Fister Pembahasan + Hasil Pengamatan.docx

  • Uploaded by: Adhi Mahardika
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fister Pembahasan + Hasil Pengamatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,571
  • Pages: 21
3.1. Pembahasan 3.1.1. Rupa Darah Makroskopik dan Mikroskopik Sebelum dan Sesudah Hemolisis a. Pengamatan Makroskopik darah Darah merupakan suatu cairan di dalam tubuh yang berfungsi mengalirkan oksigen ke seluruh jaringan tubuh, mengirimkan nutrisi yang dibutuhkan selsel, dan menjadi benteng pertahanan terhadap virus dan infeksi. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan dan bahkan dapatmengakibatkan kematian (Christine, S, dkk.2016). Sel darah merah harus berada dalam keadaan yang isotonik, jika tidak akan terjadi pengkerutan yang disebut krenasi, sedangkan bila berada di dalam larutan yang hipertonik akan mengalami pembengkakan.Kemudian pecah dan mengakibatkan keluarnya hemoglobin yang berwarna merah, peristiwa ini disebut hemolisis (Wilkins, 1992). Sifat darah secara makroskopis adalah tidak tembus cahaya, hal ini dikarenakan sifat dari eritrosit yang membawa sifat seperti cat penutup atau sifar carlak (pernis). Percobaan menggunakan tiga tabung darah yang diamati, yaitu tabung 1 degan sampel yang dicampur aquades 2 cc hasil pengamatannya adalah tembus cahaya, tabung 2 dengan sampel darah dicampur NaCl pekat 3% 2 cc hasil pengamatannya adalah tidak tembus cahaya, dan tabung C dengan sampel darah tanpa perlakuan apapun, hasilnya adalah tembus cahaya. Hal ini tidak sesuai dengan sifat darah yang tidak tembus cahaya. Ketidaksesuaian ini terjadi akibat kelalaian dari praktikan yang kemungkinan masih adanya larutan NaCl pekat 3% pada gelas objek.

Darah yang ditambahkan air mengalami hemolisis, karena aquades merupakan cairan hipotonis yang menyebabkan perbedaan konsentrasi dimana konsentrasi darah lebih tinggi daripada konsentrasi aquades, sehingga beberapa cairan dari aquades masuk kedalam sel-sel darah merah tersebut sampai konsentrasinya seimbang akan tetapi membran atau lapisan yang dimiliki darah tidak kuat untuk menampung semua itu sehingga terjadilah hemolisis (pecahnya sel darah merah). Seperti yang dikatakan Deluise, et al (1982) hal ini seperti yang dijelaskan pada teori dasar bahwa pada pelarut aquades atau pelarut murni H2O sel darah merah akan berada pada kondisi larutan hipotonis. Pada larutan ini kandungan ion garam Na+, Mg2+, dan K+ lebih rendah dari pada yang ada pada membran sel. Keberadaan ion garam yang tipis di luar membran menyebabkan ion ion garam yang ada pada membran seperti K + ion menarik molekul air ke dalam sel darah merah maka awal hemolisis. Transportasi K diaktifkan oleh pembengkakan sel. Hal ini cukup jelas dari pengamatan bahwa sel menjadi bengkak. Pada sebagian sel lain yang menyerupai amuba terjadi kerusakan yang lebih parah dimana membran tidak dapat lagi menampung air yang masuk ke dalam sitosol dan menyebebkan sel menjadi pecah. Pecahnya sel ini menciptakan morfologi sel yang demikian tersebut. Darah yang ditambahkan NaCl 3% (tabung 2) akan mengalami krenasi, karena NaCl 3% merupakan cairan hipertonis. Jika darah dicampurkan dengan cairan tersebut maka akan terjadi proses pengerutan (krenasi) yaitu proses dimana cairan dari sel darah merah akan keluar dari membran plasma yang selalu menyelimutinya karena pelarut di dalam sel darah merah akan keluar

