MAKALAH FRAKTUR PELVIS
DISUSUN OLEH: Fitria Elviani
(113063C116011)
Kirana Maria Sella (113063C116020) Meivani Angelia R
(113063C116022)
Warni
(113063C116037)
DOSEN PENGAMPU : Dwi Martha Agustina, S.Kep, Ners. M.kep
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PFOFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN BANJARMASIN 2018/2019
Kata Pengantar Puji syukur kehadiran Allah SWT karena atas berkat dan rahmat Nya penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul FRAKTUR PELVIS ini disusun untuk
memenuhi tugas mahasiswa dari mata kuliah kegawat daruratan
di program
studi ilmu keperawatan. Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan mahasiswa dan masyarakat dan pembaca.
Banjarmasin, 15 Maret 2019
Penyusun
A. DEFINISI Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat berbentuk transversa, oblik, atau spiral. Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85) Fraktur pelvis secara potensial merupakan cidera yang paling berbahaya, karena dapat menimbulkan perdarahan eksanguinasi. Sumber perdarahan biasanya pleksus vascular yang melekat pada dinding pelvis, tetapi dapat juga dari cidera pembuluh darah iliaka, iliolumbal, atau femoral. Bila terdapat tanda – tanda renjatan hipovolemik, maka harus dilakukan transfuse darah dini. Selain itu, pasien dapat juga diberikan aplikasipakaian antirenjatan pneumatik. Reduksi dari fraktur yang tidak stabil juga dapat mengurangi perdarahan. Pada fraktur pelvis, fraktur dimana perdarahan paling sering terjadi adalah sacrum atau ilium, ramus pubis bilateral, separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikulasio sakroiliaka. Michael Eliastam et al. (1998 : 220) B. MANIFESTASI KLINIS 1. Nyeri 2. Kehilangan fungsi 3. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak 4. Perubahan warna dan memar 5. Krepitasi Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85) A. PATHOFISIOLOGI Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi diskontinuitas di tulang tersebut. Pada fraktur tibia dan fibula lebih sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya karena periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan karena berada langsung di bawah kulit maka sering ditemukan adanya fraktur terbuka. B. PENYEBAB
Fraktur tersering disebabkan karena tekanan yang kuat yang diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis. Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85) Menurut Oswari E, (1993) ; Penyebab Fraktur adalah : 1. Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. C. PATHWAY Jatuh, hantaman, kecelakaan, dll
Trauma langsung
Trauma tidak langsung
Osteoporosis, osteomielitis, keganasan, dll
Tekanan pada tulang Kondisi patologis Tidak mampu meredam energy yang terlalu besar Tulang rapuh fraktur Tidak mampu menahan berat badan Pergeseran fragmen tulang
Merusak jaringan sekitar
Prosedur pembedahan
Menembus kulit
Pelepasan mediator inflamasi vasodilatasi
Kerusakan integritas jaringan
Peningkatan aliran darah
Port de entry kuman
Peningkatan permeabilitas kalpiler
Kebocoran cairan ke intersitial
Kurang terpapar informasi mengenai prosedur pembedah an
Gangguan fungsi
luka
Kerusakan pertahanan primer
deformitas
Hambata n mobilitas fisik Trauma arteri/ vena
Ancaman kematian Krisis situasional
perdarahan
ansietas Tindakan infasiv
Tidak terkontrol
Resiko infeksi oedema Resiko syok sepsis Pelepasan mediator nyeri (histamine, prostaglandin, bradikinin, serotonin, dll)
Menekan pembuluh darah perifer
Inefektif perfusi jaringan perifer
Ditangkap reseptor nyeri perifer
Kehilangan volume cairan
perdarahan
Tidak terkontrol Resiko syok hipovolemik
Kehilangan cairan
Resiko syok Prosedur anastesi
Impuls ke otak
Persepsi nyeri
Nyeri akut
SAB (subarachnoid blok)
General anastesi
Deepresed SSP
Penurunan motorik
Kelemahan anggota gerak
Penurunan kesadaran
Prosedur transport apneu Resiko cidera Pemasangan endotrakeal
Ganggua n sensorik persepsi
disorientasi Gangguan ventilasi spontan
Resiko cidera akibat posisi perioperatif
D. KOMPLIKASI Komplikasi cidera traktus urinarius kira – kira 10% pada fraktur pelvis. Biasanya terdapat hematuria. Kemudian, cidera uretra pada laki – laki biasanya terjadi pada tingkat pars prostatika apeks. Darah dapat terlihat pada meatus urethtra. Fraktur pubis dapat teraba pada pemeriksaan rectal dan prostat dapat mengalami disposisi ke superior dan dikelilingi oleh suatu hematoma yang empuk. Insersi dari kateter uretra pada pasien – pasien dengan fraktur pubis ini dengan perdarahan meatus merupakan indikasi kontra. Diagnosis harus ditegakkan dengan uretrografi retrograde dan suatu kateter sistotomi suprapubik dipasang jika perlu drainase kandung kemih. Michael Eliastam et al. (1998 : 220) 1. Dini
