Tantangan Etika dan Hukum dalam Implementasi Telemedicine di Indonesia Rani Tiyas Budiyanti*) *)
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
ABSTRAK Telemedicine merupakan penyampaian informasi dan layanan kesehatan jarak jauh yang mulai dikembangkan di Indonesia. Teknologi tersebut bersifat feasibel, efisien, dan dapat menjangkau area yang luas sehingga
dapat meningkatkan kualitas
layanan kesehatan. Meskipun demikian, dalam implementasi telemedicine di Indonesia terdapat tantangan dalam aspek etika dan hukum. Permasalahan yang dapat terjadi diantaranya adalah kesalahan diagnosis, adanya fenomena dokteroid, penyalahgunaan online prescribing, kebocoran data pasien, dan permasalahan tanggung jawab (liability). Regulasi mengenai telemedicine perlu dibentuk dan dikembangkan sehingga implementasi telemedicine tidak bertentangan dengan etika dan hukum yang berlaku di Indonesia. Kata kunci : etika, hukum, telemedicine
ABSTRACT Telemedicine is the delivery of information and remote health services that began to be developed in Indonesia. This technology is feasible, efficient, and can reach a large area so that it can improve the quality of health services. However, in implementing telemedicine in Indonesia there are challenges in ethical and legal aspects. Problems that can occur include misdiagnosis, doctoroid phenomena, misuse of online prescribing, patient data leakage, and liability problems. Regulations concerning telemedicine need to be established and developed so that the implementation of telemedicine does not conflict with the ethics and laws in Indonesia. Keywords: ethics, law, telemedicine
1
A. Pendahuluan Telemedicine merupakan salah satu teknologi kesehatan yang mulai dikembangkan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO), definisi telemedicine adalah “ The delivery of health care services, where distance is a critical factor, by all health care professional using information and communication technologies for the exchange of valid information for diagnosis, treatment, and prevention of diseases and injuries, research, and evaluation, and for countinuing education of health care providers, all in interests of advancing the health of individuals and their comments”. 1 Penggunaan telemedicine dalam layanan kesehatan memiliki berbagai keuntungan diantaranya adalah feasibel, efisien, serta menjangkau area yang lebih luas sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.2 Teknologi ini sesuai jika diterapkan di Indonesia yang memiliki kondisi geografis berupa negara kepulauan, terlebih penyebaran tenaga kesehatan di Indonesia kurang merata. Telemedicine dapat dilakukan secara realtime (synchronous), seperti melalui videoconfrence dan audioconference, serta layanan yang bersifat store and forward (asynchronous) seperti chat, blog, atau menggunakan media sosial.3 Bentuk telemedicine menurut Bilo et al terbagi menjadi 5 macam yaitu telekonsultasi, teleexpertise, tele-monitoring, tele-assistance, dan emergecy apps medical call center. 3 Telekonsultasi merupakan layanan konsultasi yang dilakukan melalui jarak jauh. Pihak yang terlibat dalam konsultasi ini adalah pasien dan tenaga kesehatan. Dengan telekonsultasi, pasien dapat melakukan konsultasi tanpa terbatas ruang dan waktu.4
Di Indonesia, telekonsultasi telah banyak
berkembang baik melalui, media sosial, instant messaging, maupun aplikasi khusus. Berbeda dengan telekonsultasi, tele-expertise juga merupakan bentuk konsultasi yang dilakukan melalui jarak jauh tetapi dilakukan antara tenaga kesehatan yang satu dengan tenaga kesehatan yang lain.
5
Salah satu bentuk tele-
expertise yang menjadi fokus perhatian di Indonesia adalah teleradiologi dan telekardiologi yang dikembangkan antara rumah sakit pengampu dan rumah sakit jejaring. 6 Telemonitoring merupakan bentuk monitoring jarak jauh. Dalam telemonitoring, diperlukan alat untuk memonitor keadaan pasien atau kesehatan seseorang jarak jauh.