dari sel tersebut. Karena darah tidak pecah, hanya mengkerut sehingga darah tersebut masih mengandung Hb yang menghalangi cahaya yang tembus. Seperti yang dikatakan Deluise (1982), Sel darah merah dalam hipotonik NaCl 3 % mengalami hemolisis. Sebagai kation melisiskan sel darah merah memberi kesan bahwa klorida anion bahkan mungkin bertanggung jawab untuk masuknya kation seperti Ca+, Mg+, dan Ni+ ke dalam sel darah merah. Dalam percobaan ini ion Na+ memegang peranan lebih dominan. Terlihat bahwa bentuk sel darah merah menjadi bulan sabit atau vibrio. Hal ini dikarenakan air yang ada di dalam sitoplasma sel keluar menuju larutan garam disekitarnya. Keluarnya air didorong oleh ion Na+ yang lebih banyak di luar sel sehingga air keluar dari sitoplasma untuk menyelubungi ion Na+ tersebut.

b. Pengamatan Mikroskopik darah Pengamatan mikroskop pembesaran 10x40 pada langkah pertama dari tabung A yang tidak tembus cahaya dan warna merah tidak pekat dengan perlakuan dengan ditambahkan aquades 1 mL, didapat bentuk sel yang tidak beraturan

seperti

pecahan-pecahan

kecil

serta

membesar

setelah

ditambahkannya aquades. Hal ini dikarenakan lisisnya sel eritrosit akibat masuknya sejumlah aquades ke dalam sel. Pengamatan selanjutnya pada tabung B dengan pembesaran 10x40, ditambahkan NaCl pekat 3% pada larutan berisi 5 tetes darah yang sedikit tembus cahaya dan warna yang agak pekat terlihat bentuk sel darah yang mengkerut sehingga ukurannya mengecil. Hal ini disebabkan karena

keluarnya cairan intrasel pada eritrosit serta hipertonik yang menyebabkan darah krenasi. 3.1.2. Menentukan tahanan Osmotik Sel-sel Darah Merah Hemolisis adalah pemecahan sel-sel darah sedemikian rupa sehingga terlepas dalam plasma. Hal ini disebabkan oleh toksis bakteri, bisa ular, dan parasit darah serta zat-zat lainnya. Hemoglobin yang berada didalam plasma memberikan warna merah dan keadaan tersebut dinamakan hemoglobinemia. Apabila hemoglobin dieksresikan di dalam urine, keadaan ini disebut hemoglobinuria (Frandson, 1999). Bila sel-sel darah dimasukkan kedalam suatu cairan yang hipertonis atau hipotonis terhadap cairan interaseluler, maka terjadi proses osmasa dan difusi. Bila tekanan osmosa cairan diluar sel sama dengan didalam sel, maka sel darahtidak mengalami perubahan. Jika cairan didalam sel hypertonis terhadap cairandidalam selmaka sel-sel akan kehilangan cairan sehingga mengakibatkan sel mengalami pengkerutan (Windarti, dkk, 2012). Pada

pengamatan

1,

perlakuan

dengan

penambahan

NaCl

0%

menunjukan larutan tidak terdapat lapisan bening dipermukaan pada pengamatan makroskopis. Dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopis dengan pemberasan 10x40 didapatkan sel eritrosit yang membulat dan tidak lisis. Hal ini karena sel darah merah masih dalam kondisinya yang masih menampung banyaknya aquades yang masuk ke dalam sel sehingga sel tidak lisis. Dikarenakan tidak lisisnya sel maka terdapat lapisan bening di permukaannya. Seperti yang dikatakan Damanik, dkk (2014) pengamatan hemolisis dilakukan pada lapis bagian atas (cincin plasma), bila bagian plasma berwarna merah berarti eritrosit telah mengalami hemolisis.

Perlakuan pada tabung selanjutnya yaitu dengan penambahan NaCl 0.5% (hipotonis), NaCL 0,9% (isotonis) dan NaCl 3% (hipertonis) yang telah diisi dara sebanyak 5 tetes. Didapat pada NaCl 0,5% yaitu tidak terdapat lapisan bening diatas larutan, pada NaCl 0,9% terdapat lapisan bening diatasnya, pada NaCl 1% terdapat lapisan bening diatasnya dan NaCl 3% terdapat lapisan bening diatasnya. Teorinya bahwa sel darah merah akan lisis pada larutan hipotonis dan krenasi pada larutan hipertonis, sehingga pada pengamatan kali ini terdapat kesalahan dan hanya perlakuan dengan 0,9% yang menunjukkan kebenarannya. Matsuzawa dan Ikarashi (1979) mengatakan bahwa hemolisis awal terjadi pada konsentrasi 0,6%-0,70% NaCl dan hemolisis total terjadi pada 0,2%-0,1% NaCl.Sedangakan Siswanto et al (2014) menunjukkan pada sapi fragilitas (initialhemolysis) eritrosit sapi Bali terjadi antara 0,45-0,55% NaCl, dan terjadi hemolisis total (totalhemolysis) antara 0,30-0,35% NaCl.

