk karena anggota-anggotanya gemar bermain playstation. Ada geng yang anggota-anggotanya biasa mangkal di perpustakaan. Ada geng yang terbentuk karena anggota-anggotanya pulang sekolah melewati jalan yang sama. Ada geng yang terbentuk karena anggota-anggotanya lahir pada bulan yang sama. Ada geng yang terbentuk karena anggota-aggotanya biasa belajar bersama di luar jam sekolah. Ada geng yang terbentuk karena anggota-anggotanya merasa lebih superior di banding teman-temannya yang lain. Karena geng merupakan institusi informal, proses pembentukannya pun berjalan secara informal. Geng terbentuk sebagai sebuah konvensi atas beberapa kesamaan di antara anggota-anggotanya. Kesamaan itu mencakup antara lain: minat atau keinginan, kebiasaan, perilaku dan tujuan. Dalam perjalanannya kemudian, anggota-anggotanya menemukan aturan main (rule of the game) dalam geng yang harus disepakati seluruh anggota. Dalam hal ini kekompakan geng diuji: semakin nyata anggota-anggota menunjukkan kesamaan, semakin kuatlah eksistensi geng itu. Semakin kuat geng, akan makin sulit anggota untuk melepaskan keanggotaannya dalam geng. Sebaliknya, makin

longgar geng, akan makin mudah bagi anggota-anggotanya untuk keluar dan masuk sebagai anggota geng. Dalam sebuah geng, akan terbentuk struktur keanggotaan walaupun bukan sebagai struktur formal. Seorang ketua geng biasanya dipilih diantara anggota yang paling menonjol perannya diantara anggota-anggota yang lain. Layaknya sebagai keluarga, ketua geng bisa diangap sebagai kepala dalam rumah mereka yang baru itu. Untuk menguatkan kekhasan eksistensi suatu geng, tidak jarang geng tersebut mengeluarkan identitas tertentu yang menjadi tanda. Nama geng itu jadi identitas utama tentunya. Beberapa identitas yang lain dibuat antara lain kaos, jaket, stiker dan produk barang yang lain yang menandai keberadaan geng tersebut. Geng sebagai Keluarga Solidaritas yang tinggi antar sesama anggota geng tidak mustahil geng diangap seperti layaknya anggota keluarga. Geng yang semacam ini mampu menunjukkan karakteristik kekeluargaan dalam interaksi antar anggotanya. Pada keanggotaan geng tertentu bahkan menunjukkan tingkat kekeluargaan yang lebih tinggi daripada dengan anggota keluarganya yang sesungguhnya. Tidak sulit ditemukan anggota geng tertentu menampilkan sikap dan perilaku yang tidak diinginkan, bahkan tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya. Dalam hal ini orang tua kepayahan dalam mengendalikan perangai anaknya. Ini lebih memungkinkan karena interaksi anaknya dalam waktu-waktu tertentu berada jauh dari jangkauan orang tua. Pada saat jam pelajaran sekolah, orang tua hanya tahu kalau pada saat itu anaknya tentu sedang belajar bersama teman-temannya di sekolah. Apalagi jika kedua orang tuanya sibuk bekerja, maka berkuranglah perhatian orang tua terhadap anaknya, bahkan pada waktu usai jam sekolah. Orang tua yang sibuk bekerja atau memiliki kesibukan lain yang mengurangi porsi orang tua dalam memerhatikan anaknya tentu akan memengaruhi kualitas hubungan dalam keluarga. Bisa jadi anak merasa tidak diperhatikan, tidak dicukupi kebutuhannya. Anak merasa orang tua tidak lagi mengerti dan mau memahami apa yang jadi keinginan anak. Anak merasa miskin pujian. Akan kehilangan kebersamaan dengan orang tua. Pada saat yang bersamaan, saat anak (dalam hal ini pelajar) mulai merasakan keadaan yang kering dari kekeluargaan, mereka menemukan orang-orang lain yang mampu memenuhi kekurangan-kekurangan itu. Ada orang-orang lain yang mampu memenuhi kebutuhanan dengan ngerti dan mau memahami apa yang jadi keinginan anak. anak memerhatikan anaknya u usai jam sekola-kebutuhan yang tidak dipenuhi oleh keluarganya. Secara tidak sadar anak akan memerlakukan orang-orang lain itu seperti layaknya keluarga mereka sendiri. Teman-temannya yang lain itulah teman-teman anggota gengnya. Sifat kekeluargaan dalam gengnya itulah yang akan menguatkan posisi tawar tinggi sebuah geng bagi anggota-anggotanya. Geng akan diposisikan seperti layaknya keluarga. Institusi geng akan ditempatkan seperti institusi keluarga. Geng akan disematkan sebagai sebuah rumah yang baru bagi mereka. Rumah dimana anggota-anggotanya menghargai kebutuhan satu sama lain. Rumah dimana kebutuhan anggota-anggotanya dapat dipenuhi dengan segera. Geng yang Positif Kekuatan geng dapat muncul dalam aksen seperti berikut ini. Anggota geng yang dipukul atau disakiti oleh pelajar lain di luar anggota gengnya akan menyulut kemarahan anggota yang lain. Apalagi jika yang memukul adalah anggota geng lain. Pemukulan salah satu anggota berarti juga pemukulan seluruh anggota geng. Solidaritas ditunjukkan dengan pembalasan. Tidak jarang perkara kecil akan meledakkan perkara yang jauh lebih besar akibatnya: tawuran antar geng, misalnya.

