Kota dan Kata
Pergeseran Makna Sosial Kota F. Budi Hardiman
Tema Kuliah Ini • Kota = realitas sosial = realitas spasial, misalnya Jakarta • Kata = komunikasi = makna = simbol = intersubyektivitas = hermeneutik = sosialitas = spasialitas sosial • Kota mengembangkan bentuk komunikasinya sendiri yang berbeda dari desa.
Mempersoalkan Apa? • Ekonomi uang telah menggeser makna sosiospasial kota dari satuan organis (komunitas/Gemeinschaft) menjadi satuan molekuler (masyarakat/ Gesellschaft). Kompleksitas lama ini dikenal dengan sebutan ‘modernitas’ • Teknologi informasi dan komunikasi global menghasilkan kompleksitas baru: society without people (sistem). Sebutan ‘pasca modernitas’ kerap dipakai untuk menamainya. • Pertanyaan: Bagaimana ‘sosialitas’ dan ‘spasialitas’ dimaknai dalam kompleksitas baru itu di Jakarta khususnya?
Kota dan Sosialitas •
•
•
Kaitan itu sudah terungkap dalam ide kuno Aristoteles zoon politikon (hewan yang hidup dalam polis); realitas kekotaan tidak dapat dilepaskan dari ide Gemeinschaft, yakni satuan individu dengan tujuan dan identitas bersama. Hannah Arendt: Kota bukan sekedar benda arsitektural, melainkan ‘ruang’ yang memungkinkan keadaban publik (public civility). Tapi modernitas mengubah kota sebagai ‘arena kebebasan privat atau self-interest’. Itulah inti ide F. Tönnies tentang “Gesellschaft”.
Realitas Spasial
• Spasialitas kota menyatakan sosialitasnya, seperti dianalisis oleh Georg Simmel: Ruang tidak lain daripada “possibility of being together”, yakni “sociation” (Vergesellschaftung), maka kota besar atau kecil menyatakan bukan hanya ukuran geometris kota, melainkan tipe-tipe sosiasi itu. Kota kecil adalah kedekatan sosial; kota besar adalah impersonalitas relasi (lih. Simmel, On Culture, h. 138 dst.)
Relasi Spasialitas dan Sosialitas Kemungkinan 1: • Pertumbuhan bentukbentuk sosiasi menghasilkan spasialitas tertentu • Relasinya: Sosialitas => Spasialitas • Contoh: Kota-kota tradisional adalah hasil interaksi komuniter warganya.
Kemungkinan 2: • Pertumbuhan spasial kota menghasilkan bentuk-bentuk sosiasi tertentu • Relasinya: Spasialitas => Sosialitas • Contoh: Kota-kota baru yang dirancang untuk industri menghasilkan jenis interaksi sosial impersonal
H. Lefebvre: Ruang adalah produk sosial
Kota-kota tradisional
Arsitek sebagai Elemen komunitas
Sosialitas
Spasialitas
Kota-kota modern Arsitek dan planolog sebagai desainer sosial Post-/Strukturalisme: Spasialitas menghasilkan Bentuk-bentuk sosialitas Ruang selalu adalah “ruang untuk” dan merupakan produk sosial; namun elit dominan mereproduksi “ruang untuk” yang akan menstrukturasi bentuk-bentuk sosialitas. Mereka adalah desainer sosial.