3.1.4. Penentuan Kadar Hemoglobin (Hb) Hemoglobin merupakan protein yang mengandung zat besi dan memiliki afinitas terhadap oksigen untuk mmebentuk oksihemaglobin didalam eritrosit. Dari mekanisme tersebut dapat berlangsung proses distribusi oksigen dari pulma menuju jaringan (Pearce, 1991).Apabila jumlah Hb atau sel darah merah yang fungsional berkurang jauh di bawah normal maka akan terjadi anemia. Penyebab anemia antara lain defisiensi zat besi, Ca, vitamin dan asam amino dalam makanan, dan gizi makanan kurang (Dukes, 1993). Kelebihan hemoglobin disebut policitaemia, penyebabnya karena kelebihan olahraga orang yang tinggal di daerah tinggi. Policitaemia

mengakibatkan naiknya viskositas darah, terkadang sampai lima kali lipat dan memberatkan kerja jantung. Di dalam darah mamalia, hemoglobin bertanggung jawab terhadap semua proses pengangkutan oksigen dalam darah dengan presentasi sel darah merah meningkatsekitar 20ml oksigen per 100ml darah (Poedjiadi, 1994). Terdapat dua metode yang digunakan yantiiu metode hematin dan tallquist: a. Metode Sahli/ Hematin Asam Keuntungan

metode

Sahli

jika

dibandingakan

dengan

metode

cyanomethemoglobin adalah metode Sahli lebih mudah dan murah, alat yang digunakan sederhana, dan masih dapat digunakan disarana kesehatan yang belum terdapat fotokalorimeter. Namun, hasil yang diperoleh jika menggunakan metode cyanomethemoglobin akan lebih teliti daripada menggunakan metode Sahli. Pada praktikum didapat hasil perhitungan 5 g% dengan sampel darah dari laki-laki berusia 19 tahun yang tidak mengalami anemia. Hal ini tidak sesuai seperti yang diutarakan Koasih (1990), kadar hemoglobin normal pada pria sebesar 14-18% sedangkan pada wanita 1215%. Hal ini terjadi karena beberapa faktor kesalahan pada penetapan kadar Hb metode Sahli antara lain: 1. Human Erorr 2. Tidak tepat mengambil sampel darah sebanyak 20 mikron 3. Tidak baik caranya pada saat pencampuran antara darah dan HCl pada waktu mengencerkan 4. Adanya gelembung udara di permukaan pada waktu membaca

5. Membandingkan warna pada cahaya yang kurang terang Kesalahan seperti diatas dapat menyebabkan kurang akuratnya hasil pemeriksaan Hemoglobin, Sehingga diharapkan pemeriksa benar benar memperhatikan cara kerja dan faktor diatas agar hasil yang didapatkan lebih akurat.

b. Metode Tallquist Cara Tallquist mempunyai kesalahan yang paling besar dibandingkan cara pemeriksaan yang lain. Cara ini paling mudah dilakukan. Hanya dengan mengambil darah dari ujung jari, teteskan pada kertas talquist kemudian cocokan dan baca pada standard yang ada. Keadaan normal hemoglobin pada metode tallquist ini adalah 13,2 – 18,0 gr% untuk laki – laki dan pada perempuan 11,5 – 16,5 gr%. Dari hasil praktikum dengan sampel darah pada laki-laki didapat 50%; 7,8 g (tidak normal). Hal ini bisa di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesalahan praktikan dan darah yang terkontaminasi juga kesalahan pada pembacaan skala standar.

