Garuda Indonesia Ga421.docx

  • Uploaded by: fajarr
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Garuda Indonesia Ga421.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,086
  • Pages: 7
GARUDA INDONESIA GA421

Pada 15 Januari 2002 lalu, seharusnya Pilot Rozaq dijadwalkan untuk terbang ke Kalimantan. Namun, Rozaq datang ke kantor paling awal. Sehingga, Rozaq dipindah untuk terbang ke rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram yang jadwal keberangkatannya lebih awal. Rute itu, seharusnya dikomandani oleh pilot lain, namun pilot yang seharusnya dijadwalkan untuk rute itu terlambat karena terjebak banjir. Saat itu, Indonesia sedang dilanda banjir di mana-mana. "Hari itu, sudah jadwal 3 kali penggantian schedule-nya. Pilot yang pertama telat, kedua telat, ketiga baru saya. Saya waktu itu sebetulnya diplot ke Kalimantan. Saya datang lebih awal, pilot yang kedua agak telat. Karena saya datang lebih awal, saya di-switch ke sana. Jadi jadwalnya tidak seharusnya. Bukan cuma saya, kopilotnya juga," kisah kapten Rozaq saat ditemui detikcom di rumahnya di kawasan Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015), tepat 13 tahun kecelakaan GA 421. Pun dengan pramugari dan pramugaranya. Sedianya, ada 5 pramugari yang ditetapkan untuk terbang di pesawat Boeing 737-300 itu. Namun, seorang pramugari tidak datang karena terjebak banjir. Alhasil, hanya 4 pramugari yang terbang. "Waktu itu berangkat rutenya Jakarta-Yogyakarta, baru kemudian ke Mataram. Tidak sedikitpun ada firasat apa-apa," tutur Rozaq. Setelah sukses menerbangkan pesawat rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram pada 15 Januari 2002 dan bermalam di Mataram, esoknya Rozaq dengan set kru yang sama harus terbang dengan jadwal dari Mataram-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta. Penerbangan dari Mataram-Surabaya normal, namun cuaca sudah hujan sejak pesawatnya terbang di Mataram. Kemudian, saat terbang dari Surabaya ke Yogyakarta, pesawat membawa 54 penumpang, dengan berat total pesawat 56 ton, pesawat yang dipilotinya juga terbang dalam keadaan hujan. Hingga tibalah pesawatnya terbang di ketinggian 31 ribu kaki. "Di ketinggian 31 ribu kaki, di antara Surabaya-Yogyakarta, saya minta road direct ke Blora, memotong ke kiri. Harusnya ke Lasem. Ternyata diberikan (ATC). Jadi rutenya Blora-Purwodadi-SoloYogyakarta. Di ketinggian 31 ribu kaki, itu di depan ada awan CB (Cumulonimbus). Kalau ke kiri, masuk ke area militer di Lanud Iswahyudi, kan tidak boleh terbang di atas area militer. Kalau ke

kanan ada gunung. Jadi rutenya memang harus lurus. Pada ketinggian 31 ribu itu, sudah mulai digoncang-goncang," kisahnya. Weather radar (radar cuaca) di pesawat waktu yang saat itu masih konvensional, hanya menunjukkan 2 warna, hijau dan merah. Hijau berarti area yang aman dilalui, merah itu yang mestinya dihindari. "Kalau weather radar sekarang ada 4 warna, hijau-tidak begitu kencang, kuning-agak kencang, merah-kencang, magenta-lebih kencang lagi. (Mengacu ukuran turbulensi). Nah, di weather radar dulu cuma ada hijau dan merah, saya memilih yang sudah tipis merahnya, ternyata selanjutnya malah merah semua. Pesawat turbulensi di ketinggian 31 ribu kaki. Turbulensinya setingkat severe turbulence," jelas Rozaq. Severe turbulence adalah turbulensi yang sangat hebat sehingga bisa menyebabkan penumpang dan awak kabin cedera. Sebelum masuk turbulensi, kapten Rozaq menyalakan lampu seat belt alias lampu penanda sabuk pengaman harus digunakan da membuat pengumuman pada para penumpang. Rozaq juga menyalakan ignition yang berfungsi seperti busi, untuk menambah pengapian. Plus menyalakan mesin anti-es agar mesin tidak mati. "Karena sudah mulai masuk awan CB besar. Di dalam awan CB itu ada angin, awan, es, campur, jadi supaya aman antinya (anti-ice) sudah ada, supaya mesin tidak mati. Setelah masuk awan CB, tibatiba pesawat turun di ketinggian 23 ribu kaki. Kedua mesinnya mati. Suara CB sangat kencang, pesawat terguncang-guncang hebat, ke kiri-kanan-atas-bawah. Di kaca kokpit itu suaranya kencang terhantam-hantam es, sangat kencang," tutur Rozaq pelan mengingat kejadian itu. Di ketinggian 23 ribu kaki itu mesin pesawat kemudian mati. "Both engine flame out!" teriak kopilot Haryadi Gunawan seperti ditirukan Rozaq, yang berarti kedua mesin mati. Saat mendengar kopilot berteriak seperti itu, Rozaq mengaku masih sangsi, "Saya dengar itu berpikir, apa benar dia ngomongnya?". Kemudian kopilot Haryadi berteriak lagi, "Both engine flame out!". Rozaq kemudian mengecek sendiri, dan mendapati kenyataan bahwa apa yang dikatakan pilotnya benar. Kemudian, langsung saja Rozaq mengambil langkah-langkah sesuai Standard Operation Procedure (SOP) bila kedua mesin mati. "Pertama, engine fuel cut off. Itu kalau mobil harus melihat kecepatannya, hingga di kecepatan tertentu supaya dapat kecepatan, supaya dia (mesin) bisa memutar sesuai dengan kecepatan angin. Kemudian saya nyalain kan, seperti di-starter, di-ON-kan lagi, harusnya mau. Dimatikan, ON lagi, tidak mau menyala. ON-kan lagi, tidak mau menyala," katanya. Di pesawat, ada generator yang standby, bernama Auxiliary Power Unit (APU) yang berada di ujung badan belakang pesawat. Pilot Rozaq dan kopilot Haryadi, mencoba menyalakan standby generator itu.