7
Sedangkan tele-assistance banyak digunakan dalam
layanan tele-surgery yang merupakan bentuk intervensi / proses pembedahan jarak jauh. Dalam pelaksanaannya, dokter akan dibantu oleh asisten yang berupa
2
robotic assistance surgery. Di Indonesia, telah terdapat rumah sakit yang telah menggunakan telesugery sejak tahun 2010. 8 B. Tantangan Etika dan Hukum Penggunaan teknologi dalam layanan kesehatan seperti menggunakan pisau bermata dua. Meskipun memberikan berbagai manfaat, tetapi juga dapat memberikan kerugian jika tidak disikapi dengan bijaksana. Tantangan dalam segi etika
dan hukum yang dapat terjadi dalam implementasi telemedicine
diantaranya adalah terjadinya kesalahan diagnosis, adanya fenomena dokteroid, penyalahgunaan obat online, kebocoran data pasien, dan permasalahan tanggung jawab (liability). Pemerintah telah menyusun Peraturan Kementrian Kesehatan Nomor 46 tahun 2017 tentang Strategi e-Kesehatan Nasional. Meskipun demikian, belum ada petunjuk teknis dalam pelaksanaannya dan peraturan tersebut masih bersifat umum.9 Regulasi mengenai telemedicine yang sedang dikembangkan pemerintah dan ditargetkan akan di-publish pada tahun 2018, hingga kini pun belum terwujudkan. Padahal, di era disrupsi dan abundance teknologi kesehatan akan berkembang cukup pesat. Kesalahan Diagnosis Kesalahan diagnosis merupakan salah satu permasalahan yang dapat terjadi dalam implementasi telemedicine. Dalam mini survei yang dilakukan oleh penulis pada 30 responden yang tersebar di Pulau Jawa pada bulan Desember 2018 disebutkan bahwa kekhawatiran utama pasien dalam penggunaan telemedicine adalah terjadinya kesalahan diagnosis (miss diagnosis ). Padahal dalam prinsip pelayanan kesehatan yang pertama dan utama adalah “ primum non nocere” yaitu layanan yang dilakukan tidak merugikan pasien. Prinsip yang dikenal dengan non maleficience atau “ first, do no harm” merupakan turunan dari Sumpah Hipokrates yang merupakan komitmen untuk tidak membuat kerugian kepada pasien.10 Penggunaan
telemedicine
untuk
konsultasi
kasus
dematologi
(teledermatologi) sering dilakukan di Indonesia. Berbagai layanan kesehatan atau apps menawarkan layanan konsultasi kecantikan jarak jauh hanya melalui foto yang dikirimkan oleh pasien dan keluhan yang diungkapkan oleh pasien. Dalam teledermatologi, kompresi foto, teknik pengambilan foto, pencahayaan sangat berpengaruh
dalam
menimbulkan
kesalahan
diagnosis.11
Gambar
yang
dikirimkan dapat saja berbeda dengan yang diterima sehingga berpotensi 3
menimbulkan kesalahan diagnosis dan kesalahan terapi. Pada tahun 2016, peneliti di Amerika Serikat melakukan penelitian kepada pasien yang menggunakan 16 aplikasi telemedicine di bidang dermatologi. Hasilnya terjadi kesalahan diagnosis terutama pada penyakit seperti sifilis. Selain itu banyak dokter yang meresepkan obat tidak perlu dan tidak seuai dengan kondisi nyata pasien. 12 Fenomena dokteroid Izin mengenai praktik telemedicine sangat diperlukan terlebih dengan adanya fenomena dokteroid atau dokter palsu. Dokteroid merupakan seseorang yang bukan dokter tetapi melakukan praktik kedokteran
seperti melakukan
diagnosis, memberi obat kepada pasien, serta membuka praktik. Hal tersebut tentu saja beresiko karena dapat merugikan pasien. Terlebih jika konsultasi tidak dilakukan secara face to face dan pasien belum mengenal dokter yang membuka layanan. Legalitas izin dan tempat praktik dalam layanan telemedicine diperlukan termasuk perlindungan hukum terhadap pasien. Selain itu, legalitas tenaga kesehatan juga diperlukan. Penyalahgunaan online prescribing Online
prescribing
sering
dilakukan dalam telekonsultasi.
Meskipun
demikian, dalam pelaksanaan pelaksanaan online prescribing terutama untuk obatobatan yang termasuk golongan narkotika harus diawasi dengan ketat dan terdapat regulasi khusus yang mengaturnya. Terlebih jika dokter dan pasien belum pernah bertemu secara langsung sebelumnya. Di Finlandia, apoteker juga melakukan pengecekan terhadap resep. Menurut The Association of Finnish Pharmacies, apoteker harus memiliki salinan terhadap resep yang diberikan, termasuk resep yang tidak jelas maupun tidak akurat. Terutama jika resep merupakan golongan narkotik, diperlukan pengecekan dan prosedur khusus.13 Kebocoran Data Pasien Dalam layanan telemedicine, rekam medis yang digunakan tidak lagi berbentuk kertas (konvensional) tetapi lebih berupa rekam medis elektronik (RME). RME merupakan catatan ataupun rekaman elektronik mengenai informasi kesehatan seseorang. Informasi tersebut dibuat, disimpan, dan dikelola oleh dokter 4
maupun tenaga kesehatan yang berhak dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan dalam bentuk data elektronik.14 Padahal
dalam
implementasi
telemedicine,
rekam
medis
elektronik