Membaca Trend • Industrialisasi Eropa abad ke-19 menghasilkan metropolis-metropolis seperti Paris, Berlin dan London yang mengubah cara-cara sosiasi para individu seperti dianalisis oleh G. Lukacs sebagai “reifikasi”, oleh H. Arendt sebagai “atomisasi” dan oleh Riesman sebagai “externally controlled behaviour”; bukan komunitas yang penting, melainkan self-preservation of the individuals. Jakarta abad 21 tidak banyak berbeda. • Trend-nya: Spasialitas akan semakin menentukan sosialitas. Manusia tidak lagi mampu menentukan bentuk ruang hidupnya, melainkan ruang hidup itu makin membentuk prilaku manusia. Argumen strukturalisme (de Saussure) dan poststrukturalisme (Foucault dan Derrida) bertolak dari realitas baru ini. • Jika ke-untuk-an dari “ruang-untuk” lebih ditentukan oleh “modal” dan bukan “solidaritas sosial”, prilaku manusia akan semakin ditentukan ‘ruang yang mengadaptasi modal’ (= pasar). • Kota sebagai Gemeinschaft menjadi masa silam karena “ruang untuk modal” menggeser “ruang sebagai kemungkinan kebersamaan”.
Kota dan ‘Imajinasi Geografis’ •
Sejarah kota bukan sekedar sejarah bentuk-bentuk masyarakat,cara-cara produksi atau gaya-gaya arsitektural, melainkan juga sejarah
bentukbentuk imajinasi geografis. • Sejarah kota adalah perubahan imajinasi kolektif tentang ruang bersama (bdk. W. Benjamin’s Passagenarbeit).
Kota Tradisional: Imajinasi Geografis “Bejana” • Dalam The Fate of Place, Edward S. Casey menjelaskan bagaimana ruang di zaman antik dibayangkan oleh Aristoteles sebagai ‘bejana’ dan bukan sesuatu yang abstrak seperti “chôra” dari Plato. Artinya: “chôra” menjadi “topos” (tempat). • “Bejana” adalah gambaran ruang yang dominan yang lalu menjadi imajinasi geografis kota-kota tradisional.
Spasialitas “Bejana” Bejana • Memiliki batas-batas yang jelas • Merupakan ‘wadah’ atau sesuatu yang menampung isi (Ruang dipisahkan dari materi) • Kejelasan batas menentukan homogenitas isinya
Kota-kota Tradisional • Kejelasan batas teritorial (tembok kota) • Satuan geopolitis yang memproteksi warga dari alam dan barbarisme (kota sebagai tempat) • Satuan teritorial yang berpadanan dengan satuan komuniter
Topos dan Keberakaran • Gereja, alun-alun, balai kota, pasar, museum, dikitari rumah-rumah warga…dst. adalah poros-poros tetap untuk perjumpaan sosial yang mengakarkan individu pada Gemeinschaft. Kota tradisional adalah ‘topos’ seperti ‘home’ atau ‘kediaman’. • Kata ‘kediaman’ berarti ‘tempat untuk berhenti’ (dari bergerak); baru setelah tubuh berhenti dari pergi, gerak mendekat menjadi mungkin. • Kota tradisional adalah ‘bejana’ dan ‘shelter’ untuk kedekatan; organisasi kedekatan tampil secara arsitektural dalam struktur kota; baru di luar tembok kota terbentang ‘nomad space’ untuk pergi bergerak. ‘Oasis’ adalah prototipe kota lama itu.
Kota Modern: Imajinasi Geografis “Striated Space” • •
• • •
•
Dalam A Thousand Plateaus, G. Deleuze menjelaskan “striated space” dalam perbedaannya dengan “smooth space”. Tulisnya: “It is the difference between a smooth (vectorial, projective or topological) space and a striated (metric) space: in te first case ‘space is occupied without being counted’ and in the second case ‘space is counted in order to be occupied’” (h.362) Kota-kota modern dirancang secara geometris untuk menopang produksi dan konsumsi dalam korelasinya dengan kompleks industri, maka dihitung dulu, baru kemudian diduduki. Bagaimana Jakarta kita? Gerak adalah ‘peralihan dari titik ke titik yang jelas’ (berbeda dari ‘padang gurun’, ‘samudra’ atau ‘angkasa’) => ternumerisasi dan terdeterminasi => Newton’s mechanical worldview mulai abad ke-17 “Striated” itu adalah bentuk geometris hasil abstraksi yang diaplikasikan pada bentuk dan struktur kota. Dalam arti ini kota modern adalah penaklukan culture atas nature di mana ‘negara hukum’ adalah mesin hitung untuk ‘reterritolialization’ masyarakat. Modernisasi kapitalis adalah reterritorialisasi masyarakat dalam arti mentransformasikan kota sebagai topos perjumpaan menjadi kota sebagai topos produksi dan konsumsi.