3.1.5. Penentuan Nilai Hematokrit Frandson (1992) yang menyatakan bahwa nilai hematokrit normal pada laki-laki adalah 42% dan pada wanita 38%. Faktor–faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit adalah jenis kelamin, spesies, jumlah sel drah merah dimana jumlah sel darah merah pada pria lebih banyak jika dibandingkan dengan wanita, apabila jumlah sel darah merah meningkat atau banyak maka jumlah nilai hematokrit juga akan mengalami peningkatan, aktivitas dan keadaan pagositosia.

Dalam praktikum nilai hematokrit sampel darah dari seorang laki-laki (umur 19 tahun) sebesar 43%. Nilai tersebut Hasil sesuai dengan pernyataan berikut bahwa harga normal nilai hematokrit untuk laki-laki 40-48 volume% dan untuk wanita 37-43 volume% (Gandasoebrata, 2008). Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor diantaranya adalah : •

Faktor- Faktor yang mempengaruhi hematokrit secara invivo.

a. Eritrosit Faktor ini sangat penting pada pemeriksaan hematokrit karena eritrosit merupakan sel yang diukur dalam pemeriksaan tersebut. Hematokrit dapat meningkat pada polisitemia yaitu peningkatan jumlah sel darah merah dan nilai hematokrit dapat menurun pada anemia yaitu penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi (Corwin, 2001). b. Viskositas Darah Efek hematokrit terhadap viskositas darah adalah makin besar prosentase sel darah maka makin tinggi hematokritnya dan makin banyak pergesera diantara lapisan-lapisan darah, pergeseran inilah yang menentukan viskositas. Oleh karena itu, viskositas darah meningkat secara drastis ketika hematokrit meningkat (Guyton, 1995). c. Plasma Pada pemeriksaan hematokrit plasma harus pula diamati terhadap adanya ikterus atau hemolisis. Keadaan fisiologis atau patofisiologis pada plasma dapat mempengaruhi pemeriksaan hematokrit (Widmann, 1992). •

Faktor-faktor yang mempengaruhi hematokrit secara invitro

a. pemusingan / sentrifugasi

Penempatan tabung kapiler pada lubang jari-jari centrifuge yang kurang tepat dan penutup yang kurang rapat dapat menyebabkan hasil pembacaan hematokrit tinggi palsu. Kecepatan putar centrifuge dan pengaturan waktu dimaksudkan agar eritrosit memadat secara maksimal. Oleh karena itu harus diatur secara tepat. Pemakaian microcentrifuge dalam waktu yang lama mengakibatkan alat menjadi panas sehingga dapat mengakibatkan hemolisis dan nilai hematokrit menjadi rendah palsu (Wirawan, 1996). b. Antikoagulan Penggunaan antikoagulan Na2EDTA/ K2EDTA lebih dari kadar 1,5 mg/ ml darah mengakibatkan eritrosit mengkerut sehingga nilai hematokrit akan rendah (Wirawan, 1996). c. Pembacaan yang tidak tepat d. Bahan pemeriksaan tidak dicampur hingga homogen sebelum pemeriksaan dilakukan e. Tabung hematokrit tidak bersih dan kering (Wirawan, 1996). f. Suhu dan waktu penyimpanan sampel Bahan pemeriksaan sebaiknya segera diperiksa, jika dilakukan penundaan pemeriksaan sebaiknya sampel disimpan pada 4 derajat celcius selama 24 jam memberikan nilai hematokrit yang lebih tinggi (Gandasoebrata, 2008).

3.1.6. Penentuan Waktu Pendarahan Pembuluh darah yang terpotong atau rusak, maka akan terjadi penyempitan bagian yang terluka. Hal ini terjadi karena kontraksi miogenik otot

polos sebagai suatu plasma lokal dan karena refleks simpatik yang merangsang serabut adrogenik yang menginversi otot polos dinding pembuluh lokal. Kontraksi 24 ini membuat darah yang keluar dari pembuluh darah akan berkurang (Frandson, 1992). Dalam praktikum darah diambil dari darah seorang laki-laki (umur 19 tahun) dari kelompok kami didapat waktu pendarahan yang tejadi selama 8,4 detik. Hal tersebut tidak sesuai denngan pendapat (Guyton 1983) karena pendarahan normal 15-120 detik, tetapi pendarahan yang berlangsung 8,4 detik bisa saja dikarenakan perhitungan timing yang kurang tepat dan kurangannya ketelitian praktikan saat percobaan.