merupakan hal yang sangat krusial. Data hasil layanan kesehatan jarak jauh yang berupa teks, gambar, video, ataupun suara merupakan bentuk rekam medis elektronik yang harus dijaga privasi dan kerahasiaannya. Kejadian serangan siber (cyber attack) terhadap data pasien sebaiknya dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu penguatan keamanan jaringan (cybersecurity) sangat diperlukan Tanggung Jawab Hukum (Liability) Beberapa waktu yang lalu, muncul pemberitaan mengenai seorang pasien yang mengeluhkan alergi obat yang diresepkan setelah melakukan konsultasi online dengan dokter di salah satu aplikasi telekonsultasi. Penggunaan telemedicine yang tidak didukung oleh teknologi yang baik tentu saja dapat merugikan pasien. Dalam telekonsultasi misalnya, meskipun anamnesis dapat dilakukan face to face melalui videoconference tetapi pemeriksaan fisik tidak dapat dilakukan secara langsung. Selain itu, melalui konsultasi online belum terdapat kejelasan hubungan dokter-pasien dan transaksi terapeutik yang terjadi. Transaksi atau kontrak terapeutik dapat terjadi jika terdapat pihak yang bersepakat, kecakapan pihak yang bersepakat, ada objek tertentu, dan halal (tidak bertentangan dengan undang-undang).15 Regulasi lebih rinci mengenai suatu syarat terjadinya kontrak tercantum dalam pasal 1320, 1332, dan 1333 KUHPer. Tanpa adanya kejelasan kontrak atau transaksi terapeutik, maka hubungan hukum antara pasien dan dokter serta hak dan kewajiban pada masing-masing pihak menjadi kabur. Hal tersebut tentu saja menimbulkan permasalahan jika ada sengketa dalam layanan kesehatan, siapakah yang bertanggung jawab dan sejauh mana pertanggung jawaban yang diberikan. Tanggung jawab hukum juga perlu disepakati jika dalam layanan telemedicine menggunakan jasa pihak ketiga. Seperti misalnya jika menggunakan layanan yang berbasis komputasi awan (cloud). Perlu disepakati jika terjadai kebocoran data dan kerusakan data, apakah pihak ketiga tersebut ikut bertanggung jawab ataukah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang terkait yang perlu bertanggung jawab.
5
C. Kesimpulan Telemedicine merupakan penyampaian informasi dan layanan kesehatan jarak jauh yang sedang dikembangkan di Indonesia. Terlepas dari manfaatnya dalam peningkatan kualitas layanan kesehatan, implementasi telemedicine juga memiliki tantangan etika dan hukum. Regulasi khusus mengenai impelemtasi telemedicine di Indonesia diperlukan agar tidak menimbulkan permasalahan seperti kesalahan
diagnosis,
kebocoran
data
pasien,
fenomena
dokteroid,
penyalahgunaan online prescribing, dan kejelasan tanggung jawab hukum. D. Referensi 1. World Health Organization. Telemedicine : Opportunities and Developments in Member States. Global Observatory for e-Health Series-Volume 2. Available from: https://www.who.int/goe/publications/goe_telemedicine_2010.pdf 2. World Health Organization. Telemedicine In Indonesia : Country Experience. Pyongyang, 30 July 2013. Available from : http://www.searo.who.int/entity/health_situation_trends/events/12_Indonesia _Telemedicine.pdf?ua=1 3. Bilo M, Kamsu-foguem B, Kenfack H, Foguem C. 2014. Telematics and Informatics Telemedicine using mobile telecommunication : Towards syntactic interoperability in tele-expertise. Telemat Informatics [Internet]. Elsevier Ltd; ;31(4):648–59. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.tele.2014.01.003 4. Gersak B, Gorjup V, Jazbec A. The telemedicine and second opinion. Stud Health Technol Inform. 1999;68;245-6 5. Doumbouya MB. A framework for Decision Making on Tele-expertise with Tracebility of the Reasoning. IRBM. Volume 36 Issue 1, February 2015; 40-51 6. Ikatan Dokter Indonesia. Telemedisin: Rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia untuk masa depan digitalisasi kesehatan di Indonesia. 2018. 7. Salmah F. A. Alsgaer. Xiaohui Tao. Ji Zhang.Hua Wang. Zhi Guo. Telemedicine and Telemonitoring in Healthcare. BHI 2013: Brain and Health Informatics pp 201-209 8. Muralindran Mariappan, Thayabaren Ganesan, Vigneswaran Ramu, Muhammad Iftikhar. Safety System and Navigation for Orthopaedic Robot (OTOROB). ICIRA 2011: Intelligent Robotics and Applications pp 358-367 9. Peraturan Kementrian Kesehatan Nomor 46 tahun 2017 tentang Strategi eKesehatan Nasional 10. K. Bertens. Etika Biomedis. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 2011 11. Penggalih M Herlambang, Izzati Muhimmah. Survei Model Sistem TeleExpertise untuk Kasus Dermatologi. Cermin Dunia Kedokteran-273/ Volume.46 Nomor.2 tahun 2019
6
12. Christina Farr. Why Telemedicine has been Such a Bust So Far. 30 Juni 2018. Available from : https://www.cnbc.com/2018/06/29/why-telemedicine-is-abust.html 13. Khatri, V., Peterson, C. B., Kyriazakos, S., & Prasad, N. R. (2011). A Review of Telemedicine Services in Finland. International Federation for Medical and Biological Engineering Proceedings, 34, 1-8. 14. Badeia Jawhari et al. Benefits and challenges of EMR implementations in low resource settings: a state-of-the-art review. BMC Medical Informatics and Decision Making (2016) 16:116 15. Desriza Ratman. Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik.2014. Keni Media
7