Peran Negara • “One of the fundamental tasks of the State is to striate the space over which it or to utilize smooth spaces as a means of communication in the service of striated space. It is a vital concern of every State not only to vanquish nomadism but to control migrations and, more generally, to establish a zone of rights over an entire ‘exterior’, over all of the flows traversing the ecumenon.” (Deleuze, ibid., h. 385)
Kejelasan Mekanis Perbatasan • Kejelasan perbatasan menandai isolasi “self-interests” individu kota-kota modern, maka reteritorialisasi masyarakat dan geometrisasi kota mengamankan ‘selfinterests’ itu, seperti tulis Simmel: “Everywhere where the iterests of two elements are directed at the same object, the possibility of their coexistence depends on a border line separating their spheres within the object – whether this be a legal line ending the dispute or a power boundary perhaps starting it.” (Simmel, On Culture, h. 143) • Struktur apartement adalah prototipe ‘mechanically organized self-interests’ kota-kota modern.
Kompleksitas Lama Kota Tradisional • Organisasi kedekatan
• Topos keberakaran warga • Arena Hubungan Saling Pengakuan (Gemeinschaft) • Oasis
Kota Modern • Organisasi Mobilitas Produksi dan Konsumsi • Topos Produksi dan Konsumsi • Kompleks Hubungan Fungsional • Apartemen
Munculnya Kompleksitas Baru •
•
•
Kota modern masih merupakan ‘topos untuk’ atau teritorialisasi produksi-konsumsi, semacam ‘oikos’ untuk hubungan tuan-budak. Kompleksitas lama ini muncul dari fungsionalisme, profesionalisme, spesialisasi dst. industri dan ekspansi komersial. Dewasa ini muncul kompleksitas baru yang disebabkan oleh teknologi informasi dan komunikasi dan bentuk-bentuk produksi dan konsumsi pasca-masyarakat industri. Di satu sisi kota-kota kontemporer meradikalkan mobilitas kota-kota modern; di sisi lain mobilitas digabungkan dengan virtualitas/simulacra sehingga kemungkinan kebersamaan yang mengalami krisis di era modern (atomisasi) diraih lagi lewat virtualitas komunikasi. Istilah McLuhan ‘global village” menunjukkan bagaimana transformasi kebersamaan fisik menjadi kebersamaan virtual.
Contoh Kompleksitas Baru Itu • Stuart Sim: “Marxism which sees the market behind everything must give way to the idea that the market is in everything but behind nothing…Dysneyland is presented as imaginary in order to make us belive that the rest is real, when in fact all of Los Angeles and the America surrounding it are no longer real, but of the order of the hyperreal.” (Sim, Routledge Companion to Postmodernism, h. 281).
Analisis • Yang real berdiri paralel dengan yang hiperreal /simulacra/fiktif • Bentuk-bentuk kehidupan yang lama berdampingan dengan yang baru = > runtuhnya hirarki antinomi biner tradisi/modernitas. • Alienasi sosial akibat mobilitas produksi dan konsumsi hendak diatasi dengan “realitas substitusi” yang dibentuk lewat teknologi komunikasi (HP, Internet, Film dst.). • Kaburnya distingsi realitas dan virtualitas tidak mengurangi ‘hasrat akan yang real’, maka komunitas virtual tidak bisa sepenuhnya menjadi substitusi komunitas real. Orang selalu butuh “persentuhan ragawi” dan “pengakaran duniawi komuniter” untuk mengalami sesuatu sebagai ‘nyata’.