3.1.7. Penentuan Waktu Pembekuan Pembekuan darah disebut juga koagulasi darah. Faktor yang diperlukan dalam penggumpalan darah adalah garam kalsium sel yang luka yang membebaskan trompokinase, trombin dari protombin dan fibrin yang terbentuk dari fibrinogen. Mekanisme pembekuan darah adalah sebagai berikut setelah trombosit meninggalkan pembuluh darah dan pecah, maka trombosit akan mengeluarkan tromboplastin. Bersama-sama dengan ion Ca tromboplastin mengaktifkan protrombin menjadi trombin (Evelyn, 1989). Pembekuan darah disebut juga koagulasi darah. Faktor yang diperlukan dalam penggumpalan darah adalah garam kalsium sel yang luka yang membebaskan trompokinase, trombin dari protombin dan fibrin yang terbentuk dari fibrinogen. Mekanisme pembekuan darah adalah sebagai berikut setelah trombosit meninggalkan pembuluh darah dan pecah, maka trombosit akan

mengeluarkan tromboplastin. Bersama-sama dengan ion Ca+tromboplastin mengaktifkan protrombin menjadi trombin (Evelyn, 1989). Dari hasil praktikum didapatkan darah ddari seorang laki-laki (umur 19 tahun) sampai terbentuk benang fibrin dibutuhkan waktu selama 5 menit 54 deyik. Hal ini sesuai yang dikatakan Frandson (1992) waktu koagulasi normal pada manusia yaitu 15 detik sampai 2 menit dan berakhir dalam waktu 5 menit. Sedangkan waktu koagulasi pada ternak seperti sapi 6,5 menit, kambing 2,5 menit, ayam 4,5 menit, kuda 11,5 menit, babi 3,5 menit, domba 2,5 menit dan anjing 2,5 menit.

3.1.8. Menghitung Jumlah Eritrosit Eritrosit adalah sel darah merah yang mengandung hemoglobin, yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Eritrosit berbentuk cakram bikonkaf, cekung pada kedua sisinya, sehingga dilihat dari samping nampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang. Kalau dilihat satu per satu warnanya kuning tua pucat, tetapi dalam jumlah besar kelihatan merah dan memberi warna pada darah. (Evelyn C. Pearce, 1979) Pembentukan sel

darah merah di

dalam sumsum tulang dan

perkembangannya melalui beberapa tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin, kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Proses eritropoiesis terjadi selama 7 hari dan jumlah normal eritrosit yang dihasilkan

adalah 4,5-6,5 juta/mm3 pada pria, sedangkan pada wanita 3,9-5,6 juta/mm3. (A. V. Hoffbrand, 1991) Dari hasil praktikum didapat data eritrosit = 678 jumlah sel darah merah dalam 1mm darah. Sehingga dari perhitungan didapatkan: = 100 x 100 x butir = 10.000 x 678 = 6.780.000 butir/mm. Sampel darah yang digunakan menggunakan darah ayam dapat diketahui jumlah eritrosit sel darah ayam berjumlah 6.780.000 buah eritrosit. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada ayam tidak normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Dellman dan Brown (1999) yang menyatakan bahwa jumlah normal eritrosit pada ayam betina dapat berada dibawah standar atau diatas standar. Jumlah normal eritrosit pada ayam betina adalah berkisar 2.300.000 – 4.000.000 buah eritrosit per millimeter kubik. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit adalah aktifitas ternak, umur dan bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat Anward (1981) bahwa aktifitas ternak mempengaruhi jumlah eritrosit, ternak yang dibiarkan lepas, eritrositnya akan berada dalam keadaan normal karena proses pembentukan darahnya berlangsung normal, sedangkan ternak yang terus menerus didalam kandang, jumlah eritrositnya akan lebih rendah karena tidak optimal, sehingga jumlah eritrositnya pun mengalami penurunan. Faktor lain yang mempengaruhi jumlah eritrositnya adalah status gizi dan jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa status gizi berpengaruh terhadap jumlah eritrosit pada ternak, karena secara tidak langsung bila gizi pakan yang diberikan tidak terjaga, maka eritrosit akan berada dalam