"Harus dinyalakan standby generator itu, untuk listrik, komunikasi. Karena dapat pressure untuk start mesin, diharapkan dinyalakan. Ternyata, saat dinyalakan, malah baterainya tidak kuat. Baterainya drop. Mati semua. Jadi instrumen, electrical, komunikasi, mati semua," tutur Rozaq. Dalam kondisi mati mesin, mati listrik juga saluran komunikasi yang terputus, dalam keadaan terguncang-guncang dalam awan CB, dirinya dan kopilot membuka buku panduan darurat. Buku panduan itu memeriksa setiap tahapan SOP, apakah ada tindakan yang terlewat atau tidak dilakukan. "Diulangi lagi (tindakan SOP saat mesin pesawat mati) dengan Emergency Check List, itu buku panduan restart engine. Jadi kopilot membuka buku, kemudian mengulangi lagi, mungkin ada yang kelupaan tindakannya. Dan di dalam memory item itu, tidak ada yang kelupaan. Tapi tetap tidak bisa menyala mesinnya," jelas dia. Dalam keadaan demikian, kopilot Haryadi kemudian mengambil mikrofone, untuk mengabarkan kepada Air Traffic Control (ATC). "Mayday! Mayday!" demikian kata kopilot seperti dituturkan Rozaq. Rupanya, kopilot lupa bahwa saluran komunikasi ke ATC sudah terputus saat kedua mesin mati dan standby generator tidak bisa dinyalakan. "Kamu itu komunikasi sama siapa? Komunikasi sudah mati, electrical sudah mati. Sudah, taruh saja," kata Rozaq pada kopilotnya. Kemudian, pramugara senior Tuhu Wasono melihat ada kondisi darurat di kokpit. Dari kabin, pramugara Tuhu langsung berlari ke kokpit. "Kemudian dia ke depan, saya briefing, "Prepare for emergency. Kedua mesin kita mati!". Setelah saya menunggu kok tidak ada respon, saya kemudian teriak 'PREPARE EMERGENCY!'. Pramugaranya menyahut 'PREPARE EMERGENCY!'," kenangnya. Dalam kondisi pesawat mengalami turbulensi hebat, penumpang pun ada yang menangkap briefing pramugara Tuhu, ada yang tidak. Pramugara dan pramugari, juga mengatur untuk memindahkan penumpang dari pintu keluar darurat. "Harusnya penumpang sudah bisa memakai pelampung, kan pada saat take off, sudah diperagakan cara memakai life vest. Sebagian ter-briefing, sebagian tidak. Saat semua sudah siap, kopilot tetap mengatakan 'Mayday Mayday'. Saya bilang, 'Sudah taruh saja. Mari kita berdoa'," kisahnya. Pada 15 Januari 2002, sebelum pesawat berangkat dengan rute Jakarta-Yogyakarta-SurabayaMataram, pilot Abdul Rozaq sempat berbincang-bincang dengan pramugari Santi. "Tidak sedikit pun ada firasat apa-apa. Almarhumah Santi Anggraeni sempat mengatakan, pulang dari Mataram ingin pulang kampung. Kampungnya itu di Yogyakarta kalau tidak salah. Ternyata, benar-benar 'pulang kampung', tidak ada firasat. Ternyata 'pulang kampung' beneran," kenang pilot Rozaq saat ditemui di rumahnya, Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015), tepat 13 tahun pendaratan darurat GA 421 di Sungai Bengawan Solo.