Kota sebagai “Nomad Space” • Batas-batas geometris kota-kota kontemporer yang terglobalisasi (New York, Tokyo, Paris, dst.) mulai kehilangan relevansinya akibat teknologi produksi cyber space. • Mobilitas produksi-konsumsi fisik kota modern diperumit dengan mobilitas produksi-konsumsi virtual. Organisasi mobilitas fisik berdiri paralel dengan organisasi mobilitas dunia virtual. • Akibatnya: Tempat “Kediaman” pun menjadi tempat “pergi” secara virtual. Perjalanan pun hendak diorganisasi sebagai ‘kediaman’ virtual.
“Lounge”: Paradoks Nomadisme • Hidup ‘nomad’ adalah intermezo; ia bukan ‘migran’ karena tidak menuju satu titik yang pasti; ia berdiam dengan bergerak; kediamannya adalah gerak itu (“the nomad reterritorializes on deterritorialization itself” – Deleuze) • “Lounge” di airport adalah contoh arsitektural paradoks nomadisme: Kamar duduk ini menghasilkan fiksi nomadistis tentang ‘kediaman dalam kepergian’, ‘at home in homelessness’. • Kota kontemporer hendak mereproduksi paradoks nomadistis itu di berbagai struktur: café, mal, interior mobil, hotel,…dst. makin menjadi kebutuhan untuk “keberakaran” yang raib oleh mobilitas real/virtual kota.
“Society without people” • Kompeksitas baru kehidupan kota dapat dilukiskan dengan istilah “society without people”, seperti dicerminkan Niklas Luhmann dalam teori sistemnya: Bukanlah manusia yang berkomunikasi, melainkan komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi. • Humanisme kota berakhir dalam pandangan bahwa manusia adalah interseksi banyak sistem, dan masyarakat tidak lain daripada jejaring daur komunikasi tanpa subyek yang serba kontingen dan impersonal.
Gelembung, Bola dan Busa • Peter Sloterdijk menyebut morfologi ‘gelembung’ cocok untuk intimitas sosial, ‘bola’ untuk ambisi globalisme modern dan ‘busa’ untuk pluralisme dan fragmentarisme kompleksitas baru. • Morfologi ‘busa’ atau fragmentarisme tidak menunjukkan hilangnya sosialitas, melainkan munculnya cara-cara sosialisasi yang baru dalam bentuk micro-communities yang terdesentralisasi. Hasrat untuk Gemeinschaft tidak hilang, melainkan menjadi intensif dalam micro-commnities.
Ambisi Morfologis “Bola” • Ambisi morfologis “bola” tidak sirna dalam kota-kota kontemporer; politik identitas dan fundamentalisme agama adalah reaksi-reaksi atas fragmentarisme dan desentralisme morfologi “busa” namun untuk mencaplok semuanya ke dalam macro-community yang homogen.
Sosialitas – sebuah dimensi tetap Tidaklah benar anggapan bahwa sosialitas lenyap seperti dinyatakan oleh pemikiran komunitarian tentang raibnya Gemeinschaft. Yang benar adalah bahwa dalam perubahan spasialitas kota berkembang bentuk-bentuk sosialitas baru. Ide Gemeinschaft mungkin menunggu realisasinya dalam jaringan komunikasi dalam cyber space yang terorganisasi?
Communitarian We-ness
Liberal We-ness We-ness in Mass Discursive WeSociety ness
“We” as homogenous collective entity
“We” as sum of functional individuals
“We” as reflected “We” as legal expression of identity of the ethnical identity citizens
“We” as becoming “We” unstructured anonymous crowd
“We” as emotional “We” as the expression of mob outcome of discursive process of citizens
The city as cultural The city as space The city as place of interests placelesness (Gemeinschaft) (Gesellschaft) (Entwurzelung)
The city as public sphere (Wiederverwuzelung)
A holon is a whole that is part of other wholes Is chaos an unknown order? Or a prelude of future order?