a. Kehilangan darah Pada fraktur pelvis, ekstremitas, vertebra, dan femur, dapat terjadi shock hipovolemi yang diawali dengan perdarahan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. Sementara syok hipovolemi itu sendiri merupakan kondisi darurat dimana terjadi perdarahan parah dan hilangnya cairan yang membuat jantung tidak mampu memompa cukup darah ke tubuh. Syok ini, dapat memyebabkan banyak organ berhenti bekerja. b. Infeksi Infeksi yang terjadi pada fraktur terbuka biasanya dapat terjadi kontaminasi infeksi dan terapi antibiotik c. Emboli paru d. DVT dan emboli paru e. Gagal ginjal f. Sindrom kompartemen 2. Lanjut a. Non – union Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis. b. Delayed union Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan yaitu biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi. Diatraksi atau tarikan bagian fragmen tulang. c. Mal union Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk) d. Pertumbuhan terhambat e. Arthritis f. Distrofi simpatik (refleks) pascatrauma Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85) E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada korteks tulang) 2. Tomografi, CT scan, MRI (jarang)
3. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotop. (Scan tulang terutama berguna ketika radiografi/ CT scan memberikan hasil negative pada kecurigaan fraktur secara klinis) Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)
F. PROSES KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Aktivitas/istirahat Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri) b. Sirkulasi Gejala
:
Hipertensi
(kadang-kadang
terlihat
sebagai
respon
terhadap
nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah) c. Neurosensori Gejala : Hilang gerak/sensasi,spasme otot Kebas/kesemutan (parestesis) Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal, pemendakan,ratotasi,krepitasi (bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi). d. Nyeri/kenyamanan Gejala
:
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera ( mungkin terlokalisasi
pada arah jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. e. Penyuluhan/Pembelajaran Gejala
:
Lingkungan cidera
Pertimbangan
:
DRG menunjukkan rerata lama dirawat : femur 7-8 hari,
panggul/pelvis 6-7 hari, lain-lainya 4 hari bila memerlukan perawatan dirumah sakit. Doengoes, ME (2000) dalam Daryadi, Muhammad (2011) 2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut b.d. pergeseran fragmen tulang sekunder fraktur b. Hambatan mobilitas fisik b.d. deformitas sekunder kerusakan rangka tulang c. Resiko syok sepsis b.d. infeksi sekunder pemasangan alat fiksasi invasive d. Ansietas b.d. stress, ancaman kematian e. Defisit perawatan diri b.d. gangguan mobilitas fisik 3. Perencanaan (NCP) a. Nyeri akut b.d. pergeseran fragmen tulang sekunder fraktur Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil : 1) Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dan mencari bantuan) 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan manajemen nyeri 3) Mampu mengenali nyeri (skala intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri) 4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Rencana Tindakan dan Rasional : 1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 5) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan 6) Kurangi faktor presipitasi nyeri 7) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi, dan interpersonal)
8) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 9) Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi 10) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 11) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 12) Tingkatkan istirahat 13) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri b. Hambatan mobilitas fisik b.d. deformitas sekunder kerusakan rangka tulang Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan hambatan mobilitas klien berkurang dengan kriteria hasil : 1) Kemampuan klien meningkat dalam aktivitas fisik 2) Klien mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 3) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah 4) Mempergunakan alat bantu mobilisasi (walker) Rencana Tindakan dan Rasional : 1) Monitor vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan 2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cidera 4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang tekhnik ambulasi 5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi 6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLS secara mandiri sesuai kemampuan 7) Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLS pasien 8) Berikan alat bantu jika klien memerlukan 9) Ajarkan pasien bagaimana cara merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan c. Resiko syok sepsis b.d. infeksi sekunder pemasangan alat fiksasi invasive
Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan syok sepsis tidak terjadi dengan kriteria hasil : 1) Nadi dalam batas normal (80 – 100x/menit) 2) Irama jantung dalam batas yang diharapkan yaitu teratur 3) Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan ( 18 – 20x/menit) 4) Irama pernafasan teratur 5) Natrium serum, Kalium serum, Klorida serum, kalsium serum, magnesium serum, dan pH darah serum dalam batas normal 6) Hidrasi baik dengan indikator : a. Mata cekung tidak ditemukan b. Demam tidak ditemukan suhu tubuh dalam rentang normal (36,5 – 37,5oC) c. Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg – 140/85 mmHg) d. Hematokrit dalam batas normal (36 – 44%) Rencana Tindakan dan Rasional : Syok prevention : 1) Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR, dan ritme, nadi perifer, dan kapiler refill 2) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan 3) Monitor suhu dan pernafasan 4) Monitor input dan output 5) Pantau nilai laborat :HB, HT, AGD, dan elektrolit 6) Monitor hemodinamik invasi yang sesuai 7) Monitor tanda dan gejala asites 8) Monitor tanda awal syok 9) Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan preload (tenaga yang menyebabkan otot ventrikel meregang sebelum mengalami eksitasi dan kontriksi) dengan tepat d. Ansietas b.d. stress, ancaman kematian Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan kecemasan pasien berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas 2) Mengidentifikasi,
mengungkapkan,
dan
menunjukkan
tekhnik
untuk
mengontrol cemas 3) Vital sign dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg – 140/85 mmHg, RR : 18 – 20 x/menit, HR : 80 – 100 x/menit, suhu : 36,5 – 37,5oC) 4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan) Rencana Tindakan dan Rasional : 1) Gunakan pendekatan yang menenangkan 2) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dilakukan selama prosedur 3) Pahami perspekstif pasien terhadap situasi stress 4) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut 5) Dengarkan dengan penuh perhatian 6) Identifikasi tingkat kecemasan 7) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 8) Dorong pasien mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi 9) Instruksikan pasien menggunakan tekhnik relaksasi 10) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan e. Defisit perawatan diri berpakaian, eliminasi, makan , mandi b.d. gangguan mobilitas fisik Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kemampuan perawatan diri pasien mengalami peningkatan dengan kriteria hasil : 1) Mampu melakukan tugas fisik yang paling mendasar dan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu 2) Mampu mengenakan pakaian dengan mampu merisleting, mengancingkan pakaian, menggunakan pakaian secara rapi dan bersih, serta mampu melepas pakaia, dan kaos kaki 3) Mampu berhias sendiri secara mandiri atau tanpa alat bantu dan menunjukkan rambut yang rapi dan bersih
4) Mampu mempertahankan kebersihan pribadi dan penampilan yang rapi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu 5) Dapat memilih pakaian dan mengambilnya dari lemari atau laci bajuRencana Tindakan dan Rasional 6) Perawatan diri eliminasi : mampu melakukan aktivitas eliminasi secara mandiri atau tanpa alat bantu 7) Mampu duduk dan turun dari kloset dan membersihkan diri setelah eliminasi 8) Mengenali dan mengetahui kebutuhan bantuan untuk eliminasi 9) Perawatan diri mandi : mampu menbersihkan tubuh sendiri secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu 10) Perawatan diri higiene oral : mampu untuk merawat mulut dan gigi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu 11) Mampu mempertahankan mobilitas yang diperlukan untuk ke kamar mandi dan menyediakan perlengkapan mandi serta membersihkan dan mengeringkan tubuh Rencana Tindakan dan Rasional : 1) Pantau tingkat kekuatan dan toleransi aktivitas 2) Pantau peningkatan dan penurunan kemampuan untuk berpakaian dan melakukan perawatan rambut 3) Pertimbangkan budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri 4) Pertimbangkan usia dan budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri 5) Bantu pasien memilih pakaian yang mudah dipakai dan dilepas dan sediakan pakaian pasien pada tempat yang mudah dijangkau (disamping tempat tidur) 6) Dukung kemandirian pasien dalam berpakaian , berhias, bantu pasien jika diperlukan, fasilitasi pasien untuk menyisir rambut bila memungkinkan, dan pertahankan privasi saat pasien berpakaian 7) Beri pujian atas usaha untuk berpakaian sendiri 8) bantu pasien ke toilet atau membantu pasien dengan alat bantu eliminasi seperti pispot, memfasilitasi kebersihan toilet setelah selesai eliminasi, dan menyiramkan toilet atau pispot
9) monitor kemampuan pasien untuk menelan 10) Identifikasi diet yang diresepkan 11) Ciptakan lingkungan yang nyaman selama makan seperti memindahkan pispot, urinal, dsb keluar ruangan 12) Sediakan penghilang rasa sakit dan sediakan kesehatan mulut yang memadai sebelum makan 13) Menyediakan sedotan untuk membantu pasien minum dan menyediakan makanan pada kondisi hangat 4. Evaluasi Keperawatan Evaluasi pasien disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma (2015 : 239 – 346) G. LAMPIRAN 1. Gambar
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA Michael Eliastam, George L. Sternbach, Michael Jay Bresler.1998.Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis.Jakarta:EGC. Pierce
A.
Grace
and
Neil
R.Borley.2007.At
a
Glance
Ilmu
Bedah.Jakarta:Erlangga. Oswari, E (1993) Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daryadi,Muhammad.
“Askep
Fraktur
Pelvis”.
1
Agustus
2015.
http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/askep-fraktur-pelvis.html. Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda (Nort American Nursing Diagnosis Assosiation)NIC - NOC.Jogjakarta:Mediaction.