Tak disangka, ucapan Santi bak firasat setelah pendaratan darurat GA 421 terjadi pada keesokan harinya, 16 Januari 2002. Santi yang duduk di bagian belakang pesawat terhisap keluar dan terlempar jauh. "Dia duduk di belakang. Begitu tail atau ekor pesawat menyentuh batu besar, itu ternyata adalah tempat duduk 2 pramugari. Karena ada bagian pesawat yang terbuka karena menyentuh batu besar itu, mereka tersedot keluar. Satu terlempar jauh, satunya terlempar tidak jauh. Yang terlempar jauh, tidak tertolong," kenang Rozaq. Bagian ekor pesawat yang terantuk batu membuat lubang terbuka di bagian bawah pesawat, yang efeknya seperti balon yang pecah. Perbedaan tekanan di dalam kabin bertekanan tinggi dan di luar kabin bisa menimbulkan efek penyedotan seperti alat vaccum yang dahsyat. Tak ayal, seragam Santi saat ditemukan sudah terlucuti semua. "Yang saya tidak habis pikir, 2 pramugari terlempar keluar. Yang selamat itu stocking dan dalamannya terlepas kena pressure itu. Yang terlempar jauh itu uniform-nya (baju seragam) hilang semua. Ternyata setelah terlempar dari luar pesawat yang pecah seperti balon, uniform-nya terlucuti semua. Pada saat malam, ada kabar bahwa ada orang tidak berseragam ditemukan, dipertanyakan, apakah ini pramugari atau penumpang. Karena sama sekali tak ada tanda untuk mengidentifikasi," tuturnya. "Jadi perbedaan pressure itu, di kabin dan di dalam, menyebabkan uniform pramugari terbuka semua.Tapi saya tidak tahu dia terlempar berapa jauh, juga karena sudah kebawa arus," imbuhnya. Pramugari Santi Anggraeni, menjadi satu-satunya korban tewas dalam kecelakaan ini dari 54 penumpang, 4 pramugara-pramugari serta pilot dan kopilot. Saat mangkat dalam tugas, usianya 25 tahun dan hendak berencana melangsungkan pernikahan. "Kapan pun, di mana pun kalau sudah waktunya meninggal sudah tak bisa mengelak lagi. Sedikit pun tidak akan mundur," kata pilot Rozaq mengenang hikmah di balik peristiwa ini. Setelah pendaratan darurat di Sungai Bengawan Solo itu, pilot Rozaq juga harus berjuang melawan diri sendiri untuk menaklukkan trauma menerbangkan pesawat. Rozaq mengenang, sembari berdoa, dirinya tetap mengendalikan pesawat. Rapalan doa tak henti dilafalkan. "Sambil tetap pasrah dan saya berdoa 'Ya Allah, hanya satu permintaan saya. Selamatkan penumpang kami'. Dia (kopilot) juga berdoa. Kemudian terakhir, saya takbir, Allahu akbar, tiga kali"," jelasnya. Usai mengucap takbir 3 kali, Rozaq kembali konsentrasi mengemudikan pesawat. Kopilot memonitor ketinggian yang terus turun, dari awal masuk awan CB, 31 ribu kaki, menjadi 17 ribu kaki. Saat itu, Rozaq mengaku sudah keluar dari awan CB, dan pemandangan di depan kaca kokpit mulai terang dan mulai terlihat daratan, sawah, sungai dan daratan yang digenangi air. Rozaq harus berpikir keras bagaimana mendaratkan pesawat yang sudah tak bertenaga seperti terbang layang ini dengan risiko seminimal mungkin.