keadaan menurun, jenis kelamin pun juga menentukan jumlah eritrosit dalam darah ayam, menurut penelitian yang telah dilakukan para ahli disimpulkan bahwa jumlah eritrosit pada ayam jantan lebih tinggi dari pada ayam betina. Kesalahan juga terjadi karena pada proses praktikum terjadi kesalahankesalahan yang menyebabkan nilai eritrosit berbedabeda khususnya pada saat perhitungan manual dengan mata dalam mikroskop perlu ketelititan lebih.

3.1.9. Menghitung Jumlah Leukosit Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000/9000/mm3, bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm3, keadaan ini isebutleukositosis, bila kurang dari 5000/mm3 disebut leukopenia (Effendi, Z., 2003). Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular.Leukositagranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai int i yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari selsel kecil dengan sit oplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil) (Effendi, Z., 2003). Dari hasil praktikum didapat data leukosit = 11.370 butir dalam dalam 1mm. Sehingga dari perhitungan didapatkan: = 10 x 10 x butir

= 100 x 11.370 = 1.137.000 butir/mm. Sampel darah yang digunakan menggunakan darah ayam dengan hasil 1.137.000 butir/mm. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah leukosit pada ayam adalah tidak normal. Jumlah normal leukosit pada ayam betina adalah 500.000 buah leukosit per millimeter kubik. Hal ini sesuai dengan pendapat Koen (2001) yang menyatakan bahwa sel darah putih normal pada ayam memiliki jumlah 500.000buah leukosit permilimeter kubik. Jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan jumlah eritrosit, hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996) yang menyatakan bahwa hitungan total seln darah putih dibuat dengan cara yang sama dengan sel darah merah, akan tetapi karena sel darah putih jumlahnya jauh lebih sekit dengan seln darah merah. Faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah nutrisi ransom, umur, jenis kelami, ordo dan aktivitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomson (1980) bahwa aktifitas ternak mempengaruhi jumlah leukosit, nutrisi pakan, jenis kelamin serta ordo atau bangsa dari jenis ternak juga berpengaruh terhadap jumlah leukosit.

Dafrat Pustaka: Anward, 1981. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta. A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss. 1991. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Christine, S, dkk. 2016. Hubungan antara viskositas darah dengan hematokrit pada penderita anemia dan orang normal. Jurnal e-Biomedik (eBM). Vol 4, No 1 Corwin, J.E. 2001. Buku Saku Patofisiologi.Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC. Damanik, Merry N V., Siswanto., I Nyoman S. 2014. Hemolisis Eritrosit Babi Landrace Jantan yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran Denpasar. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(3): 237-243 Deluise, M. & Flier, J.S. 1982. Functionally Abnormal Na+-K+ Pump in Erythrocytes of a Morbidly Obese Patient, Journal Clinical Invest, 69(1): 38-44 Dellman, H dan Brown. 1999. Avian Physiology. Terjemahan Hartono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Dukes, H N. 1993.The Physiology of Domestic Animal. New York: University College Effendi Z. 2003. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Fakultas Kedokteran: Universitas Sumatera Utara. Evelyn, Pearce. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia. Jakarta Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Fradson, R.1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Gajah Mada Press, Yogyakarta. Gandasoebrata, R, 2008, Penuntun Laboratorium Klinik, Edisi 5, Dian Rakyat : Jakarta Guyton, Athur C. 1989. Fisiologi Manusia dan Mekanismenya terhadap Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Koasih. 1990. Biologi Edisi Ke Lima. Alumni, Bandung. Matsuzawa, T and Ikarashi, Y. 1979. Hemolysis of various mammalian erythrocytes in sodium chloride, glucose and phosphate-buffer solutions. Laboratory Animals10(13): 329-331 Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press: Jakarta. Siswanto, Sulabda, IN., dan Soma, IG. 2014. Kerapuhan Sel Darah Merah Sapi Bali. Jurnal Veteriner15(1): 64-67 Sonjaya, Herry. 2005. Bahan Ajar Fisiologi Ternak Dasar. Fakuiltas Peternakan. Universitas Hasanuddin: Makassar Thomson, J.1980. Blood Coagutation and Haemostasis. Churchill Livingstone, Ediburgh. Wilkins, M.B., 1992. Fisiologi Tanaman. Penerjemah Sutedjo M.M dan Kartasapoetra A.G. penerbit Bumi Aksara: Jakarta Windarti, dkk, 2011. Buku Ajar Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau Press: Pekanbaru Wirawan, Riadi dan Erwin Silman.1996. Pemeriksaan Laboratorium Hematology Sederhana, Edisi ke dua, Jakarta Fakultas Kedokteran UI. Widman, F.K. 1992. Clinikal Interpreation of Laboratory test, ( Tinjauan Klinik Atas