Tuntutan kesamaan dalam geng mengharuskan adanya kesamaan dalam perilaku. Geng memiliki kekhasan dalam perilaku. Mungkin perilaku yang khas itu perilaku yang menonjol, yang aneh dan menimbulkan decak perhatian orag lain. Karena sebagai perilaku standar dalam geng itu, mau tidak mau semua anggota harus menampilkan perilaku itu. Merokok, misalnya. Jika suatu geng menyepakati perilaku yang jadi kekhasan adalah merokok, maka siapapun anggota, tanpa kecuali, harus merokok. Jika ada anggota baru yang tidak pernah merokok, maka ada tuntutan kebersamaan yang sulit terelak: ia harus merokok juga. Jadilah merokok sebagai semacam inisiasi dalam menyambut anggota yang baru. Ada juga geng yang solidaritasnya muncul menjelang ujian. Mungkin mereka akan belajar bersama, di waktu dan tempat yang sama. Tapi, pada saat yang memungkinkan, sesama mereka akan saling membantu dalam mengatasi kesulitan menghadapi ujian. Caranya? Bisa lewat contekan yang beredar, sms yang di-forward, atau bahkan langsung menunjukkan lembar jawaban dari teman lain yang sudah selesai mengerjakan. Pada geng yang terdiri atas kaum adam, fenomenanya lebih komples lagi. Kehadiran geng bukan sekadar untuk berkumpul dengan remaja pria lain, tetapi juga sebagai aktualisasi nilai-nilai kelelakian yang dianggap paling sejati (Lukmantoro, 2007). Ada maskulinitas dalam hubungan antara remaja pria. Siapa yang lebih menunjukkan pribadi yang lebih ‘jantan’, dialah yang akan mendapat tempat dalam pergaulan. Sebagaimana dikemukakan UNESCO—Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (New Delhi, 2006)—dalam risalah panjang berjudul Masculinity for Boys, remaja pria yang tidak mampu mengadopsi maskulinitas berarti: (1) akan ditolak kelompok sebayanya, (2) akan dilecehkan teman sebaya, dan (3) akan dipandang sebagai sosok laki-laki yang lebih lemah (Lukmantoro, 2007). Pada akhirnya geng lebih suka memunculkan perilaku yang maskulin seperti merokok, minum-minuman keras, berkelahi dan membalas dendam. Contoh yang dipaparkan di atas, bukan hendak mencari kesimpulan bahwa geng itu lebih banyak yang bersifat negatif. Ini sebagai gambaran bahwa kekuatan dalam sebuah geng akan berpola dalam wujud yang mana suka (arbitrer). Kekuatan itu bisa mewujud dalam pola yang negatif, tapi sesungguhnya tidak selamanya demikian. Geng yang seperti apakah yang disebut sebagai geng yang positif? Geng seperti apakah yang didalamnya terbangun rumah baru yang diidamkan oleh penghuni dan ornag lain di luar penghuni? Berikut ini bisa jadi catatan dalam identivikasi geng yang positif.Pertama, geng harus bersifat fleksibel. Artinya, tidak terlalu kaku dan fanatik. Bukan seperti gel, tapi liquid (cair). Ini mungkin sesuatu yan sult ditemukan dalam sifat geng. Tapi ini perlu bagi suatu interaksi yan sehat. Interaksi yang sehat masih menghargai independensi individu, bukan mengaburka individualitas. Jangan sampai geng terjebak pada interaksi yan bersifat kerumunan (mob) dimana masing-masing tidak merasa sebagai penanggung jawab atas sikapnya sendiri, tapi merasa ditanggungjawabi oleh kerumunan yang tidak jelas itu. Kedua, geng tidak memaksakan identitas. Identitas tumbuh dari kesadaran anggotaanggotanya. Artinya perilaku yang muncul dalam geng harus sesuai dengan jati diri dan kepribadian anggota-anggotanya. Ketiga, geng mampu memberikan sumbangan positif bagi pertumbuhan kepribadian anggota-anggotanya. Ini penting karena masa remaja adalah masa pertumbuhan kepribadian, dari labil menuju stabil. Geng yan positif mampu memberikan pencerahan bagi anggota dalam menemukan karakter, sikap dan perilaku yang membangun kepribadian matang. Keempat, gang turut memberi manfaat dan kebaikan pada pihak lain di luar anggotanya. Solidaritas dalam kelompok yang terlalu tinggi cenderung menyeret anggota geng berperilaku yang berlebihan bahkan cenderung destruktif bagi lingkungan sekitar. Geng yang yang positif adalah geng yang mampu memberi sumbangan konstruktif bagi masyarakat yang lebih besar, minimal masyarakat dalam segmen usia hidupnya, yakni pelajar. ♣

Penulis adalah Alumni Psikologi UGM. Tulisannya bisa dibaca di http://www.abubakarfahmi.blogspot.com Siapa saja diperkenankan menyalin sebagian atau keseluruhan tulisan yang termuat dalam halaman ini dengan mencantumkan nama penulisnya. Terima kasih atas apresiasi Anda.

Related Documents

Yang Baru
December 2019 29
Sajak Rumah Baru
August 2019 48
Geng Bengong
December 2019 13

More Documents from ""