Sebelum mengambil keputusan, Rozaq mengajak berdiskusi kopilot Haryadi. Mengobservasi lingkungan sekitar untuk mengumpulkan data. "Kita sebaiknya emergency landing di mana?" tanya Rozaq pada Haryadi. "Bagaimana bila di sawah itu?" demikian respons Haryadi seperti disampaikan Rozaq. "Itu banjir, saya tidak tahu ada apa di sawah itu. Yang jelas, kalau mendarat di situ, semua mati," timpal Rozaq pada Haryadi. "Itu ada sungai, kalau di sungai itu bagaimana? Itu ada sungai, kita tidak tahu kedalamannya berapa, arusnya bagaimana. Pertama, pesawat itu yang jelas impact. Meski tidak tahu kedalamannya, yang jelas impact dengan air, masih ada kemungkinan yang hidup," papar Rozaq mengutarakan argumen pada Haryadi. Akhirnya, mereka berdua setuju melakukan pendaratan darurat di sungai itu. Pesawat lantas dibelokkan ke kiri, tujuannya menyejajarkan posisi pesawat dengan sungai. Namun, ada masalah. Ada 2 jembatan berdiri di tengah sungai itu. Keduanya memiliki tiang pancang yang berdiri di tengah sungai. Gawat, bila pesawat menabrak tiang jembatan, maka pendaratan darurat ini kemungkinan bisa memakan banyak korban fatal. "Saya melihat di depan ada jembatan. Tadinya mau saya arahkan ke bawah jembatan. Ternyata ada tiang-tiangnya. Saya sejajarkan pesawat saya dengan sungai, jadi terbang dari arah utara ke selatan. Saya belok kiri, kemudian saya melihat ada jembatan satu lagi. Jembatan itu harus saya lewati, kemudian ada jembatan satu lagi," jelas Rozaq. Begitu pesawat dibelokkan ke kiri, kopilot terus memantau ketinggian. Pesawat sudah berada di ketinggian 3 ribu kaki dengan kecepatan 180 knot. Begitu pesawat belok tajam, kopilot berteriak "Bank-bank-bank!". Teriakan Haryadi itu mengindikasikan peringatan bahwa pesawat berbelok terlalu tajam. "Kalau tidak tajam, kita tidak bisa mendarat di sungai. Sudah tidak ada instrumen," jelas Rozaq pada Haryadi. Sebelum menyentuh sungai, Rozaq berteriak 'BRACE FOR IMPACT!', perintah yang mengharuskan penumpang pesawat meringkuk, kepala didekatkan ke lutut, untuk meminimalkan efek guncangan. Kemudian saat mendarat, tail atau ekor pesawat itu kena batu besar. Saat dilakukan pengereman maksimal, pesawat tiba-tiba berhenti dengan posisi miring ke kanan. "Pesawat belok ke kanan sendiri. Setir saya dorong ke kanan. Kemudian pesawat berhenti dan berbelok ke kanan sendiri, dan saat berhenti saya menyadari bahwa pesawat berbelok kanan persis menghadap kiblat," kenangnya. Belakangan pilot Rozaq mengetahui bahwa sungai tempat pendaratan itu adalah Sungai Bengawan Solo. Jarak antara dua jembatan yang melintang di tengah sungai itu adalah 1.500 meter atau 1,5 km. Saat mendarat di air, pesawat melewati jembatan pertama dan sempat meluncur sejauh 100 meter. Sedangkan jarak dengan jembatan berikutnya berkisar 300-500 meter dari posisi pesawat berhenti.

NO DIRTY DOZEN 1 Lack of part

2

Distraction

3

Norms

4

Lack of communication

5

Lack of teamwork

6

Complacency

REMARK Keadaan weather radar yang masih konvensional (2 warna) sehingga pilot dan ko-pilot sulit mengetahui seberapa bahaya daerah yang terdeteksi radar. Cuaca pada saat itu sedang hujan, sehingga pesawat masuk kedalam awan CB dan terjadi badai di dalamnya dan terjadi severe turbulence. Ko-pilot lupa menghubungi tower padahal keadaan electrical pesawat sudah mati, sehingga melakukan hal yang sia sia. Ko-pilot tetap mencoba menghubungi tower dan mengucapkan “mayday mayday” padahal sudah tahu kalau listrik pesawat sedang keadaan mati. Sebagian passenger tidak memahami apa yang harus dilakukan ketika pesawat dalam keadaan emergency, sehingga ada yang tidak tahu penggunaan live vest. Pramugara terlambat merespon ucapan pilot didalam flight deck ketika pilot memerintahkan untuk “Prepare for emergency”. Pilot kurang mempercayai ucapan ko-pilot ketika berteriak "Both engine flame out!", sehingga pilot harus melakukan kerja 2 kali untuk memastikan bahwa keadaan memang benar. Battery dalam keadaan drop, padahal battery adalah salah satu auxiliary power source (digunakan ketika darurat), kemungkinan telah terjadi kelalaian pada saat pengecekan pesawat sebelum terbang.

DIRTY DOZEN “GARUDA INDONESIA GA421”

Oleh : ANAS AMILUDIN IHSAN 30417028

POLITEKNIK PENERBANGAN SURABAYA TEKNIK PESAWAT UDARA III B 2018

Related Documents

Garuda Indonesia Ga421.docx
December 2019 12
Garuda Dandakam
August 2019 22
Pramuka Garuda
May 2020 27
Garuda Purana
June 2020 7
Garuda Indo.doc
November 2019 12

More Documents from "Angga ade Syaputra"

Garuda Indonesia Ga421.docx
December 2019 12
Human Factor 2.docx
December 2019 29
Ndt Tost.docx
December 2019 10
G30spki.ppt
December 2019 18