Hasil Pemeriksaan ), Terjemahan R. Gandha Soebrata dkk, Edisi 9, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

III HASIL PENGAMATAN 3.1

Rupa Darah Makroskopis dan Mikroskopis Sebelum dan Sesudah Hemolisis

No 1.

Perlakuan Darah + aquadest.

Makroskopik Merah

terang,

cahaya

Mikroskopik

tembus Terjadi Hipotonis , dan terdapat proses lisis pada sel darah

2.

Darah + NaCl pekat Merah keputihan, tidak Terjadi Hipertonis , dan (3%).

tembus cahaya

terdapat proses krenasi pada

sel

darah,

mengkerut 3.

Darah.

Merah (seperti darah pada Bulat umumnya), cahaya

dan

rapat

tembus membentuk

seperti

membentuk

dinding

yang tersusun oleh sel darah, hipotonis

3.2 Menentukan Tahanan Osmotik Sel Sel Darah

No

Perlakuan

Mikroskopik

1.

Darah + NaCl 0%

Lisis

2.

Darah + NaCl (0,5%)

Normal

Makroskopik Tidak ada lapisan bening

dan

pergerakan

terdapat Terdapat bening

cincin/lapisan yang

terlihat

jelas, mengendap 3.

Darah + NaCl (0,9%)

Normal

dan

pergerakan

terdapat Terdapat bening

cincin/lapisan tetapi

kurang

jelas 4.

Darah + NaCl (0.6%)

Normal

dan

pergerakan 5.

Darah + NaCl (3%)

3.4

Metode sahili Hb = 5 G%

-

Metode Tallwuist Hb = 50% = 7,8 gms

cincin/lapisan

bening yang terlihat jelas

Penentuan Kadar Hb -

cincin/lapisan

bening yang terlihat jelas

Terjadi krenasi pada sel Terdapat darah merah

3.3

terdapat Terdapat

Penentuan nilai Hematokrit 𝑣𝑜𝑙. 𝑠𝑒𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ (43) 𝑥 100% = 43% 𝑣𝑜𝑙. 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ (100)

3.5

Penentuan Waktu Pendarahan Waktu pendarahan = 8,4 detik’

3.6

Penentuan Waktu Pembekuan Waktu Pembekuan = 5 menit 54 detik

3.7

Menghitung Jumlah Eritrosit

Kamar

Hasil

Kamar

Hasil

Kamar

Hasil

Kamar

Hasil

1

20

11

17

21

17

31

7

2

18

12

20

22

17

32

8

3

21

13

20

23

16

33

14

4

24

14

19

24

16

34

9

5

10

15

24

25

19

35

10

6

11

16

23

26

20

36

11

7

17

17

21

27

21

37

14

8

16

18

21

28

22

38

20

9

14

19

18

29

20

39

13

10

19

20

17

30

19

40

14

Jumlah = 678 100x100x678 = 6.780.000

3.8

Menghitung Jumlah Leukosit

Kamar Hasil Kamar Hasil Kamar Hasil Kamar Hasil Kamar Hasil 1

450

6

429

11

420

16

427

21

410

2

432

7

431

12

407

17

425

22

415

3

440

8

435

13

400

18

449

23

401

4

430

9

417

14

415

19

430

24

400

5

425

10

410

15

430

20

420

25

402

Jumlah= 11.370 10x10x11370= 1.137.000

Related Documents


More Documents from "Nor Annisa R"